Senin, 05 Desember 2016

RETRET BERSAMA ST. IGNATIUS ( Hari Pertama)

(Danau Garda, Italia)

Kita manusia ciptaan Allah yang memiliki tubuh yang dibatasi ruang dan waktu. Manusia adalah kesatuan antara tubuh dan jiwa yang memberi hidup. Arah tujuan hidup kita digerakkan oleh dorongan roh. Roh baik membimbing kita pada Allah sebagai tujuan akhir, sedangkan roh jahat membelokkan arah tujuan hidup kita.  Untuk mengenali roh baik dan jahat itulah kita memerlukan waktu menyendiri dan mengheningkan diri. Retret merupakan salah satu latihan rohani untuk mengenali kedua roh tersebut.

Pada saat retret kita memerlukan keheningan diri, keterbukaan akan Kasih Allah, kerja sama dengan manusia juga Allah, serta juga memerlukan kedisipilan diri dalam melakuakan berbagai latihan di bawah bimbingan.

Situasi yang harus kita bangun   pada saat retret adalah sikap batin berjiwa besar untuk mengakui beberapa kekurangan dan kelemahan,  serta rela berkorban untuk membuang hal-hal yang selama ini sudah melekat ternyata tidak membawa pada kebaikan. Keterbukaan hati diperlukan untuk membiarkan Allah membimbing kita seperti seorang guru yang membimbing muridnya. membiarkan diri mempunyai kesadaran akan kegiatan yang dilakukan dengan meninggalkan rutinitas, membiarkan diri tenang dan dalam suasana istirahat. beretret merupakan situasi liburan. Berlibur bersama Tuhan.

Bukan seberapa banyak berlimpahnya pengetahuan yang diperoleh dalam retret, melainkan lebih penting merasakan dan mencecap kebenaran yang memperkaya jiwa.  Tidak dalam rangka mengejar banyaknya materi yang sudah dirancang, melainkan kedalaman refleksi yang utama. Karena itu untuk masuk ke kedalaman memerlukan silensium. Diam. Hening agar kita berjumpa dengan diri kita dan Tuhan.

Salah satu latihan dal;am retret adalah meditasi. Latihan meditasi merupakan proses untuk masuk pada keheningan menuju kedalaman.  Latihan yang digunakan dengan meditasi cara Ignatius dari Loyola yang mempunyai  4 tahapan. Meditasi ini dibawa pada satu fokus dari teks Kitab Suci.

Tahapan pertama kita mengenali dahulu pokok-pokok bacaan yang biasanya ada 3 pokok. Pokok pertama pada pengenalan-pengantar, pokok kedua ada permasalahan atau pergumulan, pokok ketiga ada situasi ideal yang dikehendaki Allah.  Tahapan yang kedua ada percakapan imajinatif antara diriku dengan Tuhan melalui kata-kata / ayat dalam pokok-pokok-pokok di atas. dalam pokok ini ada perjumpaan antara diriku dengan Tuhan. Tahapan ketiga adalah memahami dan merefleksikan perjumpaan tadi dengan hidupku. tahapan yang keempat mencacatkan buah-buah yang kudapatkan dalam proses bermeditasi.


Permenungan dari Kejadian 6: 9-22 (Riwayat Nuh)
Hasil Meditasi Diriku:
Tahap I: Menghidupkan kembali teks Kitab Suci dalam 3 pkok. Pokok 1, Kejadian 6: 9: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan  Allah.  Pokok 2, Kejadian 6: 13: Aku (Allah)telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala mahluk, sebab bumi telah penuh kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi. Pokok 3 Kejadian 6: 18: tetapi dengan engkau (Nuh) Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke dalam bahtera itu: engkau bersama-sama dengan anak-anakmu dan istrimu dan istri anak-anakmu.

Tahap II Percakapan imajinatif: Dalam tahap ini saya mengalami imajinasi tentang sebuah kapal pesiar besar bercat putih yang sedang berlabuh. Imajinasi   saya hanya sebatas bentuk luar kapal tersebut. Saya tidak melihat dalamnya. Gambaran berikutnya muncul di dalam kapal Tanjung Kambani. Sekedar tahu, Tanjung Kambani itu sebuah kapal perang milik TNI ALRI. Gambaran ini muncul karena saya pernah menginap di dalam kapal ini dan berjalan di seluruh bagian kapal ini, kecuali gudang senjatanya. Lalu gamabaran berikutnya  muncul seorang laki-laki Yahudi berusia anatara 50-60 tahun dengan janggut rapi yang di antara janggut itu sudah muncul beberapa uban. Ia berperawakan tinggi, besar, tidak gemuk, tetpi tegap, berkulit agak kemerahan seperti pada umumnya orang Yahudi. Rupanya itu gambaran Nuh.  

Dalam tahapan ini saya mengingat bahwa sebetulnya saya pernah membayangkan kalau saya hidup pada zaman Nuh atau kebalikannya, Nuh hidup di zaman saya,  saya merasa jatuh cinta dengan Nuh. Lantas saya mengingat ada sebuah cerpen yang saya buat terinspirasi karena kisah Nuh. Cerpen ini mendapatkan juara harapan II ketika saya lombakan dalam sebuah perlombaan menulis cerpen tingkat dewasa. 

Persepsi yang terhubung dalam otak kanan saya saat tahapan ini adalah: Nuh orang yang dekat dengan Allah, sudah pasti hidupnya selaras/seimabng secara horisontal (sesama) dan vertikal (Tuhan). Saya melihat Nuh adalah seorang yang kaya. Ia mempunyai banyak teman dan kolega. Meskipun teman dan koleganya berbeda gaya hidupnya dengan Nuh, tetapi ia tetap bekerja sama dalam hal bisnis dengan mereka. Saya membayangkan Nuh orang kaya karena ketika Tuhan menyuruh dia membangun bahtera bertingkat 3 yang itu artinya bahtera besar dan pastinya perlu biaya banyak, Nuh melakukannya dan selesai membangunnya.  Imajinasi saya berlanjut bahwa saat pembuatan bahtera itu, Nuh mendapat  pertanyaan dan cemoohan dari orang-orang sekitarnya. Nuh seorang yang bermental baja. Ia lelaki yang kuat mental. Ia percaya pada janji Allah yang akan menyelamatkan dia dan keluarganya. Nuh yakin Allah mempunyai proyek besar dalam hidupnya dan pasti akan menggenapi.

Tahap III, kontekstual dengan hidup saya: Allah juga mempunyai janji kepada saya. Allah menjanjikan rancangan damai sejahtera dan keselamatan un tuk saya. Allah juga memberikan proyek besar dalam hidup saya. Proyek itu adalah panggilan hidup saya sebagai seorang guru di St. Ursula BSD, sebagai seorang ibu dari 3 orang anak, dan memilih saya menjadi seorang Katolik yang hidup di Indonesia.

Proyek ini dirasa penting bagi saya. Menjadi seorang guru merupakan tantangan karena saya harus terus belajar dan harus menjadi model bagi anak didik saya. Saya sudah 20 tahun menjadi guru di St. Ursula. Saya mengalami refleksi yang panjang untuk sampai pada kesadaran bahwa menjadi guru itu adalah proyek besar dalam hidup saya.

Demikian pula proyek menjadi ibu bagi 3 orang anak. Saya sebagai seorang ibu tak pernah bersekolah bagaimana menjadi seorang ibu yang baik bagi anak-anak saya. Saya merasa terkadang saya menjadi ibu yang buruk. Untuk mendidik anak menjadi anak-anak yang berkareakter.

Tahapan keempat saya bertanya pada diri saya: Apa yang akan saya lakukan untuk ke depan berkaitan dengan proyek Tuhan dalam hidup saya?

Pastinya saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan proyek Tuhan dalam hidup saya dan menyelesaikannya sampai dengan ketsudahannya. Tuntas. Berhasil. 

Sebagai guru saya benar-benar akan menikmati pekerjaan saya sebagai pendidik. Lima tahun ke depan saya sudah pensiun menurut aturan kepegawaian yang berlaku di yayasan tempat saya bekerja. Dengan begitu saya benar-benar akan menikmati menjadi guru ini dengan penuh gairah.

Proyek kedua saya sebgai ibu dari tiga anak. Kedua anak saya sudah bekerja, sudah besar. Namun, perjuangan mereka untuk meraih harapan, cita-cita, dan panggilan hidup mereka, tetap membutuhkan saya sebagai ibunya untuk menjadi pendukung meraka. Untuk anak bontot yang sekarang berada di kelas 1 SD, sudah jelas bahwa perjuangan saya masih panjang. Itulah alasan Tuhan membuat saya tetap sehat dan membuat saya tetap bersemangat. 

Karena saya orang Katolik yang hidup di Indonesia tentunya bukan secara kebetulan. Saya dipanggil untuk menjadi seorang Katolik yang minoritas di negri saya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi minoritas itu bukan hal mudah. Namun, saya tetap akan setia pada panggilan saya sebagai orang Katolik dengan tantangan iman yang saya hadapi. Saya berusaha untuk bisa menggereja semampu saya.  (Ch. Enung Martina)