Antara Sendu, Syukur, dan Harapan
Ketika mengingat masa kecil, hati serasa hangat. Ada kenangan tentang tawa bersama saudara, permainan sederhana di tanah kampung, aroma tanah basah selepas hujan, dan cahaya sore yang memantul di sela-sela pepohonan. Semua itu mungkin tampak jauh, tapi justru di sanalah akar kebahagiaan bertumbuh. Bersyukur rasanya pernah memiliki masa kecil yang begitu murni dan penuh kasih. Keluarga yang akur dan rukun, meski tak sempurna, telah menanamkan nilai kesederhanaan dan ketulusan yang kini menjadi fondasi dalam menghadapi hidup.
Rumah masa kecil di tanah kelahiran kini menjadi rumah bersama, tempat kenangan bersemayam sekaligus tempat jiwa pulang mencari tenang. Setiap sudutnya menyimpan cerita, setiap dindingnya menampung doa. Di sanalah seseorang belajar bahwa cinta tidak selalu diungkapkan dengan kata, tetapi hadir dalam kesetiaan, dalam upaya menjaga dan merawat yang ada.
November juga menjadi penanda bahwa Natal semakin dekat. Musim yang membawa cahaya dan sukacita. Ada getar batin yang lembut setiap kali mengingat malam Natal di desa, di Kampung Susuru, Kertajaya, Panawangan, Ciamis. Ketika gamelan degung gereja bergema mengiringi pujian di tengah sunyi, lilin-lilin kecil menyala di tangan anak-anak, dan lagu “Wengi Suci” terdengar lembut di udara dingin. Semua kenangan itu tidak sekadar nostalgia; ia adalah sumber kekuatan batin, pengingat bahwa kasih selalu menemukan jalannya.
Kini, di tengah perjuangan hidup dan perubahan zaman, rasa syukur menjadi jangkar. Syukur atas waktu yang telah dilewati, atas keluarga yang setia hadir, atas hari-hari yang masih bisa dijalani. Meski kadang ada tantangan, hati tetap diundang untuk percaya bahwa hidup ini, dengan segala warna dan luka, adalah anugerah yang terus diperbaharui setiap pagi. Seperti firman Tuhan mengingatkan:
“Kasih setia Tuhan tak berkesudahan, rahmat-Nya tidak habis-habisnya; selalu baru tiap pagi, besar kesetiaan-Mu.”
(Ratapan 3:22–23)
Dan dalam rasa syukur itu, jiwa pun berdoa bersama pemazmur:
“Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, yang menebus hidupmu dari liang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat.”
(Mazmur 103:2–4)
Maka, biarlah sendu menjadi bagian dari keindahan. Biarlah rintik hujan November menjadi doa yang jatuh perlahan. Karena di antara setiap tetesnya, selalu tersimpan harapan, bahwa esok akan membawa cahaya baru, dan hati selalu kembali menemukan damainya.
“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”
(Yeremia 29:11)
Jelupang, 11 November, pulul 05.25 saat meditasi pagi hari menunggu keberangkatan ke tempat kerja. Saat itu hujan rintik kecil menetes - Ch. Enung Martina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar