Kamis, 31 Maret 2016

MENGHADAPI KETAKUTAN SAAT DIKRITIK


Karya adalah sesuatu yang diciptakan dengan tujuan mengekspresikan perasaan dan  pikiran seseorang. Karya merupakan ekspresi diri seseorang. Karya ibarat anak yang dikandung selama 9 bulan yang dinantikan kelahirannya. Karya merupakan suatu proses perpaduan antara diriku, orang lain, semesta, dan Sang Pencipta. Ketika seseorang berkarya dia menjalankan perannya sebagai citra dari Sang Pencipta. Berkarya berarti melakukan tindakan Sang Pencipta, yaitu mencipta. Ada unsur spiritual dalam sebuah karya bila kita menyadarinya. Sebuah karya pasti mempunyai tujuan yang baik. Yang bertujuan buruk tidak dinamakan karya melainkan dosa yang mengakibatkan malapetaka.

Namun, meskipun orang tahu bahwa berkarya itu untuk tujuan yang baik, terkadang sering orang merasa takut atau malu untuk menampilkan karyanya. Bahkan, ada orang sebelum berkarya sudah takut dulu dengan anggapan dan penilaian orang terhadap karyanya. Karena itu, ia gagal untuk berkarya karena sudah ngeri membayangkan kritikan yang akan dituainya.

Banyak orang yang menganggap, bahwa seseorang yang mendapat kritikan dari suatu hasil yang mereka kerjakan itu akan menjadikan kegagalan bagi diri mereka. Padahal, hal semacam tidak benar. Perlu kita ketahui, bahwa setiap kritikan yang kita dapatkan, akan menjadikan kualitas pekerjaan itu lebih baik lagi.  Jika kita mampu menerima kritikan itu serta melakukan perbaikan terhadap hasil atau pekerjaan kita, maka kita pun nantinya akan mendapatkan pujian yang sepadan.

Jika kita memang merasa takut untuk dikritik, maka, apa yang akan kita lakukan hanya sebatas kemampuan kita. Tidak akan ada perubahan yang lebih baik lagi jika takut kritikan. Hal itu akan membuat kita semakin terpuruk dalam ketertinggalan. Perlu kita ketahui, sebuah kritikan dari orang lain, merupakan salah satu kunci dari kesuksesan orang. Karena, kritikan yang mereka dapat akan memperbaiki kualitas hidup mereka, serta kualitas hasil dari apa yang mereka kerjakan.

Maka dari itu, kenali rasa ketakutan kita dan buang jauh-jauh hal itu dari hidup kita. Ketakutan yang kita alami adalah hal yang benar-benar subjektif. Karena rasa takut itu tidak bisa dilihat atau disentuh, tidak memiliki bau dan juga tidak memiliki rasa serta tidak memiliki bentuk. Ketakutan yang kita alami, berada didalam kepala kita, tepatnya terdapat otak kita.

Ada sementara ahli mengatakan bahwa seseorang yang merasa takut dikritik dan melihat kritikan sebagai saat menjatuhkan dirinya disebabkan karena pengalaman dalam keluarga. Para ahli menngatakan jika kita hidup di dalam keluarga yang selalu memberikan kritikan, kita akan selalu merasa sedang dijatuhkan ketika seseorang mengkritik kita. Kendati kita sudah melakukan hal baik tanpa cela, kita akan cenderung menyalahkan diri sendiri saat dikritik. Padahal kita tahu, ketika kita mengatakan hal buruk terhadap seseorang atau menyakiti hati orang lain lewat perkataan, kita pun sebenarnya sedang mengkritik orang lain, bukan? 

Agar kritik tak selalu berdampak buruk, kita bisa mengganti persepsi bahwa yang dikatakan orang terhadap kita bukanlah semata-mata kesalahan yang sudah kita perbuat. Untuk itu, ada beberapa strategi  menghindari ketakutan saat dikritik:

Tak ada manusia yang sempurna, begitu pun kita. Menerima kesalahan yang dilakukan orang lain adalah hal normal, demikian pula bila kita yang melakukan kesalahan. Sangat mudah memperbaiki kesalahan dan fokuslah pada solusi, bukan salah menyalahkan. Kuatkan hati, dengan semakin terbuka terhadap kritikan, hidup kita akan semakin berkembang ke arah yang baik.

Bersiaplah selalu untuk menghadapi kritikan di segala suasana. Persiapan ini ibarat kita harus menggunakan sepatu khusus ketika harus mendaki gunung. Bila tak ada jalan pintas untuk sampai ke puncak, tak masalah bukan? Kita akan semakin tangguh menghadapi ancaman di depan kita, termasuk kritikan jenis apa pun.

Jaga selera humor kita. Kendati kritikan yang kita terima sangatlah kejam, tertawa sajalah atas apa yang sudah kita lakukan. Ketika kita menyadari tak bisa tertawa saat menonton film komedi, segeralah kita dan berjalan-jalanlah sebentar di sekeliling rumah untuk menghirup udara segar. Atau, hubungi teman kita yang memang memiliki selara humor paling oke agar hari kita kembali terisi dengan keceriaan.

(disarikan dari berabgai sumber oleh : Enung Martina)

Minggu, 27 Maret 2016

REFLEKSI JUMAT AGUNG: ENERGI CINTA


Tri Hari Suci 2016 ini dilalui bersamaan dengan menikmati batuk yang tak kunjung sembuh. Setiap saat diisi dengan mingsrek-mingsrek menyedot ingus/dahak dan mengeluarkannya, tapi kadang menelannya. Repot dah. Batuk kali ini dimulai dari Abhimanyu, si bungsu. Karena sering begadang terbangun memperhatikan dia, akhirnya inangnya juga terterobos oleh virus batuk.

Jumat Agung mengikuti Ibadat Penghormatan Salib di Gereja Santo Ambrosius, Vila Melati Mas. Sejak pukul 13.00 hari mendung dan disempurnakan dengan gerimis yang mengundang rasa yang biru. Berangkat 1 jam sebelumnya, tetapi sudah tak mendapat tempat incaran: kursi di dalam ruangan yang nyaman dengan angin cepoy-cepoy (AC). Eh, ternyata kami tidak beransib mujur. Ruangan dalam gereja atau pun aula sudah penuh tak ada tempat. Akhirnya duduk di bangku bakso di selesar atas dengan panorama samping Gereja HKBP. Lumayanlah ada angin yang semilir dan ada jemaat HKBP yang hilir mudik di jalan mereka. Sehingga kami sering bertatapan dengan saudara satu iman dalam Kristus, tetapi berbeda gedung ibadat itu. Namun, kami tetap satu dalam Kristus.

Meski duduk kami sekeluarga terpencar, tetapi tak menghilangkan kekhidmatan mengikuti prosesi ini. Sejam menunggu untuk masuk dalam prosesi bukan waktu yang singkat. Terutama untuk anak berusia 5 tahun yang duduk 10 menit saja merupakan perjuangan. Ibu cerdas tak kalah akal, bawalah kertas bekas sebanyak mungkin, bawa sidol, pinsil warna, gunting, dan seperangkat kartu boboboi. Semua orang menanti, si bocah superaktif duduk delosor di bawah kursi asyik menggambar aneka karekter dari zombi hingga robot. Saat prosesi akan dimulai, si bocah sudah bosan dengan aktivitasnya. Dia mulai bertanya : Sudah mau pulang kita, Bu? Waduh, baru akan mulai, Nak. Dia mulai resah dan mengeluh: Aku pegal ni. Mataku gatal ni. Dan aneka keluhan lain. Dia mulai bersandar ke pundak, mata mulai sayu. wah pertanda.... kantuk tiba. Begitu prosesi doa pembukaan mulai dia sudah duduk manis dengan mata terpejam. Akhirnya keadaan memaksa  sang ibu untuk duduk menyedikan pangkuan untuk bantal si bocah. Sepanjang prosesi sabda yang panjang dalam pasio yang indah dia tertidur. Sabda digelar, kantuk pun datang. Sang ibu harus mempertahankan posisi duduk agar buah hati bisa nyaman tidur. Prosesi sabda selesai, tiba prosesi cium salib. Untunglah si bocah sudah bangun. Dengan segar dia sudah siap mengalami pengalaman mencium Kaki Yesus.

Malam tiba. Hidung masih mampet, dada terasa sesak, tulang iga terasa sakit, dan kepala pusing, tetapi kantuk tak kunjung datang. Teringat sebuah kutipan film Sun Go Kong: kalau mau tidur berdoa saja. Maka jadilah saya duduk manis di kursi dengan posisi meditasi Zen Qi Sirkulasi, duduk tegak tanpa bersandar, tangan terkatup di pangkuan, lidah menyentuh langit-langi dengan lafal L, kemudian mingkem. Meditasi diawali dengan doa Aku Percaya, dan dilanjutkan dengan merafalkan Bapak Kami secara lambat dan perlahan.

Semenit, lima menit, 15 menit. Mulai terasa reaksi badan hangat, dada terasa sesak, punggung pegal dan hangat, kepala terasa pening. Sensasi ini berlanjut hingga 15 menit kemudian. Pada menit ke-30 lebih mulailah . Dalam setiap meditasi ini, saya biasanya tak pernah ada ujud doa tertentu. Pada meditasi malam kali ini pun tidak.

BTW, sekedar memberitahu, saya belajar meditasi ini berawal dengan tujuan untuk menjaga stamina tubuh agar tetap bugar. Namun, dalam perjalanan latihan ternyata sampai pada yang agak-agak spiritual. saya juga tidak mengerti kok bisa begitu. Tadinya saya mengikuti Bob, suami saya yang mengikuti pelatihan meditasi ini secara intensif dengan suhu yang handal tentunya. Lama lama saya menjalankan latihan ini dan ‘nagih’.

Pada menit ke-30 menit lebih ini biasanya saya sudah mengalami sensasi yang tak akan sama pada setiap meditasi. Mediatasi kali ini mula-mula saya mengingat peristiwa Prosesi Jumat Agung yang sore tadi saya ikuti sperti cerita di atas. Namun, lama-lama lokasi jadi berpindah menjadi ke lokasi di Israel sana yang pernah saya kunjungi tahun 2007 silam. Dalam visual itu saya melihat jalan yang dilaluinya adalah lorong-lorong pasar yang menuju Bukit Golgota. Lalu muncul salah satu adegan film Passion of The Christ yaitu saat  Yesus disesah dengan cambuk dengan seluruh bilur luka di punggungnya yang mengeluarkan tetesan darah tak terhingga sehingga seluruh punggung rembes dengan darah segar yang terus menetes. Lantai tempat Dia disesah belepotan dengan darah dan pecut yang dipakai menyesah menyisakan cabikan kulit dan goresean daging yang terobek. Adegan film itu begitu hidup saya lihat. Dengan sendirinya saya menangis. Prosesi terus berjalan mengikuti adegan menuju puncak bukit temapat yang dipilih untuk menyalibkan-Nya. Lantas saya teringat saya berlutut di bukit itu di bawah reflika kayu salib yang posisinya di tengah yang diapit oleh dua salib lain di kiri kanannya. Kala itu saya hanya bisa menangis dan tak sepatah kata pun doa keluar dari mulut saya. saya hanya merasa sangat tak layak dan merasa sangat dikasihi. Itu saja perasaan saya. Lantas saya teringat saya turun ke gua yang berfungsi sebagai amkam tempat menguburkan tubuh-Nya. Saya amsih ingat betapa panjang antrian ke gua itu. Tiba giliran saya untuk amsuk ke dalam gua itu. Di sana ada seorang penjaga bertubuh tinggi besar dengan muka brewokan dan jauh dari ramah. Jubahnya yang berwarna coklat kehitaman menyentuh lantai. Saya menduga mungkin dia biarawan Fransiskan.  Dengan tegas ia mengatur semua peziarah mengantri untuk masuk ke bilik tempat tubuh dibaringkan. Saya masuk ke bilik itu dan melihat ada segulung kain kafan terumbruk di situ sebagai reflika adegan bahwa tubuh-Nya sudah bangkit. Sama di gua ini pun saya tak bisa berdoa apa-apa karena ada keharuan yang memuncak pada diri saya. Ketika saya berlutut dan mendekatkan bibir saya ke reflika kain kafan yang dilapisi kaca itu, saya hanya berucap lirih ‘terima kasih’.

Begitu kejadian itu berputar dalam ingatan saya. Lantas dalam meditasi ini otak waras saya bertanya jadi mengapa Dia melakukan itu semua? Meski saya tahu jawabannya karena sudah didoktrin oleh guru agama dan juga cerita dari Kitab Suci. Namun, pengetahuan sebatas otak  saja tidak cukup kalau belum sampai ke hati. Saya melanjutkan pertanyaan itu. Dan muncullah suatu jawaban yang sama dengan pengetahuan otak selama ini: karena Cinta yang besar. Lantas bergerak lagi kata-kata itu dan saya melihat bahwa cinta itu adalah energi yang super besar yang tidak merusak atau menghanguskan, tetapi kebalikannya menghidupkan dan menumbuhkan. Lantas visual saya melompat ke pemandangan ada poros saeperti roda bermesin yang bergerak melingkar mulai pelan makin lama makin cepat, cepat, dan sangat cepat hingga gerakannya tak lagi nampak. Roda itu tak pernah berhenti berputar, tetapi tak seorang pun menyadarinya. Itulah putaran energi cinta-Nya yang tak terlihat, tak terasa, tetapi ada dan tak pernah berhenti. Lantas saya melihat peta hidup saya. saya melihat saat saya sekolah dengan segala perjuangan saya dan kerja keras orang tua. Saya melihat energi cinta mereka pada saya begitu besar sehingga menumbuhkan semangat saya untuk belajar dan menghidupkan pula energi cinta dalam diri saya untuk mencintai mereka dan keluarga dan ingin ikut membahagiakan mereka dengan belajar yang baik hingga saya berhasil. Energi cinta itu membuat saya tak pantang menyerah dalam perjuangan kala saya sekolah mulai dari SMP negri di kota kecamatan kecil, Panawangan, kemudian berlanjut energi cinta itu membawa saya ke SPG Santa Angela Bandung, dan kemudian mendamparkan saya skuliah di Kota Gudeg. Pada setiap etape pendidikan say energi cinta itu tersebar melalui orang-orang yang membentu saya, teman, saudara, ibu kost, para pendidik, para suster pembimbing, Yayasan Salib Suci yang memberi beasiswa kepada saya, Pastor Gandhi OSC (kakak sepupu saya yang sekaligus guardian angel saya), Pastor Rojakers OSC, penyalur dana dari OSC, dan banyak lagi orang-orang yang menjadi saluran energi cinta Tuhan untuk saya.

Saya melanjutkan permenungan saya ke dalam dunia perkawinan saya yang sekarang sudah berumur 27 tahun ini. Saya melihat begitu banyak suka duka yang dilalui bersama pasangan. saya melihat energi cinta yang membuat saya mampu melaluiberbagai peristiwa, tantangan, rintangan dalam rumah tangga saya. Energi cinta itu yang membuat saya bisa berjuang untuk pendidikan anak-anak saya. Energi cinta yang besar yang membuat semuanya terasa membuat saya takjub tak berkesudahan atas eajaiban yang dibuat-Nya dalam hidup saya.

Permenungan itu terus berlanjut dengan 3 buah hati yang dikaruniakan kepada saya. Saya melihat mereka bertumbuh dalam energi cinta yang mengelilingi mereka. Dengan energi cinta mereka bertumbuh, berjuang, berusaha, belajar, dan mendapat beberapa keberhasilan dalam hidup mereka yang besar ataupun yang kecil. Semuanya karena ada energi cinta pada mereka dan juga pada kami orang tuanya juga orang-orang di sekitar mereka yang mempunyai kehendak baik.

Ketika saya melihat bahwa saya masih sering mengkuatirkan hal-hal yang belum terjadi,  sebenarnya itu kesia-siaan. Energi cinta cukup untuk membuat saya tidak perlu kuatir. Energi cinta menjadi suatu garansi akan janji Tuhan kepada saya. Energi cinta menjadi bukti bukan hanya sekedar janji para politikus dalam kampanye mereka. Energi cinta itu bersumber dari Sang Cinta itu sendiri yang rela mennumpahkan darah-Nya untuk saya dan semua manusia serta seluruh jagat raya ini demi tercapai kedamaian di dunia dan hati setiap orang. Sang Cinta yang tangan-Nya terentang antara langit dan bumi. Kurang apa lagi?
(Ch. Enung Martina, Sabtu Suci, 26 Maret 2016)




Minggu, 20 Maret 2016

PUISI TENTANG MEDITASI

MASUK KE DALAM DIRI
Duduk tegak, tangan di pangkuan
mata terpejam dalam diam
lidah menyentuh langit
mulut terkaptup sunyi
               
Tanpa suara hanya rasa yang berkelana
masa lalu, sekarang, dam masa depan
vision silih berganti
dari yang suci hingga yang keji
semua datang silih berganti


Pusatkan nafas pada satu titik
titik mula pada ulu hati
lokasi di bawah belahan payu dara
titik kedua, tiga jari di bawah pusar
titik ketiga antara kemaluan dan dubur
keempat menuju tulang ekor
kelima naik perlahan ke pinggang
merambat ke titik enam ada pada kedua pundak dan belikat
lanjut naik ke tengkuk,
itu titik yang ketujuh
yang terakhir titik ke delapan
meridian paling tinggi, kening tempat neokorteks
lokasi akal budi  bersemayam

Bernafas diam dan dalam
oksigen masuk biasa dan perlahan
prana bergerak lembut dan pasti
menyeruak tanpa henti
menerobos tanpa ampun
melintasi seluruh nadi dan aliran darah
menelusup masuk ke sumsum tulang belulang

Prana membuka sumbatan dan hambatan
dengan pasti dia mengalir tanpa peduli
panas-kebas
nyeri, pedih, perih
gatal, pegal, mual
pusing-bening
Berdenyar silih berganti
datang dan pergi

Ulat bulu berjalan menelusuri pori-pori kulitmu
Riap serangga mengitari sekujur tubuhmu
sedetik pun tak terbebas tak terlepas
tanpa ampun prana menggempur yang tak teratur
melempar waktu
dan mendamparkannya pada keheningan
hening
bening
(Ch. Enung Martina)

Minggu, 13 Maret 2016

Artikel tentang Theologi Tubuh

File:Sacro Monte di Varallo-Cappella I-Il peccato originale

Ketelanjangan Asali (Original Nakedness)

Kejadian 2:25: …Mereka, keduanya telanjang, manusia dan istrinya itu, tapi tidak merasa malu”.
Berbicara tentang ketelanjangan asali menghubungkan dengan topik Teologi Tubuh yang diungkapkan oleh Paus Yohanes Paulus II.  Gagasan teologi tubuh lahir dari audensi Paus setiap hari Rabu dari tanggal 5 September 1979 – 28 Nopember 1984. Yohanes Paulus II mengajak kita untuk  kembali merefleksikan makna memiliki tubuh. Beliau menyerukan kepada dunia agar memaknai kembali secara benar arti tubuh dan seksualitas yang dimiliki manusia. Gagasan ini terkait erat dengan situasi dan kondisi zaman saat itu dan juga saat ini yang menggiring mayoritas manusia untuk menjadikan tubuh dan seksualitas sebagai sarana untuk memuaskan keinginan daging, bukan untuk menghayati kebebasan sejati manusia sebagai citra Allah.

Dua konsep kunci pada ayat di atas  yang direfleksikan Yohanes Paulus II  yakni telanjang dan tidak merasa malu. Meskipun dalam keadaan telanjang manusia pertama tidak merasa malu satu terhadap yang lain. Sikap ini tumbuh karena satu sama lain melihat tubuh mereka sebagai subjek yang harus dihargai.  Bahwa dalam keadaan ini setiap pribadi memberikan diri dalam cinta dengan penuh kejujuran.

Ketelanjangan adalah situasi yang memungkinkan manusia melihat tubuh sebagai sesuatu yang suci dan murni. Inilah yang terjadi pada manusia pertama bahwa meskipun mereka telanjang, mereka tidak merasa malu. Dalam bahasa Yohanes Paulus II ketelanjangan tersebut adalah sebuah perayaan kemanusiaan yang pertama. Dalam ketelanjangan nilai tubuh dirayakan secara agung dan ilahiah.
Tubuh yang telanjang punya arti asali dan mendasar yakni panggilan untuk saling mencintai. Tak adanya rasa malu sebenarnya menunjukkan kepenuhan dan kematangan mereka sebagai pribadi; memperlihatkan juga kemurnian hati dan cinta mereka yang tidak saling melihat diri sebagai objek untuk digunakan, melainkan sebagai anugerah. Adam dan Hawa saling melihat diri mereka dengan ‘mata Tuhan’ yang melihat segala sesuatu baik adanya.

Jika kita melihat struktur tubuh manusia sudah terdapat semacam cetak biru/blue print relasi. Tegak berdiri, tangan membentang dari luar ke dalam untuk merangkul dan memeluk, mata di bagian atas untuk melihat dengan jangkauan /dimensi yang luas, dua telinga untuk mendengarkan, mulut yang siap berbicara yang baik, dan struktur bibir untuk tersenyum. Ketelanjangan susah dipahami di luar konteks relasi cinta manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Ketika saya memandikan ketiga anak saya kala mereka kecil, mereka tidak malu karena mereka  mengerti saat dimandikan ibu, yakni ada ada kepercayaan penuh bahwa mereka tidak pernah dijadikan obyek tapi dicintai dan diterima tanpa syarat. Mereka mempercayai saya sebagai ibunya.

Asal Muasal Rasa Malu
Dengan kebebasannya, manusia bisa mencintai sekaligus menolak Allah pada saat yang sama. Tuhan sedemikian mencintai manusia hingga memberikannya kebebasan seperti itu. Jatuhnya Adam-Hawa dalam dosa tidak lepas dari kebebasan yang dimiliki keduaya. Mereka memilih untuk melanggar dan menolak Allah dengan makan buah terlarang. Mereka tidak menghendaki Allah campur tangan dalam hidupnya. Pilihan inilah yang akhirnya membuat dia serta merta bersembunyi ketika Tuhan datang.

“Aku takut dan bersembunyi karena aku telanjang”, demikian kata Adam ketika mendengar Tuhan mendatanginya. Karena pilihan inilah Adam tidak lagi melihat dirinya sebagai partner atau rekan Allah, tetapi lebih sebagai objek dari Allah. Ia mulai takut, khawatir kalau-kalau Tuhan akan menghukumnya. Ia mulai melihat dirinya sebagai objek yang siap dikuasai. Dan pada saat yang sama pula ia mulai melihat Hawa sebagai objek yang bisa digunakan.


Yohanes Paulus dalam Theology of Body dengan sangat mengagumkan menulis:
“Kata-kata dalam Kejadian 3:10 (Aku takut karena aku telanjang, dan aku bersembunyi) langsng menunjukkan perubahan radikal tentang arti ketelanjangan asali. Ketelanjangan yang pada mulanya berarti positif sebagai pengungkapkan penuh penerimaan akan tubuh dan seluruh pribadi manusia sekarang berubah menjadi negatif yakni menjadi nafsu.”


Akibat nafsu itulah manusia menjadi malu (shame) dengan dirinya dan tubuhnya sendiri, dan mulai melihat tubuh yang lain sebagai objek pemuasan kebutuhan seksualnya. Nafsu birahi yang menyatu dengan rasa malu dan menjadi impuls atau dorongan untuk menguasai yang lain sebagai obyek, bukan lagi sebagai partner dan pribadi yang diterima dan dicintai secara penuh. Di pihak lain, rasa malu juga mengandung hal positif yakni kebutuhan untuk self-protection , tidak dilihat dan digunakan orang lain sebagai objek.



Tubuh adalah sarana pengungkapan kehadiran manusia yang paling nyata dan konkret. Melalui tubuhnya seseorang menyatakan kepada sesama tujuan, arti dan makna hidupnya di dunia. Boleh dikatakan bahwa tubuh adalah sebuah komunikasi/ pengungkapan diri yang paling mudah dibaca. Dengan demikian memahami tubuh berarti secara perlahan masuk dalam inti diriku sebagai pribadi dan juga orang lain. Saya bisa mengenal orang lain dan juga diriku sendiri melalui pengungkapan tubuh. Seluruh kedirian seseorang menjadi nyata melalui tubuhnya.
Ajakan Paus Yohanes Paulus II kepada anak muda untuk mencintai tubuhnya adalah agar manusia menghargai dirinya sebagai pribadi yang dicintai Allah. Allah yang telah menciptakan manusia dengan seluruh diri-Nya dan kebaikan-Nya itu perlu disadari oleh siapa pun agar bangga terhadap tubuhnya itu karena tubuh adalah Bait Allah.
(Ch. Enung Martina)


Senin, 07 Maret 2016

KEHENDAK BEBAS


Kehendak bebas (bahasa Inggris: free will) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang atau sesuatu makhluk untuk membuat pilihan secara sukarela, bebas dari segala kendala ataupun tekanan yang ada.   Secara sederhana pengertiannya begini: Manusia bisa taat (melakukan kehendak Allah) atau melanggar perintah Allah (berdosa).
                Perlu diingat bahwa kehendak bebas menurut para filsuf hanya dimiliki oleh Allah, malaikat, dan manusia. Binatang dan tumbuhan tidak mempunyai kehendak bebas. Mereka hidup berdasarkan insting. Malaikat dan Tuhan merupakan mahluk Tuhan yang juga mempunyai kehendak bebas. Kehendak bebas manusia dipengaruhi oleh dorongan biologis dan juga rohani.
                Bapa Gereja Ireneus, pernah mengatakan "Manusia itu berakal budi dan karena ia citra Allah, diciptakan dalam kebebasan, ia tuan atas tingkah lakunya" (St. Ireneus, Against Heresies/Adv. Haeres. 4,4,3).
                Alkitab mengkonfirmasi tentang kehendak bebas itu, bahwa ciptaan Allah bisa berkata 'tidak' kepada Allah. Allah tidak memaksa/ memprogram manusia untuk percaya kepadanya. Dia juga tidak mengatur seseorangpun untuk menolak Allah. Iman/ kepercayaan manusia kepada-Nya sama sekali tidak dipaksakan oleh Allah. Maka, iniah kehendak bebas itu. Meski Allah bersedih ketika manusia meninggalkan Dia, dan manusia itu lebih memilih kehidupan keberdosaan, tetapi Allah tidak pernah memaksa manusia untuk mengasihi-Nya.
                Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendaknya sendiri dan menguasai segala perbuatannya. Maka dengan pengertian ini, kita memahami bahwa Allah tidak dengan secara aktif menentukan segala sesuatu bagi manusia tanpa melibatkan kehendak bebas manusia, sebab jika demikian, manusia hidup seperti robot saja, yang diprogram di segala tingkah lakunya, jika demikian, ia tidak mungkin dapat dikatakan berakal budi dan mempunyai citra Allah. 
Apakah kehendak bebas benar-benar bebas ? Ya. Namun,  kebebasan itu mempunyai konsekwensi. Tidak ada kebebasan mutlak. Kebebasan selalu dibatasi oleh naturnya.  Secara rohani manusia bisa melakukan kehendak Allah, tetapi karena kedagingannya ia bisa jatuh ke dalam dosa. Natur manusia sebagai ciptaan.  Ada batas kosmologis yang tidak bisa dilanggar.  Apabila manusia memilih melawan Allah, berdosa, meninggalkan Allah. Ia menanggung akibat dari ketidak-taatannya itu. Sebetulnya konsekwensi itu merupakan akibat atau buah dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang ketika dia melakukan tindakan-tindakannya.
                Kalau “kehendak bebas” yang didefinisikan sebagai: Allah memberi manusia kesempatan untuk membuat pilihan yang betul-betul mempengaruhi nasib mereka, maka, ya, manusia benar-benar memiliki kehendak bebas. Oleh karena itu, Dia yang memilih, juga mengizinkan individu-individu untuk memilih.
                Dengan kehendak bebas ini, Allah sungguh menghargai manusia, sehingga manusia dapat secara bebas untuk masuk dalam hubungan pribadi dengan Allah. Masuk dalam hubungan pribadi dengan Allah, yang adalah menjadi tujuan akhir manusia, sesungguhnya mensyaratkan pemberian diri secara bebas. Katekismus Gereja Katolik  (KGK) 1730  menyatakan : Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak sendiri dan menguasai segaIa perbuatannya. 
              Kehendak bebas yang diberikan kepada manusia merupakan kebebasan yang bertanggung jawab.  KGK 1745 : Kebebasan mewarnai perbuatan yang sungguh manusiawi. Ia menjadikan manusia bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dikerjakan dengan kehendak bebas. Perbuatan-perbuatan yang dikehendaki manusia, tetap dimilikinya. (Ch. Enung Martina)