Selasa, 23 April 2013

BERMAIN = BELAJAR



Saya yakin, para orang tua tidak setuju dengan pernyataan di atas, termasuk saya di dalamnya. Orang tua akan beranggapan bahwa belajar, ya belajar, tidak main-main. Belajar bukan permainan. Betul, Pak, Bu?  Ya, setuju. Saya juga mengamini. Namun, rupanya sudut pandang kita sekarang sudah harus digeser sedikit agar kita bisa mengubah pendapat tentang hal ini.

Sejak zaman baheula orang tua kita, turun temurun, mewariskan kepada kita bahawa belajar ya belajar, jangan main-main. Ada saatnya belajar dan ada saatnya bermain. Begitu kan pengetahuan saya dan Anda?  

Ternyata, pendapat itu kurang tepat alias keliru. Mengapa? Karena Bapak Johan Huizinga berpendapat manusia itu adalah mahluk bermain. Man the palayer. Homo ludens. Begitu kata beliau. Pendapat itu dikuatkan lagi oleh Bapak Frederich Niezsche: Dalam diri seorang pria (manusia) dewasa yang sejati, tersembunyi anak kecil yang selalu bermain-main. Nah, lo!

Bermain adalah kegiatan penting bagi manusia. Otak manusia selalu mencari pola, arti, dan hubungan  antarperistiwa yang merupakan proses kognitif (mencari pengetahuan). Sebetulnya proses itu berlangsung  secara efektif pada saat bermain. Bermain sifatnya sangat menarik perhatian, penuh imajinasi, dan menggembirakan. Saat bermain sebenarnya awal anak mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah, berkonsentrasi, mempunyai kesadaran tentang konsep, melatih koordinasi fisik, mengembangkan kreativitas, dan mengembangkan ketrampilan bersosial. Begitu kata para ahli.


Dulu, seperti saya ini yang anak kampung, tentunya kerjanya ‘dolan’ di kebun, sawah, dan alam terbuka lainnya. Rasanya  belajar di sekolah itu tidak seberat anak saya yang sekolah zaman sekarang. Mana bukunya banyak, PR juga banyak, ulangan juga tiap hari, dan masih ada tugas ini itu! Perasaan saya (karena saya sekolah di kampung) ke sekolah saya membawa tas itu enteng. Malah kadang tidak membawa tas ke sekolah. Namun, ya.... survive saja hidup hingga zaman sekarang. Apa kurikulum pendidikan Indonesia itu makin dibuat sulit atau bagaimana, ya? Saya juga tak mengerti. Giliran saya jadi guru di kota pada zaman ‘conected’ seperti sekarang ini kok sekolah itu abot tenan ya! Dan herannya lagi, bocah-bocah sekarang sudah terbiasa juga dengan tuntutan yang menggila itu. Memang sudah zamannya kali, ya. Namun, saya tetap kasihan pada anak-anak.

Kembali ke barmain= belajar. Karena situasi dan tuntutan zaman yang menggila seperti sekarang ini, orang tua terkadang kuatir dengan anak-anaknya apakah mereka mampu untuk bisa melalui semuanya dengan baik. Karena itu, para orang tua berbuat yang terbaik untuk putra-putrinya. Memberikan pendidikan yang dianggap terbaik. Anak-anak diberi berbagai les sehingga mereka tak punya lagi waktu untuk bermain. Padahal, menurut para ahli di atas, bermain itu justru hakikat dari manusia. Nah, lantas bagaimana ini?

Karena itu, saya mulai agak menggeser sudut pandang saya tentang bermain. Saya sekarang tidak terlalu seketat dulu melarang anak-anak di sekolah untuk tidak     bermain’ kala mereka belajar. Saya lebih toleran terhadap kata bermain. 

Untuk mempertegas bahwa memang bermain itu sangat berguna, mari kita melihat pendapat para ahli di bawah ini:
Anak yang bermain adalah anak yang tangguh. Bermain adalah cara anak mempersiapkan diri menghadapi dunia. Di dalam bermain peran (role play), anak sebenarnya sedang belajar bagaimana menghadapi masalah atau konflik yang terjadi di dunia sekitarnya.

Anak yang bermain adalah anak yang sehat. Salah satu indikasi seorang anak sembuh dari penyakit berat adalah bila sudah menunjukkan keinginan untuk bermain lagi.

Anak yang bermain adalah anak yang cerdas. Saat bermain, anak mendidik dirinya sendiri. Dia akan menemukan hal baru dalam permainannya. Dalam bermain kreativitas bisa terasah dengan baik. Banyak permainan yang juga memerlukan strategi.

Bermain mengajarkan anak untuk berelasi dengan alam, teman bermain, juga dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, anak belajar bagaimana berelasi yang baik. Suatu saat dia menjadi pemenang. Kali lain dia menjadi pihak yang kalah. Dia juga akan belajar menerima kemenangan orang lain dan kekalahan dirinya. 

Bermain bisa menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Ketika bermain anak mencoba untuk melakukan sesuatu yang mungkin dianggap tadinya tak bisa dilakukan. Namun, ketika ia bermain ternyata ia mampu melakukannya. 

Ada banyak keuntungan bermain. Bila diselidiki dan diteliti, akan muncul keuntungan lain dari bermain. Nah, kalau begitu  jangan abaikan kata bermain. Bermain itu bukan main-main. Bermain artinya melakukan permainan dengan benar. Total menjalaninya dan menghayatinya. Bila kita memberikan kesempatan anak-anak untuk bermain, kita akan mempunyai generasi bangsa dan Gereja yang cerdas, kreatif, dan mempunyai hati.
Ch. Enung Martina

Jumat, 05 April 2013

BASILIKA DI VATICAN

Mari kita berjalan-jalan ke tempat Vatican untuk melihat keagungan dan kemegahannya,

Selamat menikmati

Salam

Ch. Enung Martina

http://www.vatican.va/various/basiliche/san_giovanni/vr_tour/index-en.html