Senin, 24 November 2025

ARTIKEL REFLEKTIF HARI GURU

 


Ziarah Seorang Guru - Menemukan Tuhan dalam Ruang Kelas

Tahun 1989 menjadi pintu pertama ketika saya melangkah keluar dari IKIP Sanata Dharma sebagai seorang guru muda yang penuh semangat, namun belum sepenuhnya mengerti bahwa Tuhan telah menyiapkan sebuah perjalanan panjang untuk membentuk hati saya. Tiga puluh lima tahun lebih berlalu, dan kini ketika saya melihat ke belakang, saya menyadari bahwa mengajar bukan sekadar profesi, melainkan ziarah rohani, tempat Tuhan perlahan mencetak ulang diri saya melalui perjumpaan sehari-hari dengan anak-anak dan berbagai orang dengan latar belakang yang beraneka. 

Awal perjalanan saya sebagai guru dimulai di Yos Sudarso, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Dilanjutkan di Bandung, di SMP Prova, sekarang SMP St. Ursula. Di sana saya belajar bahwa dunia pendidikan bukan ruang steril seperti teori di bangku kuliah; melainkan dunia nyata di mana jiwa-jiwa muda datang membawa harapan, luka, tawa, dan pergulatan. Saya masih ingat di Cigugur, seorang siswa yang kerap datang terlambat. Saat saya tegur, berkata lirih, “Bu, saya harus bantu orang tua jualan dulu pagi-pagi.” Sejak hari itu, saya memahami bahwa tugas guru bukan memberi label, tetapi mendengarkan. Bukan menghakimi, tetapi mendampingi. Bukan menuntut kesempurnaan, tetapi menemani perjalanan.

Ketika Tuhan menuntun langkah saya ke St. Ursula BSD, saya menemukan sebuah rumah rohani yang menempa dan memelihara panggilan saya. Di sini saya belajar lebih dalam bahwa setiap anak adalah misteri dan sekaligus benih. Ada siswi yang pernah berkata, “Bu, saya gak  pintar seperti teman saya ” Ia menunduk, merasa tidak layak. Saya juga berjumpa dengan anak-anak yang mempunyai permasalahan keluarga. Saya juga berjumpa dengan anak yang sangat penuh dengan kemarahan. Ada juga anak yang penuh keputusasaan. Ada yang merasa minder. Ada yang terlalu sombong. Dan banyak lagi perjumpaan dengan aneka kasus. Dengan kesabaran, saya mencoba menyirami mereka  dengan kepercayaan diri yang pelan-pelan tumbuh kembali. Bahkan, saya juga membentak, menggebrak meja,  serta memarahi mereka. Saya juga pernah menghukum mereka. Puji Tuhan tak ada orang tua yang membawa saya ke ranah hukum, karena mereka tahu bahwa saya sedang menempa anak-anak mereka untuk menjadi lebih kuat dalam menghadapi kehidupan. 

Bertahun-tahun kemudian ada yang  mengirim pesan, “Terima kasih, Bu, karena Ibu melihat saya ketika saya kehilangan diri saya sendiri.” pernah saya mengalami saat saya berjalan kakai di Taman Kota I BSD, tiba-tiba ada yang memeluk saya dan cipika-cipiki saya. Lelaki  itu badannya tinggi besar, brewokan, dan kokoh. Saya kaget dan mundur perlahan. Rupanya, dia murid saya beberapa puluh tahun lalu, sekarang bekerja dan berkeluarga, serta tinggal di Singapura. Dan aneka pertemuan di ruang publik yang tak sengaja berjumpa dengan para murid yang sekarang sudah menjadi aneka macam profesi. Di saat seperti itu, saya merasakan dengan jelas bahwa Tuhan bekerja melalui hal-hal kecil yang sering kita anggap biasa. Saya memahami  bahwa waktu membawa keajaibannya sehingga para murid ini sekarang  tumbuh dengan kokoh dan kuat.

Tidak semua langkah terasa ringan. Ada masa ketika saya lelah: saat tuntutan meningkat, dunia berubah begitu cepat, dan teknologi bergerak lebih cepat daripada napas saya. Ada masa ketika hati menjadi sendu, bertanya apakah karya ini masih berarti. Dalam kesunyian doa, saya sering kembali kepada ayat yang menguatkan:

“Tuhan akan menuntun engkau senantiasa… engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik.”
(Yesaya 58:11)

Ayat ini menjadi pelita di saat saya berjalan dalam lorong-lorong yang tampak redup. Saya belajar untuk berserah, untuk percaya bahwa guru tidak bekerja sendirian; Roh Tuhan turut hadir dalam setiap langkah kecil yang sering tidak terlihat orang lain.

Sungguh benar kata Mazmur:

“Ajarilah kami menghitung hari-hari kami, supaya kami beroleh hati yang bijaksana.”
(Mazmur 90:12)

Saya juga belajar dari pengalaman sulit, konflik, kehilangan, kebingungan, atau masa ketika sekolah menghadapi kedukaan. Dalam situasi itu, saya merasa bahwa tugas guru bukan hanya mengajar mata pelajaran, tetapi memelihara kemanusiaan. Kita menjadi pendengar, pembangun harapan, penenang jiwa, atau sekadar kehadiran yang memberi rasa aman. Dalam saat-saat demikian, saya memahami makna Mazmur di atas. 

Kegiatan mengajar mengajarkan saya kebijaksanaan. Bukan kebijaksanaan besar yang menggelegar, tetapi kebijaksanaan lembut yang tumbuh dari kesetiaan sehari-hari: ketika saya membuka kelas dengan doa, ketika saya memilih mendengarkan alih-alih memaksa, ketika saya membiarkan anak belajar dari kegagalan, ketika saya merayakan kemajuan kecil yang hanya terlihat oleh mata yang peka.

Panggilan guru secara perlahan membentuk cara saya memandang manusia dan cara saya memandang Tuhan. Saya mulai melihat bahwa setiap ruang kelas adalah tanah suci: tempat anak-anak belajar menemukan jati diri, dan tempat saya belajar menemukan kembali siapa saya di hadapan Tuhan. Ruang kelas adalah altar persembahan, saat asa dan kerja kita dipersembahkan kepada Sang Mahaguru.  Dalam perjalanan panjang ini, saya menemukan kebenaran kata-kata Paulo Freire:

“Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia yang akan mengubah dunia.”

Pekerjaan ini mengajarkan saya untuk tidak mengukur keberhasilan hanya dari nilai, ranking, atau prestasi. Mengajar adalah pekerjaan hati. Ia hadir dalam tatapan mata siswa yang mulai mengerti, dalam tanya yang muncul tiba-tiba, dalam pujian kecil, dalam kegagalan yang kita tanggulangi bersama, atau bahkan dalam keheningan ketika seorang anak merasa tidak sanggup tetapi akhirnya mencoba lagi. Di sanalah saya memahami kata-kata Paulo Freire tersebut. 

Sebagai guru, kita mungkin tidak selalu melihat hasilnya. Ada benih yang tumbuh cepat, ada yang lama tersembunyi dalam tanah, ada yang hanya Tuhan yang tahu kapan akan berbuah. Tugas kita hanyalah menabur dengan cinta, menyiram dengan kesetiaan, dan mempercayakan pertumbuhan kepada Sang Pemberi Hidup.

Kini, ketika saya merenungkan kembali seluruh perjalanan ini, dengan segala terang dan gelapnya, tawa dan air matanya: hati saya dipenuhi syukur. Saya belajar bahwa menjadi guru bukanlah tentang menjadi sempurna, tetapi tentang menjadi hadir. Hadir dengan hati, hadir dalam doa, hadir dalam kesetiaan.

Kata-kata Kierkegaard menjadi pengingat bagi saya:

“Hidup hanya dapat dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi ia harus dijalani dengan melangkah ke depan.”

Meskipun saya sudah pensiun dari mengajar secara resmi, saya tetap seorang guru. Ketika saya melihat ke belakang, saya melihat rahmat yang begitu banyak. Ketika saya melihat ke depan, saya tetap ingin melangkah pelan, setia, dan penuh harapan karena saya percaya bahwa Tuhan masih ingin memakai hidup saya dalam pelayanan kecil sehari-hari.

Dan mungkin, pada akhirnya, keberhasilan seorang guru tidak diukur dari berapa banyak penghargaan, prestasi, atau publikasi yang dimiliki. Keberhasilan seorang guru terletak pada seberapa banyak kasih yang ia bagikan.

Saya bersyukur pernah berjalan sejauh ini. Saya bersyukur pernah jatuh bangun dalam pelayanan ini. Saya bersyukur bahwa Tuhan mempercayakan saya untuk menjadi bagian kecil dari karya-Nya dalam diri anak-anak.

Hingga akhirnya saya dapat berkata dengan tenang:

Segala yang telah saya jalani adalah rahmat.
Setiap anak yang saya jumpai adalah anugerah.
Dan setiap hari mengajar adalah doa.

(Hari Guru 2025: Christina Enung Martina) 


Senin, 10 November 2025

ARTIKEL HARI ST. URSULA 2025

 


Brave Hearts, Strong Spirits, Shining in Love


Judul di atas menjadi tema perayaan Hari Santa Ursula tahun 2025 di Kampus Santa Ursula BSD. “Brave Hearts, Strong Spirits, Shining in Love” mengajak setiap Ursulin muda dan seluruh pendidik untuk meneladani keberanian dan ketangguhan Santa Ursula dalam menempuh jalan iman, pengetahuan, dan kasih. Di tengah dunia yang terus berubah, semangat ini menginspirasi setiap pribadi untuk memiliki hati yang berani menghadapi tantangan, jiwa yang tangguh dalam berjuang, serta cinta yang memancar dalam setiap tindakan nyata. Perayaan ini menjadi ungkapan syukur atas warisan spiritual yang terus hidup dan berbuah dalam karya pendidikan Santa Ursula BSD.


Keberanian bagi para Sanurian di zaman ini tidak lagi hanya berarti menghadapi bahaya besar atau perjuangan fisik, tetapi juga tentang kesetiaan pada nilai-nilai kebenaran dan kasih di tengah arus dunia yang cepat berubah. Di Kampus Santa Ursula BSD, keberanian itu tampak dalam keseharian: para guru yang terus berinovasi dan mendampingi dengan hati, para siswa yang berani berpikir kritis dan tetap rendah hati, staf tata usaha dan karyawan yang setia melayani dengan ketulusan meski dalam kesibukan dan keterbatasan. Keberanian sejati adalah keberanian untuk tetap menjadi terang di tengah kegelapan, melakukan yang benar meski tidak populer, dan terus menabur kasih tanpa pamrih. Di sinilah semangat “Brave Hearts, Strong Spirits, Shining in Love” menemukan wujud nyatanya dalam langkah-langkah sederhana setiap Sanurian yang berani mencintai dan berkarya dengan sepenuh hati.


Keberanian sejatinya  tumbuh dari hati yang percaya dan jiwa yang teguh pada nilai-nilai kebaikan. Dalam kehidupan sehari-hari di kampus BSD, keberanian itu tampak ketika seseorang berani mengakui kesalahan dan belajar darinya, ketika guru tetap setia mendampingi meski hasil belum terlihat, ketika siswa berani berbicara dengan jujur, dan ketika setiap karyawan memilih bekerja dengan integritas tanpa mencari pujian. Keberanian juga berarti tidak menyerah pada kelelahan atau ketidakpastian, melainkan terus melangkah dengan harapan dan doa. Seperti Santa Ursula yang mengandalkan kekuatan kasih Tuhan dalam menghadapi tantangan, para Sanurian pun diajak untuk menyalakan keberanian itu setiap hari untuk menjadi diri sendiri, untuk melayani dengan tulus, dan untuk memperjuangkan kebaikan di mana pun berada.


Unsur kedua dari tema di atas adalah tentang keteguhan jiwa. Keteguhan jiwa menjadi dasar yang meneguhkan semangat Sanurian dalam menjalankan setiap tugas dan kewajiban. Di tengah tuntutan pekerjaan, studi, maupun pelayanan, keteguhan ini tampak dalam kesetiaan untuk tetap berproses dengan sabar, tekun, dan bertanggung jawab. Guru yang terus membimbing meski lelah, siswa yang berjuang menyelesaikan tugas dengan jujur dan disiplin, serta karyawan yang bekerja dengan disiplin dan komitmen adalah wujud nyata dari jiwa yang kuat. Keteguhan tidak selalu tampak besar. Namun, hidup dalam hal-hal sederhana dalam kesediaan untuk tetap setia, dalam kesabaran menghadapi kesulitan, dan dalam keyakinan bahwa setiap karya, sekecil apa pun, adalah bagian dari panggilan kasih. Keteguhan jiwa inilah yang diharapkan  senantiasa hidup di tengah komunitas Santa Ursula BSD.


Keteguhan jiwa menjadi sangat penting karena dunia saat ini. Situasi  sering menguji kesabaran, komitmen, dan integritas manusia. Tanpa keteguhan, seseorang mudah goyah oleh tekanan, mudah menyerah ketika hasil tak segera tampak, atau tergoda untuk mengambil jalan pintas demi kenyamanan sesaat. Keteguhan membuat hati tetap berpaut pada nilai-nilai kebenaran dan kasih, meski lingkungan sekitar kadang tidak mendukung. Bagi para Sanurian, keteguhan jiwa berarti berani bertahan dalam kebaikan, menjaga semangat pelayanan, dan tetap berpegang pada cita-cita luhur pendidikan Ursulin. Di sinilah makna mendalam dari Strong Spirits, bahwa kekuatan sejati bukan datang dari luar, melainkan dari ketekunan dan kesetiaan batin untuk terus berbuat baik, apa pun tantangannya.


Dari keberanian yang lahir dari hati yang tulus dan keteguhan jiwa yang teruji dalam kesetiaan, terpancarlah cahaya kasih yang menerangi kehidupan. Inilah makna terdalam dari Shining in Love. Bahwa kasih menjadi buah dari keberanian dan keteguhan yang dijalani dengan rendah hati. Kasih itu tidak berhenti di ruang kelas atau lingkungan sekolah, tetapi mengalir ke rumah dan keluarga dalam bentuk perhatian, pengertian, dan kehadiran yang menguatkan. Ia juga menyebar di lingkungan sekitar dan masyarakat melalui sikap peduli, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama serta alam ciptaan. Ketika setiap Sanurian berani berbuat baik, teguh dalam panggilannya, dan menjalankan tugas dengan tulus, maka semangat “Brave Hearts, Strong Spirits, Shining in Love” sungguh hidup nyata sehingga menjadi terang yang menuntun dan menyejukkan dunia di sekitarnya.


Dunia saat ini sungguh merindukan kehadiran pribadi-pribadi yang memancarkan kasih dalam tutur, sikap, dan tindakan. Di tengah derasnya arus persaingan, individualisme, dan ketidakpedulian, kasih menjadi tanda kehadiran Allah yang menenangkan dan memulihkan. Kasih yang memancar bukan hanya berupa kata-kata manis, melainkan nyata dalam empati, kesediaan mendengarkan, dan ketulusan berbagi. Inilah panggilan bagi setiap Sanurian untuk menjadi pribadi yang menghadirkan kasih di mana pun berada: di rumah, di sekolah, di lingkungan, dan di tengah masyarakat. Ketika kasih menjadi pusat dari segala perbuatan, dunia yang keras dan terburu-buru akan kembali menemukan wajah kemanusiaannya. Dengan demikian, semangat “Brave Hearts, Strong Spirits, Shining in Love” bukan sekadar tema perayaan, melainkan jalan hidup yang menyembuhkan dan menebarkan terang bagi banyak orang.


Menjalankan semangat “Brave Hearts, Strong Spirits, Shining in Love” tentu bukan perkara mudah. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sering kali kita dihadapkan pada kelelahan, kekecewaan, atau situasi yang membuat semangat kasih dan keteguhan hati terasa redup. Tidak selalu mudah untuk tetap berani berbuat benar ketika lingkungan menuntut kompromi, atau untuk tetap teguh ketika hasil kerja tak segera tampak. Namun justru di sanalah nilai sejatinya: kita terus berusaha, setahap demi setahap, sesuai kemampuan yang Tuhan anugerahkan. Dengan kesadaran akan keterbatasan, kita belajar mengandalkan rahmat dan kekuatan dari-Nya. Setiap upaya kecil untuk tetap berani, teguh, dan penuh kasih adalah persembahan berharga.  Memelihara terang di tengah dunia yang suram,meskipun terang yang, itu kecil, tetap berarti bagi sesama dan menjadi tanda harapan bagi banyak hati.


Di tengah tantangan zaman yang kompleks, kita diajak untuk tidak kehilangan arah, melainkan menjadikan nilai-nilai Ursulin sebagai kompas yang menuntun hati. Keberanian, keteguhan, dan kasih bukan sekadar semboyan, tetapi jalan pembentukan diri menuju kedewasaan iman dan kemanusiaan. Hati yang berani menghadapi tantangan, jiwa yang kuat menapaki tanggung jawab, dan cinta yang bersinar dalam pelayanan, semua membawa kita menuju pada kemajuan bersama di kampus kita tercinta.  Setiap Sanurian menjadi bagian dari terang yang mengubah dunia, mulai dari hal-hal kecil di rumah, di gereja,  di sekolah, hingga di masyarakat luas. Inilah warisan Santa Ursula yang terus hidup dan berbuah sepanjang zaman. Selamat merayakan Hari Santa Ursula, pelindung kampus kita. Tuhan memberkati. (Ch. Enung Martina)


Refleksi November

 


Rumah Masa Kecil

Antara Sendu, Syukur, dan Harapan

Ada saat-saat ketika pagi terasa begitu lembut, udara dingin menusuk pelan, dan rintik hujan jatuh tanpa tergesa. Bulan November selalu membawa nuansa sendu, seolah waktu sendiri melambat agar hati punya kesempatan menengok ke belakang, menatap ke dalam, dan menyiapkan diri menatap ke depan. Dalam keheningan seperti ini, berbagai rasa bercampur: ada galau dan keraguan tentang masa depan, ada rindu pada masa lalu, namun di antara semuanya, mengalir rasa syukur yang menenangkan.

Ketika mengingat masa kecil, hati serasa hangat. Ada kenangan tentang tawa bersama saudara, permainan sederhana di tanah kampung, aroma tanah basah selepas hujan, dan cahaya sore yang memantul di sela-sela pepohonan. Semua itu mungkin tampak jauh, tapi justru di sanalah akar kebahagiaan bertumbuh. Bersyukur rasanya pernah memiliki masa kecil yang begitu murni dan penuh kasih. Keluarga yang akur dan rukun, meski tak sempurna, telah menanamkan nilai kesederhanaan dan ketulusan yang kini menjadi fondasi dalam menghadapi hidup.

Rumah masa kecil di tanah kelahiran kini menjadi rumah bersama, tempat kenangan bersemayam sekaligus tempat jiwa pulang mencari tenang. Setiap sudutnya menyimpan cerita, setiap dindingnya menampung doa. Di sanalah seseorang belajar bahwa cinta tidak selalu diungkapkan dengan kata, tetapi hadir dalam kesetiaan, dalam upaya menjaga dan merawat yang ada.

November juga menjadi penanda bahwa Natal semakin dekat. Musim yang membawa cahaya dan sukacita. Ada getar batin yang lembut setiap kali mengingat malam Natal di desa, di Kampung Susuru, Kertajaya, Panawangan, Ciamis.  Ketika  gamelan degung  gereja bergema mengiringi pujian  di tengah sunyi, lilin-lilin kecil menyala di tangan anak-anak, dan lagu “Wengi Suci” terdengar lembut di udara dingin. Semua kenangan itu tidak sekadar nostalgia; ia adalah sumber kekuatan batin, pengingat bahwa kasih selalu menemukan jalannya.

Kini, di tengah perjuangan  hidup dan perubahan zaman, rasa syukur menjadi jangkar. Syukur atas waktu yang telah dilewati, atas keluarga yang setia hadir, atas hari-hari yang masih bisa dijalani. Meski kadang ada tantangan, hati tetap diundang untuk percaya bahwa hidup ini, dengan segala warna dan luka, adalah anugerah yang terus diperbaharui setiap pagi. Seperti firman Tuhan mengingatkan:

“Kasih setia Tuhan tak berkesudahan, rahmat-Nya tidak habis-habisnya; selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu.”
(Ratapan 3:22–23)

Dan dalam rasa syukur itu, jiwa pun berdoa bersama pemazmur:

“Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, yang menebus hidupmu dari liang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat.”
(Mazmur 103:2–4)

Maka, biarlah sendu menjadi bagian dari keindahan. Biarlah rintik hujan November menjadi doa yang jatuh perlahan. Karena di antara setiap tetesnya, selalu tersimpan harapan, bahwa esok akan membawa cahaya baru, dan hati selalu  kembali menemukan damainya.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
(Yeremia 29:11)

Jelupang, 11 November, pulul 05.25 saat meditasi pagi hari menunggu keberangkatan ke tempat kerja. Saat itu hujan rintik kecil menetes - Ch. Enung Martina