Senin, 22 Desember 2014

PELAJARAN DARI RAJA SAUL (bagian 1)

      Kita mengenal Saul sebagai raja pertama bangsa Israel. Menurut Al Kitab (Kitab Samuel), Saul adalah seorang yang berperawakan paling tinggi dari antara sebangsanya pada masa itu. Selain itu tubuhnya pun gagah. Pendek kata Saul, adalah seorang laki-laki yang maco. Saul adalah pilihan pertama Allah untuk menjadi raja Israel.
      Dalam perjalanannya sebagai penguasa perdana,  Saul, pastinya tidak langsung mahir menjadi pemimpin yang baik dan mumpuni. Ia bertemu dengan berbagai peristiwa yang membuat dia harus memutuskan berbagai perkara dalam mempertahankan kerajaannya dan menunjukkan otoritasnya menjadi seorang raja. Perlu diingat bahwa kerajaan Saul bukan didirikan karena keinginan rakyat saja. Kerajaannya terdiri karena adanya rahmat dan campur tangan Allah. Tentunya kedaulatan Saul sebagai raja memang 100%, tetapi ia harus mendasarkan pemerintahannya pada hukum Tuhan. Namun, Saul seringkali lupa atau pura-pura lupa bahwa kekuasaan dia bukan kekuasaan mutlak tanpa batas dan kekuasaan tanpa melandaskan pada  hukum Tuhan.
      Banyak peristiwa dalam perkara-perkara kecil maupun besar, Saul melupakan hukum Tuhan yang menjadi landasan kekuasaannya itu. Ketidaktaatan Saul pada Allah ditunjukkan dalam 1 Samuel 13: 8-12, yang mengisahkan Saul tidak lagi mengindahkan perkataan penasihat rohaninya, guru spiritualnya, Samuel. Ia lebih memilih mengadakan kurban bakarannya sendiri tanpa menunggu Samuel. Perlu dicatat bahwa yang berhak mempersembahkan kurban bakaran itu adalah imam, bukan raja. Namun, Saul karena ketakutannya ditinggalkan rakyatnya yang cerai berai karena gentar menghadapi tentara Filistin, ia memutuskan untuk mengadakan korban bakaran sendiri. Setelah menunggu tujuh hari lamanya Samuel tidak datang, Saul mengambil keputusan mengadakan korban bakaran tanpa imam. Sepertinya dalam zaman Perjanjian Lama tugas mempersembahkan korban bakaran itu memang spesial pekerjaan para imam. Raja, atau rakyat biasa  tak berhak untuk melakukan kurban bakaran. Memang begitu peraturannya. Saul membuat aturan sendiri. Samuel mengatakan: perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah Tuhan, Allahmu yang diperintahkan- Nya kepadamu; sebab sedianya Tuhan mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel selama-lamanya. (1Samuel13: 13)
     Tindakan pelanggaran Saul lain adalah ketika ia mengalahkan orang Amalek. Ia menyelamatkan Agag, raja orang Amalek. Saul juga menyelamatkan kambing, domba, lembu yang terbaik dan tambun, serta segala yang berharga. Padahal diperintahkan untuk memusnahkan orang Amalek semuanya beserta ternak dan barang-barang berharganya. Ketika Samuel bertanya tentang hal itu kepadanya, Saul menjawab dengan berdalih: Semuanya itu dibawa dari pada orang Amalek, sebab rakyat menyelamatkan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dengan maksud mempersembahkannya kepada Tuhan, Allahmu; tetapi selebihnya telah kami tumpas (1Samuel 15:15).
     Saul mempersembahkan kurban bakaran pada Tuhan, tidak dengan niat yang tulus. Dia mau mempersembahkan kurban bukan dari harta miliknya. Dia mau mempersembahkan barang rampasan. Dia orang yang pelit. Pedit. Untuk Tuhan saja dia masih mempertimbangkan untung dan rugi. Dia tak mau rugi.
Saya sungguh terkena dengan kelakuan yang Saul dalam kisah itu. Saya pun sering melakuka perhitungan dengan Tuhan. Contoh kalau saya mau persembahan kala Ekaristi. Sering dalam persembahan saya tidak mempersiapkan dengan baik. Meskipun persembahan saya tidak banyak, tetapi kalau dipersiapkan dengan baik maknanya pasti lain.
     Dalam keadaan salah dan terbukti pun Saul masih melarikan diri untuk mencari kambing hitam dari kesalahannya. Sebagai seorang raja dia mempunyai wewenang untuk memerintahkan rakyatnya dengan tegas untuk tidak mengambil apa pun dari orang Amalek itu. Seharusnya dia memerintahkan untuk memusnahkan semuanya tanpa kecuali.
     Kedua tindakan Saul di atas, dia lebih mempedulikan apa kata rakyatnya. Apa yang bdikatakan manusia. Saul raja yang sangat peduli akan pencitraan dirinya di depan rakyat. Dia takut kehilangan dukungan rakyat bila dia tidak memenuhi keinginan rakyat. Nama baik dirinya di hadapan manusia jauh lebih penting baginya daripada menuruti perintah Tuhan.  Saul selalu mencari pembenaran dari kesalahan yang diperbuatnya. Dia tidak secara ‘gentelman’ mengakui perbauatannya.
     Sebetulnya Saul tahu persis akan tindakan  yang dilakukannya. Berarti ia juga tahu bahwa tindakannya itu tidak tepat. Namun, alih-alih mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada Tuhan atas tindakannya, ia malah mencari dalih untuk membenarkan tindakannya. Lempar batu sembunyi tangan, begitu mungkin peribahasa yang tepat untuk Saul.
     Saya jadi melihat diri saya sendiri ketika membaca tentang kisah Saul ini. Dalam situasi terdesak, kepepet, saya juga pernah melakukan untuk mencari keselamatan diri dengan melemparkan kesalahan saya pada ‘kambing hitam’  situsi, orang lain, kesempatan, cuaca, masa lalu, kurangnya waktu, alat yang tidak mendukung, godaan setan, khilaf, dan seribu kambing hitam yang lain.
          Saul mempunyai mentalitas korban (victim). Mentalitas ini merupakan upaya untuk menghindari tanggung jawab dan memindahkan kesalahan pada kambing hitam, kambing putih, atau kambing belang. Mentalitas menjadi korban membuat seseorang tidak bertahan, jauh dari berkat, dan tidak bisa mencapai potensi penuh.
      Ada banyak aspek dan keadaan di lingkungan kita yang di luar kendali saya. Namun, bila saya mau menerima tanggung jawab, maka saya saya bisa melakukannya dengan baik. Saya menjadi pemenang bukan lagi korban.
      Saul membuat kesalahannya kelihatannya menjadi masuk akal, logis, dan wajar, bisa dimaklumi. Rasanya saya juga terkadang melakukan itu. Saya memaklumi kesalahan saya sebagai sesuatu yang wajar terjadi karena situasi saat melakukan itu memang menjerumuskan saya pada kesalahan. Keadaan saat saya melakukan kesalahan itu sangat logis untuk saya lakukan saat itu. Saya bermental korban. Saya menempatkan kesalahan saya pada kambing yang berwarna-warni.
     Jika Saul, saya, atau siapa pun melakukan ‘ lari dari tanggung jawab’ dan mencari kambing warna-warni, itu berarti Saul, saya, atau siapa pun sedang bertindak bodoh. Ketidaktaatan pada Allah tetap salah meskipun mencari alasan yang logis disertai dengan bukti-bukti yang kuat dan akurat sekali pun.
       Bila saya perhatikan dan cermati prihal peraturan Allah dalam kisah Saul, hanya ada salah dan benar. Tidak ada yang abu-abu, belang-belang, atau suam-suam kuku, yang setengah-setengah, banci, atau yang situasional. Peraturannya jelas benar dan salah. Taat dan tidak taat. Tidak melihat cuaca, musim, atau situasi. Peraturan Allah tetap selama-lamanya. Begitu kata Al Kitab.

        Kembali lagi kepada saya. Saya suka membuat peraturan itu jadi situasional. Peraturan yang menyesuaikan pada saya. Bukan saya yang mengikuti  peraturan. Kalau peraturan itu enak, ya saya ikuti. Kalau itu berat dan membelit, maka saya berusaha membelokkan, membengkokan sesuai kemauan saya. Sepertinya saya ini kok mirip  Saul. Hanya bedanya saya buka raja seperti dia.
(Ch. Enung Martina) 

Minggu, 26 Oktober 2014

KENA GENDAM

Pukul 02.00 dini hari, waktunya orang tertidur pulas. Ketika tiba-tiba ada dering telpon rumah atau HP, pasti orang akan terbangun dengan kekagetan yang tak alang kepalang. Pikiran seseorang kalau ada telpon waktu seperti itu otomatis tertuju pada berita yang buruk. Pasti ada apa-apa. Kalau mempunyai keluarga berada pada jarak jauh, apalagi orang tua yang memang sudah renta usia, akan berprasangka buru, yang pastinya membuat cemas.
Nah, saat seperti itu memang kerja otak bukan pada bagian neokorteks (otak berpikir), melainkan pada bagian otak reptilia, bagian otak yang berkaitan dengan insting dan naluri. Bagian otak yang dimiliki oleh setiap mahluk hidup yang punya otak ini memang berkaitan dengan survival. Bertahan hidup. Mempertahankan diri. Otak ini memang aktif ketika sedang panik, takut, sedih, dan emosi negatif lain. Pada saat bagian otak ini aktif, yang ada hanya bagaimana menyelamatkan diri dari bahya dan bertahan hidup.
          Karakter otak manusia yang demikian, rupanya dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk tujuan tidak baik. Tujuan tersebut mencari keuntungan materi dengan cara yang tentunya tidak terpuji. Cara mempengaruhi otak pada saat seperti itu dengan memakai gendan dan hipnotis. Orang kebanyakan  mengnggap kedua kata itu sama. Namun sebetulnya berbeda. Dlihat dari  katanya saja sudah berbeda.   Menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia gendam artinya mantra atu guna-guna yang membuat orng terpesona. Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara kata hipnotis dengan hipnosis. Hipnosis adalah keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu ada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya. Namun,  pada taraf  berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Hipnotis adalah membuat atau menyebabkan seseorng berada dalam keadaan hipnosis.
        Nah, kejadian Pukul 02.00 dini hari tiba-tiba ada dering telpon dan terbangun dengan kekagetan yang tak alang kepalang itu terjadi pada keluarga saya. Hal ini terjadi pada hari Selasa, 9 September 2014. Kena gendam atau mungkin terkena hipnotis pun kami almi. Pada dini hari itu, kami dimintai uang,  tepatnya ditodong melalui telpon rumah dan dilanjutkan melalui HP. Seseorang meminta kami  mengirimkan uang ke rekening tertentu untuk menebus anak laki-laki kami yang kuliah di Bandung. Penelepon yang mengaku bernama Mangatas Samosir dan mengaku sebagai seorang polisi di Bandung mengatakan bahwa Aga, anak kami,  ditangkap polisi karena ketahuan membawa narkoba. Mereka minta tebusan 25 juta.
        Bayangkan saja, bangun  karena kaget mendengar dering telpon. Kesadaran jelas belum pulih. Otak reptil langsung berfungsi. Penelepon menambah tingkat kepanikan dengan menimbulkan latar belakang suara hiruk pikuk: suara sirine yang keras dan monoton, serta orang membentak-bentak,  serta suara seorang yang menghiba-hiba  minta dikasihani agar tidak ditangkap. Lengkap sudah efek suara di sebrang sana itu mendramatisir suasana tegang.
        Ketakutan, kecemasan, dan ketegangan merambat masuk. Situasi ini dimanfaatkan suara Polisi   Mangatas Samosir gadungan yang ada disebrang sana untuk menekan suami saya, Pak Bob, agar segera mengirimkan uang ke rekening  BRI. Gendam lewat suara itu rupnya sangat efektif. Karena buktinya suami saya tercinta itu mulai terdengar panik. Dan mulai melakukan apa yang diminta Mangatas Samosir di sebrang sana. Saya mulai menyadari bahwa ini sebenarnya penipuan. Peristwa ini sering saya degnar karena beberapa korbannya adalah orang tua murid saya. Namun, saya tetep gemetar meskipun itu adalah penipuan.
         Otak neokorteks saya, saya  paksa untuk mulai berpikir bagaiman caranya untuk kelur dari situsi gawat ini. Akhirnya saya memutuskan menghubungi Aga di Bandung lewat HP. Ternyata HP-nya tidak diangkat. Lantas saya hubungi bapak kosnya. Juga tak diangkat. Kemudian dengan tergesa  saya langsung menghubungi Metta, anak pertama saya  yang berada di mess di tempat kerjanya, Serang. Telpon saya tersambung. Kaget pasti dia. Metta disebrang sana juga berpikir. Apakah yang  harus dilakukan. Terus ia membuat susu dulu sambil mencari cara. Sesudahnya,  baru menelepon saya lagi.  “ Bu, minta tolong Pak Joko supaya ada orang yang pikirannya seger dari pihak ke-3.”
      Jadilah dini hari itu saya mengontak pak Joko, teman sejawat saya dan juga sekaligus tetangga saya  selang satu rumah dari rumah kami. Sekali tak diangkat. Baru kali kedua dia mengangkat HP-nya.
“Ada apa, Teh?” begitu dia menjawab. Sesudah saya jelaskan, segera dia keluar. Ia melihat kami panik. Pak Bob sudah menghidupkan motor untuk pergi ke ATM terdekat. Sementara itu HP Pak Bob menyala terus karena Mangatas Samosir mengatakan komunikasi dengannya  tak boleh terputus. HP Pak Bob dengan Mangatas Samosir dalam keadaan kontak. Pak Joko langsung tanggap situasi. Dia segera mematikan kontak di HP Pak Bob. Begitu kontak HP terputus, telpon rumah langsung berdering. Pak Joko yang mengangkat. Terdengar latar belakang hiruk pikuk: suara sirine yang keras monoton dan orang membentak-bentak serta seorang yang menghiba minta dikasihani agar tidak ditangkap. Terdengar suara bentakan: brogol saja dia! Disambung dengan orang yang minta dkasihani: Papa tolong! Papa tolong!
             Pak Joko membentak, “ siapa di situ? “
“Saya Angga,” suara di sebrang sana menjawab.
“Ini bukan rumah Angga. Salah smbung,” Pak Joko membentak lagi.
Suara di sana meralat, ” Saya Aga.”
 “ Bohong kamu. Jangan menipu!” suara Pak Joko makin garang.
Kontak putus. Kami selamat dari gendam.

             Pagi itu kami tak melanjutkan tidur. Setelah perasaan kami reda, kami duduk di teras. Setelah melihat kembali peristiwa tadi jadi geli juga kami. Ada beberapa kejanggalan yang terjadi. Pak Bob baru sadar bahwa Aga itu  tak pernah memnggil dia dengan panggilan papa, tetapi babe. Bunyi sirine itu yng terus-terusan sebagai latar belakang, spertinya agak aneh juga. Bukannya sirine di ruangan tak mungkin dibunyikan? Tebusan untuk tahanan narkoba 25 juta itu terlalu kecil. Selain itu, Polisi tak mungkin terang-terangna minta tebusan. Bob baru sadar kalau nama anak yang ditangkap itu bukan Aga, tetapi Angga.
         Begitulah pengalaman kena gendam. Ternyata kami mengalaminya. Dari pengalaman ini saya melihat bahwa terkena gendam dan terkena tipu, tak ada korelasinya dengan kebiasaan seseorang berdoa. Meskipun  seseorang rajin berdoa, ternyata bisa saja ia terkena gendam atau bisa juga tertipu orang. Mengapa hal ini saya katakan karena ada salah seorang teman yang menanyakan apakah saya tidak berdoa?  Pernyataan ini bukan berarti mengecilkan arti berdoa. Kasus lain bisa saja terjadi bahwa seseorang pendoa yang hidupnya kudus bisa saja menghindar dari hal ini. Yang saya alami bahwa terkena gendam atau tertipu orang tak ada kaitannya dengan kebiasaan berdoa.  Sekali lagi ini berlaku untuk kami, khususnya saya.  Mungkin perlu ada penelitian khusus tentang kebiasaan berdoa dengan terkena tipu. Penipu yang mengarahkan gendam atau hipnotis yang diserang adalah otak reptilia seseorang. Memanfaatkan otak tersebut bila keadaan panik, orang bisa kehilangan akal sehat. Saat seperti ini keadaan seseorang sedang lemah karena otak berpikirnya belum berjalan 100%. Terbangun karena kaget. Nah, ini merupakan sasaran yang empuk untuk dimanfaatkan. Saya memperhatikan para penipu ini tidak sendirian. Mereka berkelompok. Bisa jadi sindikat.
         Namun, saya tetap percaya akan pertolongan Tuhan melalui orang-orang yang ada di sekitar saya. Misalnya melalui  Pak Joko, sebagai pihak ke-3 yang berotak jernih daripada kami yang mengalami. Terima kasih Pak Joko.
        Saya berharap para pembaca tidak mengalami seperti saya. Namun, bila mengalami, saran saya, carilah orang ke-3 yang otaknya dalam keadaan segar sehingga tidak dikuasai kepanikan.

Ch. Enung Martina

Kamis, 10 Juli 2014

ANTARA YANG MAYA DAN NYATA

Ada ungkapan kuno yang menyatakan bahwa ketika murid siap menerima pelajaran, maka sang guru akan muncul. Hal ini menyatakan kepada kita bila seseorang sudah siap mengambil langkah untuk melakukan sesuatu yang benar, maka segala sesuatu di sekitar kita akan mendukung. Akhirnya kita mengetahui bahwa kita semua berperan aktif dalam menciptakan segala hal yang baik dalam hidup kita.

            Kita semua bertanggung jawab atas keadaan di sekitar kita. Bila kita menginginkan perubahan di luar diri kita (eksternal), itu berarti kita harus bersedia melakukan perubahan di tingkat internal (dalam diri kita).

            Nampaknya ada kerinduan di antara kita (khususnya saya) untuk kembali ke ruang dan waktu yang lebih sederhana. Kita terlalu lelah dengan hingar bingar dunia. Awal-awal saya masih suka berselancar di dunia maya, mencari ini itu dan menjalin relasi di jejaring sosial. Namun, lama kelamaan saya lelah dan bosan. Saya melihat begitu banyak energi dan waktu berharga saya hanya untuk menelusuri yang tak begitu penting untuk ditelusur. Saya sibuk dengan teman saya di ujung dunia sana,  sementara orang-orang di sekitar saya yang justru hadir di dunia nyata malah  saya abaikan. Ini bukan berarti bahwa dunia maya (baca: internet) itu tidak berguna bagi saya. Internet berguna bagi saya, apalagi saya seorang pendidik yang tentu tak boleh ketinggalan  dengan anak didik saya yang jauh lebih melek internet daripada saya. Saya harus tahu mereka berkiprah di dunia maya. Justru internetlah yang sering menampilkan sisi lain dari pribadi seorang anak didik yang berbeda dengan pribadinya ketika berada di kelas. Saya menjadi tahu bahwa seorang anak didik yang alim di kelas, ternyata bisa menjadi ‘sadis’ di dunia maya.

            Bagi saya (seorang pendidik dan juga ibu dari anak remaja), internet merupakan tempat untuk saya melihat sejauh mana mereka bermain di dunia yang tak terbatas dan juga tak nyata itu. Saya berharap dengan saya mengetahui dunia itu, saya bisa mencegah mereka terjerat jauh di dunia itu. Internet juga menjadi media untuk saya mencari materi penunjang dan pengayaan  bahan pelajaran yang saya ampu di kelas.

            Namun, di samping itu, saya merasa prihatin atas berbagai peristiwa buruk yang terjadi dengan media internet. Peristiwa buruk itu memang bukan kesalahan internet, tetapi manusia sebagai penggunanya. Internet itu media. Ia benda mati. Itu berarti  netral. Dampak yang ditimbulkan oleh media tergantung penggunanya.

            Kisah yang akan saya bagikan adalah pengalaman buruk saya berkaitan dengan media internet. Peristiwa ini terjadi 3,5 tahun yang lalu. Seperti yang Saudari-Saudara ketahui, saya ini tidak mempunyai akun facebook. Aalasnnya klise, saya ini guru. Akan ribet kala saya mempunyai akun jejaring sosial, saya tak mempunyai privacy lagi dan juga mengurangi kenetralan saya. Namun, karena dua anak remaja saya yang kala itu mereka berselancar dengan facebook, saya pun harus tahu kiprah mereka di dunia tersebut. Jadilah saya dan suami sepakat untuk mempunyai akun facebook atas nama suami. Dengan demikian saya bisa memakai akun suami untuk melihat kiprah meraka di dunia maya.

            Pada suatu hari saya melihat ada sebuah foto kerabat yang dikirim seseorang dengan komentar kurang baik tentang suami saya. Di bawah komentar orang tersebut beramai-ramai pula temannya, saudaranya (yang juga saudara suami saya) menanggapi komentar tentang pribadi suami saya. Orang-orang dan juga saudara-saudara yang memberi komentar tersebut sebetulnya tak tahu permasalahan yang sebenarnya. Namun, karena yang lain berkomentar, maka ikut sertalah berkomentar. Saat membaca komentar-komentar tersebut, panas hatilah saya. Hampir saja saya mengomentari ganti. Untung saja otak saya dingin, meskipun hati saya panas.

Waktu berlalu. Memang benar kata orang-orang tua, bahwa waktulah yang akan membuktikan segalanya, termasuk mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya komentar miring tentang suami saya dari saudaranya sendiri dan juga orang-orang yang menanggapinya pada kala itu, ternyata terbukti salah. Tentu saja tak ada orang yang memberi komentar untuk meralat komentar mereka pada selang sekian tahun yang lalu itu. Yang menjadi pelajaran bagi saya adalah: berhati-hatilah mengeluarkan kata-kata, memberi komentar ini dan itu, kalau kita tak mengerti betul duduk persoalannya. Sayamembayangkan bila kala itu saya ikut memberi komentar negatif dengan tujuan membela suami saya, persaudaraan yang sudah retak akan semakin menganga dan bahkan putus. Saya sungguh bersyukur untuk bisa menahan diri. Daripada mengumbar kata-kata negatif (yang mencerminkan diri kita yang negatif), lebih baik diam saja. Atau lebih bagus lagi bila memberikan kata-kata positif yang membawa inspirasi dan juga semangat bagi orang lain.

            Saya menerima pelajaran dari guru kehidupan yaitu pengalaman. Bahwa internet itu adalah media yang harus dengan arif kita gunakan. Saya ternyata juga murid yang baik yang menerima pelajaran dari pengalaman buruk.Orang-orang mengatakan mengambil hikmahnya. Menurut Steven Covey dalam 7 Habits-nya orang sering  terjatuh pada kuadran empat dalam tabel kepentingan dan kemendesakan.  Maksudnya kuadran empat adalah orang sering terjatuh pada situasi yang mengutamakan hal yang tidak mendesak dan tidak penting. Salah satunya adalah contoh di atas memberi komentar di jejaring sosial yang tidak mengerti dengan baik tentang duduk perkaranya.  Pengalaman buruk saya berkaitan dengan internet tak seburuk pengalaman yang lain. Ada banyak peristiwa yang kita dengar dan kita baca tentang berbagai peristiwa itu. Namun, tak haruslah kita mengalami peristiwa buruk itu, cukuplah sudah kita belajar dari pengalaman orang lain.

Christina Enung Martina


#####

Senin, 28 April 2014

GOLGOTA GEREJA MAKAM KUDUS

Untuk mengenangkan kembali DIA yang menderita, tersalib, wafat, dan bangkit pada hari ketiga, saya menuliskan kembali perjalanan saya bersama rombongan Santa Ursula BSD ke Tanah Suci tujuh tahun yang lalu. Meski sudah berlalu sekian tahun, terasa masih segar dalam ingatan.

"Dan Yusuf (dariArimatea) pun mengambil mayat itu, mengapaninya dengan kain lenan yang putih bersih, lalu membaringkannya di dalam kuburnya yang baru, yang digalinya di dalam bukit batu, dan sesudah menggulingkan sebuah batu besar ke pintu kubur itu, pergilah ia." (Matius 27:59-60)

Kami memasuki pelataran Bukit Golgota yang sekarang sudah menjadi komplek sgereja yang sangat besar. Seluruh bukit itu sudah menjadi gereja. Satu tempat yang dianggap paling kudus oleh seluruh umat Kristen adalah Gereja Makam Kudus. Gereja ini berdiri di atas puncak Golgota, tempat Yesus disalibkan dan makam tempat Yesus dibaringkan hingga kebangkitan-Nya. Dahulunya tempat ini merupakan bagian di luar tembok kota Yerusalem.

Gerbang di kompleks itu besar dan tinggi. Pintunya dari kayu tebal dan bergerendel besi. Kaum Kristen di seluruh dunia mengenal gerbang itu sebagai pintu masuk Gereja Makam Kudus di Yerusalem. Gereja ini dibangun pada 326 Masehi atas usulan Kekaisaran Romawi Konstantinopel. Tempat ini menjadi situs awal umat Nasrani beribadah.

Gereja di komplek ini dibagi-bagi menjadi tujuh komunitas gereja kuno, yaitu: Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Armenia, Gereja Koptik, dan Gereja Assyria. Pembagian ini didasarkan pada perjanjian Status Quo oleh peraturanTurki tahun 1852. Makam suci itu dijaga selama berabad-abad oleh sebuah keluarga Muslim. Wajeeh Nuseibeh adalah salah satu keturunan keluarga itu yang saat itu menjadi juru kunci Gereja Makam Kudus. Ketika Khalifah Umar menguasai Yerusalem pada tahun 638 Masehi, beliau menugaskan salah satu prajurit Arab, nenek moyang Wajeeh, menjaga gereja itu.

Suasana di tempat ini terasa sangat syahdu dan sendu menurut perasaan sayaNamun, ada keagungan dan kekudusan yang dirasakan. Meskipun pengunjung berjubel, ketenangan dan kekhidmatan tetap terjaga.

Sebelum memasuki komplek ini kami berjalan salib melalui stasi-stasi yang tersedia. Rute jalan Salib itu dikenal dengan Via Dolorosa.  Kami melanjutkanjalansalib kami dengan perayaan Ekaristi di kapel Makam Suci sebagai perhentian keempat belas. Pada Ekarist ini, Romo Robby Wowor OFM, pembimbing rohani kami, berbicara tentang nilai pengorbanan yang tulus. Dalam menjalankan tugas, hendaknya kita melakukannya dengan baik hingga kesudahannya. Dalam tugas ada banyak pengorbanan yang akan kita temukan, tetapi semua itu akan membuat tugas kita menjadi sempurna.
Lelehan air mata haru sepanjang perayaanEkaristi kami rasakan. Kami merasa syukur yang tak terhingga atas kesempatan ini hingga kami bisa merayakan Ekaristi di Golgota. Ketika kami keluar satu persatu dari kapel itu, tak lupa kami menyentuh potongan pilar/tiang yang diduga tempat menambatkan tanganYesus saat sedang dipecuti. Potongan pilar itu diletakkan dekat pintu keluar/masuk.

Karena di beberapa perhentian seperti XI, XII, XIII masih penuh oleh pengunjung dari berbagai bangsa, maka kami tadi langsung ke perhentian XIV untuk merayakan Ekaristi. Seperti yang tadi diungkapkan bahwa Basilika Makam Kudus ini terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki oleh gereja-gereja yang dianggap kuno. Di sisi lain saya merasakan agak terhenyak juga ternyata di tanah suci saja pemisahanmasih berlaku, tetapi sisi lain lagi saya merasa bangga karena saya adalah umat Katolik Roma yang masih mempunyai hak milik. Mengapa demikian? Karena berbarengan dengan penziarahan kami, ada beberapa rombongan dari Indonesia, ternyata beberapa saudara kita dari gereja nonkatolik, mereka tidak bisa leluasa mengadakan ibadat seperti kita merayakan Ekaristi.

Akhirnya kami  mendapat giliran juga memasuki stasi tempat Yesus disalibkan. Dengan menapaki tangga yang cukup curam, kami perlahan memasuki tempat kudus ini. Kami semua berbaris mengantri, sabar menunggu giliran untuk bisa mencium situs yang disucikan ini.  Semua mendapat giliran menciumnya.

Saya letakkan ransel yang terpasang di punggung terlebih dahulu agar tidak mengganggu saat saya melakukan ritual ini. Saya berlutut mencium tempat itu dengan sepenuh hati. Lidah terasa kelu.  Ada banyak hal yang ingin saya ucapkan dan ungkapkan di bawah kaki-Nya yang kudus. Hanya air mata yang terus merebak dan merembes di kedua mata,  jatuh perlahan. TuhanTerima kasih, sembah sujudku untuk-Mu Sang Penyelamat Dunia.     Segera saya bangkit karena antrian di belakang begitu panjang. Semua yang mengantri perasaannya juga tak jauh dengan saya. Saya duduk agak jauh dari situ untuk kembali meneruskan doa yang belum semua terucap.

Kemudian, kami turun menuju batu tempat Yesus dimandikan. Kami menyentuhnya. Saya usapkan saputangan pada batu yang selalu basah dengan minyak wangi itu. Kami mengantri lagi untuk menuju makam Yesus tempat Yesus dibaringkan sampai hari kebangkitan-Nya. Hak milik makam ini ada pada Gereja  Ortodoks. Makam ini terletak di kaki bukit  Kalvari. Menurut Kitab Suci, makam ini dibuat oleh Yusuf dari Arimathea. Sesudah menurunkan mayat itu, ia (Yusuf Arimathea) mengafani-Nya denagn kain lenan, lalu membaringkan-Nya di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu, di mana belum pernah dibaringkan mayat (Luk. 23:53).

Akhirnya tiba juga giliran saya masuk ke dalamnya. Makam itu terdiri dari dua bilik. Bilik pertama digunakan untuk para peziarah dan bilik ke dua digunakan untuk tempat jenazah dibaringkan. Ketika kami masuk bilik pertama pintu masuk lebih tinggi dibandingkan pada bilik kedua. Peziarah harus mengantri lagi di bilik pertama. Tiga orang peziarah berada di dalam bilik kedua. Seorang pastor Ortodoks saat itu menjadi pengatur lalulintas di dalam bilik.

Tiba giliran saya dengan dua orang teman yang lain masuk ke dalam bilik kedua. Kami maju dengan menundukkan kepala karena pintunya pendek. Di dalam bilik kedua ada semacam batu padas yang dibuat lempeng tempat jenazah dibaringkan. Kini batu itu   ditutup dengan kaca. Kami berlutut dan mencium bagian atasnya. Tak satu pun dari kami mampu untuk menahan rasa haru yang mendalam saat bibir kami menyentuhnya. Kami masih ingin menyampaikan banyak hal yang bergejolak dalam hati kami, tetapi yang terucap hanya satu kata: terima kasih. Sementara itu pastor penjaga sudah memberikan tanda bahwa kami harus keluar. Dengan perasaan yang berat kami meninggalkan bilik kedua. Ketika keluar bilik kedua, kami harus mundur agar tidak terantuk pada lawang gua.

Perasaan yang mengharu-biru masih terbawa saat keluar dari dalam bilik. Air mata masih meleleh. Ketika kami ke luar bilik pertama, antrian masih panjang dan sudah disambung lagi dengan antrian dari gereja lain, dari India sepertinya. Saya putuskan untuk bersandar pada pilar besar yang ada di sekitar situ untuk melanjutkan doa. Sementara itu antrian panjang masih terus ke luar dan masuk membawa para peziarah yang menggenapi dan memuaskan perasaan rindunya kepada Sang Penebus.

            Renungan di Golgota
Terkadang aku bertanya
Mengapa aku selalu menjadi korban?
Mengapa aku selalu harus mengalah?
Mengapa aku harus bersabar?
Di tempat ini, Dia berkata:
Karena Aku ingin kamu menjadi pemenang
Bukan menjadi korban
Untuk berkembang
Bukan untuk direndahkan
Untuk dimuliakan
Bukan dihinakan
Untuk bisa mengatasi berbagai rintangan
Sehingga sepanjang hidupmu bermakna dan bahagia.

( Ch. Enung Martina, Jelupang, Paskah 2014)



Sabtu, 26 April 2014

CERITA PENDEK

JANJI PELANGI SENJA

(menang dalam lomba cerpen tingkat dewasa  sebagai juara favorit tahun 2013 yang diselenggarakan PT Rohto Lab. Indonesia )

Kau tahu bahwa aku suka pelangi. Begitu sempurna  lengkungnya. Begitu indah warnanya. Bila aku memandang pelangi, jiwaku berkelana bersama para bidadari cantik yang gemulai bebas bercengkrama. Pelangi membawa jiwa murni para bidadari. Pelangi berbicara tentang kuasa semesta yang tak pernah memandang siapa. Pelangi  berbisik tentang kasih Ilahi yang dititipkan pada bias matahari di ujung  titik-titik air. Bahkan Nabi Nuh pun percaya bahwa pelangi adalah janji Ilahi yang tak mungkin diingkari.

Pelangi dan Nuh
Nuh, lelaki yang berani tampil beda pada masanya. Aku kira, aku jatuh cinta pada lelaki ini. Karena pelangi,  aku jatuh cinta padanya. Dia tahu bahwa pelangi itu adalah sebuah janji. Dia tahu bahwa bianglala itu adalah cinta. Ia tahu bahwa pelangi adalah batas imajinasi dan isi hati. Ia sangat tahu bahwa pelangi adalah sinar Ilahi. Ia sangat tahu. Biar air  menenggelamkan dunia dan menghanyutkan segala, tapi janji Dia padanya tak akan terlupa. Nuh, lelaki perkasa. Penakluk air bah. Percaya bahwa diujung butiran kristal-kristal air itu bila berpadu dengan pendaran cahaya surya akan  ada titik titik cahaya yang melukis janji abadi. Dia sangat tahu. Aku juga tahu bahwa janji abadi itu ada pada pendar cahaya pelangi. Nuh dan aku adalah dua mahluk yang mencintai pelangi.

Bagaimana dengan Para Bidadari?
Para bidadari itu pergi ke bumi meniti pelangi. Begitu kata ayahku. Mereka ingin mandi menyejukkan diri sambil mengamati panorama bumi. Pelangi adalah tangga cahaya yang membawa mereka naik dan turun dari khayangan dan dunia. Pelangi adalah sarana yang menghubungkan khayangan dengan mayapada. Menghubungkan antara ilusi dan mimpi-mimpi. Menghantarkan angan-angan dan kenyataan. Antara fiksi dan realitas.

Aku sangat ingin berjumpa bidadari. Mungkin mereka bisa bercerita tentang mengapa pelangi bisa berwarna aneka. Barangkali mereka bisa bercerita bagaimana cahaya pelangi bisa berpendar. Atau aku juga bisa bertanya tentang lengkungan pelangi yang sangat sempurna. Ada aneka hal yang aku bisa tanyakan tentang pelangi pada mereka.

Bidadari mahluk gaib yang lahir dari imajinasi. Membawa inspirasi untuk sekian banyak fiksi. Menggugah banyak pujangga untuk mencipta aneka karya yang berkisah tentang dirinya. Membuat para penyair mencipta puisi indah tentang kecantikan perempuan bagai bidadari. Menjadikan para komponis menggubah lagu merdu. Namun bagiku bidadari tak akan terpisah dari  pelangi. Keduanya mempesona.

Imajinasi Pelangi
Kau tahu ada banyak kisah tentang pelangi. Satu kisah ini menggugahku karena di dalamnya ada cinta yang dalam meski harus berkorban.

Konon katanya matahari hanya mau bersinar saat musim kemarau saja. Pada musim hujan, ia selalu bersembunyi. Tak ada yang tahu di mana letak matahari oleh karena awan-awan kelabu mendung menaungi permukaan bumi sepanjang musim. Hujan datang hampir setiap hari. Karena itulah, tanaman pokok dan tanaman lainnya rusak oleh banjir atau terendam. Sebaliknya, di musim kemarau, hujan hampir tak kunjung tiba. Hanya terik matahari yang panas meranggas sepanjang musim. Alam sangat tak bersahabat.

Matahari  takut dengan hujan. Layaknya api yang berkobar pasti akan padam oleh limbahan air. Karena itulah ia bersembunyi di balik awan dan hanya mau muncul bersinar bila tak ada setitik  hujan pun. Dan semua mahluk hidup setuju lebih baik begini daripada matahari padam selamanya.

Namun, seorang bocah tangguh dan pemberani bernama Pi, tak mempercayai cerita itu. Ia yakin matahari takkan padam oleh hujan. Karena itulah nanti saat besar, ia bertekad akan terbang ke matahari dan membujuknya agar bersinar di musim hujan. Bertahun-tahun kemudian, Pi tumbuh menjadi pemuda gagah dan tak mengenal takut. Ia bertekad membujuk matahari agar tetap bersinar di musim hujan. Para tetua-tetua mengimingi-imingi Pi agar mengurungkan niatnya dengan berbagai macam cara, termasuk menawarkan gadis-gadis, rumah, dan harta yang lain. Namun Pi tak terbujuk. Tekadnya bagaikan batu karang.

Suatu hari di musim hujan, ia mulai perjalanannya dengan mendaki gunung tertinggi. Setelah itu, ia meminta pertolongan seekor elang raksasa untuk menerbangkannya ke matahari. Sang elang setuju dan segera mereka melesat menembus awan-awan kelabu. Pi mencari-cari matahari di antara awan-awan mendung. Namun setiap kali ia melihatnya, sang matahari selalu menghilang di balik awan. Pi dan sang elang berkejar-kejaran dengan matahari beberapa lama sebelum akhirnya sang elang lelah dan tak sanggup lagi. Namun Pi tak menyerah. Saat matahari kembali muncul, ia melompat dari elang dan menghujam ke arah matahari. Mereka bergelut di angkasa beberapa lama, hingga akhirnya mereka berada di bawah awan-awan mendung. Tubuh Pi terbakar seluruhnya, tetapi sebelum lenyap, ia tersenyum memandang matahari yang akhirnya sadar bahwa ia takkan padam didera hujan.  Bahkan, sinarnya mulai memancarkan warna-warna lain yang belum pernah dilihat sebelumnya. Ada biru, merah, hijau,  kuning, jingga, nila, dan ungu. Manusia-manusia di bawah terkejut begitu melihat pancaran sinar matahari yang berwarna-warni memenuhi langit yang tak lagi hanya kelabu. Mereka semua seakan-akan terhipnotis, tak berkedip.  Belum pernah sesuatu yang seindah ini terpampang di depan mata mereka. Menyaksikan keindahan itu dan melihat pengorbanan Pi banyak orang menitikkan air mata karena terharu.

Sejak itu, matahari tak lagi merasa takut terhadap hujan. Walaupun tak setiap hari, matahari sekali-kali menampakkan dirinya di kala hujan. Bila ia muncul menerobos hujan maka pancaran sinar warna-warni selalu terbentuk dan menghiasi angkasa. Para tetua menamai sinar warna-warni itu sesuai nama sang pemuda pemberani tersebut, Pi. Namun sang elang raksasa protes, toh ia ikut membantu mewujudkan cahaya-cahaya indah itu walau hanya setengah jalan. Setelah ramai berdebat dan berdiskusi diantara mereka, akhirnya mereka setujui menamakannya dengan Pelangi dari Pi dan Elang.

Merindu Pelangi
Begitulah legenda pelangi. Begitulah aku,  begitu jatuh cinta pada pelangi. Namun sudah begitu lama pelangi tak lagi datang mengunjungiku. Sepertinya dia sedang asyik dengan dirinya dan kecantikannya. Atau dia terlalu lena bersolek untuk tampil di hari lain. Atau dia merajuk karena aku terlalu sibuk untuk memandang dan mengaguminya. Aku tak tahu karena tak ada berita  yang menjadi tanda keabsenannya.

Kini aku sungguh merindukannya. Merindukan pelangi mampir menyapaku. Hari-hariku yang penat memerlukan sapaan ramah dari para bidadari  jelita. Hatiku yang kering memimpikan bisikan pelangi.  Relung kalbuku merindu senyum tulusnya. Bagiku pancaran aneka warna bianglala itu memberi energi separuh nyawa untuk menyambung  hidup menapak jalan.

Sudah lama kutelusuri langit untuk mencarinya. Bila rintik gerimis datang ke bumi, aku segera berlari menghampiri. Kala senja kemerahan menyapa, aku segera melihat siapa tahu bianglala datang bertandang.  Namun, pelangi tak tampak tiba. Para bidadari enggan menyapa dan lengkungan warna nan indah tak juga nampak. Akhirnya aku memutuskan untuk sabar menantinya datang.

Hingga suatau hari......
Siang  itu langit mendung. Gelap gulita menyelimutinya. Sedari kemarin udara begitu gerahnya bak memanggang semua mahluk. Suhu yang kian hari kian merayap naik, menampakkan betapa bumi kian melemah. Begitulah apa yang digambarkan para ahli ekologi  tentang dampak pemanasan global, benar adanya. Rambut-rambut bumi yang menjadi pelindungnya kian hari kian gundul.  Keserakahan mengeksplorasi di seluruh jengkal bumi  mampu membawa kegoncangan pada semesta.

Kelembaban udara siang itu, mampu mengacaukan manusia. Tingkah polah pun  terganggu. Badan cepat lelah membuat orang menjadi-jadi dalam resah.  Lihatlah bagaimana para kuli bangunan yang seharusnya  bekerja untuk merampungkan galian fondasi , mereka lebih suka berteduh di bawah pohon tanjung pelindung jalan.Semua orang merindukan hujan. Tetesannya mampu menyejukkan badan. Menentramkan hati. Tapi, aku tetap merindukan pelangi.

Pelangi-pelangi alangkah indahmu...
 Sedari tadi Abhimanyu,  bocah lelaki yang berusia 2 tahun 7 bulan itu,  rewel. Ini salah, itu salah. Aku,  ibunya tak lagi mampu mengatasinya. Bocah ego sentris  ini memerintahkan ibunya terlibat dalam dunia permainan dan dunia khayalannya. Ia berubah peran  menjadi Caillou, bocah gundul dari Spanyol. Tak lama kemudian sudah mengubah dirinya menjadi si Timmy, domba kecil dalam kisah Timmy Time. Berikutnya dia menyatakan bahwa ia Pangeran Abhimanyu.  Sementara itu peran pembantu siap melaksanakan titah Paduka.  Disuruh merangkak, berjongkok, menari, bernyanyi, dan aneka hal menyesuaikan dengan peran utama dan kisah yang sedang ia mainkan.

Namun, lama-lama terasa lelah  juga. Akhirnya diputuskan dengan setengah dibujuk dan setengahnya lagi dipaksa: membawa ke kamar mandi. Memandikannya, mengganti bajunya, dan akhirnya memasukkannya ke kamar tidur. Apakah perkara selesai? Tidak Saudara! Dalam kamar dia masih mengeluarkan jurus macam-macam. Mulai bernyanyi dan bercerita dengan mulut mungilnya dan berkisah tentang tokoh-tokohnya. Perpaduan antara tokoh nyata, tokoh kartun, dan khayalannya. Luar biasa!

Meskipun aku tahu menyalakan AC itu adalah pengkhianatan tehadap lingkungan yang pastinya akan menambah parahnya global warming, satu-satunya cara untuk membuat Si Pangeran Kecil itu nyaman adalah dengan menyalakan AC. Benar saja, dengan udara yang silir-silir, bocah itu giras-nya mulai berkurang. Mulailah dia lendotan sambil mengedot di botol susunya. Mulai minta diceritakan  cerita kesukaannya : Si Cimot Mencari Ibunya , kisah tentang anak kura-kura. Cerita itu sedikit kisah aslinya banyak kisah sulapan dari ibu Pangeran Kecil yang sudah mulai kreatif membuat anaknya diam manis.

Akhirnya, sebotol susu dengan ukuran 240 cc habis terminum, Si Cimot sudah ketemu ibunya, dan udara dari AC yang semilir, berhasil membuat bocah itu tertidur pulas! Yang pasti aku pun ikut terdampar di samping Pangeran Kecil ini menikmati silirnya udara, sementara di luar panas terik menyengat.

Bias-bias warna dari cahaya matahari dan butiran air itu memenuhi ingatanku. Aku, Pangeran Abhimanyu, Caillou, dan Timmy semua bermain di antara lengkungan busur cahaya ini. Ledakan keindahan mengelilingi kami. Kami bergembira dalam rona warna. Terlena dalam gelepar sinar. Lelah menghantarkan kami di ujung serat-serat sintettik  kasur busa. Bocah kecil dan ibunya terlelap bersama para tokoh dari negri antah berantah.

Abhimanyu dan  Pelangi
Kami terbangun kala senja tiba. Udara sudah betul-betul dingin. Rupanya hujan turun selama kami terkapar di siang itu. Kami benar-benar terbangun ketika ada yang memanggil dari luar pagar.

“ Abhimanyu! Ada pelangi!”

Aku segera menyisir rambutku. Kusibak tirai dan mengintip dari baliknya. O, rupanya Amelia, gadis kecil anak tetangga yang memanggil. Kami keluar. Benar, ada pelangi persis terlihat jelas di tanah lapang yang lahannya sedang dibangun. Pelangi itu utuh. Berbentuk busur.  Melengkung, warnanya jelas, mejikuhibiniu: merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu. Sempurna. Ini pelangi yang utuh. Lihatlah, bahkan lengkungan itu membayang menjadi dua. Namun yang satu tak seterang yang pertama. Semua anak keluar. Ada yang ambil HP  dan kamera untuk mengabadikannya. Semua berceloteh mengomentari pelangi senja itu.
Bagus betul!
Indah banget!
Gile… bagus bener!
Abhimanyu kecil berkata: ” Telima kacih Tuhan!

Aku terbengong dan terdiam. Sudah lebih dari tiga tahun ini aku tak melihat pelangi. Bukan berarti pelangi itu tak datang. Namun, ketika ia datang aku kebetulan tak bertemu dengannya. Kini ia hadir di hadapanku. Kini ia tersenyum memandangku. Ledakan warna itu hadir sekarang. Bias-bias warnanya bagaikan serat-serat benag berwarna yang ditenun untuk membuat sebuah selendang.

Dan aku berurai air mata memandangnya. Ia membisikkan kata lirih di hatiku: “ Aku tetap mengingatmu. Ada salam dari para bidadari. Jangan kuatir segalanya baik-baik saja.”

Dongeng masa kanak-kanak dulu tentang tangga yang membawa bidadari turun dari kayangan untuk mampir mandi kembali hidup. Kisah Al Kitab tentang janji Tuhan.  Kisah tentang Nuh, seorang laki-laki yang padanya aku jatuh cinta. Pelangi merupakan tanda kasih Tuhan pada manusia, dan sekaligus janji –Nya bahwa Dia tak akan lagi menghukum dunia dengan air bah seperti pada masa Nuh. Begitu terngiang cerita guru sekolah mingguku. Senja ini aku sungguh terhibur dengan hadirnya pelangi. Pelangi yang sempurna. Utuh di hadapanku.

Aku masuk rumah karena pelangi itu semakin memudar dengan datangnya sang malam yang siap menggantikan tugas sang siang. Dengan berlatarkan langit nan jingga karena lembayung menggantikan pelangi, aku masuk bergandengan tangan dengan Pangeran Kecilku. Jari-jarinya yang halus dan montok terasa hangat di tanganku.  Kehangatan genggamannya dan keindahan pelangi masih terus terasa samapai ke hati. Pelangi senja membawa semangat dan harapan. Pelangi bak sebuah janji akan cinta yang tak pernah berkesudahan.


- Senja di akhir Maret 2013-