Kamis, 30 Desember 2010

CERPEN

JENDELA
Oleh Ch. Enung Martina

Setiap saat jendela itu terbuka pada jam lima pagi dan tertutup lagi pada jam enam petang. Jendela itu berada di lantai dua sebuah rumah bercat putih. Ada pohon sirsak yang menjorok ke arah samping kiri jendela dan ada pohon tanjung ke sebelah kanannya. Panorama tepat di hadapannya adalah tanah lapang yang ditumbuhi rumput dan belukar. Dari kejauhan genting berwarna merah kecoklatan berderet dari kompleks perumahan di dekatnya.

Sesekali terlihat sosok orang yang melongokkan kepala dari jendela itu. Bergantian orang yang melongok di jendela itu; seorang perempuan paruh baya, seorang remaja putra tanggung, seorang lelaki berambut gondrong, dan seorang remaja putri. Namun, kadang ada dua kepala yang melongok dari jendela itu. Sepertinya setiap kepala yang melongok di jendela itu asyik memperhatikan pemanadangan yang terhampar di hadapannya.

Tampaknya sampai jauh malam gorden belum ditutup oleh pemilik rumah itu. Terkadang masih terlihat gorden itu tak ditutup sampai jendela itu dibuka kembali. Mungkin pemiliknya lupa atau mungkin sengaja. Cahaya lampu yang membias dari kaca jendela itu terang sepertinya berasal dari lampu neon. Tak ada yang bisa dilihat lagi dari jendela itu selain orang yang melongokkan kepala dan cahaya lampu kala malam yang terpancar dari ruangan lantai dua itu.

Jendela itu tak banyak berbicara tentang penghuni di dalam rumah itu. Tak banyak informasi yang disampaikan oleh jendela itu. Aku menjadi pengamat jendela itu sudah lima bulan sejak kepindahanku ke rumah baruku di kompleks sebuah perumahan yang sekarang menjadi rumahku. Kamarku kebetulan ada di lantai dua. Ada jendela di kamarku, tetapi jendelanya mati, tak bisa dibuka atau ditutup. Sepertinya sengaja dimatikan oleh penghuni lama karena AC dipasang di ruangan itu. Karena terbuat dari kaca, aku bisa leluasa melihat ke luar dari balik kaca jendelaku.

Rumah tua itu berada tepat di belakang rumahku yang letaknya di kompleks perumahan. Rumah itu tidak berada dalam komplek. Sepertinya ia dibangun tersendiri oleh pemiliknya. Pekarangannya cukup luas jika dibandingkan dengan pekaranan rumahku. Ada kebun kecil yang ditanami aneka pohon sebagai peneduh; nangka, belimbing wuluh, belimbing buah, srikaya. sirsak, jambu batu, jeruk nipis, kantil, dan tanjung. Rumah itu nampak teduh dengan naungan berbagai pohon yang sudah cukup besar. Rumahnya tidak terlalu besar, bahkan bisa dibilang kecil.

Tak ada jalan yang menghubungkan rumahku dengan rumah itu, kecuali harus memutar jauh ke depan komplek, keluar dulu dan menyusuri jalan raya, baru berbelok ke kiri menuju jalan kampung kira-kira tiga kilo meter. Itu kata pembantuku yang berasal dari kampung sekitar komplek rumahku. Aku sendiri belum mencoba berpetualang untuk mengunjungi rumah itu.

Aku penasaran dengan rumah itu karena rumah itu begitu asri dan hidup. Kadang terdengar suara kendaraan yang datang an pergi di gang yang menuju rumah itu. Tak banyak tetangga dekat rumah itu, hanya ada dua rumah di sebelah kanannya dan di belakannya ada warung tegal dan warung kelontong. Rumah itu tepatnya menghadap ke barat, ke tembok pembatas koplek perumahannku. Di sebelah kirinya tanah lapang yang dibiarkan ditumbuhi rumput liar dan belukar.

Jendela yang kuceritakan di atas berada di sebelah kiri rumah itu. Sebetulnya ada dua jendela lain yang persis menghadap ke barat, hanya tidak kelihatan karena tertutup dengan rimbunnya pepohonan. Pintu utama di lantai satu menghadap ke barat juga, menghadap tembok pembatas. Tembok pembatas itu sepertinya sudah tidak kelihatan lagi karena aneka tanaman menutupinya. Dari jendela rumahku ini tak kelihatan karena aneka tanaman menyamarkannya.Namun, suara orang tertawa dan berbicara serta anjing yang menggonggong kerap terdengar. Bahkan sepertinya di bawah keridangan pohon dekat tembok pembatas itu ada bangku untuk duduk-duduk. Kerap juga tercium asap rokok para pria yang kongko di bangku itu.

Aku tertarik pada jendela sebelah kiri di lantai dua itu karena aku bisa mengintip aktivitas penghuninya yang kerap melongokkan kepala mereka dari jendela itu. aku jadi tahu sepertinya rumah itu dihuni oleh empat orang; ayah yang berambut gondrong, ibu perempuan separuh baya, anak remaja putri, dan anak remaja putra. Secara resmi aku belum berkenalan dengan keluarga pemilik rumah itu, tetapi sepertinya aku sudah mengenal sedikit-banyak mereka dari jendela dan suara-suara yang kudengar dari balik tembok pembatas komplek. Bahkan aku merasa lebih mengenal tetangga jauh di belakang komplekku daripada tetangga kiri kanan di dalam komplekku.

Keluarga yang rumahnya dekat, tetapi tak terjangkau itu mengingatkanku pada keluarga bahagia. Keluarga yang belum pernah kumiliki. Aku seorang perempuan berusia 38 tahun, sudah menikah, tidak dikarunia anak karena kandunganku dua-duanya sudah diangkat. Suamiku bekerja pada perusahaan pelayaran asing yang dua minggu dalam sebulan berangkat berlayar. Bila suamiku pergi aku sendirian hanya ditemani seekor anjing dan seorang pembantu. Aku juga bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang properti. Ayah ibuku bercerai ketika aku SMP. Aku tinggal bersama kakek-nenek di Ungaran. Ibuku di Medan ikut suaminya, ayahku di Jakarta dengan istri dan anak-anak tirinya dan juga anak-anak dari hasil perkawinan mereka, berarti adik-adik seayahku.Karena itulah jendela itu mengingatkanku pada gambaran keluarga utuh dan bahagia seperti iklan layanan masyarakat Keluarga Brencana.

Aku menjadi betah tinggal di ruamhku sendiri bila memandang jendela itu. Ada perasaan bahagia yang bisa aku serap dari sana. Seolah jendela itu memancarkan energi cinta dari orang-orang yang berada di dalamnya. Aku jadi ingin punya anak yang bisa aku cintai. Anak kandung? Itu mustahil. Karena itu aku bertekad akan memberanikan diri minta pada Ray, suamiku untuk mempertimbangkan mengambil anak. Mengadopsi anak? Pikiran gila dari mana itu? Gara-gara aku terlalu larut memandang jendela itu, pikiranku jadi ngelantur.

Namun, anehnya waktu Ray pulang, aku mencoba membicarakan ide gilaku itu. Aku kira dia bakal menertawakanku. Malah ia berbalik memelukku begitu mesra. Apa lagi ini? Hingga larut malam kami berbicara tentang ide itu. Berbagai cara, tempat, dan orang yang bisa membantu proses itu kami bicarakan. Kasihan Ray, lelakiku satu ini. Ia tak bisa menunjukkan pada dunia tentang betapa hebatnya dia dengan menghamili istrinya. Aku juga heran kenapa ia mau dengan aku perempuan mandul yang rahimnya sudah tak ada artinya ini. Barangkali ia mencintaiku? Entahlah…Tapi ia tak pernah mengucapkan kata-kata cinta kepadaku. Tidak seperti Ari kekasihku yang dulu yang kepadanya kuserahkan seluruh jiwa ragaku. Ia selalu mengucapkan kata-kata cinta yang sangat memabukkan hingga tak kutahu bahwa aku sudah jatuh dalam perangkap pesonanya. Betapa gobloknya aku diperdaya dia! Hingga akhirnya kutahu bahwa ia pergi membawa hatiku yang terkoyak bersama seorang gadis pilihannya yang lain untuk mengarungi biduk perkawinan mereka di negri jiran, Malaysia.

Ray kembali berlayar. Sebualan lagi ia baru pulang. Tekad kami sudah bulat untuk mengadopsi anak. Ketika aku tanya kiri kanan tentang niatku ini, ternyata banyak pihak yang mendukung. Salah satu teman kantorku memperkenalkanku pada seorang biarawati Katolik di gerejanya yang bertugas mengelola panti asuhan.

Setiap sore aku mematung memandang jendela itu. Rasanya gambaran mempunyai seorang anak segera berkelebat dalam hayalku. Jendela itu memberiku inspirasi lain untuk mengambil anak perempuan saja. Ray mau anak perempuan. Aku mau anak laki-laki. Ray bilang anak laki-laki suka nakal nanti aku kewalahan. Memangnya anak perempuan nggak bikin pusing juga? Menurut pengamatan dan pendengaran dari cerita teman-teman kantor katanya anak perempuan dan laki-laki sama saja. Aku mau ambil anak perempuan biar Ray senang. Ia kan sudah mendukungku.

Sore ini ada yang lain. Hari cerah begini, mengapa jendela itu tidak buka? Apakah orangnya pergi ke luar kota? Tak mungkin ini kan bukan musim liburan. Kenapa lampu dari dalam rumah belum dinyalakan, padahal sudah remang-remang begini? Sepertinya penghuninya tak ada. Senyap. Aku melongokkan kepalaku untuk melihat keadaan rumah itu. Tak banyak menolong karena tak bisa mendapatkan informasi yang akurat. Niatku untuk mencari inspirasi mencari nama untuk calon anakku jadi kuurungkan.
Hari ini kuputuskan untuk mengunjungi tetangga belakang rumahku. Ini hari Sabtu, aku libur. Aku mengajak Yunah, pembantuku. Kami sengaja naik ojek yang beroprasi ke jalur itu. Agak sukar menanyakan siapa pemilik rumah itu karena aku tak tahu siapa keluarga ini. Dengan berbekal petunjuk letak rumah, tukang ojek akhirnya berhasil membawa kami ke rumah itu. Mengapa sepi? Sepertinya tidak seramai dan sehangat seperti yang kudengar dari balik tembok pembatas. Siang begini kenapa lampu teras masih menyala? Kenapa anjingnya tidak mengonggong?

Aku ketuk-ketuk pagar rumah itu. Tak ada sahutan. Sepertinya rumah ini kosong. Aku coba sekali lagi. sia-sia. Akhirnya Yunah menanyakan ke tetangga sebelah kanan yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah itu. seorang ibu kira-kira berumur 60 tahun menghampiriku dengan tersenyum.
“ Ibu siapanya pak Ridwan?” Ia bertanya.
“ Saya familinya,” aku berbohong. Namanya Ridwan. Baru aku tahu sekarang.
“Pak Ridwan nggak ngasih khabar kalo mau pindah?”
“O, jadi pindah.”
“ Betul, Bu. kembali ke Tasik karena Pak Ridwan baru kena PHK,”
“Kembali ke sini lagi?’
“Sepertinya tidak, rumahnya sudah terjual.”

Sejak itu aku tak pernah lagi melihat jendela di sebelah kiri rumah itu terbuka dari jam 5 pagi sampai jam 6 petang. Juga tak terlihat kepala-kepala yang melongok dari jendela itu memandang ke luar. Gongongan anjing dan suara-suara tawa dan obrolan pun menghilang. Yang terdengar hanya sesekali suara mobil keluar masuk dan pintu pagar dibuka-tutup. Sepi semakin menggelayut di sekitarku. Sepi itu semakin menukik masuk ke relung hatiku. Aku sungguh terlambat untuk mengenal mereka, keluarga Ridwan yang menginspirasiku tentang arti keluarga.

Akan kuusir kesepianku dengan menghadirkan suara tawa dan tangis di rumah ini. Aku jadi tak sabar menantikan Ray pulang. Seminggu lagi ia akan pulang. Aku tak pernah melongokkan kepalaku ke arah jendela itu lagi karena sekarang tak pernah terbuka. Terbersit harapan untuk keluarga kecilku yang akan kubangun dengan calon anakku dan Ray suamiku, menjadi keluarga bahagia seperti keluarga Pak Ridwan. Siapakah istri dan anak-anaknya? Sungguh terlambat aku mengenal mereka. Namun, biarlah doaku untuk keberhasilan dan kebahagiaan keluarga Ridwan yang sudah mendatangkan gambaran manis padaku tentang makna keluarga. Aku juga bertekad akan membangun keluarga Raymondus Hartono dan Irene Shantika serta anak (mungkin juga anak-anak) menjadi keluarga bahagia. Bahagia? Siapa takut!


Sepong, 30 Desember 2010
untuk Metta yang berulang tahun hari ini. Karena kita terkadang ingin tahu apa di balik jendela orang lain. Salam Penuh cinta dari IBU.


Kamis, 23 Desember 2010

NAMA BAIK

Saya teringat bahwa pada bulan November 2009 saya pernah membuat catatan tentang kehilangan nama baik. Catatan itu didasarkan pada peristiwa murid saya kelas IX angkatan 2009-2010. Di bawah ini sebagian kutipan yang diambil dari catatan tersebut:
Hari ini, Rabu, 20 November 2009, aku belajar dari seorang anak remaja berusia 14 tahun tentang arti mempertahankan nama baik, tetapi akhirnya justru kehilangan nama baik tersebut. Leo, sebut saja begitu namanya, hari ini mendapat pelajaran berarti dalam hidup dia. Karena dia berusaha menghilangkan jejak agar namanya tidak tercemar untuk suatu kecerobohan dan kesalahan yang dia lakukan, justru namanya menjadi tercemar karena dia sendiri terbelit dengan skenario penyelamatan diri yang dia lakukan yang menurutnya pasti akan berhasil. Dengan skenario yang dia buat untuk mempertahankan nama baik itu, dia mendapat pelajaran dijauhi teman-teman setimnya karena dianggap bebrbuat tidak jujur. Namun, yang aku kagumi remaja putra ini begitu berani melakukannya dan akhirnya mengakuinya.

Saya bercermin untuk diriku sendiri. Saya juga pernah melakukan hal demikian. Saya berusaha mempertahankan sesuatu dalam hidupku, nama baik, materi, pertemanan, atau apa pun. Namun, pada saat kita mempertahankan itu semua, ternyata justru malah kehilangan.

Dengan begitu saya melihat bahwa kalau begitu apa yang ada pada diri kita dan di sekitar kita tidaklah abadi. Apa yang ada pada hari ini, belum tentu ada untuk hari esok. Apa yang hari ini menjadi bagian dari diri kita, bisa saja hari kemudian menghilang. Artinya kita tak mempunyai apa-apa, bahkan nyawa dalam tubuh kita, kita tak memilikinya.

Dengan demikian saya mengatakan pada diri sendiri bahwa semua itu adalah titipan. Apa yang ada pada saya semata-mata karena kehendak-Nya. Pada saatnya, Dia yang mempunyai akan mengambilnya kembali, saya tak bisa menghindar dan mengelak. Ambillah karena semuanya bukan milikku.

Saya pernah merasa kuatir dengan nama baik. Hal ini terjadi ketika nama suami dan anak laki-laki (yang remaja) diungkit dalam suatu kejadian yang menurut saya menjatuhkan nama baik mereka. Saya merasa sakit hati dan kautir kalau mereka nanti namanya akan tercemar. Peristiwanya berkaitan dengan masalah dalam keluarga besar.
Sempat saya berpikir untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya di hadapan keluarga besar. Namun, anak saya yang perempuan mengatakan hal itu tidak perlu karena tidak akan berpengaruh.

Peristiwa itu terjadi 3 hari sebelum saya masuk rumah sakit untuk operasi sesar melahirkan Abhimanyu. Tepatnya hari Jumat, tanggal 16 Juli 2010. Sungguh suatu kejadian yang tak diduga. Perasaan yang dominan saat itu adalah sakit hati. Selama 3 hari itu saya habiskan waktu dengan menangis dan berdoa. Selain sakit hati juga saya kautir dengan nama baik suami dan anak laki-laki saya.

Sesudah berdoa sedikit ada ketenangan dan pencerahan. Saat itu saya hanya berpikir: nama baik bukanlah segalanya. Nama baik tak perlu dibela. Kenyataan yang akan membuktikan seperti apa kualitas seseorang. Kalau seseorang itu memang baik, maka akan terbukti bahwa pribadinya memang baik. Nama baik tidak perlu dibela. Jadi saat itu saya merasa lebih tenang dengan pencerahan itu. Akhirnya saya menuju rumah sakit untuk menghadapi oprasi sesar dengan hati yang tenang.

Peristiwa 3 hari prakelahiran itu sekarang masih saya ingat. Saya masih merasakan bagaimana sesaknya perasaan saya kala itu. Namun, waktu, tangisan, dan juga doa membuat saya bisa lebih jernih melihat semuanya. Akhirnya saya bisa mengatakan saya tidak perlu kuatir dengan nama baik. Biarlah kita lakukan yang baik. Bila ada orang beranggapan bahwa perbuatan itu tak ada artinya biarlah dia beranggapan demikian. Ada yang lebih mengetahui hal yang paling benar. Tidak perlu risau dengan nama baik.

Saya tahu nama baik suami saya dan anak laki-laki saya saat beberapa waktu lalu nampaknya pernah ‘dicemarkan’ dengan cerita ini dan itu di kalangan keluarga besar. Namun, saya akhirnya tahu bahwa tidak semua orang menerima begitu saja cerita tersebut. Ada juga pihak keluarga yang mengkaji dan melihat kenyataannya. Meskipun saya tahu ada juga pihak keluarga yang juga percaya dengan cerita yang dituturkan tentang suami dan anak laki-laki saya.

Saya akhirnya memutuskan untuk berpendirian biarlah orang mempunyai hak untuk mempercayai atau tidak mempercayai sesuatu. Itu bukan urusan saya, meskipun itu menyangkut nama baik suami juga anak saya. Suami dan anak saya saja yang berhubungan langsung dengan hal ini tidak ambil pusing. Bagi mereka biarlah orang /kerluarga besar beranggapan apa pun, yang penting bagi mereka mereka sudah berlaku benar.

Apa lagi anak saya dia benar-benar tak menghiraukan hal ini. Dia menjalani hidup seperti biasanya: menikmati musik, bermain musik, melayani di gereja, sekolah, mengerjakan tugas sekolah, bercanda, nonton jajan jazz, main game, dll. Tak ada tanda-tanda kuatir dengan nama baiknya. Saya, ibunya, malah belajar dari dia.

Sejak peristiwa itu saya tak pernah terlalu kuatir dengan nama baik dan anggapan orang tentang diri saya dan nama baik saya. Saya hanya peduli apa yang saya lakukan adalah benar di hadapan Allah juga manusia. Kalau kita bertujuan benar dan berlaku benar akhirnya akan terlihat yang mana emas murni dan yang mana imitasi.

Saya kagum dengan anak laki-laki saya (Aga) dan suami saya (Bob) dalam menghadapi masalah nama baik dalam keluarga besar kami. Mereka tenang dan kalem. Tidak banyak bicara, tidak menyatakan reaksi. Tetap adem. Wah… mereka memang hebat! Prinsip mereka: biarkan saja mau bicara apa, yang penting kan kita tidak seperti apa yang dibicarakannya. Nanti juga diam sendiri kalau sudah lelah. Akhirnya juga orang tahu mana yang benar.


(Hari Ibu, 22 Desember 2010)

Rabu, 24 November 2010

BUKAN SEKEDAR BERNIAT BAIK

Niat baik untuk membantu orang lain itu baik, apalagi kalau itu direalisasikan. Namun, tidak semua niat baik itu mendatangkan kebahagiaan kepada seseorang yang akan kita beri kebaikan. Bahkan, bisa sebaliknya, niat baik bisa mendatangkan kecurigaan dan salah penerimaan bagi orang lain.

Nampaknya kita harus berhati-hati dengan niat baik bila kenyataannya menjadi kebalikan dari harapan semula untuk menolong orang lain dan membuat orang lain berkembang. Kala niat baik itu diartikan salah oleh pihak tertentu memang akhirnya menjadi merepotkan.. Namun, tidak berarti kita menyerah untuk tidak melakukan niat baik untuk menolong. Mungkin ini lebih kepada harus lihat pada situasi, kondisi, dan latar belakang orang yang akan ditolong.

Ada kejadian kita berniat baik untuk menolong seseorang, tetapi orang tersebut salah sangka sehingga yang terjadi adalah kerenggangan relasi. Ketika kita berniat baik untuk menolong seseorang kita harus berani untuk menerima apa pun yang terjadi belakangan. Resiko yang diperoleh, mungkin bukan ucapan terima kasih yang didapatkan malah cacian yang kita tuai. Namun, bila memang kita berani menangggung konsekuensi dari niat baik kita, perbuatlah apa yang kita niatkan. Berbuat baik tidak tidak perlu berpikir apa yang kita tuai di belakang hari. Berniat baik aadalah baik. Berbuat baik itu relaisasinya. Sandungan yang didapat ketika usai melakukan perbuatan baik kita, itu namanya resiko.

Seperti apa yang pernah saya ungkapkan dalam renungan tentang Penghargaan bahwa kita melakukan kebaikan bukan untuk mendapat penghargaan. Bila kita memperoleh penghargaan di akhir cerita kebaikan kita, itu namanya bonus. Bila mendapat kritikan, itu namanya membuat kita melihat lagi tentang ketidaksempurnaan kita. Kalau mendapat cacian itu berarti kita harus melihat ulang proses yang kita lakukan, kemungkinan ada yang tak berkenan pada orang tertentu. Bila samapai putus relasi, itu namanya nasib.

Bila sampai putus relasi pengalaman saya adalah: menjauh beberapa jenak untuk melihat segalanya lebih objektif, lebih jernih, tidak emosional, dan lebih berkepala dingin. Jangan mendekat bila membaca namanya saja hati masih panas bergejolak. Menjauh untuk meredakan dan mengendalikan segalanya menjadi lebih baik. Menjauh bukan berarti kita memutuskan.

Orang yang berani menjauh untuk melihat lebih objektif adalah orang yang berani juga untuk terjun ke dalam situasi seburuk apa pun. Orang yang berani menjauh adalah orang yang berani menyelam jauh ke dalam nubari yang terkadang begitu menyakitkan. Orang yang berani menjauh adalah orang yang berani menerima rasa sakit sebagai dasar untuk mengampuni.

Saya sangat tahu hal itu sangat sulit dan tentunya sangat menyakitkan. Karena begitu kita menjauh betapa kita merasa kita ini seperti orang kudisan yang terkucil dan ditelantarkan. Betapa kita menjadi seperti orang yang terdampar di negri yang asing. Terpojok dalam diam yang entah kapan akan berakhir. Terhenyak pada kenyataan bahwa kita tersingkir dan kalah. Celakanya lagi kita juga tak bisa memutuskan apa yang akan dilakukan dan tak tahu kapan semuanya akan berakhir. Itu yang sangat menyiksa.

Resep yang pernah saya lakukan kala saya menjauh adalah: beraktivitas menjalankan kehidupan yang biasa kita jalani. Berdoa lebih banyak dan menangis lebih sering. Rasa sakit yang terasa menusuk itu perlahan hanyut terbawa aliran air mata dan akhirnya dengan perlahan waktu dengan keajaibannya menyembuhkan luka itu. Satu lagi mencari masukan energi positif sebanyak-banyaknya dari bacaan atau dari alam serta orang-orang yang membuat saya kuat.Resep ini terasa manjur. Buktinya saya tetap bertahan hingga saat ini. Hingga akhirnya bila waktunya tiba semuanya akan kembali seimbang.

Enung Martina

Jumat, 12 November 2010

STRATEGI UNTUK MEMIKUL

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan(Yeremia 29:11).

Setiap orang mempunyai salibnya untuk dipikulnya. Karena ada tertulis : barang siapa tidak memikul salibnya sendiri dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi pengikutKu (Luk.14:27
.

Kita tidak diperintahkan untuk memikul salib yang lain, tetapi salib kita sendiri. Salib itu sudah disesuaikan dengan tubuh kita. Dengan pertolongan Allah, kita pasti mampu memikulnya.

Hanya pada saat saya memikul itu terkadang saya sering mengandalkan strategi sendiri. Karenanya saya merasa kelelahan. Saya sering lupa bahwa ada strategi-Nya. Strategi-Nya tak bisa kita tebak.

Untuk menjalani hidup ini pun juga mempunyai strategi. Saya mempunyai bebagai cara untuk bisa meraih tujuan saya. Saya dianugrahi Tuhan dengan akal budi untuk menyiasati hidup. Namun, terkadang saya terlalu percaya diri dengan strategi yang saya buat untuk menghadapi hidup saya sehingga melupakan bahwa ada rancangan Tuhan di atas rancangan dan strategi saya.

Saya mengalami bila strategi yang saya jalankan itu sukses, saya merasa senang dan tentu saja bangga. Namun, kebalikannya bila strategi itu gagal, saya menjadi kecewa dan terkadang bingung.

Tuhan adalah pemain catur yang maha hebat. Strategi Tuhan memang sering susah saya pahami. Sebagai pion, saya menurut saja pada Pengatur Strategi Agung. Tuhan mengarahkan hidup saya dengan berbagai cara maju, mundur, menyamping, atau melompat. Namun, saya percaya bahwa tujuannya satu, yaitu: Untuk menang.

Dengan demikian saya semakin yakin bahwa strategi untuk memikul salib saya adalah juga mengandalkan pada kekuatan-Nya bukan pada kekuatan saya. Dengan mengosongkan kekuatan diri , maka kuasa Tuhan yang luar biasa itu mengalir memenuhi hidup saya. Dengan kekuatan itu, saya dapat melakukan berbagai perkara.

Kekuatan itu disediakan-Nya bagi saya dan Anda yang mengasihi-Nya. Satu penghalang yang menyebabkan kekuatan dan kuasa Allah tidak bekerja dalam diri saya adalah kekuatan saya sendiri. Saya terlalu mengandalkan kekuatan diri saya sendiri. Saya terlalu sombong dan terlalu percaya diri. Akhirnya saya merasa kelelahan dalam perjalanan saya. Semuanya terasa berat dan menjadi beban.

Baiklah, saya akan mengatur strategi untuk supaya saya tidak kelelahan dan energi positif selalu ada dalam diri saya, bahkan bisa mengalir bagi orang lain. Caranya tentu saja dengan hanya mengandalkan diri saya pada kekuatan-Nya dan bukan pada kekuatan diriku saja. Ustadz di mesjid Al Muhajirin dekat rumah saya berkata: Laa haula walaa quwwata illa billahil'aliyyil'adziim
yang terjemahannya kira-kira: Tiada daya dan kekuatan melainkan dari Tuhan Semesta Alam yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Begitu kata Pak Ustadz. Dan saya setuju sekali dengan perkataannya.
Ch. Enung Martina

Rabu, 27 Oktober 2010

MENANGIS

Pada kala tertentu emosi kita dalam keadaan memuncak, terkadang bentuk pelepasan emosi itu dengan menangis. Tangisan tidak selalu identik dengan kesedihan. Seseorang menangis bisa saja karena penyesalan, marah, bahkan bisa jadi suka cita. Ternyata menurut penelitian, menangis itu mempunyai manfaat yang baik untuk kesehatan jiwa seseorang. Manfaat menangis menurut buku Why Men Don’t Have a Clue adalah:

• Mencuci mata
Air mata mengandung enzim bernama iysozysme yang bisa membunuh bakteri dan menjaga mata dari infeksi.
• Mengurangi stress
Air mata mengandung protein yang bisa membersihkan racun dari tubuh. Selain itu, air mata juga mengandung endhorphin yang bisa mengurangi stress dan rasa sakit. Itu sebabnya kita merasa lega sesudah kita menangis.
• Sinyal emosional
Menangis menjadi tanda kalau kita membutuhkan dukungan emosional. Air mata membuat tubuh menghasilkan hormon axytocin yang membuat orang ingin dipeluk dan disentuh.

Dengan begitu, kita lihat bahwa menangis adalah hal yang manusiawi. Tangisan adalah anugrah dari Tuhan pada mahluk-Nya. Kita juga bisa melihat bahwa peristiwa menangis tercatat juga dalam Kitab Suci. Beberapa peristiwa Al Kitab juga ditandai dengan menangis, bahkan meratap. Mari kita lihat beberapa contohnya.

Dalam Perjanjian Lama dikisahkan Raja Daud menangis karena penyesalannya atas dosanya berselingkuh dengan Betsyeba. Beliau juga menangis dan meratap ketika anak hasil perselingkuhannya itu mati. Dalam Perjanjian Baru, kita membaca beberapa kali Yesus menangis. Antara lain saat sahabat-Nya Lazarus meninggal. Bahkan Yesus menangis sampai mengeluarkan air mata darah saat DIA berdoa di Taman Getsemani ketika menghadapi penderitaan-Nya.

Menangis merupakan hal yang lumrah, wajar, dan manusiawi. Kita mengalami perasaa lega saat selesai menangis. Tentu saja masalah yang kita hadapi tidak selesai dengan hanya memangis. Namun, paling tidak beban perasaan yang membukit sedikit bisa terkikis karena dihanyutkan oleh air mata. Dengan begitu sesudah menangis perasaan bisa lebih ringan dan kita berharap sesudahnya kita bisa menghadapi permasalahan kita dengan hati yang ringan dan pikiran yang dingin. Akhirnya kita bisa menganalisis masalah dengan lebih baik dan tidak emosional.

Jadi saudara-saudari, menagislah kala Anda ingin menangis. Biarlah air mata menghanyutkan beban yang mencekung pundak melalui sedu sedan dan melepaskan rasa yang mendesak sesak melalui isak dan air mata.

O, ya sadar tidak Saudara-Saudari bahwa presidaen kita yang terhormat, Bapak Susilo Bambang Yudoyono alias SBY itu sering sekali menangis. Saya tidak tahu kategori menangis beliau termasuk yang mana. Saya juga jadi terharu karena persiden saya suka menangis. O, Pak SBY mengapa engkau selalu menangis? Apakah itu salah satu kompetensimu untuk membawa negeri ini keluar dari aneka masalah?
Nota:
Pesan khusus untuk Metta, anakku. Tidak usah malu untuk menangis meskipun kamu bukan gadis kecil lagi.

Sabtu, 23 Oktober 2010

PENGHARGAAN

Kita mengetahui, mendengar, memahami, dan juga sering memakai kata PENGHARGAAN. Kata ini merupakan kata berimbuhan yang menyatakan kata benda. ‘Penghargaan’ bermakna sesuatu yang diberikan untuk menghargai seseorang. Penghargaan itu bisa berupa kata-kata pujian juga bisa merupakan barang. Penghargaan diberikan kepada orang yang dianggap layak untuk mendapatkannya dengan kriteria tertentu. Orang yang mendapat penghargaan itu berarti dianggap berharga di depan / bagi orang yang memberikan penghargaan tersebut.

Bagaimana seseorang bisa dianggap berharga dan layak mendapat penghargaan? Jelas, hal itu ada batasan, ada kriteria yang harus dipenuhi sehingga seseorang layak mendapatkan penghargaan. Biasanya kriteria itu umum ada di masyarakat, semisal:orang yang mempunyai karya yang baik, orang yang mempunyai jasa di lingkungannya, orang yang patut diteladani, biasanya orang tersebut bermoral baik, dan tentunya orang ini bisa menjadi inspirasi bagi orang di sekitarnya. Begitu baisanya kriteria umum yang diterapkan pada orang yang layak mendapat penghargaan.

Perlu kita sadari bahwa semua orang sebetulnya berharga. Dapat atau tidak dapat penghargaan, kita tetap berharga. Penghargaan yang diberikan pada seseorang hanya berupa hal yang sifatnya duniawi belaka. Meskipun tak bisa dipungkiri bahwa hal itu bisa mempengaruhi juga hal yang mentali. Namun, baiklah kita memahami bahwa terkadang penghargaan yang diberikan manusia belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Dalam keseharian kita pernah melihat penghargaan yang diberikan pada seseorang sepertinya tidak sesuai dan mengada-ada.

Melihat hal itu, kita biasanya bereaksi dengan cepat. Kita lantas mempertanyakan mengapa hal itu bisa terjadi. Kita berpendapat bahwa penghargaan sepertinya tidak diberikan kepada orang yang tepat. Ada yang lebih tepat dan lebih layak mendapatkan penghargaan tersebut. Begitu biasanya kita bereaksi. Kita melihat dari sudut pandang dan pendapat kita. Kita menilai layak dan tidaknya menurut kriteria kita sendiri. Sementara orang lain juga mempunyai pandangan dan juga kriterianya.

Penghargaan bukanlah satu-satunya tujuan utama kita dalam hidup. Penghargaan boleh dikatakan sebagai suatu bonus yang kita peroleh dalam hidup kita. Kita bekerja untuk keluarga tidak mencari penghargaan dari anak atau pasangan kita. Kita bekerja dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab di tempat kerja juga bukan untuk mendapatkan penghargaan. Kalau kita bekerja dengan baik, itu karena memang sudah seharusnya. Kalau kita bekerja sempurna, itu karena kita memang orang yang berkualitas. Kita mempunyai kepribadian yang baik dan moral yang baik. Karena itulah kita melakukan kewajiban kita dengan baik pula.

Sebetulnya tanpa penghargaan kita juga sudah berharga karena kita diciptakan oleh Sang Pencipta sesuai dengan citra-Nya. Karena kita berharga, maka kita juga menghargai diri sendiri juga orang lain. Sebagai pribadi yang berharga maka kita harus tetap bersemangat dan bergembira dalam hidup kita karena seperti apa yang tertulis: Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang (Amsal 17:22).

Karena itu maka marilah kita tetap menyalakan semangat kita untuk menjadi pribadi yang berharga meskipun kita tak mendapatkan penghargaan. Dan bagi orang-orang yang mendapatkan penghargaan, hendaknya tetap menjaga diri agar kita pantas menerima penghargaan itu dan tentunya mampu lebih mengembangkan diri atau minimal tetap mempertahankan kualitas diri yang sudah ada. Selamat kepada Anda yang mendapat penghargaan. Kepada yang tidak mendapat penghargaan (seperti saya) ayo kita bekerja dan belajar agar kita selalu berharga di mata Tuhan dan di mata sesama.

Sanur BSD
Medio oktober 2010

Senin, 27 September 2010

SAAT AKU MENYADARI….

Aku sudah lama tahu bahwa tubuh adalah Bait Allah. Hal itu hanya pengetahuan belaka yang kuamini tanpa aku menyadainya. Aku menyadari bahwa tubuh adalah Bait Allah setelah aku berusia 46 tahun, tepatnya saat aku terbaring tak berdaya di bed rumah sakit bersalin. Saat itu aku baru selesai dioprasi Caesar untuk kelahiran anakku yang ke-3. Untuk hal mendapatkan anak ke-3 sudah kubagikan pada sharing sebelumnya.

Sebelum oprasi aku menjalani serangkaian pemeriksaan lab dan tindakan medis lain yang harus ‘melukai’ bagian badan, seperti menyuntik, memasukkan jarum, memasang infus, dll. Tentunya tindakan itu bukan tindakan yang membuat nyaman. Mungkin aku ini sejenis orang yang takut rumah sakit dengan segala peralatannya.

Tindakan praoprasi itu membuat nervos dan tentu saja sakit, terutama saat penyuntikan obat bius di tulang punggung. Betapa menderitanya: dengan perut besar harus duduk melengkung ke depan dengan memeluk bantal dan sang dokter anestesi dengan sangat profesionalnya memasukan cairan bius itu di tulang punggung. Beliau berpesan: jangan bergerak dan jangan batuk.

Gilaaaa!!! Sakitnya bukan main. Suster di depanku adalah seorang anggota jemaat dari sebuah gereja yang baik. Beliau berkata dengan penuh keibuan dan suara yang menenangkan: Sebut nama Yesus. Beliau berada di depanku sambil memelukku dan memegang bantal yang kupeluk. Sungguh itu sangat membantu. Dan betul, saat jarum suntik yang berukuran poaaannjang itu mencoblos kulitku dan menerobos sela2 tulang punggungku, aku mendesiskan nama Yesus berkali-kali.

Dan saudara-saudari tahu apa yang terjadi sesudah itu? Kakiku kesemutan dan sangat baal. Baal itu merayap ke arah betis, paha, pantat, pinggang, dan perut. Aku dibaringkan di atas meja oprasi. Segeralah lampu sorot yang bentuknya seperti lampu di pesawat dalam film Startec dengan kekuatan seribuan watt itu menyala.

Dokter kandungan bertanya mau disetelkan music apa. Lantas dia bilang karena saya orang Sunda yang tinggal lama di Jogya dan menikah dengan orang Jawa, maka Sang dokter menyetelkan lagu manuk cucakrowo. Manuke-manuke cucakrowo, cucakrowo dawa buntute….

Bayangkan Saudara aku yang nervos karena ini pengalaman pertamaku dioprasi, tak bisa berbuat apa2. Mau mematikan lagu itu dan mengantinya dengan lagu George Groban? Aku yakin mereka tak punya lagu itu. Selain itu aku sudah tak bisa bergerak.


Segeralah tim medis lain memasang tirai untuk menghalangi pemandanganku dari perutku yang akan dioprasi. Sang dokter anestesi ada di samping kananku dan memegang pundakku. Tanganku sudah mereka ikat. Takut aku berontak mungkin. Aku seperti kambing yang dibawa ke pembantaian: tak berdaya. Sang dokter mulai menmegang pundakku. Menepuknya, kemudian mencubitnya. Dan bertanya: sakit? Ya . Aku jawab. Ini namanya sakit kalau dicubit. Lalu ia berpindah menuju perutku yang terpisahkan tirai tadi. Mulai dia mencubiti perutku dan pinggangku. Tentu saja aku tak merasakan sakit. Dia mengguncang2 perutku. Dia Tanya lagi apakah terasa goncangannya. Aku bilang: ya. Dia berkata bahwa selama oprasi berlangsung aku akan sadar dan merasakan goncangan di perut tapi tidak merasa sakit. Aku hanya mengangguk.

Di sebelah kiriku ada monitor yang mendeteksi tekanan darah dan detak jantungku. Aku melihat detak jantungku agak cepat. Saat itu berada di angka 120. Lantas dokter anestesi berkata setengah berbisik: tenang jangan takut. Kalo takut bisa berdoa. Aku mengangguk lagi. Dengan dipandu dokter anestesi aku menghela nafas panjang untuk menenangkan detak jantungku. Akhirnya sesudah nafas panjang beberapa kali, detaknya normal kembali.

Mulailah tim bedah bekerja sama: dokter kandungan, dr anestesi, bidan, perwat 5 orang. Mereka tak henti berbicara ini itu. Dan jangan lupa musik pengiring terus mengalun: ne digoyang ser-ser, aduh enake…

Detik demi detik berlalu. Mulai aku merasakan perutku dibersihkan dengan kapas beralkohol karena aku mencium baunya. Aromanya menyengat. Perutku seperti papan rasanya. Dokter mulai memakai sarung tangan. Mereka mulai mengambil peralatan rupanya. Aku tak melihat peralatan itu. Untung aku tak lihat. Kalo lihat aku pasti shock.

Aku merasakan perutku berguncang-guncang. Tiba-tiba aku melihat ada kepulan asap tipis berasal dari perutku yang ditutup tirai itu. Aku juga mencium aroma daging terbakar. Gile!!!! Perutku mulai dibedah dengan laser. Aku melihat ada tetesan darah sedikit pada sarung tangan dokter yang terangkat sedikit ke atas. Aku penasaran. Mulailah aku iseng ingin melihat apa yang terjadi di balik tirai itu. Suster jemaat yang baik tadi melarangku untuk melongokkan kepalaku ke sana. Ya sudah, aku hanya bisa menebak apa yang sedang dilakukan pada perutku.

Kemudian aku merasakan perutku berguncang lebih heboh. Rupanya mereka mulai mengeluarkan si jabang bayi. Tapi kok agak lama ya…
Rupanya bayiku mencolot sana-sini sehingga merepotkan tim medis untuk menangkap dan mengeluarkannya. Aku mendengar mereka ricuh memberikan komentar dan sang dokter kandungan segera mengeluarkan bayi itu. Nah, segera perawat berlari mengambil lampin dan membungkus bayi merah berlapiskan lendir dan darah itu. Ia menunjukkannya sebentar ke rahku. Aku takjub. Aku hanya terpana dan sedikit senyum di bibir. Lupa, sebaiknya aku harus tersenyum lebar. Tapi… karena aku terpesona jadi aku bengong.

Sesudah itu suster kembali membawa jabang bayi ke ruang lain untuk membersihkannya. Segeralah aku mendengar tangisan melengking dari ruang sebelah. Wow…. Itu tangisan dia, si jabang bayi, anakku. Dia menangis keras. Tangisan pertamanya di dunia. Hirupan pertamanya pada udara dunia yang akan menjadi tempat ia hidup sekian lama waktunya. Aku benar-benar takjub atas kelahiran ini. Aku juga takjub atas 2 kelahiranku yang lain yang sudah lupa rasanya seperti apa.

Sambil berbaring terlintas sedikit kelahiran anakku, Metta: aku merasakan jabang bayi sudah di liang vagina sementara susternya masih menyiapkan peralatan. Aku memanggilnya, malah suster itu bilang: tenang, Bu, masih lama. Aku teriak: Suster, ini udah mau ke luar! Suster itu segera melihat dan benar kepalanya sudah nongol. Baru dia panik. Segeralahdia memanggil temannya dan dokter kandungan… Nah,lo! Siapa yang mau melairkan? Kan aku yang merasakan…

Kelahiran anak lanangku, Aga, lebih heboh karena terasa dari jam setengah sepuluh pagi keluar-keluar jam 12 malam. Untuk menunggu pembukaan sempurna aku membaca novel karya V. Lerstari yang berjudul: Misteri Gaun Merah. Itu novel dibawa suamiku dari penulisnya sendiri. Dokternya sampe heran: ini ibu mau melahirkan ato pindah baca novel. Dan Aga itu keluar jam 12.00, malam Jumat kliwon, tanggal satu suro!! Nah, ampuh tenan untuk jadi dukun!!!

Sementara aku melamun ke masa lalu, bayiku sudah selesai dibersihkan. Suster menunjukkannya lagi padaku dan membawanya ke tempat perawatan bayi. Tim medis mulai merawatku: membersihkan bagian dalam perutku, menjahit bekas pembedahan tadi, membersihkan kotoran pascaoprasi tadi. Selama mereka melakukan tindakan pascaoprasi kantuk pun mulai mnyerangku. Rasanya mengantuuuuk sekali.

Lima jam kemudian, aku baru bisa merasakan kembali bagian tubuhku yang tadi baal. Berawal dari kaki. Mulailah aku gerakkan sedikit-sedikit. Rasanya sangat-sangat tidak nyaman. Dan aku tak boleh minum dulu, kecuali untuk memasukkan obat satu tegukan saja.

Malam pertama setelah dioprasi terbaring dengan perasaan seluruh tubuh sakit, pegal, dan kaku. Tentunya tak bisa bergerak dengan leluasa karena daerah sekitar perut bekas oprasi terasa sakit dan kaku. Rasanya ingin duduk. Tapi belum boleh, apalagi berdiri. Pipis pun lewat kateter.


Hari kedua setelah oprasi baru boleh duduk pelan-pelan. Sesudah itu baru boleh turun, berdiri, dan jalan. Sungguh… rasanya ketika berdiri seluruh saraf berdenyut saking sakitnya. Lantas aku bandingkan dengan cara melahirkan normal. Lima jam pascakelahiran normal, dianjurkan untuk berdiri dan berjalan, serta ke belakang sendiri. Memang segala yang alami jauh lebih baik.

Namun, rasa sakit pascaoprasi itulah yang menyadarkanku tentang konsep bahwa tubuh adalah Bait Allah. Dalam denyut rasa sakitku, aku merasakan bahwa aku adalah mahluk yang berdaging selain berjiwa dan beroh. Rasa sakitku meyadarkanku akan betapa badan kedaginganku ini begitu ringkih dan fana.

Aku merasakan bagian pusat rasa sakitku yaitu pada daerah bekas oprasi yang masih diplester. Aku merasakan tiap saat dia berdenyut. Aku juga merasakan rasa panas dan denyar-denyar saraf yang mungkin sedang proses menyambung kembali. Meski tiap 2x sehari obat anti sakit dijejalkan lewat duburku dan juga segenggam butiran obat yang harus kuminum, tak mampu menawarkan dan menghilangkan rasa sakitku. Selain rasa sakit pada luka oprasi, juga rasa sakit di payudara karena jabang bayi belum menyedot asi dengan sempurna. Rasanya badanku meriang.

Ketika rasa sakit yang kurasakan dan tak bisa tidur itulah, saat aku menyadari betapa aku ini sangat lemah dan terbatas. Betapa tubuh ini sangat berarti. Terlebih kesadaran itu aku rasakan pada saat aku mulai merawat bekas oprasi sesampainya di rumah. Aku mulai memngoleskan ramuan oles tradisional yang disarankan ibuku dan ibu mertuaku (sebelum beliau tiada: semoga damai di sisi-Nya) yaitu: campuran air kapur sirih, air jeruk nipis, dan kayu putih. Semuanya dicampur dan dioleskan di sekitar perut dan pinggang. Selain hangat juga membuat jaringan kulit yang kisut jadi kencang dan mempercepat proses pengecilan rahim. Begitu menurut para pini sepuh. Ya… sudah aku ikuti karean aku anak yang baik. Dan… memang aku merasakan khasiatnya.

Nah, saat oles mengoles, pijat memijat, dan elus mengelus bagian perut dan pinggang itulah aku menghayati bahwa tubuh itu Bait Allah. Aku melihat proses luka bekas oprasi mengering, merasakan setiap denyar saraf, mengecilnya rahim, dan mengempesnya perut. Dalam ketelajanjanganku aku melihat bahwa aku dipercaya menjadi seorang perempuan. Aku punya rahim.
Aku dianugrahi untuk merasakan pengalaman semua: Hamil, melahirkan, mempunyai anak!!! Itu luar biasa!!!

Saat seperti ini aku sering memikirkan betapa banyak perempuan di dunia ini. Namun, berapa banyakkah yang menyadari bahwa dirinya sebagai perempuan itu sungguh luar biasa. Bahkan ada beberapa perempuan yang entah karena terpaksa atau karena keinginan dagingnya melecehkan tubuhnya. Aku melihat betapa organ tubuh perempuan yang satu itu bisa dijadikan berkat kehidupan sekaligus untuk jatuh ke dalam lubang dosa. Betapa banyak perempuan yang tak menyadarinya. Beberapa hanya menganggap tubuh ya… sudah memang tubuh. Dari sononya emang begitu. Hakku untuk melakukan apa pun terhadap tubuhku sendiri. Mau begadang, diet terlalu ketat, makan sesuka hati, mendandaninya, menyakitinya, menjualnya, menyewakannya, atau apalah yang dilakukan (hal buruk) oleh perempuan terhadap tubuhnya. Terkadang kita tak menyadari bahwa tubuh ini berasal dari Allah tempat roh berada. Tanpa tubuh, roh tak mungkin berdiam. Tubuh adalah rumah bagi roh.

Berbaring di meja oprasi, merintih karena rasa sakit luka oprasi, merawat tubuh selama masa nifas, semua itu membuat aku bersyukur atas tubuh ini. Ini adalah tubuh yang pas untuk rohku berdiam. Aku berusaha untuk merawatnya dengan baik. Aku tak boleh lagi sembarangan menggunakan tubuh ini dengan: kerja yang tak tahu waktu, makan yang tak beraturan, pola makan salah, berpakaian yang tak pantas, menyakiti diri sendiri. Selain itu juga aku belajar menghargai orang lain yang juga punya tubuh dan roh.

Begitu besar kasih karunia-Nya melalui kehamilan dan kelahiran ini. Selain berkat indah berupa seorang anak, juga penyadaran diri akan nilai-nilai hidup yang selama ini aku tak menyadarinya atau tak mengindahkannya. Terima kasih Tuhan untuk segala hal yang telah terjadi. Terpujilah Allah dengan segala keagungan-Nya.

(Teh Nung yang mengetik sambil menunggu bayinya yang sedang tidur)

Jumat, 10 September 2010

LIBURAN TELAH USAI

Sudah setahun aku terbiasa dengan ketakberadaannya secara fisik di rumah ini, ternyata ketika ia kembali ke rumah ini suasana berubah menjadi kembali ramai dan heboh. Rumah terasa lebih ribut dan sibuk. Ada saja bahan pembicaraan dari hal-hal sepele hingga hal-hal menyangkut kehidupan dan masa depannya.
Sebulan ia berada di rumah ini untuk berlibur (libur musim panas). Waktu sebulan begitu cepat berlalu, ternyata sudah tiba saatnya untuk dia kembali ke kampusnya, ke asramanya, kepada teman-temannya, ke kehidupan nyata dia yang sedang dijalaninya.
Kembali ia meninggalkan rumah ini dengan doa seluruh keluarga, dengan air mata, dengan seribu pesan, dan juga harapan. Dan hatiku masih sama : gundah dan berdarah ketika ia kembali harus meninggalkan rumah ini. Meski setahun aku sudah merasakan dan membiasakan diri untuk menyadari ketakberadaannya secara fisik di rumah ini, tetap saja aku belum terbiasa dengan kepergiannya kembali. Barangkali akan terus seperti itu.
Kala aku mengingat masa dia bocah, aku memeluk, menggendong, dan memilikinya.
Kini di tanganku sekarang ada juga orok lain yang aku peluk dan aku dekap seperti aku mendejap dan memeluknya.
Ketika aku memandang dia yang sudah tumbuh menjadi gadis berusia 19 tahun, aku tetap merasakan kasih yang mengalir dari hatiku seperti kala dia masih orok. Dengan telaten ia mengasuh adik bayinya. Setiap ada kesempatan dia akan mencium pipi montok adik bayinya dengan penuh kegemasan. Setiap saat adiknya mengencinginya, ia akan tetap berteriak. Hingga kembali ia kembali ke asramanya, ia tetap tak berani untuk membersihkan adik bayinya saat berak.
Itulah anak perempuanku, Metta, yang baru pulang berlibur dan sekarang sudah kembali ke kehidupan kampusnya yang jauh dari bau ompol dan bau bedak adiknya. Aku yakin ia akan merindukan bau khas dari adik bayinya : yaitu perpaduan antara bau minyak telon, bedak, shampoo bayi, bau asam susu, dan bau ompolnya. Itu adalah bau yang khas yang sukar ditemukan. Bau itu yang membawa dia akan selalu merindukan adik bayinya. Demikian juga hawa dan debu rumah kmi yang mungil akan tetap ia rindukan sehingga ia akan selalu pulang entah seberapa jauh ia pergi merantau.
Dan aku, ibunya, akan tetap merindukannya dari waktu ke waktu. Menunggu lagi kapan liburan akan terjadi dan dia bisa kembali pulang ke rumah ini dengan sejuta cerita yang mengisahkan hidupnya di luar sana. Aku selalu bangga menjadi ibunya. Aku selalu yakin bekal yang aku berikan selama ini cukup untuk melalui sejuta tantangan dalam hidupnya. Doa yang aku daraskan tak pernah putus akan terus menghubungkan aku, dia, dan juga Sang Pencipta. Aku tahu dari ceritanya tantangan macam apa yang dia hadapi. Aku akan lagi mengalami perasaan ditinggalkan oleh anakku yang kedua ketika tiba waktunya untuk mengembara di luar sana mendapatkan hidup yang sudah digariskan Ilahi. Demikian juga dengan anakku yang ketiga yang sekarang masih bayi berusia 52 hari. Suatu hari nanti dia akan juga pergi meninggalkan rumah untuk merenda hidupnya. Begitulah hidup, segalanya terus berubah dari waktu ke waktu. Tak ada yang abadi.

Lebaran ke-2 (11 September 2010)

Selasa, 03 Agustus 2010

DIA DATANG DI USIA SENJAKU

Ch. Enung Martina


Pembaca pasti kenal Sarah atau Sarai. Dia adalah istri Abraham. Kita mengenalnya dalam kisah Perjanjian lama. Pasutri Abraham-Sarah sudah lama menantikan keturunan dalam perkawinan mereka. Bagi mereka, anak sangat penting karena budaya pada masa itu menuntut hal itu dan juga untuk pembuktian janji Allah yang akan menjadikan Abraham mempunyai keturunan sebanyak bintang-bintang di langit dan pasir-pasir di pantai .

Allah memberikannya pada saat mereka sudah berusia tua, yang sepertinya tak mungkin lagi mempunyai keturunan kalau dilihat dari kaca mata manusia. Namun, dari kaca mata Allah berbeda. Dia menyatakan kepada kita semua bahwa janji-Nya pasti terjadi dan tak ada sesuatu yang mustahil bagi-Nya. Saat mempunyai anak, Abraham berusia lebih kurang 100 tahun pada saat Ishak lahir dan sarah dikatakan dalam perjanjian Lama, ia telah mati haid.. Memang bukan usia yang lazim untuk mempunyai anak.

Pada zaman kita hidup sekarang ini, pasutri yang berusia seperti mereka yang diberi keturunan sepertinya tidak ada. Usia seperti itu, manusia zaman sekarang sudah sangat jarang atau bahkan sudah berpulang ke Rahamatullah.

Kisah kehamilan di usia senja seperti kisah Abraham-Sarah memang masih ada meski usia tak setua meraka. Dan salah satunya yang dipercaya untuk melakoninya adalah saya. Tentunya dengan suami tercinta, Bob. Usia saya 46 tahun dan suami 55 tahun. Usia kami memang tidak setua Abraham-Sarah, tetapi usia kami juga tak lazim lagi untuk memperoleh anak di masa sekarang.

Bagi diri saya terutama, kehamilan ini merupakan tugas dari-Nya yang tidak mudah. Bisa dikatakan berat. Namun, saya tahu saya yang terpilih. Saya bangga karena mendapat kepercayaan ini. Awalnya saya bertanya : apakah saya layak untuk mendapatkan kepercayaan ini? Mengapa roh yang menjelma menjadi daging ini memilih hidup di rahim saya? Mengapa ia memilih saya sebagai ibunya? Mengapa ia memilih waktunmya sekarang pada saat kami di usia senja? Mengapa ia tidak hadir pada saat usia kami (khususnya saya) normal untuk melahirkan? Dan ada banyak ‘mengapa’ yang lain yang muncul pada kepala saya.

