Minggu, 07 Desember 2025

Cerpen Perjuangan Perempuan 1

 

Rumput Hijau di  Antara Debu Metropolitan

Kabut pagi masih tipis ketika Lestari mengikat rambutnya dan mengenakan seragam caddy yang sudah mulai memudar warnanya. Ia merapikan kerah yang sedikit kusut, lalu meraih tas golf yang berat. “Ayo, Bu. Flight pertama jam enam,” panggil seorang petugas lapangan.

Lestari mengangguk, menahan napas sebentar untuk mengumpulkan tenaga. Hari ini hari Sabtu, hari paling ramai. Hari ketika ia bisa berharap sedikit lebih banyak uang tip, tetapi juga hari yang penuh tekanan. Dunia golf terlihat mewah dan anggun, tetapi di belakang setiap pukulan pemain yang meraih birdie, ada caddy seperti dirinya yang berlari, memikul beban, membaca arah angin, dan menjaga senyum meski kaki hampir patah.

Ia berjalan menuju tee box. Rumputnya rapi, mengkilap seperti baru disisir. Dari kejauhan, gedung-gedung tinggi kota seperti menatap sinis: beton yang selalu menang dari manusia kecil seperti dirinya.

Pemain pertamanya hari itu adalah Pak Damar, seorang kontraktor yang terkenal temperamental. Begitu melihat Lestari, ia langsung berkomentar, “Oh, kamu caddy baru?”

“Tidak, Pak. Saya sudah tiga tahun di sini,” jawab Lestari sopan.

“Ah, saya kira baru. Ya sudah, kalau begitu cepat tanggap, ya. Saya tidak suka caddy yang lambat.”

“Baik, Pak.”

Lestari sudah biasa dengan nada semacam itu. Menjadi perempuan bekerja di lapangan golf berarti harus tahan dengan suara lantang, komentar sinis, dan candaan seksis yang dibalut tawa. Ia sudah kebal—setidaknya ia mencoba begitu.

Ketika Pak Damar bersiap memukul, Lestari berdiri di belakang, siap mengambil data angin. Tapi pria itu malah meliriknya dari atas ke bawah, seolah ia barang yang sedang dinilai.

“Caddy kayak kamu gini biasanya dapat tip banyak, ya?” tanyanya sambil tertawa kecil.

“Saya bekerja sesuai kemampuan saya, Pak,” jawab Lestari, tetap profesional.

“Hmm… kalau mau tambah penghasilan, bilang saja. Banyak cara kok.” Ia mengedipkan mata.

Lestari tidak menjawab. Ia menegang, tetapi tetap menjaga posisi. Di dunia ini, ia sudah terlalu sering dijadikan bahan candaan murahan hanya karena ia perempuan yang bekerja di ruang publik.

Setelah hole ketiga, pemain lain dalam flight itu—seorang pria berkemeja hijau, berbisik pada Lestari, “Sabarin aja, Mbak. Dia memang begitu.”
Lestari tersenyum tipis. “Sudah biasa, Pak.”

Tetapi kebiasaan tidak membuatnya lebih mudah. Terkadang komentar seperti itu membuatnya ingin berlari pulang. Terkadang ia bertanya: apakah ia bekerja atau sedang diuji kesabarannya?

Line putt saya mana? Kok kamu diam?” suara Pak Damar tiba-tiba meninggi.

“Oh, maaf Pak. Tadi saya ….”

“Kamu itu caddy atau patung? Ayo cepat!”

Lestari bergerak cepat, menjelaskan jalur putt sambil menahan napas. Dalam dirinya ada rasa marah yang menggelegak, tetapi ia menutup mulut. Pekerjaan ini bukan soal suka atau tidak suka, ini soal bertahan hidup.

Istirahat sebentar di hole sembilan, Lestari bertemu dua caddy lain: Wati dan Rini. Mereka duduk di bangku kecil sambil meneguk air.

“Denger-denger suami lo udah nikah lagi, ya?” tanya Wati tiba-tiba.

Rini menegur, “Wati… kok tanya gitu?”

“Nggak apa-apa,” jawab Lestari datar. “Iya, dia sudah menikah lagi.”

Wati mendengus, “Hidup di emang kejam. Orang miskin gampang ditinggal.”

Lestari menggenggam botol minumnya erat-erat. Ia masih ingat saat suaminya keluar rumah tanpa menoleh. “Aku lelah hidup susah, Tari,” kata lelaki itu. “Dia bisa kasih hidup lebih enak. Kamu ngerti, kan?”

Kala itu Lestari hanya diam. Ia tidak memaki. Tidak memohon. Tidak mengejar. Hidup sudah cukup melelahkan tanpa perkelahian tambahan.

“Ya sudahlah, Tari,” Rini menepuk bahunya. “Kita semua di sini juga sama. Hidup keras. Tapi kamu kuat, kok.”

Lestari tersenyum kecil. “Iya. Kita semua kuat karena harus kuat.”


Siang menjelang. Cuaca semakin panas. Sepatu golf pemain meninggalkan jejak di rumput, dan Lestari berkeringat deras. Di hole dua belas, masalah baru muncul.

“Bola saya ngilang. Caddy macam apa kamu ini?” bentak Pak Damar.

“Tadi saya sudah tandai, Pak. Mungkin….”

“Kamu yang enggak fokus! Pikirin kerjaan!”

Pemain berkemeja hijau kembali mencoba menenangkan. “Dam, sudahlah. Itu bola memang masuk rough.”

“Diam kamu! Ini salah caddy!”

Lestari ingin menjelaskan, tetapi ia takut suara gemetar akan membuat situasi makin buruk. Ia hanya berkata pelan, “Maaf, Pak. Saya cari bolanya.”

Namun bukan itu yang membuat hatinya sakit. Yang membuatnya sesak adalah kenyataan bahwa kesalahan kecil dari caddy sering dianggap kegagalan karakter pribadi, seolah ia tidak berhak salah sedikit pun. Sementara pemain bisa marah, membanting stik, atau memaki, dan itu dianggap wajar.

Setelah permainan selesai, Pak Damar memberikan tip paling kecil di antara para pemain. Bahkan memberikannya dengan gerakan melempar.

“Lain kali fokus,” katanya pendek.

Lestari menunduk. “Terima kasih, Pak.”
Ia memungut uang itu dari rumput. Uang tetap uang, dan ia butuhnya.

Di caddy house, suasana lebih hangat. Caddy-caddy lain bercanda, makan mi instan, atau merapikan sepatu pemain. Namun sore itu, Lestari merasa hampa.

“Dapat berapa, Tari?” tanya Wati sambil membuka bungkus permen.

“Sedikit,” jawabnya pendek.

“Padahal kamu kerja paling rapi. Memang hidup tuh nggak adil.” Wati menggeleng. “Yang kasar dapat banyak, yang sopan dapat sisa.”

Lestari duduk, meletakkan tasnya perlahan. Tubuhnya sangat lelah, tetapi pikirannya lebih lelah. Dalam hati ia berkata: Kapan hidup ini berhenti memaksa perempuan menelan semuanya sendirian?

Ia menatap deretan caddy lain. Ada yang masih remaja, datang dari kampung tanpa ijazah SMA. Ada yang janda seperti dirinya. Ada yang bekerja diam-diam tanpa memberi tahu suami, karena suami mereka melarang perempuan “bekerja di lapangan laki-laki.”

Semua perempuan itu berdiri di tengah tekanan kota yang sama, kota yang memukul mereka dari segala arah tapi tetap menuntut mereka tersenyum.

Ketika matahari tenggelam, Lestari pulang dengan bus kota. Ia berdiri, memeluk tasnya erat-erat. Orang-orang di dalam bus tampak lelah, sama seperti dirinya. Wajah-wajah yang ditempa waktu dan tuntutan hidup.

Kondektur lewat sambil berteriak, “Tiket! Tiket!”
Lestari menyerahkan uang pas.

Di halte dekat rumah kontrakannya, ia turun. Gang sempit itu becek, bau got bercampur asap gorengan. Dua anaknya langsung menyambut ketika ia masuk rumah.

“Ibu!” seru Seno dan Lila hampir bersamaan.

Kelelahannya seperti hilang seketika.

“Ibu bawa sesuatu?” tanya Lila berharap.

“Tentu,” jawab Lestari. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan dua roti sobek. “Ini hadiah buat anak-anak Ibu yang pintar.”

Mereka memeluknya erat, pelukan yang membuat hari paling buruk sekalipun terasa lebih ringan.

“Ayah datang?” tanya Seno tiba-tiba.

Lestari berhenti sejenak. “Tidak, Nak. Ayah sudah punya keluarga baru.”

“Kenapa Ayah tidak ajak kita?” suara anak itu polos, tetapi menohok.

Lestari berlutut, menatap kedua anaknya. “Karena Ayah memilih jalan lain. Tapi itu bukan salah kalian. Kalian anak yang baik.”

“Terus Ibu sedih?” Lila bertanya.

“Ibu capek, tetapi Ibu tidak sedih.”
Ia tersenyum lembut. “Karena kita masih punya satu sama lain.”

Anak-anak itu memeluknya lagi. Dalam pelukan itu ada harapan kecil yang terus menyala.

Malam hari, setelah anak-anak tidur, Lestari duduk di depan cermin kecil. Dari lampu redup, ia melihat wajahnya yang mulai terbakar matahari, garis-garis halus di sekitar mata, dan pundak yang mengeras karena beban tas golf.

Tetapi matanya, matanya tetap tajam. Ada cahaya yang tidak padam.

Hidup kota selalu keras pada orang kecil, apalagi perempuan. Kota tidak memberi mereka ruang salah, ruang lemah, atau ruang marah. Tetapi setiap hari, perempuan seperti dirinya tetap bangun, bekerja, mengangkat tas golf, mengangkat beban hidup, dan mengangkat masa depan anaknya.

Di lapangan golf, ia mungkin dianggap bukan siapa-siapa. Tetapi di rumahnya, ia adalah siapa-siapa: ibu, tulang punggung, harapan.

Ia memejamkan mata dan berbisik pada dirinya sendiri:

“Aku bukan perempuan yang kalah.
Aku perempuan yang bertahan.”

Dan besok pagi, ketika kabut kembali turun di atas rumput hijau, Lestari akan berdiri lagi di sana. Dengan langkah tegap, dengan senyum yang terlatih, dan dengan hati yang sudah ditempa oleh kerasnya hidup kota metropolitan, hati yang tidak mudah runtuh. 


(Cerpen terinspirasi dari cerita Ibu Ayu Lilik)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar