Senin, 22 Desember 2014

PELAJARAN DARI RAJA SAUL (bagian 1)

      Kita mengenal Saul sebagai raja pertama bangsa Israel. Menurut Al Kitab (Kitab Samuel), Saul adalah seorang yang berperawakan paling tinggi dari antara sebangsanya pada masa itu. Selain itu tubuhnya pun gagah. Pendek kata Saul, adalah seorang laki-laki yang maco. Saul adalah pilihan pertama Allah untuk menjadi raja Israel.
      Dalam perjalanannya sebagai penguasa perdana,  Saul, pastinya tidak langsung mahir menjadi pemimpin yang baik dan mumpuni. Ia bertemu dengan berbagai peristiwa yang membuat dia harus memutuskan berbagai perkara dalam mempertahankan kerajaannya dan menunjukkan otoritasnya menjadi seorang raja. Perlu diingat bahwa kerajaan Saul bukan didirikan karena keinginan rakyat saja. Kerajaannya terdiri karena adanya rahmat dan campur tangan Allah. Tentunya kedaulatan Saul sebagai raja memang 100%, tetapi ia harus mendasarkan pemerintahannya pada hukum Tuhan. Namun, Saul seringkali lupa atau pura-pura lupa bahwa kekuasaan dia bukan kekuasaan mutlak tanpa batas dan kekuasaan tanpa melandaskan pada  hukum Tuhan.
      Banyak peristiwa dalam perkara-perkara kecil maupun besar, Saul melupakan hukum Tuhan yang menjadi landasan kekuasaannya itu. Ketidaktaatan Saul pada Allah ditunjukkan dalam 1 Samuel 13: 8-12, yang mengisahkan Saul tidak lagi mengindahkan perkataan penasihat rohaninya, guru spiritualnya, Samuel. Ia lebih memilih mengadakan kurban bakarannya sendiri tanpa menunggu Samuel. Perlu dicatat bahwa yang berhak mempersembahkan kurban bakaran itu adalah imam, bukan raja. Namun, Saul karena ketakutannya ditinggalkan rakyatnya yang cerai berai karena gentar menghadapi tentara Filistin, ia memutuskan untuk mengadakan korban bakaran sendiri. Setelah menunggu tujuh hari lamanya Samuel tidak datang, Saul mengambil keputusan mengadakan korban bakaran tanpa imam. Sepertinya dalam zaman Perjanjian Lama tugas mempersembahkan korban bakaran itu memang spesial pekerjaan para imam. Raja, atau rakyat biasa  tak berhak untuk melakukan kurban bakaran. Memang begitu peraturannya. Saul membuat aturan sendiri. Samuel mengatakan: perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah Tuhan, Allahmu yang diperintahkan- Nya kepadamu; sebab sedianya Tuhan mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel selama-lamanya. (1Samuel13: 13)
     Tindakan pelanggaran Saul lain adalah ketika ia mengalahkan orang Amalek. Ia menyelamatkan Agag, raja orang Amalek. Saul juga menyelamatkan kambing, domba, lembu yang terbaik dan tambun, serta segala yang berharga. Padahal diperintahkan untuk memusnahkan orang Amalek semuanya beserta ternak dan barang-barang berharganya. Ketika Samuel bertanya tentang hal itu kepadanya, Saul menjawab dengan berdalih: Semuanya itu dibawa dari pada orang Amalek, sebab rakyat menyelamatkan kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dengan maksud mempersembahkannya kepada Tuhan, Allahmu; tetapi selebihnya telah kami tumpas (1Samuel 15:15).
     Saul mempersembahkan kurban bakaran pada Tuhan, tidak dengan niat yang tulus. Dia mau mempersembahkan kurban bukan dari harta miliknya. Dia mau mempersembahkan barang rampasan. Dia orang yang pelit. Pedit. Untuk Tuhan saja dia masih mempertimbangkan untung dan rugi. Dia tak mau rugi.
Saya sungguh terkena dengan kelakuan yang Saul dalam kisah itu. Saya pun sering melakuka perhitungan dengan Tuhan. Contoh kalau saya mau persembahan kala Ekaristi. Sering dalam persembahan saya tidak mempersiapkan dengan baik. Meskipun persembahan saya tidak banyak, tetapi kalau dipersiapkan dengan baik maknanya pasti lain.
     Dalam keadaan salah dan terbukti pun Saul masih melarikan diri untuk mencari kambing hitam dari kesalahannya. Sebagai seorang raja dia mempunyai wewenang untuk memerintahkan rakyatnya dengan tegas untuk tidak mengambil apa pun dari orang Amalek itu. Seharusnya dia memerintahkan untuk memusnahkan semuanya tanpa kecuali.
     Kedua tindakan Saul di atas, dia lebih mempedulikan apa kata rakyatnya. Apa yang bdikatakan manusia. Saul raja yang sangat peduli akan pencitraan dirinya di depan rakyat. Dia takut kehilangan dukungan rakyat bila dia tidak memenuhi keinginan rakyat. Nama baik dirinya di hadapan manusia jauh lebih penting baginya daripada menuruti perintah Tuhan.  Saul selalu mencari pembenaran dari kesalahan yang diperbuatnya. Dia tidak secara ‘gentelman’ mengakui perbauatannya.
     Sebetulnya Saul tahu persis akan tindakan  yang dilakukannya. Berarti ia juga tahu bahwa tindakannya itu tidak tepat. Namun, alih-alih mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada Tuhan atas tindakannya, ia malah mencari dalih untuk membenarkan tindakannya. Lempar batu sembunyi tangan, begitu mungkin peribahasa yang tepat untuk Saul.
     Saya jadi melihat diri saya sendiri ketika membaca tentang kisah Saul ini. Dalam situasi terdesak, kepepet, saya juga pernah melakukan untuk mencari keselamatan diri dengan melemparkan kesalahan saya pada ‘kambing hitam’  situsi, orang lain, kesempatan, cuaca, masa lalu, kurangnya waktu, alat yang tidak mendukung, godaan setan, khilaf, dan seribu kambing hitam yang lain.
          Saul mempunyai mentalitas korban (victim). Mentalitas ini merupakan upaya untuk menghindari tanggung jawab dan memindahkan kesalahan pada kambing hitam, kambing putih, atau kambing belang. Mentalitas menjadi korban membuat seseorang tidak bertahan, jauh dari berkat, dan tidak bisa mencapai potensi penuh.
      Ada banyak aspek dan keadaan di lingkungan kita yang di luar kendali saya. Namun, bila saya mau menerima tanggung jawab, maka saya saya bisa melakukannya dengan baik. Saya menjadi pemenang bukan lagi korban.
      Saul membuat kesalahannya kelihatannya menjadi masuk akal, logis, dan wajar, bisa dimaklumi. Rasanya saya juga terkadang melakukan itu. Saya memaklumi kesalahan saya sebagai sesuatu yang wajar terjadi karena situasi saat melakukan itu memang menjerumuskan saya pada kesalahan. Keadaan saat saya melakukan kesalahan itu sangat logis untuk saya lakukan saat itu. Saya bermental korban. Saya menempatkan kesalahan saya pada kambing yang berwarna-warni.
     Jika Saul, saya, atau siapa pun melakukan ‘ lari dari tanggung jawab’ dan mencari kambing warna-warni, itu berarti Saul, saya, atau siapa pun sedang bertindak bodoh. Ketidaktaatan pada Allah tetap salah meskipun mencari alasan yang logis disertai dengan bukti-bukti yang kuat dan akurat sekali pun.
       Bila saya perhatikan dan cermati prihal peraturan Allah dalam kisah Saul, hanya ada salah dan benar. Tidak ada yang abu-abu, belang-belang, atau suam-suam kuku, yang setengah-setengah, banci, atau yang situasional. Peraturannya jelas benar dan salah. Taat dan tidak taat. Tidak melihat cuaca, musim, atau situasi. Peraturan Allah tetap selama-lamanya. Begitu kata Al Kitab.

        Kembali lagi kepada saya. Saya suka membuat peraturan itu jadi situasional. Peraturan yang menyesuaikan pada saya. Bukan saya yang mengikuti  peraturan. Kalau peraturan itu enak, ya saya ikuti. Kalau itu berat dan membelit, maka saya berusaha membelokkan, membengkokan sesuai kemauan saya. Sepertinya saya ini kok mirip  Saul. Hanya bedanya saya buka raja seperti dia.
(Ch. Enung Martina)