Ziarah Seorang Guru - Menemukan Tuhan dalam Ruang Kelas
Tahun 1989 menjadi pintu pertama ketika saya melangkah keluar dari IKIP Sanata Dharma sebagai seorang guru muda yang penuh semangat, namun belum sepenuhnya mengerti bahwa Tuhan telah menyiapkan sebuah perjalanan panjang untuk membentuk hati saya. Tiga puluh lima tahun lebih berlalu, dan kini ketika saya melihat ke belakang, saya menyadari bahwa mengajar bukan sekadar profesi, melainkan ziarah rohani, tempat Tuhan perlahan mencetak ulang diri saya melalui perjumpaan sehari-hari dengan anak-anak dan berbagai orang dengan latar belakang yang beraneka.
Awal perjalanan saya sebagai guru dimulai di Yos Sudarso, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Dilanjutkan di Bandung, di SMP Prova, sekarang SMP St. Ursula. Di sana saya belajar bahwa dunia pendidikan bukan ruang steril seperti teori di bangku kuliah; melainkan dunia nyata di mana jiwa-jiwa muda datang membawa harapan, luka, tawa, dan pergulatan. Saya masih ingat di Cigugur, seorang siswa yang kerap datang terlambat. Saat saya tegur, berkata lirih, “Bu, saya harus bantu orang tua jualan dulu pagi-pagi.” Sejak hari itu, saya memahami bahwa tugas guru bukan memberi label, tetapi mendengarkan. Bukan menghakimi, tetapi mendampingi. Bukan menuntut kesempurnaan, tetapi menemani perjalanan.
Ketika Tuhan menuntun langkah saya ke St. Ursula BSD, saya menemukan sebuah rumah rohani yang menempa dan memelihara panggilan saya. Di sini saya belajar lebih dalam bahwa setiap anak adalah misteri dan sekaligus benih. Ada siswi yang pernah berkata, “Bu, saya gak pintar seperti teman saya ” Ia menunduk, merasa tidak layak. Saya juga berjumpa dengan anak-anak yang mempunyai permasalahan keluarga. Saya juga berjumpa dengan anak yang sangat penuh dengan kemarahan. Ada juga anak yang penuh keputusasaan. Ada yang merasa minder. Ada yang terlalu sombong. Dan banyak lagi perjumpaan dengan aneka kasus. Dengan kesabaran, saya mencoba menyirami mereka dengan kepercayaan diri yang pelan-pelan tumbuh kembali. Bahkan, saya juga membentak, menggebrak meja, serta memarahi mereka. Saya juga pernah menghukum mereka. Puji Tuhan tak ada orang tua yang membawa saya ke ranah hukum, karena mereka tahu bahwa saya sedang menempa anak-anak mereka untuk menjadi lebih kuat dalam menghadapi kehidupan.
Bertahun-tahun kemudian ada yang mengirim pesan, “Terima kasih, Bu, karena Ibu melihat saya ketika saya kehilangan diri saya sendiri.” pernah saya mengalami saat saya berjalan kakai di Taman Kota I BSD, tiba-tiba ada yang memeluk saya dan cipika-cipiki saya. Lelaki itu badannya tinggi besar, brewokan, dan kokoh. Saya kaget dan mundur perlahan. Rupanya, dia murid saya beberapa puluh tahun lalu, sekarang bekerja dan berkeluarga, serta tinggal di Singapura. Dan aneka pertemuan di ruang publik yang tak sengaja berjumpa dengan para murid yang sekarang sudah menjadi aneka macam profesi. Di saat seperti itu, saya merasakan dengan jelas bahwa Tuhan bekerja melalui hal-hal kecil yang sering kita anggap biasa. Saya memahami bahwa waktu membawa keajaibannya sehingga para murid ini sekarang tumbuh dengan kokoh dan kuat.
Tidak semua langkah terasa ringan. Ada masa ketika saya lelah: saat tuntutan meningkat, dunia berubah begitu cepat, dan teknologi bergerak lebih cepat daripada napas saya. Ada masa ketika hati menjadi sendu, bertanya apakah karya ini masih berarti. Dalam kesunyian doa, saya sering kembali kepada ayat yang menguatkan:
“Tuhan akan menuntun engkau senantiasa… engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik.”
(Yesaya 58:11)
Ayat ini menjadi pelita di saat saya berjalan dalam lorong-lorong yang tampak redup. Saya belajar untuk berserah, untuk percaya bahwa guru tidak bekerja sendirian; Roh Tuhan turut hadir dalam setiap langkah kecil yang sering tidak terlihat orang lain.
Sungguh benar kata Mazmur:
“Ajarilah kami menghitung hari-hari kami, supaya kami beroleh hati yang bijaksana.”
(Mazmur 90:12)
Saya juga belajar dari pengalaman sulit, konflik, kehilangan, kebingungan, atau masa ketika sekolah menghadapi kedukaan. Dalam situasi itu, saya merasa bahwa tugas guru bukan hanya mengajar mata pelajaran, tetapi memelihara kemanusiaan. Kita menjadi pendengar, pembangun harapan, penenang jiwa, atau sekadar kehadiran yang memberi rasa aman. Dalam saat-saat demikian, saya memahami makna Mazmur di atas.
Kegiatan mengajar mengajarkan saya kebijaksanaan. Bukan kebijaksanaan besar yang menggelegar, tetapi kebijaksanaan lembut yang tumbuh dari kesetiaan sehari-hari: ketika saya membuka kelas dengan doa, ketika saya memilih mendengarkan alih-alih memaksa, ketika saya membiarkan anak belajar dari kegagalan, ketika saya merayakan kemajuan kecil yang hanya terlihat oleh mata yang peka.
Panggilan guru secara perlahan membentuk cara saya memandang manusia dan cara saya memandang Tuhan. Saya mulai melihat bahwa setiap ruang kelas adalah tanah suci: tempat anak-anak belajar menemukan jati diri, dan tempat saya belajar menemukan kembali siapa saya di hadapan Tuhan. Ruang kelas adalah altar persembahan, saat asa dan kerja kita dipersembahkan kepada Sang Mahaguru. Dalam perjalanan panjang ini, saya menemukan kebenaran kata-kata Paulo Freire:
“Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia yang akan mengubah dunia.”
Pekerjaan ini mengajarkan saya untuk tidak mengukur keberhasilan hanya dari nilai, ranking, atau prestasi. Mengajar adalah pekerjaan hati. Ia hadir dalam tatapan mata siswa yang mulai mengerti, dalam tanya yang muncul tiba-tiba, dalam pujian kecil, dalam kegagalan yang kita tanggulangi bersama, atau bahkan dalam keheningan ketika seorang anak merasa tidak sanggup tetapi akhirnya mencoba lagi. Di sanalah saya memahami kata-kata Paulo Freire tersebut.
Sebagai guru, kita mungkin tidak selalu melihat hasilnya. Ada benih yang tumbuh cepat, ada yang lama tersembunyi dalam tanah, ada yang hanya Tuhan yang tahu kapan akan berbuah. Tugas kita hanyalah menabur dengan cinta, menyiram dengan kesetiaan, dan mempercayakan pertumbuhan kepada Sang Pemberi Hidup.
Kini, ketika saya merenungkan kembali seluruh perjalanan ini, dengan segala terang dan gelapnya, tawa dan air matanya: hati saya dipenuhi syukur. Saya belajar bahwa menjadi guru bukanlah tentang menjadi sempurna, tetapi tentang menjadi hadir. Hadir dengan hati, hadir dalam doa, hadir dalam kesetiaan.
Kata-kata Kierkegaard menjadi pengingat bagi saya:
“Hidup hanya dapat dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi ia harus dijalani dengan melangkah ke depan.”
Meskipun saya sudah pensiun dari mengajar secara resmi, saya tetap seorang guru. Ketika saya melihat ke belakang, saya melihat rahmat yang begitu banyak. Ketika saya melihat ke depan, saya tetap ingin melangkah pelan, setia, dan penuh harapan karena saya percaya bahwa Tuhan masih ingin memakai hidup saya dalam pelayanan kecil sehari-hari.
Dan mungkin, pada akhirnya, keberhasilan seorang guru tidak diukur dari berapa banyak penghargaan, prestasi, atau publikasi yang dimiliki. Keberhasilan seorang guru terletak pada seberapa banyak kasih yang ia bagikan.
Saya bersyukur pernah berjalan sejauh ini. Saya bersyukur pernah jatuh bangun dalam pelayanan ini. Saya bersyukur bahwa Tuhan mempercayakan saya untuk menjadi bagian kecil dari karya-Nya dalam diri anak-anak.
Hingga akhirnya saya dapat berkata dengan tenang:
Segala yang telah saya jalani adalah rahmat.
Setiap anak yang saya jumpai adalah anugerah.
Dan setiap hari mengajar adalah doa.
(Hari Guru 2025: Christina Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar