Jumat, 05 Agustus 2011

SEORANG IBU DENGAN 4 ORANG ANAK

Ch. Enung Martina

Alkisah ada seorang  perempuan dengan 4 orang anaknya. Anak sulung sudah duduk di bangku SMA, anak kedua berada di SMP, anak ketiga di SD, dan anak keempat di TK. Keempat anaknya bertumbuh dengan baik dan maju dalm pendidikannya. Banyak orang memuji  keberhasilan ibu ini dalam mendidik anak2nya.

Namun, orang-orang tidak mengetahui persis apa yang terjadi dengan keluarga ini. Mereka menyangka bahwa keluarga ini baik-baik saja. Karena memang demikian tampaknya dari luar. Kenyataannya, perempuan ini mempunyai tempramen yang buruk. Dia mendidik anaknya dengan sangat disiplin. Terkadang segala sesuatu keinginan perempuan ini harus dituruti. Bila tak dituruti, anak-anak akan kena sasaran amukannya. Setiap hari marah. Ada saja hal yang dijadikan masalah. Hal kecil menjadi nampak besar dan akan menyulut marahnya.

Meskipun demikian perempuan ini juga terkadang bisa juga berbelas kasih. Dia tak akan membiarkan ana-anaknya terlantar. Karena bila sampai terlantar, itu akan menurunkan prestisenya di mata orang-orang. Bagi perempuan ini, prestise sangatlah penting. Ia sering melakukan tindakan amal. Namun, bila diperhatikan dengan sungguh, perbuatannya tersebut semata untuk mengibarkan namanya di depan kolega-koleganya.

Perempuan ini juga rupanya terkenal dengan pilih kasihnya. ia menganut azas like and dislike. Dia akan memberikan apa pun kepada orang yang disuakinya. Hal ini sering dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mengeruk keuntungan darinya. Namun, perempuan ini tak menyadarinya karena orang tersebut orang yang disukainya.

Di samping itu perempuan ini dikenal sebagai orang yang sangat pandai, disiplin, dan mandiri. Dia merasa tak ada orang yang mengalahkannya. Karena sifatnya inilah banyak orang mengagumi dan segan olehnya. Dia sadar sekali akan kelebihannya itu. Terkadang nampak dia arogan dengan kemampuannya itu.

Kembali kepada sifatnya yang pilih kasih, rupanya berlaku juga kepada anak-anaknya. Mari kita melihat seperti apa sifat anak-anaknya ini. Si sulung (SMA), ia adalah anak yang sangat cerdas, sedikit licik, pandai memanfaatkan situasai, pandai membolak-balikkan fakta untuk mencari perhatian dan cinta dari ibunya. Bahkan si sulung ini tak peduli bila harus 'makan' adik-adiknya, terutama yang SMP. Dia sangat pandai untuk melakukan tipu daya dan rekayasa kenyataan demi keselamatan dari amuk ibunya. Dia akan mencari cara bagaimana agar cinta ibunya tumpah padanya. Dia sering memanfaatkan kesulugannya untuk beberapa tujuan yang berkaitan dengan relasi dengan ibunya.

Anak kedua (SMP), dia seorang anak yang lemah fisiknya, banyak mengalah, tak pernah mau pamer, tak ingin muncul, rendah hati, pemalu, namun sebenarnya dia cerdas, bahkan kecerdasannya dan kreativitasnya bisa melebihi saudara-saudaranya. Ada salah satu kolega ibunya yang ditunjuk oleh sang ibu untuk memberikan pelatihan kepada keempat anak ini. Kolega ini seorang yang objektif. Ketika dimintai laporan tentang kemajuan keempat anaknya oleh perempuan ini, ia memnyebutkan bahwa anak kedua adalah seorang anak yang beyond. Melampau saudara-saudaranya. Anak ini mampu melihat dengan jeli dan kritis serta kreatif melihat suatu masalah. Tetapi sayang, sang ibu rupanya tidak menyukai anak SMP ini. Ibunya selalu mencap bahwa anak ini tidak mencuat, lamban, malas, dan bodoh. Meskipun dilecehkan oleh ibunya sendiri, anak ini tetap dengan kemurniannya untuk terus maju melangkah meraih cita-citanya. Banyak prestasi yang diraihnya, tetapi sang ibu seolah tak melihat hal itu. Ketika mendapatkan juara di olompiade fisika saja yang keluar dari mulut ibunya adalah: saya mengeluarkan uang begitu banyak untuk kamu! Tak ada pujian, tak ada penghargaan. Yang ada hanya cacian. Anak ini hanya bisa menahan rasa sakit hatinya. Namun, ia bertekad dalam hati bahwa ia akan menunjukkan kepada ibunya, kepada saudara-saudaranya, dan  kepada dunia bahwa ia bisa. Beberapa ketidakadilan yang lain contohnya adalah: laptop anak SMP diambil dan diberikan kepada anak yang SD. Ketika ada ujian/ulangan, anak-anak lain boleh libur dari tugas sehari-hari di rumah untuk persiapan ujian/ulanga, tapi anak SMP harus tetap mengerjakan tugasnya. Dengan ancaman yang tegas sang ibu mengatakan bahwa anak SMP paling tidak harus meraih angka 95! Begitulah...ia diperlakukan. Tetapi, anak ini tetap tabah menjalankan semuanya meskipun dengan tangisan dan rasa sakit hati. Justru perlakuan yang pilih kasih inilah, anak ini malah semakin bertumbuh menjadi pribadi yang alot, kuat, dan berkarakter.

Anak ketiga, duduk di SD. Dia tidak begitu dekat dengan ibunya. Namu, justru itulah dia banyak selamat dari banyak masalah. Terkadang dia suka melarikan diri dari kesalahan yang dibuatnya. Dia akan mencari alasan untuk keselamatan dari kemarahan sang ibu. Anak ini terkadang sering lari dari tanggung jawabnya. Bila ada masalah membelit dia akan menyalahkan situasi, saudaranya, alat, alam, atau apa pun yang ada di luar dirinya. Dia banyak selamat dari masalah-masalah moral yang sebetulnya sangat prinsipil. Bila dia ketahuan tak mengerjakan tugasnya, maka dia akan menyalahkan pembantunya. Akhirnya kemarahan sang ibu jatuh kepada pembantunya, dan yang harus menanggung adalah pembantunya. Sebetulnya anak ini agak lambat, tetapi karena dia pandai mencari alasan, maka selamatlah dia.

Anak bungsu, ada di TK. Ia seorang anak yang masih kecil, masih lucu, dan sangat riang. Karena kesibukan sang ibu, anak ini juga jauh dari ibunya. Tak begitu banyak kenakalan yang dilihat dari anak ini. Yang tampak adalah kenakalan kanak-kanak yang menggemaskan.

Begitulah keempat sosok anak-anak yang berbeda karakter. Pertanyaan saya, bagaimanakah nasib anak-anak ini kelak ketika sang ibu sudah tiada? Adakah keempat anak ini akan bertahan dan melanjutkan hidup mereka dengan berhasil? Adakah sifat-sifat mereka mempengaruhi mereka dalam menghadapi hidup? Adakah mereka akan akur satu sama lain? Adakah perempuan ini menyadari akan perlakuannya yang penuh dengan pilih kasih? Apakah perempuan ini menyadari bahwa ada luka-luka yang dia buat untuk anaknya mempengaruhi hidup mereka? Adakah dia juga sadar bahwa hidup tidak selalu berpihak padanya?