Jawaban dari pertanyaan yang bertubi-tubi itu hadir dari seorang perempuan Muslimah, bernama Ibu Kemi, salah satu pegawai tata usaha di SMA santa Ursula BSD. Dia berkata: Kun fayakun. Kira-kira arti menurut terjemahan bebasnya adalah.; maka jadilah apa yang dikehendaki-Nya. Ya! Itu adalah jawaban dari segudang mengapa yang ada pada saya.

Kisah kehamilanku ini baru kusadari betul pada saat Pekan Suci 2010, tepatnya Kamis Putih. Sebelunya saya menyangka saya mengalami gejala menjelang pra menopose. Hari itulah hari saya memastikan pada dokter. Takjub dan terkejut mendengar berita suakcita itu.

Saya membawa berita sukacita itu kepada keluarga, saudara, dan teman-teman. Ada banyak reaksi ketika berita itu sampai pada pendengarnya. Anak laki-lakiku terbengong-bengong tak percaya karena pada usianya yang ke-16 akan mempunyai adik baru. Berarti kebungsuannya akan berakhir. Anak perempuanku yang berada jauh dari rumah dan berusia 19 tahun kontan terpekik dan juga terbengong bahwa ibunya yang sudah tua ini hamil lagi. Tak kalah kehebohan terjadi pada teman-teman kantor dan juga gereja. Ada yang terharu dan menitikkan air mata, ada yang spontan memelukku dan menciumku, ada yang terdiam dan terpana, ada yang tertawa tak henti (apakah menertawakan seperti reaksi Sarah yang juga tertawa mendengar berita bahwa dirinya akan hamil?), ada yang menyindir, ada yang berkoar-koar jangan sampai kehamilan seperti ini terjadi pada dirinya dan pada yang lain, dan bahkan ada yang mengatakan: ini sudah salib dan nasib saya, dan ada banyak reaksi lainnya.

Semua reaksi itu saya hayati sebagai ungkapan syukur teman-teman juga seperti layaknya saya bersyukur atas pemberian ini. Juga sebagai bentuk perhatian dari mereka. Dari semua itu saya belajar untuk selalu siap menerima aneka reaksi dari berbagai orang, baik yang mendukung atau pun tidak. Sungguh semuanya menjadi hal yang menarik yang layak saya renungkan.

Tinggal penantian panjangku untuk menunggu ia lahir di dunia ini. Setiap saat saya betul-betul menikmatinya. Setiap reaksi dan perubahan tubuhku: badan yang melar, perut yang membuncit, kulit yang meregang, kaki yang membengkak, rasa pegal, dan aneka rasa tak nyaman lainnya. Saya menikmatinya karena ini adalah pengalaman langka yang tidak terjadi pada setiap orang. Demikian juga bentuk perhatian dari orang-orang di sekitarku. Semuanya saya nikmati dan saya syukuri.

Dalam penghayatanku ini muncul rasa penasaranku: akan menjadi apakah anak ini kelak? Apa rencana-Nya untuk anak ini? Semuanya menjadi sebuah misteri yang akan terkuak dalam serangkaian perjalanan panjang dan waktu yang akan terus berlalu. Kehadirannya dalam rahimku juga misteri. Sebelumnya saya sudah merencanakan ikut ziarah Eropa pada september 2010 bersama teman-teman dari St. Ursula BSD. Kami sudah mulai menabung sejak Januari 2008. Memang dokter berkata saya tak apa-apa pergi. Tadinya saya mau nekad pergi. Namun, saya memutuskan untuk tak pergi karena pada saat ziarah itu berlangsung, umur anak saya baru 1 bulan di luar. Menyesal tak pergi? Jujur, ya sih. Kapan lagi saya bisa pergi ziarah ke Eropa kalau bukan bersama teman-teman seyayasan. Alasannya karena harga ziarah di luar sana mahal. Kami kan mendapat subsidi dari yayasan kami. Harga sangat miring. Dicari di mana pun pasti tak akan ada.

Karena saya berusaha untuk melihat bahwa semua yang dirancang-Nya pasti sesuatu yang baik dan bukan kebinasaan, maka saya rela untuk tidak pergi ikut ziarah Eropa. Tuhan memberikan yang sangat berharga pada saya yaitu kehadiran anak laki-laki dalam rahimku ini.

Akhirnya semua peristiwa yang saya alami selama kehamilan ini membawa saya kepada permenungan bahwa : Hidup ini memang misteri. Rancangan-Nya ada di atas rancangan manusia. Tak ada yang mustahil bagi Allah. Selain itu permenungan saya juga membawa kepada beberapa pertanyaan reflektif: Apakah saya mendasarkan semua hidup saya pada kehendak-Nya atau kehendak saya? Sudahkah saya melewatkan hidup kita ini dengan sedikit memberi makna di dalamnya? Adakah saya memberinya arti dengan melakukan hal-hal baik tanpa pamrih? Sudahkah saya melaksanakan kewajiban saya dengan iklas? Adakah saya menahan keluhan sebatas tenggorokan saja agar tidak membuat segalanya menjadi negatif? Sudahkah saya menjadi pendukung untuk orang-orang di sekitar saya dan bukan menjadi penghalang? Apakah perkataan saya yang keluar sudah terkontrol dengan baik sehingga tidak menyinggung orang lain? Mampukah saya memahami orang lain dan bukan orang lain yang harus memahami saya? Bisakah saya memberi maaf dan pengampunan pada diri saya sendiri atas suatu kesalahan yang saya lakukan pada orang lain atau juga kebalikannya?

Kehamilan di usia senja membuat saya lebih banyak melihat dan merasa dengan batin. Hal ini tentunya membuat saya menjadi lebih banyak merenungkan hal yang dilihat dan dialami. Perubahan fisik pada kehamilan ini meyadarkan bahwa saya memang mahluk kedagingan yang benar-benar merasakan berbagai gejala kehamilan. Saya menikmati denyut jantungnya, gerak-gerak halus, hingga gerak-gerak yang kadang terasa menyakitkan. Saya juga menyadari bahwa saya ini mahluk yang mempunyai jiwa dan perasaan sehingga nyata merasakan suka-duka dan aneka rasa lain.

Saya sudah lupa semua gejala kehamilan dan juga perubahan pada saat kehamilan karena waktu 16 tahun lebih adalah waktu yang sudah berlalu begitu lama. Sekarang semua nyata kembali hadir dalam hidup saya. Semua pengalaman ini terangkum dalam ungkapan doa yang dipanjatkan dari hari ke hari. Sungguh ajaiblah perbuatan tangan-Nya. Terpujilah Allah sepanjang segala masa. Saya berharap untuk kesehatan, rejeki, juga perjalanan hidup di masa sekarang dan masa depan yang lebih baik. AMIN.

Sabtu, 19 Juni 2010

Catatan untuk anak Lanangku

ULTAH AGA KE -16 (10 Juni 2010)

Satu tahun lagi bertambah umurmu. Setahun lalu aku membuat puisi untukmu. Untuk tahun ini aku membuat catatan saja. Mungkin ini sekedar ungkapan hati atau rasan-rasanan seorang seorang ibu yang tak merasa cukup baik untuk menjadi orang tuamu, ibumu. Ada banyak waktu dalam setahun ini yang tak bisa kita lewatkan bersama. Hanya sedikit waktu yang bisa kita nikmati bersama secara intensif karena kita punya aktivitas yang berbeda dalam waktu yang sama.

Kita menikmati kebersamaan kita dalam satu atap di rumah kita yang mungil. Kamu bermain bass atau berotak-atik di depan komputer, sementara aku mengerjakan ini itu, atau aku sekedar berbaring untuk menikmati suasana rumah.

Aku menikmati ritual membuat teh manis panas dan kamu menikmati ritual untuk meyeruputnya dengan bunyi yang khas. Ada peristiwa yang kita nikmati dalam diam kita. Ada juga saat yang kita lewati dalam letupan tawa kita. Namun, ada waktu yang kita lewati dalam sendu kita. Peristiwa suka dan bahagia kita rasakan, juga peristiwa sedih yang kita alami, kita teguhkan dengan pelukan erat. Dulu waktu kamu kecil , aku yang memluk tubuh ringkihmu. Sekarang kamu lebih tinggi dan dadamu telah bidang, giliran kamu yang memelukku.

Enam belas tehun waktu sudah berlalu dalam hidupmu. Dari anak laki-laki kecil tumbuh menjadi pemuda kuat yang sigap melindungiku kala kita menyebrang jalan. Dulu aku menuntunmu bila melewati tangga jembatan penyebrangan, sekarang kamu yang menuntunmu melalui tanngga-tangga itu.Dulu aku yang bilang: hati-hati, ga. Sekarang giliranmu yang mengatakan: hati-hati, Bu. Semuanya kita lewatkan dalam detik-detik waktu yang tetap ajeg dalam lajunya.

Ke manakah hari-hari kita bermain di lapangan, bermain petak umpet, bermain plastisin, main lego, dan aneka mainan lain. Waktu-waktu aku cemas menunggumu bermain sepeda ke tempat yang gak jauh dari rumah berganti dengan waktu-waktu menunggumu pulang sehabis les, latihan ini-itu, atau kamu nonton jajan jazz.
Aku permah merasa takut kamu tak pulang ke rumah ketika anjing kita hilang. Aku merasa seolah dunia akan berakhir hari itu.

Semua peristiwa membuat kamu tumbuh menjadi dewasa dan bertemu dengan jati dirimu. Ada luka yang tertoreh sengaja atau tidak dalam perjalananmu. Tapi seperti yang pernah aku bilang: Luka itu akan mengering dan menjadi penguat pribadimu yang akan bertambah alot dan tak lekang didera tantangan yang kamu hadapi.

Maafkan Ibu bila dalam perjalanan kita, sempat menorehkan luka. Tak sengaja itu pasti. Tapi aku tahu dengan pasti bahwa itu bukan tujuan. Itu adalah dampak yang disebabkan oleh cara yang salah ketika memebrikan pendidikan atau ajaran. Tujuan utamaku adalah membawamu siap menghadapi berbagai hal yang kadang tak terduga dalam hidup ini.

Untaian doa yang itu-itu lagi aku ulang dan aku daraskan ribuan kali hanya untuk memastikan bahwa DIA tetap melindungimu dalam setiap situasi. Aku juga hanya memastikan bahwwa malaikat pelindungmu tidak meleng dan lalai akan tugasnya melindungimu.

Aku ucapkan: SELAMAT ULANG TAHUN ke-16. Tetaplah jadi dirimu sendiri dengan berbagai kelebihan dan keunikanmu.

Salam sayang
Dari IBU

Selasa, 25 Mei 2010

Tentang Kecerdasan Anak

KECERDASAN GANDA dalam DIRI ANAK

1.Kecerdasan Linguistik (word smart)
Merupakan kecerdasan berbahasa yang dimiliki oleh setiap orang yang tentunya berbeda kadarnya untuk setiap orang. Ada pun cirri-ciri kecerdasan ini adalah:
a.suka menulis kreatif
b.mengarang kisah khayal atau menuturkan lelucon dan cerita
c.sangat hafal nama, tempat, tanggal, dan hal-hal kecil
d.menikmati membaca buku di waktu senggang
e.mengeja kata-kata dengan tepat dan mudah
f.menyukai pantun lucu dan permainan kata
g.suka mengisi teka-teki silang atau melakukan permainan kata seperti scrubble
h.menikmati mendengarkan kata-kata lisa (radio, dongeng lisan, cerita)
i.mempunyai kosa kata yang luas atau kaya dibandingkan anak seusianya
j.unggul dalam pelajaran sekolah yang melibatkan membaca atau menulis/mengarang


2.Kecerdasan Logis-Matematis (number smart)
Anak yang mempunyai kecerdasan dalam bidang ini adalah:
a.menghitung problem aritmetika – matematika dengan cepat di luar kepala
b.menikmati menggunakan bahasa computer atau program software komputer
c.sering mengajukan pertanyaan seperti: Di mana akhir alam semesta? Mengapa langit biru?
d.Mampu bermain catur atau menyukai permainan strategi lainnya
e.Menjelaskan masalah secara logis
f.Merancang eksperimen untuk menguji hal-hal yang tidak dimengerti
g.Menghabiskan banyak waktu untuk menghabiskan teka-teki logika
h.Suka menyusun sesuatu dalam kategori atau hirarki
i.Mudah memahami sebab akibat
j.Menikmati pelajaran matematika, IPA dan cenderung berprestasi tinggi

3.Kecerdasan Kinestetik – jasmani (body smart)
a.berprestasi dalam olah raga kompetitif di sekolah atau lingkungan rumah
b.bergerak-gerak ketika sedang duduk (tak bisa diam)
c.terlibat dalam kegiatan fisik seperti berenang, bersepeda, hiking, atau bermain
sepatu roda
d.menyentuh sesuatu/memegang sesuatu sebelum dipelajari
e.Meniklamti kegiatan fisik seperti: melompat, lari, atau kegiatan serupa
f.memperlihatkan keterampilan dalam bidang kerajinan tangan seperti kerajinan
kayu, menjahit, mengukir, atau memahat.
g.pandai menirukan gerakan, kebiasaan,, atau perilaku orang lain.
h.menikmati bekerja dengan tanah, melukis dengan jari, atau kegiatan kotor lainnya
i.sangat suka membongkar berbagai benda dan kemudian menyusunnya

