Luka yang Kita Genggam
Di tanah yang dulu bening seperti doa,
mata air mengalir tanpa nama,
hutan berdiri seperti para tetua
yang diam-diam menjaga langkah manusia.
Namun kita datang dengan gergaji dan perintah,
membelah batang waktu,
mengoyak akar ingatan,
menyulut bara di dada bumi
seakan ia budak
yang wajib menyerahkan segalanya.
Di perut gunung, kita gali rakus:
emas, nikel, batu, dan janji-janji palsu;
kita kikis kulit bumi
tanpa ampun,
tanpa jeda,
tanpa malu.
Kita lupa,
bahwa langit bukan atap milik satu bangsa,
dan sungai bukan lorong kekuasaan.
Hegemoni mengalir seperti minyak panas,
mengolesi tangan yang ingin berkuasa
hingga lupa pada wajah sendiri.
Lalu datanglah bencana:
angin menjerit,
banjir meranggas,
tanah merosot dari tubuhnya sendiri,
dan laut mengirim gelombang
sebagai surat peringatan
yang kita enggan baca.
Alam tidak marah—
ia hanya mengembalikan
apa yang kita lemparkan:
keserakahan yang tumbuh jadi badai,
eksploitasi yang mekar jadi runtuhan,
lupa diri yang menjelma
menjadi kabar duka di layar pagi.
Kini kita berdiri
di reruntuhan suara sendiri,
bertanya-tanya
kapan terakhir kita menyapa pohon
tanpa niat menebang,
kapan terakhir kita mencium tanah
tanpa ingin memilikinya.
Alam semestinya lestari,
namun ia bukan penjaga tunggal.
Kitalah yang harus pulang
ke ruang kesadaran,
menautkan kembali nadi kita
dengan nadi bumi.
Sebab bila tidak,
kita akan terus menggenggam
luka yang kita ciptakan sendiri
dan bumi,
dengan kesabaran tak bertepi,
akan tetap mengingat
meski kita memilih lupa.
( Ditulis ketika bencana marak, sementara ada orang yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar