Sabtu, 19 Januari 2013

PRIBADI BERMUTU


Ada kalanya pandangan tentang hidup begitu jernih terlihat, tetapi ada kalanya segalanya menjadi tampak kabur. Pada saat segalanya kabur, kita bisa disesatkan. Namun, saat itu kita juga disadarkan bahwa kesetiaan tidak dijamin oleh pemahaman, tetapi oleh kedalaman hubungan pribadi dengan Tuhan dan bagaimana kita tinggal di dalam Dia.

Mutu seseorang tidak dijamin oleh tingginya pendidikan, tetapi oleh dalamnya kesadaran diri akan jati dirinya, sesamanya, dan Tuhan. Demikian juga mutu pribadi seseorang dalam dunia kerja bukan dilihat  dari tingginya pangkat atau golongan, bukan juga  dari bagaimana bagusnya laporan yang dia buat, atau bukan pula dari pandainya dia berkata-kata di depan forum, tetapi bagaimana dia melakukan tugasnya dengan setia dan penuh dedikasi tanpa melihat kehadiran atau ketidakhadiran atasan.

Jika kita merasa segalanya masih tetap suram, kita diajak untuk belajar mengagumi Tuhan yang terus berkarya secara tersembunyi. Saat hati sungguh disentuh oleh cinta Tuhan, pandangan kita pun kembali jernih.

Entah berapa banyak model barang elektronika diciptakan setiap harinya. Iklan untuk menawarkannya pun silih berganti. Tuntutan pasar dan persaingan ketat semakin cepat untuk memproduksi model baru. Karena itu, tidak ada perangkat yang sempurna. Jika kita membeli satu untuk hari ini, segera besok muncul produk baru yang lebih canggih, lebih cepat, dan lebih murah. Berkata ya untuk sebuah produk diartikan tidak untuk yang lain.

Demikian, begitu banyak hal baru yang kita temui dalam hidup kita sehingga terkadang kita bingung dalam memilihnya. Terkadang hal baru itu belum tentu benar atau sesuai dengan kebutuhan kita. Tentunya diperlukan kebijakan dalam memilihnya.

Kembali kepada pribadi yang bermutu, meskipun ada banyak hal baru yang memerlukan seleksi dalam memilih, pribadi ini dengan bijak akan mampu memilahnya. Meskipun perkembangan zaman begitu cepat, namun tak mampu  menggerus pribadi bermutu. Keadaan atau tantangan apa pun yang ada di hadapannya, akan dihadapi dengan keuletannya.

Ketika terpapar kenyataan bahwa tak ada yang menghargainya, pribadi bermutu tetap setia dengan pilihannya untuk tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Dia tak terpengaruh oleh terpaan jaman atau terhanyut suasana di sekitarnya. Mungkin sekali- sekali ia tergoyah dengan apa yang telah dipilihnya. Mungkin pula suatu waktu ia ragu dengan pilihannya karena melihat kenyataan bahwa ada hal lain yang lebih menggiurkan, yaitu untuk tidak berkomitmen. Mungkin pula akan muncul berbagai pertanyaan.  Banyak hal selalu bisa dipertanyakan, dari yang sederhana hingga yang paling rumit. Pertanyaan yang semakin rumit terus muncul. Pertanyaan yang makin rumit itu terus dibuat karena terkadang ia takut  akan jawaban yang sebenarnya yang akan menuntutnya begitu keras.

Namun, kembali ia akan melihat pilihannya. Dia akan mencari peneguhan dari sumber yang benar yang mampu menegakkan kembali pendiriannya untuk berkomitmen dalam hidup. Tidak ada penjelasan hebat yang mampu memuaskan. Pengalaman pribadi bersama Tuhan  jauh lebih meyakinkan daripada segala macam pertanyaan dan jawaban yang hebat sekali pun.

Untuk sebuah tindakan heroik dibutuhkan keberanian. Seorang hero akan melakukan perbuatan besar yang mampu membuat kagum orang lain. Heroik bagi satu orang belum tentu bagi yang lain. Pangeran Dipenogoro adalah seorang pahlawan bagi Indonesia, tetapi pemberontak bagi pemerinatahan Hindia belanda. Robinhood adalah seorang penolong bagi rakyat jelata, tetapi perampok menurut penegak hukum.

Sudah tentu para hero ini akan mendapatkan penghargaan dari banyak pihak. Namun, bagi pribadi bermutu keheroikan  tidak dilihat dari perbuatan besar yang mendapat pengharagaan besar saja. Keheroikan juga dilihat dari perbuatan kecil, sederhana, yang ecek-ecek, yang bagi orang tertentu dianggap tak penting. Pribadi bermutu akan tetap melakukan tindakan-tindakan kecil itu dengan setia. Melakukan tugasnya dengan iklas. Bila dia seorang guru, dia akan memperlakukan siswanya dengan penuh cinta, datang tepat waktu - bahkan jauh sebelum waktu, tidak meninggalkan kelas dan duduk di ruang guru, mengajar siswanya dengan penuh tanggung jawab, memberikan semua hal administratif yang diperlukan.

Begitulah pribadi bermutu. Saya mengenal begitu banyak pribadi bermutu. Namun, terkadang dunia tak melihatnya. Mutiara-mutiara ini adalah milik Tuhan yang hadir di tengah-tengah kita untuk membuat dunia ini nyaman. Mutiara-mutiara ini tak bersinar karena terkadang terhalang oleh lumpur kekalutan dunia. Dunia lebih memandang pada yang penuh gemerlap dengan keindahan harta atau juga pandai berkata-kata dan pandai memanipulasi. Mereka ini eksis di dunia dengan kegemerlapannya mereka hadir di antara mutiara-mutiara yang terbenam tadi. Mereka begitu percaya diri dan rasa percaya diri mereka menenggelamkan butiran mutiara ini.

Namun, mutiara atau pribadi yang bermutu ini, dia akan tetap abadi dari waktu ke waktu. Mereka tidak seeksis para hero dunia. Namun, kehadirannya sungguh menjadi berkat bagi dunia. Karena itu tetaplah berjuang para mutiara untuk mempertankan pribadimu yang bermutu itu. Karena dengan pribadimu yang bermutu memberi dampak yang baik bagi dunia.
Ch. Enung Martina

Kamis, 17 Januari 2013

REFLEKSI MALAM JUMAT


MENGEJAR IMPIAN

Kita sebagai individu dengan hati yang baik dan niat yang baik mempunyai impian-impian yang patut dikejar. Namun, terkadang kita menyerah karena terlalu banyak rintangan untuk meraihnya. Saat-saat seperti itu terasa pahit. Namun, pada saat kesadaran akan pentingngya mewujudkan impian-impian kita muncul, ada segurat rasa segar – ada sebaris rasa manis yang menghangatkan jiwa kita. Rasa cinta terhadap diri sendiri – sebuah kejujuran pada diri bahwa kita berhak untuk meraih apa yang kita impikan. Kita berhak untuk mendapatkan yang terbaik untuk diri kita. Rasanya aliran rasa yang manis dan sejuk itu sejenak menentramkan diri kita, Ya,… aku memang pantas untuk mendapatkan hal yang terbaik dalam hidupku. Apalagi, kalau selama ini kita juga sudah banyak memberi kepada keluarga, lembaga, teman, masyarakat, atau siapalah itu. Kita memang layak mendapatkan apa yang kita harapkan.

Namun, perkaranya adalah untuk meraih impian itu ternyata tidaklah mudah. Tidak segampang kalau kita bicara. Memang betul. Sesuatu yang berharga itu tidak didapatkan begitu saja. Perlu ada air mata, keringat, energi yang dihamburkan, dan juga… penderitaan! Selamat datang penderitaan. Jangan takut, kita memang terbiasa menderita. Kita sudah akrab dengan kata itu. Karena berkat penderitaan aku dan kamu jadi orang yang paling liat, ulet, tanpa kenal putus asa, dan jelas menjadi pribadi tangguh yang tak terkalahkan oleh rongrongan dan bahaya laten yang selalu siap mengancam kita.

Ho….ho….ho… kita memang bangsa penakluk, tetapi untuk menaklukkan diri sendiri itu yang paling sukar, bukan? Mari kita kembali pada impian-impian kita!
Impian harus kita wujudkan, harus kita raih agar kita bisa tentram, tidak penasaran. Dan tentu saja kita menjadi pemenang karena kita berhasil meraihnya. Huh… sungguh kememenangan yang manis karena untuk meraihnya kita harus menderita.

Kita memandang diri kita : bagaimana aku tahu bahwa aku bisa meraih impianku?
Ya… harus dicoba. Kita tak akan tahu kita bisa atau tidak kalau tidak kita coba. Keputusan untuk mengambil langkah pertama itu sangat penting. Dan langkah pertama itu biasanya memang godaannya banyak. Godaan yang laten itu dari orang-orang terdekat kita biasanya, tapi yang paling laten dari yang terlaten itu ya… diri kita ini. Kita merasa takut karenanya. Kita melangkah begitu jauh ke luar dari wilayah nyaman kita. Dengan sekuat tenaga, kita menahankan rasa takut kita. Kita memaksa diri kita untuk melakukannya. Kadang-kadamg kita merasa terintimidasi dengan perasaan kita terhadap segala hal di luar diri kita.

Dalam proses meraih impian, pada suatu ketika, kita membuat kesalahan yang membuat kita sangat malu. Saat itu rasanya kita ingin mati saja. Kita berdoa mudah-mudahan kita bisa menghilang atau bumi menelan kita. Tapi harapan itu tidak terjadi, kita masih ada dan harus menanggung rasa malu kita. Ternyata, peristiwa yang memalukan itu tidak membuat kita mati. Kita masih baik-baik saja. Kita menanggungkannya, bahkan melewatinya. Saat-saat yang demikian menjadi titik balik bagi kita untuk selalu mencoba dan berjuang tanpa kenal putus asa untuk mencapai impian kita.

Jangan pernah meremehkan impian-impian kita. Pada saat kita berjuang untuk meraihnya, ada juga masa penantian untuk melihat apakah usaha kita berhasil atau tidak. Masa penantian seperti itu terasa menyesakkan karena kita terombang-ambing ketidakpastian. Kala kita menghayati dan menikmati penantian kita, segalanya terasa berjalan sangat pelan, seolah tak bergerak, namun teras sangat manis dalam ketaksabaran dan rasa penasaran.

Minggu, 06 Januari 2013

DIALOG HATI DI AWAL TAHUN



Ada banyak pengalaman yang tidak dapat diceritakan dan tidak terceritakan. Ada kalanya kita merasa apa yang kita lakukan dan alami sepertinya tak mendapat penghargaan. Kita bekerja untuk diri sendiri, keluarga, atau untuk perusahaan/ yayasan. Mungkin anda dan saya bekerja sedemikian rupa hingga waktu untuk diri sendiri saja tak punya. Kita merasa ketika kita melakukan pekerjaan tersebut, waktu berlalu begitu cepat. Namun, kita merasa semua yang dilakukan pun seolah berlalu begitu saja. Tak ada apresiasi, tak ada arti. Bahkan, bisa jadi pernah mengalami sudah lelah bekerja masih mendapat bonus omelan, celaan,  atau kemarahan, bahkan lebih keras lagi makian. Seolah hal yang sudah dilakukan dengan segenap jiwa dan raga tadi begitu saja menguap di udara. Boro-boro ucapan terima kasih atau apresiasi, yang kita tuai adalah sakit hati. Lantas hati kita berteriak minta keadilan. Di manakah keadilan?

Namun, bila kita duduk untuk merenungkannya serta membuka hati bahwa semua hal baik  yang pernah dilakukan ada gunanya untuk diri kita dan orang lain. Dan, satu hal yang lebih penting, hal tersebut di mata Tuhan.

Teringat dengan apa yang Romo Thomas Tj, SJ. katakan: bahwa kita melakukan segala sesuatu hendaknya dengan hati terbuka. Dengan membuka hati, maka kasih Tuhan yang selama ini sudah diberikan-Nya untuk kita, bisa kita terima dengan baik. Kuncinya adalah pada membuka hati.

Seringnya kita melakukan pekerjaan kita baik di rumah atau di tempat kerja kita dengan seluruh raga dan otak kita, tanpa melibatkan hati lebih banyak di dalamnya. Rupanya bila kita bekerja tanpa melibatkan hati, hanya otak yang bekerja, kita menjadi cepat lelah. Ketika kita bekerja, yang kita pikirkan adalah upahnya atau penghargaan (dari keluarga, teman, atasan). Kita bekerja dengan pamrih. Kita melakukan sesuatu dengan hitung-menghitung ini dan itu. Ternyata hitung menghitung itu adalah pekerjaannya si otak.Otak kita sangat mahir untuk hitung – menghitung. Saat kita bekerja lembur, misalnya, otak kita lantas menghitung berapa banyak bayaran yang akan diterima. Begitu kita menerima bayaran tak sesuai dengan harapan kita, kita langsung kecewa. Apalagi kalau kita tak menerima sedikit pun upah dari jerih lelah kita, rasanya ingin meradang – menerjang (meminjam istilah Chairil anwar dalam sajaknya yang berjudul  Aku ).

Begitulah kita. O, maaf, saya, maksudnya. Selalu otak yang diutamakan dalam tindakan kita. Sementara itu, sang hati diam karena tak diajak serta. Namun, bila kita mengajak serta sang hati, situasi akan berbeda. Meski saya lembur tiga hari sampai malam dan ternyata tak mendapat upah sepeser pun karena sudah merupakan kewajiban saya sebagai pegawai, bahkan apresiasi kata terima kasih pun tak saya dapatkan, reaksi saya adalah tenang-tenang saja, iklas menerima, tanpa omelan, atau gerundelan sedikit pun dari mulut saya, bahkan di hati sekali pun tidak.

Saudaraku, saya tahu keiklasan, ketulusan, dan kemurnian, dan keterbukaan hati seseorang niscaya akan terpancar dari wajah dan aura tubuh orang itu. Kemurnian akan kinclong bagai mutiara yang cemerlang.

Saya yang protes: saya tahu hal itu, tetapi... Nah, .... kan, manusia itu selalu ada ‘tapi’nya.

Saya lanjutkan protes saya: Tapi saya perlu uang untuk membeli susu untuk anak saya tumbuh. Selain itu, anak saya berhari-hari ditinggal sampai jauh malam. Apa dong bentuk pengganti dari semua itu?

Kebenaran berkata lagi: Kamu tahu siapa yang mengatur hidup manusia dan kamu termasuk di dalamnya?
Saya menjawab: Tuhan.

Kebenaran bertanya lagi: kalau begitu siapa yang akan mengatur rejeki untuk mendapatkan uang untuk membeli susu anakmu?

Saya menjawab lagi: Tuhan.

“Nah, kamu tahu semua karena Kasih Tuhan bukan?”  Kebenaran bertanya lagi.
Saya masih mau menjawab: Tapi....,

Kebenaran berkata dengan tegas: Sudah jangan cerewet kalau kamu mau ikut Yesus!

Saya K.O. Kelepek.... Kelepek....Kelepek!


Jelupang, awal tahun 2013
Ch. Enung Martina