4.Kecerdasan Spasial – Visual (picture smart)
a.menonjol dalam kelas seni di sekolah
b.memberikan gambaran visual yang jelas ketika sedang memikirkan sesuatu
mudah membaca peta, grafik, dan diagram
c.memberikan gambaran visual yang jelas ketika sedang memikirkan sesuatu
d.menggambar sosok orang atau benda yang persis aslinya
e.senang melihat film, slide, atau foto
f.menikmati melakukan teka-teki jigsaw, maze, atau kegiatan visual lain
g.sering melamun
h.membangun konstruksi 3 dimensi yang menarik (contoh: bangunan LEGO)
i.mencoret-coret di atas secarik kertas atau di buku tugas sekolah
j.lebih banyak memahami lewat gambar daripada lewat kata-kata ketika sedang
membaca

5.Kecerdasan Musikal (music samrt)
a.memainkan alat musik di rumah atau di sekolah sebagai anggota band atau
orkes
b.mengingat melodi lagu
c.berpartisipasi sangat bagus di kelas musik
d.lebih bisa belajar dengan iringan musik
e.memiliki koleksi CD atau kaset
f.bernyanyi untuk diri sendiri atau orang lain
g.bisa mengikuti irama musik
h.mempunyai suara yang bagus untuk bernyanyi
i.peka terhadap suara-suara di lingkungannya
j.memberikan reaksi yang kuat terhadap berbagai jenis musik

6.Kecerdasan Anatarpribadi-Interpersonal (people smart)
a. mempunyai banyak teman
b. banyak bersosialisasi di sekolah atau di lingkungan tempat tinggal
c. tampak sangat mengenal lingkungannya
d. terlibat dalam kegiatan kelompok di luar jam sekolah
e. berperan sebagai ‘penengah keluarga’ ketika terjadi pertikaian
f. menikmati permainan kelompok
g. berempati terhadap perasaan orang lain
h. dicari sebagai ‘penasihat’ atau ‘pemecah masalah’ oleh teman-temannya
i. menikmati ketika mengajari orang lain
j. tampak mempunyai bakat pemimpin

7. Kecerdasan Intrapribadi – Intrapersonal (self smart)
a. memperlihatkan sikap independen atau kemauan yang kuat
b. bersikap realistis terhadap kekuatan dan kelemahannya
c. memberikan reaksi keras ketika membahas topik-topik kontroversial
d. bekerja atau belajar seorang diri dengan baik
e. mempunyai rasa percaya diri
f. mempunyai pandangan hidup yang lain daripada pandangan umum
g. belajar dari kesalahan masa lalu
h. dengan tepat mengekspresikan perasaannya
i. terarah pada pencapaian tujuan
j. terlibat dalam hobi atau proyek yang dikerjakan sendiri

8.Kecerdasan Naturalis (nature smart)
a.akrab dengan hewan peliharaan
b.menikmati berjalan-jalan di alam terbuka atau ke kebun binatang atau museum
sejarah alam
c.menunjukkan kepekaan terhadap bentuk-bentuk alam (misalnya: gunung, awan,
atau jika berada di dalam kepekaan terhadap bentuk-bentuk budaya populer,
seperti misalnya sepatu kanvas, sampul CD, model mobil dan sebagainya)
d.suka berkebun atau berada dekat kebun
e.menghabiskan waktu di dekat akuarium, terarium, atau sistem kehidupan yang
lain.
f.memperlihatkan kesadaran ekologis (misalnya daur ulang)
g.yakin bahwa binatang mempunyai hak tersendiri
h.mencatat fenomena alam yang melibatkan hewan, tanaman, dan ha-hal sejenis,
misalnya: mempunyai foto, buku harian, gambar, koleksi, dll
i.membawa pulang serangga, bunga, daun, atau benda-benda alam lain untuk
diperlihatkan kepada anggota keluarga lain.
j.memperlihatkan pemahaman yang mendalam di sekolah dalam topik-topik yang
melibatkan sistem kehidupan (misalnya: topik biologi, topik lingkungan hidup)

( disarikan dari berbagai sumber oleh Enung Martina)

Minggu, 02 Mei 2010

CATATAN TENTANG YERUSALEM BAGIAN II

YERUSALEM 2
Mitologi tidak pernah dibuat untuk mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang secara historis bisa diverifikasi bahwa ia benar-benar terjadi. Ia merupakan upaya untuk mengekspresikan signifikasi batin atau untuk memberikan perhatian pada realitas-realitas yang terlalu eksklusif untuk didiskusikan dalam cara yang secara logis koheren.

Mitologi didefinisikan sebagai bentuk kuno dari psikologi karena ia mendeskripsikan jangkauan-jangkauan batin diri yang begitu misterius tapi mempesona untuk kita. Dengan demikian mitos tentang geografis sakral mengekspresikan kebenaran-kebenaran mengenai kehidupan batin. Mereka menyentuh sumber-sumber yang sulit diketahui dari kesakitan dan hasrat manusia. Dengan demikian dapat membangkitkan emosi-emosi yang kuat.

Persoalan Jerusalem mudah meledak karena kata itu telah memperoleh status mistis. Masa kini, orang-orang dari kedua belah pihak yang berkonflik tentang jerusalem (dalam komunitas internasional) sering menyerukan perdebatan yang rasional mengenai hak-hak dan kedaulatan, yang bebas dari semua friksi emosi.

Namun, tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa kita harus mengesampingkan kebutuhan kita akan mitologi. Di masa lalu orang sering berusaha untuk menghapuskan mitos dari agama. Para nabi dan reformis Israel kuno, misalnya sangat mudah untuk memisahkan iman mereka dengan mitologi orang Kanaan asli. Namun, mereka tidak berhasil. Cerita-cerita dan legenda lama muncul lagi dengan kuat dalam mistisme Kabbalah. Suatu proses yang dilukiskan sebagai kemenangan mitos atas bentuk-bentuk agama yang lebih rasional. Dalam sejarah Jerusalem, kita akan melihat bahwa orang secara naluriah berpaling terhadap pada mitos ketika kehidupan mereka sangat terganggu dan mereka tidak dapat menemukan pelipur lara dalam ideologi yamg lebih rasional.

Kadang-kadang peristiwa luar tampaknya sangat sempurna mengekspresikan realitas batin sehingga peristiwa-peristiwa tersebut cepat memperoleh status sebagai mitos dan mengilhami letupan antusias me-mitologis.
Istilah lain yang harus dipertimbangkan dalam mengenali sejarah Jerusalem adalah simbolisme. Dalam masyarakat yang berorientasi ilmiah, kita tidak lagi berpikir secara alamiah dalam dalam tema citra dan simbol. Kita cenderung mengatakan ‘hanyalah sebuah simbol’ yang secara esensial terpisah dari realitas yang lebih misterius yang diawali oleh simbol itu. Tidak demikian dalam dunia pramodern. Sebuah simbol dilihat sebagai bagian dari realitas yang disimbolkan. Sebuah simbol agama, dengan demikian memiliki kekuatan untuk memperkenalkan penyembahnya kepada yang sakral.

Sepanjang sejarah, yang sakral tidak pernah dialami secara langsung, kecuali oleh segelintir orang yang luar biasa. Yang sakral selalu dirasakan dalam sesuatu di luar dirinya sendiri. Dengan demikian tuhan dialami dalam diri manusia laki-laki dan perempuan. Yang sakral juga dialami dan ditemukan dalam teks suci, kode, hukum, dan doktrin.

Salah satu simbol ilahi yang paling awal dan ada di mana-mana ialah: tempat. Orang merasakan yang sakral di gunung-gunung, pohon, kota, bangunan, dll. Ketika mereka berjalan ke tempat ini, mereka merasaikan bahwa mereka telah memasuki sebuah dimensi yang berbeda, yang terpisah, tetapi juga terpaut dengan dunia fisik yang biasa mereka tempati.

Bagi orang Yahudi, Kristen, dan Islam, Jerusalem adalah simbol ilahi semacam itu. Hal ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja secara otomatis. Begitu suatu tempat telah dialami sebagai tempat yang sakral dengan cara tersendiri dan terbukti mampu memberi seseorang akses kepada yang ilahi. Para penyembah mencurahkan energi kreatif yang besar untuk membantu orang lebih mengembangkan perasaan transendensi ini. Kita sering melihat bahwa aritek candi, gereja, mesjid, kuil, memiliki nilai penting simbolis, yaitu sering memetakan perjalanan batin yang harus dijalani peziarah untuk mencapai Tuhan.

Liturgi dan ritual juga memperbesar perasaan akan ruang sakral. Akan lebih akurat untuk melihat liturgi sebagai suatu bentuk teater yang dapat memberikan pengalaman yang kuat akan yang transenden, bahkan dalam konteks yang seepenuhnya sekuler. Di barat, drama memiliki asal-usul dalam agama, misalnya dalam festival-festival sakral di Yunani Kuno dan perayaan paskah di Gereja Katedral Eropa abad pertengahan.
Demikian mitos-mitos juga dirancang untuk mengekspresikan makna batin Jerusalem dan berbagai tempat suci lainnya. Salah satu mitos adalah apa yang mendiang sarjana rumania – amerika, Mercia Eliade menyebutkan bahwa mitos sebagai kepercayaan abadi yang ditemukan hampir ada pada setiap kebudayaan.

Menurut cara berpikir ini, semua objek di bumi memiliki padanannya di alam ilahi. Orang dapat melihat mitos ini sebagai suatu usaha untuk mengungkapkan perasaan bahwa kehidupan kita di dunia ini adalah tidak lengkap dan terpisah dari eksistensi di tempat lain yang jauh lebih penuh dan lebih memuaskan.

Semua aktivitas dan keterampilan manusia juga memiliki prototipe ilahi. Dengan menirukan tindakan yang ilahi, orang mengalami kehidupan ilahi. Imitatio Dei. Hal ini masih terlihat sampai hari ini. Contohnya, orang masih beristirahat pada hari Sabath dan makan roti dan minum anggur di Gereja. Tindakan ini menjadi memiliki makna dalam diri seseorang karena mereka percaya bahwa Tuhan pernah melakukan hal yang sama.

Ritual-ritual di tempat suci merupakan cara simbolik lain meniru yang ilahi. Untuk memasuki kehidupan yang ilahiah, lebih penuh dengan cara mengadakan ritual. Hal yang sama juga penting bagi pemujaan terhadap kota suci. Kota suci dapat dilihat sebagai replika rumah para dewa, para suci, yang ilahi, di surga. Sebuah kuil dianggap sebagai reproduksi dari istana yang ilahi dan surga. Dengan meniru arketipe langitnya dalam bentuk sekecil apa pun, berarti kuil dapat juga menjadi rumah Tuhan di bumi.

Namun, bila dilihat dari sorotan dingin modernitas yang rasional, mitos-mitos semacam itu tampak menggelikan. Dalam agama, pengalaman selalu datang sebelum penjelasan teologis.

Orang pertama-tama merasakan bahwa mereka telah memahami yang sakral di sebuah hutan atau puncak gunung. Mereka kadang-kadang mencapai hal semacam itu dibantu oleh peralatan estetis arsitektur, musik, dan liturgi yang mengangkat mereka melampaui diri mereka sendiri. Mereka kemudian berusaha untuk menjelaskan pengalaman ini dalam simbol-simbol geografis sakral. Jerusalem menjadi salah satu lokasi yang dirasa bisa mewakili hal di atas bagi Yahudi, Krisetn, dan Muslim karena dirasa bisa mengantarkan mereka kepada Tuhan.

Praktik agama sangat berkaitan dengan praktik seni. Baik seni maupun agama berusaha untuk mengekspresikan perasaan tertinggi tentang sebuah dunia yang tragis dan cacat. Agama berbeda dari seni karena ia mempunyai dimensi etis. Agama bisa dilukiskan sebagai estetika moral. Ia tidak cukup untuk mengalami yang ilahi atau yang transenden. Pengalaman itu harus diwujudkan dalam perilaku kita terhadap orang lain. Semua agama besar bersikukuh bahwa ujian atas spiritualitas sejati ialah kasih sayang yang dibuktikan dalam praktik. Budha pernah berkata bahwa setelah mengalami pencerahan, orang harus meninggalkan puncak gunung dan kembali ke pasar. Di sana ia akan berbuat kebaikan bagi semua mahluk hidup.

Erat sekali dengan pengultusan jerusalem sejak awal yaitu nilai pentingh kedermawanan yang efektif dan keadilan sosial. Kota ini tidak bisa dianggap suci kecuali ia mampu memberikan keadilan dan kasih sayang kepada yang miskin papa. Tetapi sayangnya imperatif moral ini sering diabaikan oleh para penguasa. Justru sebagian dari kekejaman terburuk terjadi ketika orang-orang lebih mengutamakan kesucian Jerusalem dan hasrat untuk memperoleh akses kepada kesuciannya yang agung daripada pencarian keadilan dan amal nyata.

Semua peristiwa penting terkini memainkan peranan dalam sejarah panjang Jerusalem yang penuh pergolakan. Masih menjadi kebenaran yang tetap berlaku tatkala kita menengok ke belakang pada sejarah panjang Jerusalem, bahwa masyarakat yang telah tinggal di sana paling lama, umumnya adalah mereka yang bersedia untuk hidup menuju semacam sikap toleransi dan hidup berdampingan di kota suci. Sikap toleransi sudah pasti menjadi satu-satunya cara menghormati kesucian Jerusalem pada hari ini, daripada pertempuran sia-sia yang membabi buta demi kedaulatan dan kemenangan total.

catatan sesudah membaca buku Yerusalem Satu Kota Tiga Iman

Minggu, 28 Maret 2010

CATATAN TENTANG YERUSALEM


JERUSALEM SATU KOTA TIGA IMAN
( dari buku karya Karen Armstrong
)
Bagian I

Jerusalem, sebuah nama yang begitu terkenal di seluruh jagat. Hampir semua mengharapkan satu waktu bisa tiba di tempat itu. Yerusalem sering pula disebut Al Quds. Kota ini dikultuskan sebagai kota suci. Pengultusan sebuah tempat menjadi tempat suci merupakan fenomena yang mendekati universal.

Para sejarawan agama percaya bahwa Yerusalem merupakan salah satu manisfestasi iman yang paling awal dalam semua kebudayaan. Orang mengembangkan geografi sacral yang tidak ada kaitannya dengan peta ilmiah dunia, tetapi menggambarkan kehidupan batin mereka. Dengan alasan yang berbeda, yerusalem telah menjadi pusat geografi sakral Yahudi, Kristen, dan Islam.

Hal ini mempersulit mereka melihat kota ini secara objektif karena yerusalem sangat terikat dengan konsepsi mereka tentang diri mereka sendiri dan realitas tertinggi yang disebut TUHAN atau yang sakral. Hal itu memberikan makna dan nilai pada kehidupan duniawi kita.

Ketika manusia merenungkan dunia, manusia mengalami transendensi dan misteri di jantung eksistensi. Manusia merasa bahwa itu sangat dalam berhubungan dengan diri mereka dan dengan cara alamiah, tetapi juga melampaui yang lebih jauh. Kata itu diwakili dengan TUHANB, Brahma, Nirvana, atau sebutan lain. Transendensi ini merupakan fakta kehidupan manusia.

Kita mengalami hal serupa apa pun opini teologis kita ketika kita mendengarkan gubahan music yang luar biasa atau membaca sebuah puisi yang indah. Kita merasa tersentuh, batin kita terangkat melamapaui diri kita sendiri. Kita cenderung mencari pengalaman ini. Dan jika kita tidak menemuknnya pada suatau tempat, kita akan mencarinya di tempat lain.

Yang suci dialami dengan berbagai cara:
Ia menimbulkan ketakutan, kekaguman, antusiasme, kedamaian, dan aktivitas moral yang kuat. Ia mempresentasikan eksistensi yang lebih penuh dan lebih baik yang akan melengkapi kita. Ia bukan sekedar dirasakan sebagai sesuatu kekuatan ‘di luar sana’, tetapi dapat juga dirasakan kedalaman wujud kita sendiri.

Namun, seperti pengalaman estetik lainnya, kesadaran akan yang sakral dianggap sangat penting. Memang, tanpa kesadaran yang ilahi ini, orang sering merasakan bahwa kehidupan tidak layak dijalani.

Persaan bahwa kehidupan tak layak dijalani anatara lain disebabkan oleh karena manusia selalu mengalami dunia sebagai tempat yang menyakitkan. Menjadi korban bencana alam, kematian, kepunahan, ketidakadilan, dan kekejaman manusia.

Di samping mengalami guncangan-guncangan yang umum yang dialami jasmani, kita semua mengalami tekanan personal yang menjadikan kesulitan yang remeh terasa sangat menganggu. Ada perasaan ditinggalkan yang menjadikan pengalaman seperti penolakan, perceraian, putusnya persahabatan, atau bahkan kehilangan barang tercinta. Kadang semua itu menjadi bagian dari sesuatu penderitaan mendasar dan universal.

Seringkali penyakit batin ini dicirikan oleh perasaan perpisahan. Tampaknya ada sesuatu yang hilang dalam hidup kita, sepertinya tidak utuh. Kita memiliki persaan awal bahwa kehidupan tidak dimaksudkan untuk demikian dan bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang esensial bagi kesejahteraan kita, meskipun kita sulit menjelaskan ini secara rasional. Pada abad-abad lalu manusia berpaling pada agama untuk meredakan kesulitan hidupnya dengan menemukan penyembuhan dalam pengalaman akan yang sakral.
(Enung Martina : catatan sesudah membaca buku)

Sabtu, 13 Maret 2010

KEKAGUMAN


Ch. Enung Martina


Bila dilihat dari bentuk katanya ’kekaguman’ termasuk kata jadian yang disebut kata berimbuhan. Kata ini berasal dari kata dasar ’kagum’. Menurut kamus ’kagum’ artinya heran (dengan rasa memuji), takjub, tercengang. Kata ’kekaguman’ artinya perasaan kagum, ketakjuban, dan keheranan.

Dalam kehidupan kita, kita sering mengalami rasa kagum. Misalnya, saya sendiri kagum terhadap hal yang indah-indah, yang nyeni, yang cantik, yang ngganteng, yang menyentuh nubari, dll. Saya mengagumi beberapa tokoh yang menurut saya mereka itu hebat karena saya tidak bisa seperti mereka. Saya mengagumi tokoh yang ternama di dunia sampai akhirat, juga yang tidak ternama. Kekaguman saya kepada mereka karena saya tidak memiliki apa yang mereka miliki. Misalnya saya mengagumi para penulis seperti Khalil Gibran, Paulo Coelho, Andera Hirata, Dewi Lestari, dll karena karya mereka yang menginsipari. Saya juga kagum pada tokoh Kitab Suci seperti Yesus, Abraham, Nuh, Ayub, Esther, dll karena kehebatan mereka dalam kisah hidup mereka yang menginspirasi dunia. Saya juga kagum pada Soekarno juga Mbah Marijan dan Romo Widyo. Akhir-akhir ini saya kagum pada Amsi, gadis Flores yang tinggal di keluarga Ibu Rini. Ia gadis yang pandai memanjat pohon kelapa dan punya iman katolik yang kampiun. Wah, kalau saya ceritakan satu persatu kekaguman saya, banayak sekali dan tak mungkin muat untuk ditulis.

Kekaguman pada seseorang membuat kita bersemangat karena kita terinspirasi pada cara hidup mereka atau keberhasilan mereka. Kekaguman tidak semata karena ganteng dan cantik secara fisik saja. Namun, juga hal yang sifatnya rohani.Bila kita mengingat orang yang kita kagumi kita jadi ingin juga ketularan kehebatan mereka.

Pada suatu liburan Lebaran tahun 2008 kemarin, ketika gema takbir berkumandang, saya duduk berdua dengan adik ipar saya di beranda sebuah pondok di tepi pantai sambil mendengarkan deburan ombak di laut lepas. Malam itu kami duduk-duduk berdua saja sementara anak-anak dan para suami sibuk bermain kartu. Ipar saya bercurhat ria tentang banyak hal. Salah satunya tentang rasa kagum dan hormat yang berubah menjadi tidak simpatik dan cenderung meremehkan. Apa pasalnya?

Ada seseorang yang layak dihormati dan dikagumi karena ia tokoh masyarakat. Namun, dalam perjalanan waktu ipar saya jadi tahu belangnya tokoh ini. Rupanya sepak terjangnya dia selama ini ternyata menyembunyikan ’kebobrokan’ tokoh kita ini. Ipar saya kecewa karena yang layak dikagumi ini ternyata... layak juga dicaci. Pokoknya malam itu kartu tokoh kita ini terbuka di hadapan saya. Saya juga kaget awalnya meskipun tokoh ini bukan tokoh yang saya kagumi. Saya kenal baik dengan tokoh kita ini, tetapi apa yang diceritakan oleh adik ipar saya, di luar dugaan saya. Saya benar-benar kaget dengan cerita ipar saya itu. Tidak sangka ya...begitulah hidup penuh dengan misterinya.

Saya tidak akan berkisah tentang tokoh kita di atas karena itu bukan urusan saya juga bukan urusan pembaca. Urusan saya sekarang berbicara tentang kekaguman. Kekaguman memang bisa saja berakhir dengan kebencian bila ternyata tokoh yang kita kagumi menunjukkan sisi kelemahannya apalagi kalau kelemahan itu selama ini tidak muncul. Selama ini kita mengagumi tokoh karena kelebihannya.
Mengagumi juga ternyata ada seninya ada kaidahnya. Kalau kita mengagumi secara buta, akhirnya akan berakhir dengan kecewa. Saya mengagumi laki-laki yang menjadi pacar saya karena dia ... sesuai dengan harapan saya. Begitu saya tahu ternyata laki-laki tadi menampilkan hal yang berlawanan dengan harapan saya, kekaguman saya pun pudar.

Mengagumi juga harus dewasa. Ketika kita mengagumi seseorang kita juga sudah harus tahu bahwa orang itu tidak sempurna. Saya mengagumi Ir. Soekarno (presiden RI pertama) karena pemikirannya, gagasan, dan pandangannya. Sisi lain juga saya tidak suka dan tidak setuju dengan tokoh saya ini karena dia doyan kawin. Dia orang yang berpoligami. Perempuan mana yang mendukung poligami? Kecuali dalam film Ayat-Ayat Cinta atau mungkin Teh Ninih (istri Aa Gim) ketika diwawancarai wartawan tentang suaminya yang beristri lagi, dia merelakan dirinya untuk dimadu.

Kekaguman jangan membabi buta karena akan berakhir dengan kecewa bahkan kebencian. Kekaguman juga berarti kita melihat sisi lemah dari tokoh yang kita kagumi. Kehebatan tokoh ini yang membuat saya terinspirasi, tetapi kelemahannya juga membuat saya bercermin tentang arti kesempurnaan dan ketidaksempurnaan.

Saran saya tetaplah mengagumi tokoh-tokoh nyata atau tak nyata dalam hidup kita karena mengagumi itu sebuah hak. Ambillah pelajaran-pelajaran hidup dari tokoh yang kita kagumi, jangan hanya semata-mata karena keren, ganteng, cantiknya, atau kaya saja. Belajarlah dari tokoh yang kita kagumi tentang makna kasih yang ia lakoni dan daya juang yang ia miliki. Jangan mendewakan tokoh yang kita kagumi, kecuali pada tokoh dunia-akhirat kita. Kalau saya siapa lagi yang saya kagumi, tentu saja Yesus dari Nazareth itu.


* * * *

Kamis, 18 Februari 2010

PERBUATLAH!

Oleh: Cristina Enung Martina

Pernahkah kau mersakan bahwa beban yang satu lepas beban yang lain datang lebih dari satu dan terasa lebih mennekan?
Terkadang aku merasakan dan menganggap itu sebuah beban. Aku mengalami ketika satu tanggung jawab selesai dan muncul tanggung jawab lain yang lain. Kala hati sedang sangat tidak beres dan mental sedang terpuruk semua hal terasa tidak pada tempatnya. Semua hal terasa menjadi sesuatu yang menganggu, bukan yang menantang.

Kala hati kita diliputi oleh kegelapan pikiran, muncul suatu perasaan berat yang mendesak dan meracuni. Kenapa aku harus melakukannya? Kenapa bukan orang lain yang melakukannya? Kenapa tanggung jawab itu diberikan kepadaku bukan diberikan kepada orang lain yang menurut pendapat dan penglihatanku memang semestinya itu menjadi tanggung jawabnya?

Mengapa orang yang semestinya yang bertanggung jawab malah bisa berkelit dan seolah tak tahu serta pergi meninggalkan tanggung jawabnya? Mengapa pula ketika orang itu berkelit dan melarikan diri, aku merasa harus menjadi pengganti orang tersebut. Mengapa pula ada dorongan bahwa aku harus mengambil alih tanggung jawab itu. Siapa yang mengharuskan? Tak ada? Siapa yang mewajibkan? Juga tak ada. Mengapa sepertinya memang masalah tersebut berada di hadapanku dan seolah itu sudah seharusnya aku yang ambil alih? Sementara orang yang semestinya bertanggung jawab lari kocar-kacir dan tak mungkin ditangkap karena berbagai alasan yang menunjukkan bahwa pribadinya memang tak bisa diandalkan.

Ada banyak pertanyaan mengapa yang tak juga ditemukan jawabannya. Hanya kenyantaannya bahwa masalah itu sekarang ada di hadapanku. Ayo kamu mau lari kemana? Apakah aku akan berlari seperti orang si pengecut tadi atau aku mengambil alih? Kalau aku diam saja berarti aku sama dengan si pengecut tadi. Kalau aku mengambil alih berarti tanggung jawabmu bertambah dan juga bebanmu bertambah. Nah, lo…. Bingung kan.

Nah, celakanya lagi aku itu adalah jenis manusia yang sangat tak ingin dikatakan pengecut. Aku lebih baik babak belur daripada aku harus bertindak menjadi pengecut. Payah sekali. Sebetulnya sebagian dari diriku mengatakan kau tak perlu lakukan itu. Untuk apa? Dapat keuntungan? Tidak juga. Malah yang didapat kerepotan dan juga pengorbanan materil maupun moril.

Nah… lo mau-maunya direpotkan. Lari saja… biar saja…. Ngapain kamu yang bertanggung jawab? Orang lain juga ada. Kenapa kamu repot-repot. Kamu kan bukan orang berada dan bukan orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Kamu juga masih punya banyak hal dan pekerjaan yang harus kamu urusi. Sudahlah jangan repot dan jangan jadi orang yang sosial..

Begitulah suara-suara itu terus menghantuiku. Aku berperang anatar ya dan tidak. Aku juga jengkel kenapa ada orang yang dengan manisnya bisa mencuci tangannya dan sama sekali tak peduli dengan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Berperang dalam hati kecil itu yang biasa terjadi. Suara lain berkata:
Lantas aku harus juga berlaku tidak bertanggung jawab seperti orang lain lakukan? Kalau begitu apa bedanya aku yang katanya mengenal Tuhan dan mengaku beriman dengan orang yang yang pribadinya hanya mampu diukur dengan hitungan rupiah atau materi apa yang didapat? Serendah itukah harga diriku? Apa atinya Injil yang katanya aku akui sebagai kumpulan firman Allah?

Beberapa hari ini permenunganku pada keberadaan manusia di dunia dengan segala tugas dan panggilannya. Pada tujuan Tuhan yang membuat manusia berada di dunia. Ada satu tujuan dari setiap hidup yang diciptakan Tuhan pada setiap insan. Diadari atau tidak disadari, tujuan itu ada.

