Kamis, 04 Desember 2025

CERPEN TENTANG BENCANA



Batu yang Disisihkan

Pantai Wediombo yang begitu tenang, hidup manusia dan laut seperti dua sahabat tua yang saling memahami napas satu sama lain. Setiap pagi, anak-anak bangun dengan harum garam yang dibawa angin, dan para nelayan membaca gerak ombak seperti membaca halaman perimbon  yang diwariskan dari kakek-kakek mereka. Suara gelombang yang memecah karang bukanlah ancaman, melainkan lagu pengantar tidur yang menenteramkan, lagu yang telah mengiringi generasi demi generasi, mengikat mereka dalam ritme alam yang stabil dan penuh rahmat.

Namun beberapa tahun terakhir, sesuatu berubah dalam nada dunia. Cuaca yang dulu dapat ditebak kini seperti hati yang penuh guncangan. Angin tak lagi hanya bertiup kencang; ia menjerit, memutar, mengaum seperti binatang besar yang terbangun dari tidur panjangnya. Laut yang tenang, sering bergulung dan berbuih, melontarkan diri ke pantai, layaknya istri yang marah-marah karena tak diberi nafkah. Desa yang kecil itu menyaksikan lahirnya angin siklon pertama dalam sejarah mereka; putaran raksasa yang menyapu perahu, merobek atap, dan membuat orang-orang berdoa sambil menahan napas.

Laut pun berubah watak. Ia tak lagi hanya naik dengan sopan pada saat pasang, tetapi melonjak tinggi, memukul tepi pantai dengan kekuatan yang belum pernah dirasakan. Seolah-olah laut ingin menguji keberanian manusia, mengingatkan bahwa ia adalah makhluk purba yang jauh lebih tua daripada desa mana pun. Ombak memecah karang dengan suara dentum yang menggema, seperti bumi sedang mengetuk pintu langit, meminta perhatian.

Di balik semua itu, orang-orang desa merasakan kehadiran kecemasan yang halus namun terus tumbuh, bahwa dunia yang mereka cintai perlahan berubah bentuk, dan mereka harus belajar membaca ulang bahasa alam yang kini berbicara dengan nada yang lebih keras, lebih mendesak. Perubahan itu bukan hanya terlihat pada langit yang semakin sering menghitam tanpa aba-aba, tetapi juga pada periuk-periuk dapur yang semakin ringan isinya. Ikan-ikan yang dulu berlimpah kini menjauh, seolah takut pada suhu air yang tak lagi ramah. Jala para nelayan kembali ke daratan dengan lebih banyak angin daripada hasil tangkapan.

Harga kebutuhan pokok naik seperti gelombang yang tak pernah surut. Anak-anak belajar menahan lapar lebih lama, para ibu menakar beras dengan hati-hati, dan para ayah menatap laut dengan pandangan yang lebih panjang daripada sebelumnya, seperti mencari jawaban pada cakrawala yang terus berubah warna. Setiap keluarga mulai menyadari bahwa yang guncang bukan hanya bumi, tetapi juga keseimbangan hidup mereka sendiri: penghasilan yang kian tak menentu, kebutuhan yang mendesak, dan harapan yang semakin harus disimpan di dalam dada, agar tidak tertiup angin siklon yang mengancam.

Di tengah kondisi itu, hiduplah Bhanu, seorang anak yang suka menggambar dan mengamati alam. Ia sering mendengar orang dewasa membicarakan “megathrust”, “anomali cuaca”, dan “lempeng yang bergerak”. Meskipun ia tak sepenuhnya memahami, ia tahu bahwa bumi sedang seperti seseorang yang kelelahan, meminta manusia untuk mendengarkan. Setiap kali ia menatap garis pertemuan antara laut dan langit, ia merasa seolah alam sedang berbisik melalui desau angin dan gemuruh ombak yang tak lagi beraturan.

Melihat perubahan yang makin tak menentu, warga desa akhirnya bergerak serentak, sebuah gerakan yang lahir dari naluri bertahan hidup dan warisan gotong royong yang tak pernah padam. Para nelayan menurunkan balok kayu dari gudang perahu, para ibu membawa batu karang dari tepi pantai, sementara para pemuda menggali lubang-lubang penahan di sepanjang bibir desa. Mereka bekerja tanpa banyak kata, hanya suara sekop, desah napas, dan gelegar ombak yang sesekali menerjang kaki mereka. Tujuan mereka satu membangun pemecah ombak. 

Pemecah ombak itu mereka bangun seperti membangun doa: lapis demi lapis, batu demi batu, harapan demi harapan. Tujuannya sederhana namun mendesak, agar ombak yang marah tidak langsung menerjang rumah-rumah mereka, agar laut yang tak lagi dapat diprediksi tetap diberi batas, agar anak-anak seperti Bhanu masih bisa bermimpi di bawah atap yang aman.

Para tukang bangunan mengangkut batu-batu untuk membangun tanggul penahan ombak yang baru. Karena badai siklon sebelumnya menghancurkan sebagian besar tanggul lama, desa itu butuh perlindungan yang lebih kuat. Namun ketika para tukang memilih batu, mereka menyingkirkan satu batu besar yang warnanya gelap dan bentuknya tak beraturan. “Terlalu kasar. Terlalu jelek. Tidak bisa dirapikan,” kata seorang tukang sambil membuangnya ke samping.

Bhanu berdiri di antara mereka, kecil tetapi penuh perhatian, menggambar di buku lusuhnya sosok-sosok yang bekerja bersama. Dalam garis-garisnya yang sederhana, ia menangkap punggung-punggung yang basah oleh keringat, mata-mata yang penuh letih, dan tangan-tangan yang tak berhenti bergerak. Baginya, pemecah ombak bukan hanya bangunan baru di tepi pantai, tetapi simbol bahwa manusia, ketika bersatu, masih mampu berdiri menghadapi alam yang berubah dengan keberanian dan kasih satu sama lain.

Seperti biasa, Bhanu selalu mengambil benda apa saja yang menurutnya bisa dipakai lagi. Ia pun mengambil batu itu. Berat memang, tapi dengan tubuh kecilnya, ia berusaha keras menyisihkan batu itu ke arah pohon kelapa yang tumbuh di sekitar situ. Bhanu melihat  ada sesuatu yang berbeda dengan batu itu. Teksturnya sangat padat, lebih berat daripada batu lainnya. 

Beberapa minggu kemudian, badai siklon muncul di Desa Wediombo. Awan gelap bergerak dengan kecepatan yang tak wajar, angin memutar seperti cambuk raksasa, dan laut mengamuk. Tanggul yang baru dibangun retak dan sebagian roboh. Tak alang kepalang, rob pun masuk ke desa. Rumah-rumah yang dekat dengan pantai mengalami kerusakan: dinding retak, atap beterbangan, dan perabotan hanyut terseret air. Warga panik, berlarian menyelamatkan diri sambil memanggil nama-nama anggota keluarga mereka, memastikan tak ada yang tertinggal di belakang.

Namun ketika badai akhirnya surut dan langit membuka sedikit celah cahaya, desa itu menemukan secercah kelegaan. Kondisinya tidak seburuk dugaan mereka. Tak ada korban jiwa, tak ada seorang pun yang terluka meski badai begitu mengamuk. Hanya beberapa kios kecil di tepi pantai yang luluh-lantak, papan namanya tergeletak miring, dan barang dagangan yang tadinya tersusun rapi kini terendam lumpur. Kerugian itu terasa berat bagi pemiliknya, tetapi tetap dapat dipulihkan, asal mereka bersama-sama bangkit.

Desa itu menarik napas panjang karena  baru saja terlepas dari genggaman bahaya. Di tengah puing-puing yang berceceran, muncul rasa syukur bahwa badai yang ganas itu tidak merenggut nyawa, bahwa mereka masih diberi kesempatan untuk memperbaiki, memperkuat, dan belajar memahami lagi tanda-tanda alam yang sebelumnya mereka abaikan. Angin yang menyapu sisa-sisa badai membawa serta bisikan ringan, bahwa hidup, sekalipun rapuh, selalu menyimpan ruang untuk bangkit kembali.

Ketika badai reda, kepala desa mengumpulkan warga di tepi pantai. Mereka harus membangun ulang tanggul dan memperkuat fondasi sebelum badai berikutnya datang karena peringatan megathrust juga semakin sering terdengar. Desa itu harus siap menghadapi guncangan dan gelombang besar.

Bhanu, dengan tubuh kecilnya, maju dan mengatakan tentang batu yang ia simpan. “Pak, mungkin batu yang kemarin saya temukan bisa dipakai untuk fondasi,” katanya. Banyak orang tersenyum simpul, mengira ini hanya kelucuan anak-anak di tengah kesedihan.

Namun Pak Wirya, salah satu tukang bangunan sepuh yang paling berpengalaman datang untuk melihat batu itu dengan seksama. Ia mengetuknya. Bunyi yang muncul bukan dentingan biasa, tetapi dentang yang dalam dan kokoh. “Ini batu karang tua,” katanya. “Ditekan oleh ribuan tahun ombak dan lempeng bumi. Justru batu seperti ini yang mampu menahan guncangan dan hempasan.”

Batu itu akhirnya ditempatkan sebagai penjuru tanggul baru, menjadi fondasi utama di titik yang paling rawan diterjang ombak. Ketika tanggul selesai dibangun kembali, orang-orang mulai menyadari betapa kokohnya struktur itu. Batu yang semula dibuang justru menjadi titik terkuat penahan badai.

Hari itu Bhanu mengerti sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar pembangunan tanggul. Ia melihat bahwa bumi sedang mengingatkan manusia: banyak hal yang sering diabaikan alam, tanah, laut, udara, dan hutan adalah justru batu penjuru yang menopang hidup kita. Ketika manusia menyingkirkan alam dari prioritas, bencana datang bukan sebagai hukuman, tetapi sebagai panggilan untuk kembali sadar.

Ketika sinar matahari sore bersinar lembut dan semburat jingga di langit  mulai memerah tua, tanggul baru itu berdiri kokoh. Di dalam tanggul baru itu ada batu yang dahulu disisihkan para tukang bangunan, tetapi kini menjadi fondasi kuat. Tanggul baru ini pun seolah mengatakan bahwa yang dianggap tidak penting seringkali menyimpan kekuatan untuk menyelamatkan.

Bhanu  memandang tanggul baru itu lama-lama. Ia seperti mendengar bisikan kata-kata lama mengalun pelan di hatinya:

“Batu yang dibuang tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.”

Dan ia tahu, di zaman ketika angin siklon, megathrust, dan bencana alam terus meningkat, kisah itu bukan hanya tentang batu atau bangunan, tetapi tentang keberanian manusia untuk melihat kembali apa yang selama ini diabaikan, termasuk bumi yang diam-diam memanggil kita pulang.  (Ditulis di penghujung tahun 2025 ketika bencana menggoncang Pulau Sumatera - Ch. Enung Martina) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar