Kamis, 30 Desember 2010

CERPEN

JENDELA
Oleh Ch. Enung Martina

Setiap saat jendela itu terbuka pada jam lima pagi dan tertutup lagi pada jam enam petang. Jendela itu berada di lantai dua sebuah rumah bercat putih. Ada pohon sirsak yang menjorok ke arah samping kiri jendela dan ada pohon tanjung ke sebelah kanannya. Panorama tepat di hadapannya adalah tanah lapang yang ditumbuhi rumput dan belukar. Dari kejauhan genting berwarna merah kecoklatan berderet dari kompleks perumahan di dekatnya.

Sesekali terlihat sosok orang yang melongokkan kepala dari jendela itu. Bergantian orang yang melongok di jendela itu; seorang perempuan paruh baya, seorang remaja putra tanggung, seorang lelaki berambut gondrong, dan seorang remaja putri. Namun, kadang ada dua kepala yang melongok dari jendela itu. Sepertinya setiap kepala yang melongok di jendela itu asyik memperhatikan pemanadangan yang terhampar di hadapannya.

Tampaknya sampai jauh malam gorden belum ditutup oleh pemilik rumah itu. Terkadang masih terlihat gorden itu tak ditutup sampai jendela itu dibuka kembali. Mungkin pemiliknya lupa atau mungkin sengaja. Cahaya lampu yang membias dari kaca jendela itu terang sepertinya berasal dari lampu neon. Tak ada yang bisa dilihat lagi dari jendela itu selain orang yang melongokkan kepala dan cahaya lampu kala malam yang terpancar dari ruangan lantai dua itu.

Jendela itu tak banyak berbicara tentang penghuni di dalam rumah itu. Tak banyak informasi yang disampaikan oleh jendela itu. Aku menjadi pengamat jendela itu sudah lima bulan sejak kepindahanku ke rumah baruku di kompleks sebuah perumahan yang sekarang menjadi rumahku. Kamarku kebetulan ada di lantai dua. Ada jendela di kamarku, tetapi jendelanya mati, tak bisa dibuka atau ditutup. Sepertinya sengaja dimatikan oleh penghuni lama karena AC dipasang di ruangan itu. Karena terbuat dari kaca, aku bisa leluasa melihat ke luar dari balik kaca jendelaku.

Rumah tua itu berada tepat di belakang rumahku yang letaknya di kompleks perumahan. Rumah itu tidak berada dalam komplek. Sepertinya ia dibangun tersendiri oleh pemiliknya. Pekarangannya cukup luas jika dibandingkan dengan pekaranan rumahku. Ada kebun kecil yang ditanami aneka pohon sebagai peneduh; nangka, belimbing wuluh, belimbing buah, srikaya. sirsak, jambu batu, jeruk nipis, kantil, dan tanjung. Rumah itu nampak teduh dengan naungan berbagai pohon yang sudah cukup besar. Rumahnya tidak terlalu besar, bahkan bisa dibilang kecil.

Tak ada jalan yang menghubungkan rumahku dengan rumah itu, kecuali harus memutar jauh ke depan komplek, keluar dulu dan menyusuri jalan raya, baru berbelok ke kiri menuju jalan kampung kira-kira tiga kilo meter. Itu kata pembantuku yang berasal dari kampung sekitar komplek rumahku. Aku sendiri belum mencoba berpetualang untuk mengunjungi rumah itu.

Aku penasaran dengan rumah itu karena rumah itu begitu asri dan hidup. Kadang terdengar suara kendaraan yang datang an pergi di gang yang menuju rumah itu. Tak banyak tetangga dekat rumah itu, hanya ada dua rumah di sebelah kanannya dan di belakannya ada warung tegal dan warung kelontong. Rumah itu tepatnya menghadap ke barat, ke tembok pembatas koplek perumahannku. Di sebelah kirinya tanah lapang yang dibiarkan ditumbuhi rumput liar dan belukar.

Jendela yang kuceritakan di atas berada di sebelah kiri rumah itu. Sebetulnya ada dua jendela lain yang persis menghadap ke barat, hanya tidak kelihatan karena tertutup dengan rimbunnya pepohonan. Pintu utama di lantai satu menghadap ke barat juga, menghadap tembok pembatas. Tembok pembatas itu sepertinya sudah tidak kelihatan lagi karena aneka tanaman menutupinya. Dari jendela rumahku ini tak kelihatan karena aneka tanaman menyamarkannya.Namun, suara orang tertawa dan berbicara serta anjing yang menggonggong kerap terdengar. Bahkan sepertinya di bawah keridangan pohon dekat tembok pembatas itu ada bangku untuk duduk-duduk. Kerap juga tercium asap rokok para pria yang kongko di bangku itu.

Aku tertarik pada jendela sebelah kiri di lantai dua itu karena aku bisa mengintip aktivitas penghuninya yang kerap melongokkan kepala mereka dari jendela itu. aku jadi tahu sepertinya rumah itu dihuni oleh empat orang; ayah yang berambut gondrong, ibu perempuan separuh baya, anak remaja putri, dan anak remaja putra. Secara resmi aku belum berkenalan dengan keluarga pemilik rumah itu, tetapi sepertinya aku sudah mengenal sedikit-banyak mereka dari jendela dan suara-suara yang kudengar dari balik tembok pembatas komplek. Bahkan aku merasa lebih mengenal tetangga jauh di belakang komplekku daripada tetangga kiri kanan di dalam komplekku.

Keluarga yang rumahnya dekat, tetapi tak terjangkau itu mengingatkanku pada keluarga bahagia. Keluarga yang belum pernah kumiliki. Aku seorang perempuan berusia 38 tahun, sudah menikah, tidak dikarunia anak karena kandunganku dua-duanya sudah diangkat. Suamiku bekerja pada perusahaan pelayaran asing yang dua minggu dalam sebulan berangkat berlayar. Bila suamiku pergi aku sendirian hanya ditemani seekor anjing dan seorang pembantu. Aku juga bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang properti. Ayah ibuku bercerai ketika aku SMP. Aku tinggal bersama kakek-nenek di Ungaran. Ibuku di Medan ikut suaminya, ayahku di Jakarta dengan istri dan anak-anak tirinya dan juga anak-anak dari hasil perkawinan mereka, berarti adik-adik seayahku.Karena itulah jendela itu mengingatkanku pada gambaran keluarga utuh dan bahagia seperti iklan layanan masyarakat Keluarga Brencana.

Aku menjadi betah tinggal di ruamhku sendiri bila memandang jendela itu. Ada perasaan bahagia yang bisa aku serap dari sana. Seolah jendela itu memancarkan energi cinta dari orang-orang yang berada di dalamnya. Aku jadi ingin punya anak yang bisa aku cintai. Anak kandung? Itu mustahil. Karena itu aku bertekad akan memberanikan diri minta pada Ray, suamiku untuk mempertimbangkan mengambil anak. Mengadopsi anak? Pikiran gila dari mana itu? Gara-gara aku terlalu larut memandang jendela itu, pikiranku jadi ngelantur.

Namun, anehnya waktu Ray pulang, aku mencoba membicarakan ide gilaku itu. Aku kira dia bakal menertawakanku. Malah ia berbalik memelukku begitu mesra. Apa lagi ini? Hingga larut malam kami berbicara tentang ide itu. Berbagai cara, tempat, dan orang yang bisa membantu proses itu kami bicarakan. Kasihan Ray, lelakiku satu ini. Ia tak bisa menunjukkan pada dunia tentang betapa hebatnya dia dengan menghamili istrinya. Aku juga heran kenapa ia mau dengan aku perempuan mandul yang rahimnya sudah tak ada artinya ini. Barangkali ia mencintaiku? Entahlah…Tapi ia tak pernah mengucapkan kata-kata cinta kepadaku. Tidak seperti Ari kekasihku yang dulu yang kepadanya kuserahkan seluruh jiwa ragaku. Ia selalu mengucapkan kata-kata cinta yang sangat memabukkan hingga tak kutahu bahwa aku sudah jatuh dalam perangkap pesonanya. Betapa gobloknya aku diperdaya dia! Hingga akhirnya kutahu bahwa ia pergi membawa hatiku yang terkoyak bersama seorang gadis pilihannya yang lain untuk mengarungi biduk perkawinan mereka di negri jiran, Malaysia.

Ray kembali berlayar. Sebualan lagi ia baru pulang. Tekad kami sudah bulat untuk mengadopsi anak. Ketika aku tanya kiri kanan tentang niatku ini, ternyata banyak pihak yang mendukung. Salah satu teman kantorku memperkenalkanku pada seorang biarawati Katolik di gerejanya yang bertugas mengelola panti asuhan.

Setiap sore aku mematung memandang jendela itu. Rasanya gambaran mempunyai seorang anak segera berkelebat dalam hayalku. Jendela itu memberiku inspirasi lain untuk mengambil anak perempuan saja. Ray mau anak perempuan. Aku mau anak laki-laki. Ray bilang anak laki-laki suka nakal nanti aku kewalahan. Memangnya anak perempuan nggak bikin pusing juga? Menurut pengamatan dan pendengaran dari cerita teman-teman kantor katanya anak perempuan dan laki-laki sama saja. Aku mau ambil anak perempuan biar Ray senang. Ia kan sudah mendukungku.

Sore ini ada yang lain. Hari cerah begini, mengapa jendela itu tidak buka? Apakah orangnya pergi ke luar kota? Tak mungkin ini kan bukan musim liburan. Kenapa lampu dari dalam rumah belum dinyalakan, padahal sudah remang-remang begini? Sepertinya penghuninya tak ada. Senyap. Aku melongokkan kepalaku untuk melihat keadaan rumah itu. Tak banyak menolong karena tak bisa mendapatkan informasi yang akurat. Niatku untuk mencari inspirasi mencari nama untuk calon anakku jadi kuurungkan.
Hari ini kuputuskan untuk mengunjungi tetangga belakang rumahku. Ini hari Sabtu, aku libur. Aku mengajak Yunah, pembantuku. Kami sengaja naik ojek yang beroprasi ke jalur itu. Agak sukar menanyakan siapa pemilik rumah itu karena aku tak tahu siapa keluarga ini. Dengan berbekal petunjuk letak rumah, tukang ojek akhirnya berhasil membawa kami ke rumah itu. Mengapa sepi? Sepertinya tidak seramai dan sehangat seperti yang kudengar dari balik tembok pembatas. Siang begini kenapa lampu teras masih menyala? Kenapa anjingnya tidak mengonggong?

Aku ketuk-ketuk pagar rumah itu. Tak ada sahutan. Sepertinya rumah ini kosong. Aku coba sekali lagi. sia-sia. Akhirnya Yunah menanyakan ke tetangga sebelah kanan yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah itu. seorang ibu kira-kira berumur 60 tahun menghampiriku dengan tersenyum.
“ Ibu siapanya pak Ridwan?” Ia bertanya.
“ Saya familinya,” aku berbohong. Namanya Ridwan. Baru aku tahu sekarang.
“Pak Ridwan nggak ngasih khabar kalo mau pindah?”
“O, jadi pindah.”
“ Betul, Bu. kembali ke Tasik karena Pak Ridwan baru kena PHK,”
“Kembali ke sini lagi?’
“Sepertinya tidak, rumahnya sudah terjual.”

Sejak itu aku tak pernah lagi melihat jendela di sebelah kiri rumah itu terbuka dari jam 5 pagi sampai jam 6 petang. Juga tak terlihat kepala-kepala yang melongok dari jendela itu memandang ke luar. Gongongan anjing dan suara-suara tawa dan obrolan pun menghilang. Yang terdengar hanya sesekali suara mobil keluar masuk dan pintu pagar dibuka-tutup. Sepi semakin menggelayut di sekitarku. Sepi itu semakin menukik masuk ke relung hatiku. Aku sungguh terlambat untuk mengenal mereka, keluarga Ridwan yang menginspirasiku tentang arti keluarga.

Akan kuusir kesepianku dengan menghadirkan suara tawa dan tangis di rumah ini. Aku jadi tak sabar menantikan Ray pulang. Seminggu lagi ia akan pulang. Aku tak pernah melongokkan kepalaku ke arah jendela itu lagi karena sekarang tak pernah terbuka. Terbersit harapan untuk keluarga kecilku yang akan kubangun dengan calon anakku dan Ray suamiku, menjadi keluarga bahagia seperti keluarga Pak Ridwan. Siapakah istri dan anak-anaknya? Sungguh terlambat aku mengenal mereka. Namun, biarlah doaku untuk keberhasilan dan kebahagiaan keluarga Ridwan yang sudah mendatangkan gambaran manis padaku tentang makna keluarga. Aku juga bertekad akan membangun keluarga Raymondus Hartono dan Irene Shantika serta anak (mungkin juga anak-anak) menjadi keluarga bahagia. Bahagia? Siapa takut!


Sepong, 30 Desember 2010
untuk Metta yang berulang tahun hari ini. Karena kita terkadang ingin tahu apa di balik jendela orang lain. Salam Penuh cinta dari IBU.


Kamis, 23 Desember 2010

NAMA BAIK

Saya teringat bahwa pada bulan November 2009 saya pernah membuat catatan tentang kehilangan nama baik. Catatan itu didasarkan pada peristiwa murid saya kelas IX angkatan 2009-2010. Di bawah ini sebagian kutipan yang diambil dari catatan tersebut:
Hari ini, Rabu, 20 November 2009, aku belajar dari seorang anak remaja berusia 14 tahun tentang arti mempertahankan nama baik, tetapi akhirnya justru kehilangan nama baik tersebut. Leo, sebut saja begitu namanya, hari ini mendapat pelajaran berarti dalam hidup dia. Karena dia berusaha menghilangkan jejak agar namanya tidak tercemar untuk suatu kecerobohan dan kesalahan yang dia lakukan, justru namanya menjadi tercemar karena dia sendiri terbelit dengan skenario penyelamatan diri yang dia lakukan yang menurutnya pasti akan berhasil. Dengan skenario yang dia buat untuk mempertahankan nama baik itu, dia mendapat pelajaran dijauhi teman-teman setimnya karena dianggap bebrbuat tidak jujur. Namun, yang aku kagumi remaja putra ini begitu berani melakukannya dan akhirnya mengakuinya.

Saya bercermin untuk diriku sendiri. Saya juga pernah melakukan hal demikian. Saya berusaha mempertahankan sesuatu dalam hidupku, nama baik, materi, pertemanan, atau apa pun. Namun, pada saat kita mempertahankan itu semua, ternyata justru malah kehilangan.

Dengan begitu saya melihat bahwa kalau begitu apa yang ada pada diri kita dan di sekitar kita tidaklah abadi. Apa yang ada pada hari ini, belum tentu ada untuk hari esok. Apa yang hari ini menjadi bagian dari diri kita, bisa saja hari kemudian menghilang. Artinya kita tak mempunyai apa-apa, bahkan nyawa dalam tubuh kita, kita tak memilikinya.

Dengan demikian saya mengatakan pada diri sendiri bahwa semua itu adalah titipan. Apa yang ada pada saya semata-mata karena kehendak-Nya. Pada saatnya, Dia yang mempunyai akan mengambilnya kembali, saya tak bisa menghindar dan mengelak. Ambillah karena semuanya bukan milikku.

Saya pernah merasa kuatir dengan nama baik. Hal ini terjadi ketika nama suami dan anak laki-laki (yang remaja) diungkit dalam suatu kejadian yang menurut saya menjatuhkan nama baik mereka. Saya merasa sakit hati dan kautir kalau mereka nanti namanya akan tercemar. Peristiwanya berkaitan dengan masalah dalam keluarga besar.
Sempat saya berpikir untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya di hadapan keluarga besar. Namun, anak saya yang perempuan mengatakan hal itu tidak perlu karena tidak akan berpengaruh.

Peristiwa itu terjadi 3 hari sebelum saya masuk rumah sakit untuk operasi sesar melahirkan Abhimanyu. Tepatnya hari Jumat, tanggal 16 Juli 2010. Sungguh suatu kejadian yang tak diduga. Perasaan yang dominan saat itu adalah sakit hati. Selama 3 hari itu saya habiskan waktu dengan menangis dan berdoa. Selain sakit hati juga saya kautir dengan nama baik suami dan anak laki-laki saya.

Sesudah berdoa sedikit ada ketenangan dan pencerahan. Saat itu saya hanya berpikir: nama baik bukanlah segalanya. Nama baik tak perlu dibela. Kenyataan yang akan membuktikan seperti apa kualitas seseorang. Kalau seseorang itu memang baik, maka akan terbukti bahwa pribadinya memang baik. Nama baik tidak perlu dibela. Jadi saat itu saya merasa lebih tenang dengan pencerahan itu. Akhirnya saya menuju rumah sakit untuk menghadapi oprasi sesar dengan hati yang tenang.

Peristiwa 3 hari prakelahiran itu sekarang masih saya ingat. Saya masih merasakan bagaimana sesaknya perasaan saya kala itu. Namun, waktu, tangisan, dan juga doa membuat saya bisa lebih jernih melihat semuanya. Akhirnya saya bisa mengatakan saya tidak perlu kuatir dengan nama baik. Biarlah kita lakukan yang baik. Bila ada orang beranggapan bahwa perbuatan itu tak ada artinya biarlah dia beranggapan demikian. Ada yang lebih mengetahui hal yang paling benar. Tidak perlu risau dengan nama baik.

Saya tahu nama baik suami saya dan anak laki-laki saya saat beberapa waktu lalu nampaknya pernah ‘dicemarkan’ dengan cerita ini dan itu di kalangan keluarga besar. Namun, saya akhirnya tahu bahwa tidak semua orang menerima begitu saja cerita tersebut. Ada juga pihak keluarga yang mengkaji dan melihat kenyataannya. Meskipun saya tahu ada juga pihak keluarga yang juga percaya dengan cerita yang dituturkan tentang suami dan anak laki-laki saya.

Saya akhirnya memutuskan untuk berpendirian biarlah orang mempunyai hak untuk mempercayai atau tidak mempercayai sesuatu. Itu bukan urusan saya, meskipun itu menyangkut nama baik suami juga anak saya. Suami dan anak saya saja yang berhubungan langsung dengan hal ini tidak ambil pusing. Bagi mereka biarlah orang /kerluarga besar beranggapan apa pun, yang penting bagi mereka mereka sudah berlaku benar.

Apa lagi anak saya dia benar-benar tak menghiraukan hal ini. Dia menjalani hidup seperti biasanya: menikmati musik, bermain musik, melayani di gereja, sekolah, mengerjakan tugas sekolah, bercanda, nonton jajan jazz, main game, dll. Tak ada tanda-tanda kuatir dengan nama baiknya. Saya, ibunya, malah belajar dari dia.

Sejak peristiwa itu saya tak pernah terlalu kuatir dengan nama baik dan anggapan orang tentang diri saya dan nama baik saya. Saya hanya peduli apa yang saya lakukan adalah benar di hadapan Allah juga manusia. Kalau kita bertujuan benar dan berlaku benar akhirnya akan terlihat yang mana emas murni dan yang mana imitasi.

Saya kagum dengan anak laki-laki saya (Aga) dan suami saya (Bob) dalam menghadapi masalah nama baik dalam keluarga besar kami. Mereka tenang dan kalem. Tidak banyak bicara, tidak menyatakan reaksi. Tetap adem. Wah… mereka memang hebat! Prinsip mereka: biarkan saja mau bicara apa, yang penting kan kita tidak seperti apa yang dibicarakannya. Nanti juga diam sendiri kalau sudah lelah. Akhirnya juga orang tahu mana yang benar.


(Hari Ibu, 22 Desember 2010)