Minggu, 26 Oktober 2014

KENA GENDAM

Pukul 02.00 dini hari, waktunya orang tertidur pulas. Ketika tiba-tiba ada dering telpon rumah atau HP, pasti orang akan terbangun dengan kekagetan yang tak alang kepalang. Pikiran seseorang kalau ada telpon waktu seperti itu otomatis tertuju pada berita yang buruk. Pasti ada apa-apa. Kalau mempunyai keluarga berada pada jarak jauh, apalagi orang tua yang memang sudah renta usia, akan berprasangka buru, yang pastinya membuat cemas.
Nah, saat seperti itu memang kerja otak bukan pada bagian neokorteks (otak berpikir), melainkan pada bagian otak reptilia, bagian otak yang berkaitan dengan insting dan naluri. Bagian otak yang dimiliki oleh setiap mahluk hidup yang punya otak ini memang berkaitan dengan survival. Bertahan hidup. Mempertahankan diri. Otak ini memang aktif ketika sedang panik, takut, sedih, dan emosi negatif lain. Pada saat bagian otak ini aktif, yang ada hanya bagaimana menyelamatkan diri dari bahya dan bertahan hidup.
          Karakter otak manusia yang demikian, rupanya dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk tujuan tidak baik. Tujuan tersebut mencari keuntungan materi dengan cara yang tentunya tidak terpuji. Cara mempengaruhi otak pada saat seperti itu dengan memakai gendan dan hipnotis. Orang kebanyakan  mengnggap kedua kata itu sama. Namun sebetulnya berbeda. Dlihat dari  katanya saja sudah berbeda.   Menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia gendam artinya mantra atu guna-guna yang membuat orng terpesona. Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara kata hipnotis dengan hipnosis. Hipnosis adalah keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu ada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya. Namun,  pada taraf  berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Hipnotis adalah membuat atau menyebabkan seseorng berada dalam keadaan hipnosis.
        Nah, kejadian Pukul 02.00 dini hari tiba-tiba ada dering telpon dan terbangun dengan kekagetan yang tak alang kepalang itu terjadi pada keluarga saya. Hal ini terjadi pada hari Selasa, 9 September 2014. Kena gendam atau mungkin terkena hipnotis pun kami almi. Pada dini hari itu, kami dimintai uang,  tepatnya ditodong melalui telpon rumah dan dilanjutkan melalui HP. Seseorang meminta kami  mengirimkan uang ke rekening tertentu untuk menebus anak laki-laki kami yang kuliah di Bandung. Penelepon yang mengaku bernama Mangatas Samosir dan mengaku sebagai seorang polisi di Bandung mengatakan bahwa Aga, anak kami,  ditangkap polisi karena ketahuan membawa narkoba. Mereka minta tebusan 25 juta.
        Bayangkan saja, bangun  karena kaget mendengar dering telpon. Kesadaran jelas belum pulih. Otak reptil langsung berfungsi. Penelepon menambah tingkat kepanikan dengan menimbulkan latar belakang suara hiruk pikuk: suara sirine yang keras dan monoton, serta orang membentak-bentak,  serta suara seorang yang menghiba-hiba  minta dikasihani agar tidak ditangkap. Lengkap sudah efek suara di sebrang sana itu mendramatisir suasana tegang.
        Ketakutan, kecemasan, dan ketegangan merambat masuk. Situasi ini dimanfaatkan suara Polisi   Mangatas Samosir gadungan yang ada disebrang sana untuk menekan suami saya, Pak Bob, agar segera mengirimkan uang ke rekening  BRI. Gendam lewat suara itu rupnya sangat efektif. Karena buktinya suami saya tercinta itu mulai terdengar panik. Dan mulai melakukan apa yang diminta Mangatas Samosir di sebrang sana. Saya mulai menyadari bahwa ini sebenarnya penipuan. Peristwa ini sering saya degnar karena beberapa korbannya adalah orang tua murid saya. Namun, saya tetep gemetar meskipun itu adalah penipuan.
         Otak neokorteks saya, saya  paksa untuk mulai berpikir bagaiman caranya untuk kelur dari situsi gawat ini. Akhirnya saya memutuskan menghubungi Aga di Bandung lewat HP. Ternyata HP-nya tidak diangkat. Lantas saya hubungi bapak kosnya. Juga tak diangkat. Kemudian dengan tergesa  saya langsung menghubungi Metta, anak pertama saya  yang berada di mess di tempat kerjanya, Serang. Telpon saya tersambung. Kaget pasti dia. Metta disebrang sana juga berpikir. Apakah yang  harus dilakukan. Terus ia membuat susu dulu sambil mencari cara. Sesudahnya,  baru menelepon saya lagi.  “ Bu, minta tolong Pak Joko supaya ada orang yang pikirannya seger dari pihak ke-3.”
      Jadilah dini hari itu saya mengontak pak Joko, teman sejawat saya dan juga sekaligus tetangga saya  selang satu rumah dari rumah kami. Sekali tak diangkat. Baru kali kedua dia mengangkat HP-nya.
“Ada apa, Teh?” begitu dia menjawab. Sesudah saya jelaskan, segera dia keluar. Ia melihat kami panik. Pak Bob sudah menghidupkan motor untuk pergi ke ATM terdekat. Sementara itu HP Pak Bob menyala terus karena Mangatas Samosir mengatakan komunikasi dengannya  tak boleh terputus. HP Pak Bob dengan Mangatas Samosir dalam keadaan kontak. Pak Joko langsung tanggap situasi. Dia segera mematikan kontak di HP Pak Bob. Begitu kontak HP terputus, telpon rumah langsung berdering. Pak Joko yang mengangkat. Terdengar latar belakang hiruk pikuk: suara sirine yang keras monoton dan orang membentak-bentak serta seorang yang menghiba minta dikasihani agar tidak ditangkap. Terdengar suara bentakan: brogol saja dia! Disambung dengan orang yang minta dkasihani: Papa tolong! Papa tolong!
             Pak Joko membentak, “ siapa di situ? “
“Saya Angga,” suara di sebrang sana menjawab.
“Ini bukan rumah Angga. Salah smbung,” Pak Joko membentak lagi.
Suara di sana meralat, ” Saya Aga.”
 “ Bohong kamu. Jangan menipu!” suara Pak Joko makin garang.
Kontak putus. Kami selamat dari gendam.

             Pagi itu kami tak melanjutkan tidur. Setelah perasaan kami reda, kami duduk di teras. Setelah melihat kembali peristiwa tadi jadi geli juga kami. Ada beberapa kejanggalan yang terjadi. Pak Bob baru sadar bahwa Aga itu  tak pernah memnggil dia dengan panggilan papa, tetapi babe. Bunyi sirine itu yng terus-terusan sebagai latar belakang, spertinya agak aneh juga. Bukannya sirine di ruangan tak mungkin dibunyikan? Tebusan untuk tahanan narkoba 25 juta itu terlalu kecil. Selain itu, Polisi tak mungkin terang-terangna minta tebusan. Bob baru sadar kalau nama anak yang ditangkap itu bukan Aga, tetapi Angga.
         Begitulah pengalaman kena gendam. Ternyata kami mengalaminya. Dari pengalaman ini saya melihat bahwa terkena gendam dan terkena tipu, tak ada korelasinya dengan kebiasaan seseorang berdoa. Meskipun  seseorang rajin berdoa, ternyata bisa saja ia terkena gendam atau bisa juga tertipu orang. Mengapa hal ini saya katakan karena ada salah seorang teman yang menanyakan apakah saya tidak berdoa?  Pernyataan ini bukan berarti mengecilkan arti berdoa. Kasus lain bisa saja terjadi bahwa seseorang pendoa yang hidupnya kudus bisa saja menghindar dari hal ini. Yang saya alami bahwa terkena gendam atau tertipu orang tak ada kaitannya dengan kebiasaan berdoa.  Sekali lagi ini berlaku untuk kami, khususnya saya.  Mungkin perlu ada penelitian khusus tentang kebiasaan berdoa dengan terkena tipu. Penipu yang mengarahkan gendam atau hipnotis yang diserang adalah otak reptilia seseorang. Memanfaatkan otak tersebut bila keadaan panik, orang bisa kehilangan akal sehat. Saat seperti ini keadaan seseorang sedang lemah karena otak berpikirnya belum berjalan 100%. Terbangun karena kaget. Nah, ini merupakan sasaran yang empuk untuk dimanfaatkan. Saya memperhatikan para penipu ini tidak sendirian. Mereka berkelompok. Bisa jadi sindikat.
         Namun, saya tetap percaya akan pertolongan Tuhan melalui orang-orang yang ada di sekitar saya. Misalnya melalui  Pak Joko, sebagai pihak ke-3 yang berotak jernih daripada kami yang mengalami. Terima kasih Pak Joko.
        Saya berharap para pembaca tidak mengalami seperti saya. Namun, bila mengalami, saran saya, carilah orang ke-3 yang otaknya dalam keadaan segar sehingga tidak dikuasai kepanikan.

Ch. Enung Martina