Sabtu, 30 Maret 2013

KESOMBONGAN ROHANI


Ada sebuah kutipan dari karya Louis Naskins yang ditulis di atas makam Raja Gregorius VI berbunyi:
“ Berikan sebuah lampu kepadaku agar aku dengan aman dapat memasuki dunia ketidaktahuan.”
Dan dia pun menjawab:
“ Pergilah memasuki dunia kegelapan dan letakkan tanganmu dalam genggaman Tuhan. Hal itu akan lebih baik daripada lampu dan lebih aman daripada jalan yang jelas.”

Dalam hidup, kita pernah mengalami situasi ruwet, mendung, kelabu, bahkan gelap. Hal itu menyebabkan suasana hati menjadi tawar , tak bergairah. Ketika hati kita tawar, semuanya terasa tidak pas dan tidak pasti. Hal yang biasanya kita lakukan pun berlalu begitu saja tanpa dimaknai. Banyak penyebabya yang membuat situasi hati demikian. Bisa saja karena terpengaruh oleh omongan orang, bisa juga karena mendapat musibah/masalah, atau karena tak kesampaian apa yang diharapkan, bisa juga karena frustasi dengan kenyataan hidup. Namun, apa pun yang dialami tak akan berpengaruh bila kita memutuskan untuk tidak terpengaruh.

Saya sendiri adalah tipe orang yang mudah terpengaruh situasi. Darah saya langsung menggelegak bila menghadapi situasi tertentu. Karena itu, keadaan hati saya selalu naik turun. Apalagi dulu tatkala saya muda, saya cenderung meledak-ledak. Namun, ketika usia sudah menjelang uzur seperti sekarang, ledakan itu makin mengecil dan frekwensinya makin berkurang. Mungkin energi saya pun mulai surut. Selain itu, saya pun memutuskan untuk tidak terpengaruh dengan situasi buruk di sekeliling. Meskipun saya tahu itu tidak mudah tentunya. Jujur saja, terkadang saya masih terpengaruh juga. Saya sadar, bahwa saya terpengaruh atau tidak adalah atas keputusan saya sendiri. Saya mempunyai kebebasan untuk memutuskannya.

Saya berpendapat kesesakan atau masalah itu akan selalu ada sepanjang usia kita. Namun, sikap hati kita yang akan menjadi kunci, apakah kesesakan itu mempengaruhi saya dan menawarkan hati saya. Saya berpendapat meski saya mengeluh panjang pendek kepada siapa saja yang saya jumpai, kesesakan itu tetap tak beranjak dari diri saya. Bahkan, bisa semakin berat karena saya mendramatisirnya. Akhirnya langkah yang saya ambil, daripada mribeni orang dengan keluhan saya, saya lebih baik diam sambil mencari jalan keluarnya. Bila perlu dibicarakan dengan orang tertentu.  Saya akan memilih orang yang saya bisa ajak bisa berbagi dan bisa saya percaya. Kalau ternyata masih tidak menolong juga, ya... sudah saya menjalaninya saja. Toh akhirnya ketika roda waktu berputar, kesesakan itu akhirnya berlalu juga.

Menurut saya, keluhan malah menjadi polusi bagi lingkungan sekitarnya karena menjadi polusi bagi lingkungan karena membawa emosi negatif. Akan tetapi, rupanya menurut yang saya alami, tidak hanya keluhan saja yang membawa emosi negatif, ‘pameran’ keberhasilan pun ternyata bisa membawa emosi negatif juga. Saya pernah mendengar orang memamerkan keberhasilannya dengan membawa nama Tuhan. Sebetulnya tujuan orang itu mungkin mau memberi kesaksian tenntang kemurahan Tuhan dalam hidupnya. Namun, lama-kelamaan kesaksian bergulir bukan kebesaran Tuhan, malah berpusat pada dirinya dan keberhasilannya.

Contoh kejadian: “Tahu nggak sih, aku bersyukur banget lho sama Tuhan. Ternyata Tuhan itu baik banget. Aku bisa beli rumah dekat gereja. Jadi aku nggak usah jauh-jauh  jalan ke gereja.”  Kali lain lagi ada kesaksian lain: “ aku bersyukur banget lo, aku bisa membeli...., suamiku bisa ....” 
Sepertinya ungkapan di atas memang ungkapan syukur, tetapi bila kita perhatikan ujung-ujungnya mengagungkan diri sendiri: Aku bisa beli...., suamiku bisa.... Subjeknya aku, bukan Tuhan. Dalam kasus di atas orang tersebut bisa saja meletakkan Tuhan sebagai pelengkap atau hanya keterangan alat untuk memenuhi semua yang dia harapkan.

Awalnya saya merasa sebal juga tiap kali disuruh mendengarkan kesaksian yang berakhir dengan pameran itu. Kalau pameran yang membawa nama Tuhan itu didengar oleh orang yang sedang mempunyai masalah, kesusahan, atau lemah iman, bisa jadi tanggapannya menjadi lain. Orang tersebut bisa beranggapan Tuhan itu kok  pilih kasih. (O, ya... maafkan  saya Tuhan, terkadang saya masih berpikir Tuhan itu tak adil untuk kasus tertentu).

Kalau tanggapan saya sendiri dengan kesaksian pameran itu sedikit berbeda. Tuhan itu luar biasa! Orang ini bisa membeli rumah dekat gereja, tetapi justru Tuhan membangun rumah-Nya dekat rumah saya. Ayo mana yang ajaib dan luar biasa? (Sebetulnya kalau dilihat dari kacamata iman keduanya luar biasa, tetapi biar lebih dramatislah, saya pilih yang Tuhan membangun rumah-Nya dekat rumah saya.) Memang betul bagi saya yang tidak bisa membeli rumah dekat gereja, pembangunan Gereja Santo Ambrosius, Vila Melati, itu sungguh luar biasa. Bayangkan saja pergi ke gereja itu, saya tinggal berjalan 10 menit. Bagi orang lain, mungkin biasa saja. Bagi saya, itu sangat luar biasa!

Sedikit saja seseorang berada di atas angin, orang itu biasanya mulai dengan ingin menunjukkan diri,Manusia memang sering terjatuh pada kesombongan dan keegoisan. Kata para teolog, kesombongan itu merupakan salah satu akar dosa. Seperti contoh di atas, kita memuji nama-Nya, tetapi untuk menonjolkan keberhasilan yang saya raih, bukan bersaksi tentang ke- Maha Muraha-an Tuhan. Berbicara tentang kesombongan kita sering terjatuh pada yang sering  disebut kesombongan rohani. Tanpa kita sadari, kita mengatakan bahwa berkat doa saya seseorang sembuh, berkat doa saya keluarga saya berhasil, berkat doa saya komunitas saya maju. Semua tertuju kepada saya, bukan kepada Tuhan.

Namun sisi  lain, pada saat dalam keadaan kesesakan, saya mengeluh panjang pendek sehingga membuat orang yang ada di sekitar saya tercemar keluhan saya. Beban hidup yang paling berat sepertinya milik saya. Lantas terpikirkan: Bisakah saya menahan keluhan tertahan sampai kerongkongan saja? Saya merasa saya perlu mengeluarkan unek-unek saya. Belum lega kalau belum keluar. Mengganjal di hati malah jadi penyakit nanti. Demi kesehatan jiwa saya harus membebaskan uneg-uneg saya ini!

Boleh saja mengeluarkan uneg-uneg dan itu memang harus. Namun, semua ada tempatnya yang tepat. Carilah orang yang tepat, yang bisa dipercaya. Bukan semua orang disekitar menjadi sasaran keluhan. Dengan mencari orang dan waktu yang sesuai akhirnya saya bisa berbicara dengan leluasa dan nyaman. Dengan demikian mengeluh saya menjadi lebih bermartabat.

Dari semua peristiwa: suka-duka dan  yang dikeluhkan-yang dipamerkan, semuanya bisa membawa kemajuan pada kemajuan spiritual saya. Segala peristiwa dalam hidup bisa membawa pada relasi saya dengan Sang Pencipta. Hal itu bisa terjadi bila saya memaknainya dengan rasa syukur. Jangan salah, peristiwa keberhasilan pun bisa menjauhkan kita dari Allah. Justru kebalikannya, ada peristiwa kejatuhan dalam hidup seseorang membawa kembali orang itu kepada Allah.
Dengan demikian apa yang dikatakan penyair di atas: Pergilah memasuki dunia kegelapan dan letakkan tanganmu dalam genggaman Tuhan. Hal itu akan lebih baik daripada lampu dan lebih aman daripada jalan yang jelas.”

Demikianlah dinyatakan kepada kita bahwa bila kita 100% percaya, tanpa cerewet, tanpa bertanya, dan  tanpa mengeluh, akan rancanagan-Nya, niscaya damai sejahtera dan suka cita akan bersama kita sepanjang hidup kita. Amin. (Ch. Enung Martina)

Selasa, 12 Maret 2013

KISAH DI BALIK PASKAH


Bagi orang Yahudi kuno, mengenangkan sebuah peristiwa religius lebih dari sekedar mengingat-ingat kembali sesuatu yang terjadi berabad-abad sebelumnya. Sebaliknya, mengingat peristiwa tersebut berarti membawa orang masuk ke dalam realitas dan menghidupinya kembali lewat iman.

Demikian pula ketika orang Yahudi mengenang perayaan Paskah Yahudi setiap tahun, mereka melakukannya lebih dari sekedar mengingat peristiwa pembebasan leluhur mereka dari mesir. Namun, lebih dari itu, dengan mengenangkannya, mereka membawa peristiwa itu memasuki masa kini dan menghidupinya kembali. Dengan cara ini mereka menerima berkat yang sama dari peristiwa tersebut seperti yang diterima para leluhur mereka dulu.

Paskah Yahudi dilakukan pada malam hari, tepat setelah munculnya bintang-bintang pertama. Itulah sebabnya setiap orang merayakannya pada saat yang sama sebagai sebuah keluarga. Ketika bintang-bintang pertama bermunculan 2000 tahun yang lalu, Yesus bertindak sebagai seorang bapak, memulai rangkaian perayaan Paskah Yahudi. Cara yang Dia lakukan cukup mencengangkan para murid yang ikut bersama-Nya kala itu. Dia melakukan ritual itu dengan membuka jubah luar-Nya dan membasuh kaki para rasul-Nya.
Bagi orang Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah tindak perendahan diri. Hanya para budaklah yang membasuh kaki orang lain. Itulah sebabnya tindakan Yesus  membekaskan suatu perasaan yang mendalam dalam diri para rasul.

Dalam Paskah Yahudi biasanya digunakan anggur merah untuk mengenangkan ambang pintu bertandakan darah di Mesir pada masa Musa membebaskan orang Israel. Perjamuan Yahudi biasa  dimulai dengan pemecahan roti terlebih dahulu. Namun, pada saat Paskah Yahudi, perjamuan dimulai dengan makan sayur pahit. Sayuran pahit mengingatkan tahun-tahun perbudakan yang getir di tanah Mesir. Kemudian perjamuan dilanjutkan dengan makan roti tak beragi untuk mengingatkan keberangkatan yang tergesa-gesa keluar dari Mesir.

Mari sekarang kita mengaitkannya dengan tokoh utama kita, Yesus. Menjelang penyaliban-Nya, Yesus mengadakan perjamuan bersama para rasul-Nya. Perjamuan itu tak terlupakan oleh mereka. Perjamuan tersebut merupakan cikal bakal Ekaristi yang setiap minggu kita ikuti.Semoga perjamuan Ekarisisti tidak hanya sekedar menerima hosti yang menjadi tradisi Gereja Katolik saja, tetapi bisa dimaknai mendalam. Seperti halnya orang Yahudi yang mengenagkan peristiwa religius mereka dengan keyakinan bahwa  mengingat peristiwa tersebut berarti membawa orang masuk ke dalam realitas dan menghidupinya kembali lewat iman.

Paskah Kristen berbeda dengan Paskah Yahudi. Paskah Kristen mengingatkan kita pada peristiwa Kebangitan Yesus dari kematian. Kematian Yesus diuraikan oleh Mark Link, SJ dalam bukunya Journey sebagai tanda, undangan, dan pewahyuan. Dikatakan tanda karena kematian Kristus merupakan tanda kedalaman kasih Yesus kepada manusia dan tanda ketaatan sekaligus kasih  kepada Bapa. Dikatakan sebagai undangan karena kematian-Nya merupakan undangan untuk saling mengasihi seperti yang telah dicontohkan sendiri oleh-Nya. “ Kasihilah satu sama lain seperti Aku mengasihimu.” (Yoh. 15:12). Dinyatakan sebagai pewahyuan karena kematian Kristus mewahyukan tentang kasih yang sering dilupakan. Sekaligus juga mewahyukan bahwa cinta menuntut penderitaan. Dari kita dituntut untuk mengikuti-Nya tanpa cerewet. “Barang siapa mau mengikut  Aku, harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti Aku.” ( Mark. 8:34)

Bagaimana dengan kita sendiri berkaitan dengan Paskah ini? Sebagai orang Katolik memang kita menjalani ritual yang selayaknya secara liturgis dijalani. Namun, terkadang hanya sebatas ritual. Meskipun begitu, saya masih melihat sisi lain bahwa baiklah itu, orang Katolik pada Pekan Suci rajin datang ke gereja untuk mengikuti semua ritual. Itu tandanya ada niat baik. Bahkan orang yang jarang terlihat pun datang ke gereja. Alangkah baiknya bila niat baik untuk mengikuti rangkaian Pekan Suci itu juga dibarengi dengan sikap hati yang ditunjukkan dengan perilaku. Lebih elok lagi bila akhirnya semua kegiatan liturgis itu menjadi tanda perubahan dalam sikap dan tingkah laku kita keseharian. Semangat Paskah membawa kita pada sikap hidup yang baik. Paskah membawa kita lebih membuka hati pada Bapa  untuk berelasi dengan-Nya , merasakan kasih-Nya, dan mensyukuri  kasih-Nya.

Setiap upacara liturgi yang kita ikuti kiranya mampu membawa kita mengenangkan peristiwa religius lebih dari sekedar mengingat-ingat kembali sesuatu yang terjadi berabad-abad sebelumnya, tetapi membawa kita mengingat peristiwa tersebut masuk ke dalam realitas dan menghidupinya kembali lewat iman. AMIN.
(Ch. Enung Martina)