Sesudah otakku mulai jernih, dingin, dan hatiku mulai berperan ikut mempertimbangkannya, mulai aku bisa melihat dengan lebih baik. Melihat dengan logika dan hati. Kalau memang orang emoh untuk bertanggung jawab, kita tak bisa memaksa orang tersebut untuk melakukannya. Namun masih ada menyisakan pertanyaan: Tapi kenapa bisa begitu ya? Kalau memang dia mau lari dari tanggung jawab mereka terhadap ini sebetulnya dia lari dirinya dan yang lebih besar daripada itu, dia menghindar dari tanggung jawabnya terhadap Tuhan. Kalau tindakan mereka yang berlaku seperti itu, sebetulnya hanya menyatakan kepadaku juga dunia bahwa itulah batas kepribadiannya.

Lantas kenapa sewot? Ya…. Sudah anggap saja Tuhan menunjuk kamu untuk mengambil alih tanggung jawab ini. Begitu suara lain berkata.

Ini perkara biaya…cing! Duit!!!
Begitu suara lain berkata.

Memangnya selama ini Bapa Surgawimu membiarkan kamu menderita, kekurangan, kelaparan, dan mengemis pada orang yang kamu anggap bisa meolongmu? Memangnya DIA membiarkan anak-anakmu menjadi anak gelandangan, buta huruf, dan tak berpendidikan?

Jawabannya adalah : TIDAK PERNAH.

Apakah limpahan berkat yang kamu nikmati selama ini kurang? Apakah rasa syukurmu hanya kamu nyatakan lewat doa dan ke gereja saban minggu? Apakah imanmu hanya dinyatakan sebatas itu tanpa perbuatan nyata?
Semprul! Itu suara tajam menghujam nubari! Tapi ya... kok benar adanya. Malu aku jadinya.

Jadi kesimpulannya: PERBUATLAH yang terbaik apa yang bisa kamu lakukan. Urusan rejeki biar Bapa Surgawi yang mengatur. Dan janganlah memikirkan nanti bagaimana kalau…. Berbuat baik tak pernah memikirkan resiko apa yang akan terjadi. Mengapa? Karena berbuat abaik adalah berbuat baik. Wis titik. Tidak ada koma atau pertanyaan lain atau alasan lain.

& & &

Sabtu, 23 Januari 2010

MATRA SANG GURU

Untuk menjadi guru, seseorang harus juga belajar dari berbagai kebijaksanaan yang berasal dari para pendahulu, termasuk juga para spiritualitas. Di bawah ini ada kiat menjadi guru yang baik bila belajar dari kebijaksanaan Isa, Sang Guru.

Tiga matra Sang Guru terdapat pada Yohanes 14:69: Akulah jalan kebenaran dan hidup.
1. Jalan : Dia adalah yang dapat diikuti atau diteladani
2. Kebenaran : memberi inspirasi, memberikan ajaran yang benar. Ajarannya segar dan
abadi untuk situasi dan waktu serta tempat yang berbeda ajaran itu
akan tetap sesuai.
3. Hidup : Memberikan harapan sehingga orang bisa bertahan hidup dengan penuh
harapan.

Pribadi Sang Guru:
Pribadi yang terbuka, mampu menerima siapa pun sehingga pengikutnya begitu banyak.
Pengikut-Nya sewaktu Dia hidup adalah:
- kelompok 12 (12 rasul)
- 70 murid
- Murid lain
- Murid yang tersembunyi (tidak terang-terangan mengakui karena alas an politis dan
agama)
- Sporter yang selalu memebrikan dukungan
- Khalayak ramai

Memberikan ajaran yang segar
- menantang
- tidak terjebak pada satu pengalaman
- ajarannya menyentuh pribadi
- materi lama diperbaharui
- menggerakkan daya nalar
- menggerakkan kehendak
- sesuai konteks (kontekstual
- memakai yang ada di sekitarnya
- memakai ajaran lama untuk konteks kekinian

Memberi harapan
- kepada orang berpenyakit tak tersembuhkan ( contoh mujizat pada perempuan yang
menderita pendarahan bertahun-tahun)
- memberikan kesembuhan secara sosial (melepaskan dari isolasi sosial) contoh orang
kusta yang disembuhkan
- menyembuhkan penyakit struktural (Zakeus si pemungut cukai)
- menyembuhkan penyakit spiritual (mengampuni dosa)

(Tulisan disarikan dari retret Romo Aria Dewanto, SJ dengan penambahan oleh Ch. Enung Martina)

Sabtu, 09 Januari 2010

DUC IN ALTUM

Untuk memberi semangat pada diriku sendiri dalam menghadapi satu tahun mendatang, aku ingin mengambil kutipan Injil Lukas 5:2-6

Bertolaklah ke Tempat yang Dalam

Dalam renunganku aku akan menempatkan diri masuk dan berada dalam waktu dan situasi saat itu. Aku berada bersama Yesus dan menjadi bagian dari orang-orang yang ada bersama Dia saat itu.

Aku bersama dengan orang banyak lainnya berada bersama Yesus di tepi Danau Genezareth, wilayah Galilea. Danau ini sering pula disebut Danau Genezareth, Danau Galilea, atau Danau Tiberias. Danau ini sering pula disebut laut, karena saking besarnya. Ini adalah danau air tawar yang terkenal dengan ikannya. Banyak perkampungan di sekitar pantai danau itu. Salah satu kampung atau desa nelayan bernama Kapernaum. Itu adalah kampung Petrus, Simon. Nah, saat ini aku berada di kampung nelayan Kapernaum.

Sekarang ini Yesus sedang sangat terkenal di seantero wilayah baik Galilea maupun Yudea, bahkan Yerusalem juga. Semua orang mengenal Dia karena ajaran-Nya dan juga mujizat-Nya untuk menolong banyak orang. Ajaran-Nya sih memang agak ekstrim untuk saat ini. Agak berbeda dengan Torah yang dikenal oleh kaum Yahudi saat ini. Orang banyak mengatakan bahwa Dia adalah penggenapan hukum Torah. Apakah betul? Aku tak tahu.

Yesus itu seorang pribadi yang menarik Ia adalah anak zaman ini. Memahamai bahasa Ibrani, juga berbicara dalam bahasa Yunani, bahkan juga bahasa Aram. DIA adalah seorang pribadi yang cerdas, mempunyai karisma yang kuat, pemberani, rela berkorban, penuh kasih sayang, tetapi terkadang kalau berbicara apa adanya, tak pernah berpikir apa akibat dari perkataannya. Yang jelas Yesus ini seorang yang gampang mencari pengikuut. Dia itu seperti magnet. Lihat saja orang-orang selalu ngintil di belakang Dia hanya sekedar untuk melihat Dia atau mendengarkan ajaran-Nya yang agak ekstrim tersebut. Mau tahu contoh ajarannya yang ekstrim? Cintailah musuhmu! Nah, lho… musuh kok dicintai. Selama ini musuh ya dibenci dan dikalahkan! Dan banyak lagi ajara-ajaran ekstrim lainnya. Kalau mau tahu dengarkan saja apa perkataan-Nya.

Aku terkadang heran kenapa semua orang itu tersihir dengan laki-laki muda ini. Kalau dilihat sekilas, Dia itu ya biasa saja, manusia biasa. Apakah dia ganteng? Ya… dia cakap parasnya, tetapi masih banyak pemuda yang parasnya lebih ganteng daripada Dia. Kadang-kadang Dia juga emosional. Pokoknya Dia itu manusia seperti kita, tetapi kenapa banyak orang terpikat oleh Dia? Dan sialnya aku juga terpikat oleh Dia. Ada yang salah dengan diriku, jangan-jangan aku tak waras lagi. Masa aku terpikat dengan laki-laki yang kerjaannya pengangguran seperti begitu. Gak punya pekerjaan tetap, secara ekonomis gak punya harapan untuk masa depan,gak punya tempat tinggal, bajunya juga yang itu-itu lagi.

Jangan salah aku terpikat pada Dia bukan seperti aku terpikat secara asmara. Pokoknya ada kekuatan pada diri-Nya yang membuat aku terpikat. Daya ilahi mungkin begitu aku membahasakannya.

Aku duduk di salah satu perahu nelayan yang sedang ditambatkan di sana. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata perahu itu milik Simon. Aku memandang ke sekelilingku, banyak orang beraktivitas seperti layaknya di kampung nelayan. Ada orang yang mengatur jalanya untuk ditebarkan, ada yang sedang mengurusi kailnya, ada yang mondar-mandir dengan tangkapan mereka. Kaum perempuan juga banyak di sana. Ada yang sekedar jalan-jalan membawa anak-anaknya, ada yang membantu suaminya yang nelayan untuk memngambil ikan hasil tangkapan, ada yang hanya ingin memandang Yesus karena Dia ada di pantai danau itu. Pokoknya banyak sekali orang di sekitarku.




Yesus ada di tengah-tengah kerumunan orang banyaak itu. Selain di dalam perahu, orang banyak berkerumun sekitar perahu untuk mendengarkan kata-kata-Nya. Sementara itu aktivitas pantai tetap seperti biasa.

Saat itu Yesus banyak berbicara seputar kasih Allah dan juga hukum kasih. Namun yang terngiang di telingaku serta tertangkap di kepalaku dan tersimpan dalam hatiku adalah perkataan Dia kepada Simon, si nelayan. Simon adalah nelayan yang berpengalaman. Dia paham betul danau Genezareth karena di tempat itu ia mencari nafkah. Malam tadi Simon berlayar dan tangkapannya sedikit. Yesus mendengar hal tersebut. Karena itu Dia berkata kepada Simon: Cobalah bertolaklah ke tempat yang dalam.
Simon menjawab: Sudah Guru! Namun, karena Engkau yang menyuruhnya, maka aku akan lakukan.

Aku tertarik dengan potongan percakapan itu. Kalimat yang diucapkan Yesus untuk Simon: bertolaklah ke tempat yang dalam. Seolah-olah kalimat itu juga diucapkan untukku yang berada di situ. Karena aku bukan nelayan seperti Simon, aku mengartikan perkataan-Nya dengan duniaku.

Terkadang aku juga tidak berani melangkah lebih jauh dan ke tempat yang dalam. Aku takut dengan resiko yang aku dapatkan. Aku takut gagal. Dengan melangkah ke yang dalam, kemungkinan tantangan akan lebih besar, Perlu persiapan yang matang tentunya. Perlu keberanian yang lebih, itu pasti.

Namun, aku kagum dengan Simon, si nelayan. Dia adalah nelayan yang berani. Meski dia tahu bahwa semalam dia tak dapat ikan. Sebagai nelayan yang professional dia tahu persis tentang hal itu. Namun, ia adalah pribadi lugu dan patuh. Maka Simon berkata:
karena Engkau yang menyuruhnya, maka aku akan lakukan.

Begitulah, aku juga akan belajar seperti Simon untuk percaya pada DIA yang memintaku untuk melakukan sesuatu yang terkadang berat menurutku. Aku tahu persis bahwa Dia sangat tahu dan mengerti tentangku jauh lebih mengetahui daripada aku tahu tentang diriku sendiri, Karena itu, aku akan belajar percaya seperti Simon percaya pada Sang Guru. Maka aku akan melangkah ke yang lebih dalam karena aku percaya bersama Dia segalanya tak ada yang mustahil.

(Enung Martina- 10 Januari 2010)

Kamis, 07 Januari 2010

BANGUN

Selamat memulai tahun 2010. Maaf ucapannya terlambat karena pada awal tahun begitu banyak hal yang harus diurus sehingga untuk duduk mengetik membutuhkan perjuangan. Aku berharap untuk diriku sendiri pada tahun 2010 ini aku melakukan segala sesuatunya dalam keadaan BANGUN., SADAR. AWARENESS. Itu mungkin kata-kata yang tepat.

Tahun lalu aku melakukan segala sesuatu dengan niat dan semangat yang kuusahakan untuk tetap bernyala senaksimal mungkin. Akhirnya aku berhasil dan tahun 2009 berlalu dengan baik, meski ketika aku duduk untuk merenung , ada juga hal-hal yang kulakukan begitu semberono dan tanpa perhitungan. Dengan kata lain aku melakunanya sepertinya terbuai dengan egoismeku. Ketika aku melihatnya dan aku benar-benar terjaga, aku melihat betapa aku sudah menyakiti begitu banyak orang.

Kesadaran muncul. Itu yang penting. Meski aku tahu bahwa untuk memulai lagi dan kembali pada diri sendiri terkadang tidaklah mudah. Masih linglung mungkin. Kita belajar dan kita memang terus belajar. Dalam proses belajar itu carut marut pasti ada. Ya… tidak apa-apa.

Anthony de Mello berkata bahwa spiritualitas berarti bangun-terjaga. Kebanyakan orang (sadar ataupun tidak) hidup dalam keadaan tertidur. Kita tidak menyadari kebaikan dan keindahan dalam keberadaan kita. Kita asyik dengan hal-hal lain yang kita sebut masalah. Kita asyik dengan dunia yang kita ciptakan sendiri. Kita terbuai dan merasa sudah sangat benar untuk beberapa hal yang kita lakukan. Benarkah? Kita memang sering tertidur.

Aku akan berusaha bangun dan terjaga untuk setiap detikku pada tahun 2010 ini. Kurun waktu satu tahun akan sangat panjang kalau kita melihat dan menghitungnya dari sekon demi sekon. Namun satu tahun adalah waktu yang pendek bila kita menjalaninya dan menyadarinya bahwa belum banyak yang bisa kita lakukan untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan Tuhan.

Tuhan, ajari aku untuk selalu bangun dan mensyukuri setiap berkat yang kuterima. Amin.

Serpong, 7 januari 2010
Enung Martina