Sabtu, 31 Desember 2011

KOTA DAUD, YANG BERNAMA BETLEHEM




Bintang Betlehem ( berada di bawah altar, diyakini di sini gua tempat Yesus dilahirkan)

            Pada mulanya adalah firman, firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. ( Yoh. 1:1-3).

            Betlehem terletak sekitar 10 km di sebelah selatan Yerusalem, dengan ketinggian sekitar 765m (2.510 kaki) di atas permukaan laut. Yang paling penting, Betlehem adalah tempat kelahiran Daud, raja kedua Israel. Kota ini pun merupakan tempat ia diurapi menjadi raja oleh Samuel (1 Samuel 16:4-13). Yang tak kalah pentingnya, Kota ini adalah tempat kelahiran dari Dia "yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala" (Mikha 5:2). Di sinilah tempat kelahiran Mesias yang dinantikan. 
Saat ini, setelah ada ketegangan antara Israel dan Palestina, Betlehem termasuk wilayah Palestina. Ketika saya dan rombongan menuju tempat ini, kami harus melalui palang-palang perbatasan dengan penjagaan yang sangat ketat. Philip, local guide kami tidak bisa ikut bersama rombongan karena ia seorang Yahudi. Yahudi dilarang masuk ke Palestina, kecuali ada kepentingan yang mendesak tentunya. Untungnya sopir bis kami Cholid, yang kami juluki Mr. No. One, (Julukan karena kepiawaiannya membawa bis), bukan orang Yahudi. Ia seorang bersuku Arab, dan seorang Muslim, tetapi kami tak pernah melihat ia solat selama bersama dengan kami. Selain itu Cholid juga penduduk Palestina, jadi ia bisa bebas memasuki wilayahnya. O,ya banyak warga Palestina yang mencari mata pencaharian di wilayah Israel, entah sebagai sopir, karyawan, atau pemandu wisata.
Beberapa rombongan terpaksa harus ganti bis karena sopir mereka Yahudi. Mereka berganti bis Palestina dengan sopir juga warga Palestina. Ada perbedaan antara bis kedua negara tersebut, yaitu bis Israel lebih bagus dibandingkan Palestina. Selain itu, keadaan dan fasilitas kedua negara tersebut jelas jauh berbeda. Israel kesannya lebih bagus, teratur, dan lengkap.

Karena itu,  kami bisa terus dengan bisa kami bersama sopir kami yang jagoan itu, Cholid alias Mr.No. One. Sesampainya di tempat parkir bis, local guide dari Betlehem pun datang. Ia seorang Arab, bahasa Inggrisnya sangat cepat. Terkadang saat menjelaskan, kami sampai terseok-seok dibuatnya. Untungnya saya pernah membaca tentang sejarah kekristenan sehingga kata-kata yang hilang karena cepatnya berbicara bisa tersambung lagi dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Topik yang ia jelaskan seputar sejarah bagaimana gereja didirikan dan berkaitan dengan materi Perang Salib dan zaman Bizantium.
Ini beberapa yang saya tangkap dari local guide di Betlehem. Tahun 325 M, Ratu Helena, ibunda  Constantine,  kaisar  Roma     yang beragama Kristen berkunjung ke Tanah Suci. Di sana beliau mendirikan gereja Kristen pertama.
Tahun 529 M orang Samaria dari Nublus memberontak melawan pemerintahan Kristen. Gereja tempat kelahiran Yesus di Betlehem rusak parah karena kejadian itu. Namun semuanya itu segera dibangun kembali berdasarkan perintah Kaisar Yustinianus.
Pada tahun 614 M terjadi invasi Persia ke Palestina.  Mereka menghancurkan gereja-geraja dan biara. Namun,  Gereja tempat kelahiran Yesus selamat dari penghancuran. Kisah yang diceritakan dalam sumber-sumber yang belakangan mengatakan bahwa mereka membatalkan rencana menghancurkan Gereja Kelahiran ketika mereka melihat gambar orang majus yang dilukiskan mengenakan pakaian Persia dalam salah satu mosaik di Gereja itu.
Pada masa Ksatria Perang Salib ( 1099 M) Gereja Kelahiran  diperbaiki dan diperbaharui. Pada masa ini Betlehem makmur di bawah pemerintahan mereka.
Pada 1187, Saladin merebut Betlehem dari tangan Tentara Salib, dan para rohaniwan Latin dipaksa pergi. Saladin menyetujui kembalinya dua imam dan dua diaken Latin pada 1192. Namun kota itu menderita karena hilangnya bisnis dari para peziarah. Betlehem untuk sementara waktu kembali ke tangan Tentara Salib melalui perjanjian antara 1229 dan 1244. Pada 1250, dengan berkuasanya Rukn al-Din Baibars, toleransi terhadap kekristenan menurun, para pendeta meninggalkan kota, dan pada 1263 tembok-tembok kota dihancurkan. Para agamawan Latin kembali ke kota itu selama abad berikutnya, membentuk biara yang berdampingan dengan Basilika, dan pada 1347 Ordo Fransiskan mendapatkan hak milik atas Gua Kelahiran serta hak untuk menyelenggarakan dan memelihara Basilika itu. ( http://id.wikipedia.org/ )
Pada 21 Desember 1995, Betlehem menjadi salah satu wilayah di bawah kekuasaan penuh oleh Otoritas Palestina. Ia menjadi ibukota distrik Betlehem. 
            Ada beberapa kutipan ayat yang berkaitan dengan Betlehem dalam kitab Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru. Mari kita simak kitipan di bawah ini.
Demikian Rachel mati, lalu ia dikuburkan di sisi jalan ke Efrata, yaitu Betlehem (Kej. 35:19). Pada zaman para hakim memerintah ada kelaparan di tanah Israel. Lalu pergilah seorang dari Betlehem -Yehuda beserta istrinya dan kedua anaknya laki-laki ke daerah Moab untuk menetap di sana sebagai orang asing. Nama orang itu ialah Elimelekh, nama istrinya Naomi dan nama kedua anaknya Mahlon dan Kilyon, semuanya orang-orang Efrata dari Betlehem –Yehuda; dan setelah sampai ke daerah Moab, diamlah mereka di sana (Rut 1:1-2). Dan berjalanlah keduanya (RUT dan Naomi) sampai mereka tiba di Betlehem. Ketika mereka masuk ke Betlehem, gemparlah seluruh kota itu…(Rut 1:19) Demikianlah Naomi pulang bersama-sama dengan Rut, perempuan Moab itu, menantunya, yang turut pulang dari daerah Moab.dan sampailah mereka ke Betlehem pada permulaan musim menuai jelai (Rut 1:22). Lalu datanglah Boas dari Betlehem…(Rut 2:4). … Biarlah engkau menjadi makmur di Efrata dan biarlah namamu termasyur di Betlehem (Rut 4:11). “…Aku (Allah) mengutus engkau (Samuel) kepada Isai, orang Betlehem itu, sebab di antara anak-anaknya telah Kupilih seorang raja bagi-Ku.” (I Sam.16:2)  
Demikian Yusuf pergi dari kota Nazareth di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem…(Luk .2: 4).
Kota ini disebut kota Daud ternyata didasarkan pada kisah Perjanjian Lama, Kitab Kejadian dan Rut tentang asal-usul Daud. Daud adalah anak Isai, Isai adalah anak Obed, Obed adalah anak Boas dengan Rut. Kisah keluarga itu berlatar tempat di Betlehem.  Dari Raja Daud sampai Yesus  menurut Matius ( Mat.1: 17 )  ada 28 keturunan. Dengan demikian, bisa dipahami alasan mengapa Betlehem disebut Kota Daud dan jelas juga mengapa Yusuf harus membawa istrinya, Maria yang sedang hamil tua, pergi mendaftarkan diri ke Betlehem. Dengan begitu kita  juga mengetahui bahwa Yesus sering disebut sebagai Putra Daud seperti yang diucapkan oleh Bartimeus anak Timeus seorang pengemis buta di kota Yeriko dalam Injil Markus 10: 47-49.

Di Betlehem ada tiga komplek gedung gereja. Kami mengadakan misa pagi di salah satu gereja yang menurut Romo Roby dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para tentara pada zaman Perang Salib. Pada zaman Persia menginvasi Tanah Suci, gereja tempat kami misa ini sudah diduduki kaum Muslim. Mereka akan merusak dan mengubah gereja itu sesuai kebutuhan mereka. Namun, niatnya itu diurungkan karena gedung tersebut sangat istimewa, yaitu tidak memerlukan alat penngeras suara bila sedang ada pertemuan.
Pada Misa pagi itu, Romo Roby berbicara tentang silsilah Yesus yang diambil dari bacaan Injil Matius 1: 1-17. Beliau berbicara tentang peran kaum perempuan untuk datangnya jalan keselamatan.  Salah satu perempuan yang memegang peranan untuk perjalanan gereja dan juga keselamatn itu adalah Maria, ibunda Yesus. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa dalam silsilah itu ada juga beberapa perempuan yang agak miring ceritanya, salah satunya Betsyeba, istri Uria yang akhirnya menjadi istri Raja Daud, yang melahirkan Salomo. Beberapa cerita intrik yang terjadi dalam silsilah Yesus itu hanya mau mengatakan kepada kita bahwa Yesus itu nyata-nyata sebagai manusia biasa. Namun, kemiringan atau kesalahan itu bukan sesuatu yang memalukan atau harus ditutupi. Itu semua manusiawi sekali.
Tanpa perjalanan yang panjang dengan segala lekuk dan likunya, sabda tak akan pernah menjadi daging. Pada mulanya adalah firman, firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. ( Yoh. 1:1-3). Tanpa kemiringan yang manusiawi itu kata-kata dalam Injil di atas tidak berbunyi demikian mungkin.

JELUPANG, NATAL 2011



***

Sabtu, 19 November 2011

YANG BERSALAH YANG DIUNGKIT

-->
Ch. enung Martina


Seseorang berbuat kesalahan itu sesuatu yang wajar dan manusiawi. Kesalahan akan membuat orang melihat mana yang benar. Dari kesalahan orang belajar berhati-hati dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Biasanya sesudah seseorang melakukan kesalahan, ia akan berusaha untuk memperbaiki dan menjaga agar tak jatuh pada kesalahan yang sama. Memperbaiki kesalahan itu sebuah usaha yang tak mudah. Jadi, ketika ada seseorang berusaha memperbaiki kesalahan dan berhasil, itu suatu yang luar biasa.

Namun, proses memperbaiki kesalahan ternyata bukan proses yang mudah. Banyak tantangan yang dihadapi seseorang dalam perbaikan tersebut. Orang bisa berhadapan dengan tantangan dari luar maupun dari dalam dirinya. Dukungan dari orang sekitar akan menjadi suatu kekuatan bagi orang tersebut melanjutkan proses hingga berhasil.

Kenyataan lain yang mungkin dihadapi seseorang ketika ia berproses memperbaiki diri dan bahkan ketika ia berhasil adalah ada orang lain yang mengungkit kembali kesalahan masa lalu. Ini dia permasalahan yang sering kita hadapi. Banyak di antara kita ketika mengalami ini merasa terpuruk dan disudutkan. Kesalahan masa lalu kembali dibeberkan,  sungguh membuat kita merasa tidak aman dan tidak nyaman. Sementara itu, ada orang yang sangat suka mengungkit kesalahan orang lain. Ada beberapa alasan mengapa si pengungkit kembali membuka kesalahan orang lain. Alasan yang biasanya terjadi adalah agar si pembuat kesalahan tidak kembali terjatuh pada kesalahan yang sama. Alasan lain karena kesalahan itu sangat fatal dan tak bisa hilang begitu saja dari ingatan. Ada juga alasan hanya untuk melampiaskan perasaan kesal terhadap si pembuat kesalahan. Atau alasan yang lainya untuk kepuasan si pengungkit dan untuk menjatuhkan si pembuat kesalahan.

Kasus lain yang  mungkin kita alami adalah bila ada kesalahan di masa sekarang, kita akan mencari kambing hitam ke masa lalu. Contoh  anak SMA tidak bisa berdoa dengan baik dalam retret di kelas XII, maka akan menyalahkan proses retret dan pendampingan pada masa SMP. Dianggap kesalahan itu karena guru SMP yang tidak becus mendampingi. Pertanyaan kita: apakah kebiasaan berdoa itu hanya mutlak tanggung jawab pendidikan semasa di SMP? Bagaimana dengan pendidikan dalam keluarga? Bagaimana proses selama dia berada di SMA dari kelas X sampai kelas XII? Apakah masa selama di SMA  pendampingan tidak dianggap? Apakah pendidikan hanya terjadi pada satu periode? Apakah kalau anak sudah sampai di SMA pendampingan (termasuk sikap berdoa) juga berhenti? Bukankah selama ini yang kita ketahui dan kita amini bahwa pendidikan itu merupakan sebuah proses yang berkesinambungan?

Mengungkit dan terus mengungkit, mencari dan terus mencari, membeberkan dan terus membeberkan kesalahan orang lain terasa sudah biasa bahkan menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Mencari kambing hitam untuk kesalahan sekarang dengan mencari kesalahan dan mengaitkannya dengan  masa lalu apakah sebuah jalan keluar untuk memperbaiki kesalahan sekarang? Bukankah kesalah tidak akan bisa diperbaiki dengan hanya menyalahkan dan mengungkit kesalahan di masa lalu? Apakah kesalah bisa kita perbaiki dengan mencari kesalahan orang lain untuk menutupinya?

Apa pun alasan si pengungkit untuk kembali membeberkan kesalahan seseorang, itu sangat bertentangan dengan makna memaafkan atau lebih tepatnya lagi pengampunan. Mengampuni berarti benar-benar memafkan dan tak perlu lagi mengungkitnya, apalagi kalau diutarakan di depan orang banyak dan di depan si pembuat kesalahan. Bila hal ini dilakukan, orang yang mengalami ( dengan catatan si pembuat kesalahan sudah memperbaiki diri atau dalam proses perbaikan diri )  akan merasa benar-benar dijatuhkan. Semangat untuk membenahi diri pada orang itu akan jatuh.

Ada yang mengatakan bahwa mengampuni bukan berarti melupakan. Betul juga pendapat itu. Kesalahan bukan untuk dilupakan karena kalau dilupakan kita tak akan bisa belajar dari kesalahan. Namun, kesalahan bukan untuk diungkit atau terus dibeberkan ke mana-mana. Bila kesalahan terus diungkit,  bagaimana si pembuat kesalahan bisa mendapat ruang untuk memperbaiki diri karena terus diingatkan dan dihakimi dengan kesalahan masa lalunya.

Kesalahan mungkin saja fatal akibatnya bagi orang lain dan juga bagi si pelaku. Namun, kesalahan juga menunjukkan kepada kita bahwa manusia tidak sempurna. Dari kesalahan ada pembelajaran dan ada pengampunan. Tanpa kesalahan orang tidak bisa melihat  mana yang benar. Karena itu, mari kita belajar dari kesalahan kita dan juga mari kita berani untuk tidak mengungkit kesalahan orang lain.
  

Selasa, 25 Oktober 2011

SEPUTAR CERITA GURU

-->
GURU PIKET
Ch. Enung martina
Ada kewajiban menjadi guru piket  untuk setiap guru di tempat saya mengajar. Pengecualian terjadi pada guru yang setiap harinya mengajar penuh.  Tugas guru piket bervariasi, mulai dari menggantikan guru yang tidak hadir di dalam kelas, menunggu kelas ketika ada guru yang tidak masuk, menjaga ketertiban saat istirahat, menangani kasus anak yang sakit, menangani bila ada kasus yang terjadi pada hari itu,  dan yang paling penting adalah menyambut siswa di pintu gerbang untuk melihat kelengkapan dan ketertiban siswa dari ujung kaki sampai ujung rambut. Saat berdiri menyambut, guru piket harus melakukan kode etik: salam, sapa, dan senyum.

Dengan demikian guru piket harus datang lebih pagi daripada biasanya. Sekolah menetapkan guru piket maksimal datang  pukul 06.30 bertepatan dengan siswa masuk ke area SMP. Bila melihat situasinya alangkah lebih baiknya seorang guru piket datang sebelum jam 06.30.
Sebetulnya saya mengalami berganti pasangan guru piket untuk setiap tahun pelajaran. Biasanya setiap harinya guru piket yang ditugaskan ada 3 orang. Saya berpasangan dengan beberapa teman guru piket  dengan berbagai karakter dan kebiasaan.  Saya pernah berpasangan dengan teman guru yang penuh tanggung jawab dan mudah diajak bekerja sama. Saya juga pernah berpasangan dengan guru yang agak santai , suka menghindari tugas menjaga kelas, dan lebih suka melakukan kegiatan  untuk dirinya sendiri. Pernah juga saya berpasangan dengan guru yang sepanjang piket terus mengeluh tentang kelehannya menjadi guru piket, ketidaksukaannya tentang sistem piket, dan aneka keluhan lainnya. Ada juga guru piket yang sangat suka datang telat.

Nah, kali ini saya akan berbagi tentang kejadian pada saat saya suatu hari saya piket. Kejadian itu tepatnya hari Selasa, 11 September 2011. Salah satu guru yang menjadi pasangan piket kali ini adalah seorang ibu yang mempunyai hobi datang TEPAT WAKTU  atau kadang  telat. Dia datang seperti kalau dia tidak menjadi guru piket, yaitu jam 06.45. Selama dua bulan saya berpasangan dengan dia , belum pernah ia datang  jam 06.30 atau di bawah itu. Lama- kelamaan saya kesal dan mulut saya gatal untuk mengingatkan dia. Saya berpikir cara yang paling tepat untuk menyampaikannya. Akhirnya ketika dia selesai mengantri untuk presensi,  saya mulai melancarkan aksi saya.

Saya berkata dengan penuh keramahan, “ Bu, saya yakin Selasa depan, Ibu akan datang lebih pagi lagi.”
Saya sungguh tak menduga ternyata  jawabannya berbeda dengan yang saya harapkan. Dia mejawab, “Aku tidak apa-apa dipecat juga. Sana laporkan saja!”
Saya ternganga dan terbata, “ ya, nggak begitu maksud saya, Bu. Saya tak akan melaporkan Ibu karena saya bukan tukang lapor.”
Dengan ketus dia berkata, “ Ibu nggak ngerti alasannya.”
“ Betul, Bu, saya nggak ngerti karena Ibu tidak bercerita. Saya menyampaikan hal ini langsung pada Ibu daripada saya gerundelan di belakang.”
Percakapan terhenti karena ada anak yang harus dilayani.

 Saya merasa teguran tadi  akan sampai dengan baik dan diterima dengan baik pula. Rupanya saya salah duga. Dari peristiwa ini saya belajar bahwa ketika kita memberi feedback pada seseorang harus memperhatikan berbagai faktor. Menurut Ibu Ratih Ibrahim dalam pelajaran Personal Growth  feedback yang baik adalah: diberikan dengan jujur, serius, langsung, dan tulus.

Kemudian saya berpikir dan melihat feedback yang baru saya berikan kepada pasangan guru piket tadi apakah sudah sesuai dengan ciri-ciri di atas? Saya memberi feedback pada teman saya sebagai sesama guru piket dengan tulus dengan tujuan di baliknya untuk perbaikan dia agar tidak datang telat saat piket. Saya juga menyatakannya dengan jujur apa adanya tanpa mencari-cari permasalahan. Ketika saya menyampaikannya juga dengan langsung pada orangnya. Jadi letak kesalahan saya ada di mana, ya? O, rupanya saya mengatakannya tidak dengan serius. Situasi saat saya menyampaikan feedback seolah saya sedang bercanda,  mungkin. Oleh karena itu, teman tadi tersinggung. Maksud hati sih saya menyampaikannya dengan cara lunak, tidak terlalu formal, dan lebih santai. Eh, ternyata cara saya dianggap meledek atau menghinanya sehingga  feedback  yang saya sampaikan tidak tepat sasaran malah akhirnya mental.

Rupanya, saya masih harus banyak belajar tentang cara menyampaikan feedback pada orang lain. Berkomunikasi itu ternyata tidak mudah. Ada beberapa faktor yang sering meleset dari dugaan kita  sehingga tujuan tidak sampai pada sasarannya.

Jumat, 07 Oktober 2011

TIGA BULAN


Tiga bulan, itu lamanya Metta, anakku sulung berlibur di rumah untuk tahun 2011 ini. Sepanjang waktu itu, dia menghabiskannya bersama teman-temannya, keluarga, dan paling banyak dihabiskannya bersama Abhimanyu, adik bungsunya.
Memang terasa lucu perbedaan usia mereka yang terpaut 19 tahun. Perbedaan tersebut membuat mereka tidak tampak sebagai kakak-adik pada umumnya, melainkan seperti ibu dan anak. Orang yang pertama melihat pasti beranggapan Abhimanyu anak metta.
Karena setiap saat waktu dihabiskan bersama adik bayinya, tugas sebagai pengasuh pun dilakukannya: menyuapi, mengganti pakaian, membedaki, membuat susu, menidurkan, bahkan menceboki. Tak disangka ternyata semua dilakukannya dengan senang meski masih heboh pada saat harus menceboki.
Saya melihat, bahwa dia banyak belajar dari setiap saat dia alami selama tiga bulan ini. Ia belajar menjadi seorang pengasuh, pembantu rumah tangga, menjadi teman bermain, merawat diri (mengobati jerawatnya), dan juga menjadi juru masak. Yang saya lihat dari semua itu, dia belajar tentang hidup. Begitulah hidup. Setingi-tingginya seseorang bersekolah, kalau dia tidak bisa membawa diri tetap saja ia tidak bisa hidup dengan baik. Mungkin itu yang dimaksud orang tua yamg mengatakan setingi apa pun pendidikan perempuan, tetap saja ia ke dapur. Mungkin maksud orang tua adalah, perempuan tetap tidak boleh melupakan tugasnya sebagai ibu dalam keluarga.
Saya juga melihat dan belajar dari pengalaman bahwa dari semua hal yang dibutuhkan dalam hidup adalah bagaimana kita berelasi. Berelasi dengan diri sendiri, dengan sesama, alam, dan Tuhan.
Saya berharap anak-anakku mampu berelasi dengan baik. Dengan begitu, mereka mampu bertahan dalam menghadapi tantangan hidup. Karena zaman akan terus berubah dan tantangan akan terus bertambah, anak-anak perlu dipersiapkan untuk menghadapinya. Mereka adalah anak-anak zaman ini. Anak zaman harus mampu menghadapi tantangan pada zamannya.
Seorang Pengkhotbah besar berkata bahwa  sebetulnya tak ada yang baru di bawah langit dan di atas bumi ini. Segala permasalahan yang terjadi sekarang pernah dialami oleh para pendahulu kita. Hanya konteks yang berbeda.

Selasa, 13 September 2011

AKREDITASI = GENGSI

-->
Senin, 8 Agustus 2011 itulah saatnya kami diakreditasi sesudah lima tahun lebih sejak akreditasi sebelumnya. Akreditasi merupakan proses penilaian yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional terhadap sekolah-sekolah. Ada standar yang harus dipenuhi oleh sekolah sesuai dengan statusnya masing-masing (sekolah negeri, sekolah swasta nasional, sekolah internasional, dll.)
Sebuah sekolah yang akan diakreditasi tentu harus mempersiapkan diri dengan baik. Dalam menghadapinya sekolah tenu memrelukan persiapan administrasi, waktu, tenaga, dan tentunya biaya. Berbagai kesibukan untuk menghadapi akreditasi dilakukan oleh setiap sekolah dari persiapan, pelaksanaan, hingga sesudahnya.
Yang ingin saya bagikan bukan pada persaiapan administrasi atau  kiat menghadapi akreditasi agar berhasil meraih standar A, tetapi kisah dibalik dapur akreditasi kami.
Sudah pasti persiapan diwarnai dengan kerja keras bahkan kerja lembur. Sebetulnya tidak perlu sampai seperti itu kalau semua tuntutan administratif  sudah dilengkapi  jauh-jauh tahun, bukan jauh-jauh hari lagi. Dengan begitu administrasi harus tertib! Namun, kenyataan berbeda dengan seharusnya. Ternyata banyak kekurangan  yang harus dipenuhi untuk pembuktian  bahwa hal yang diminta dalam buku panduan (sesuai standar) sudah kami lakukan. Semua harus ada bukti. Akan menjadi omong doang kalau hanya dikatakan sudah dilakukan tanpa disertai bukti. Nah, itu dia, bukti sering terselip, tidaik ada, atau tidak ditemukan. Kalau bukti sudah tak ada, ya.... harus mengadakan! Kreativitas mencipta!
Menarik memang proses persiapan ini karena di sini akan terlihat kinerja sekolah, yayasan, kepala sekolah, guru, tata usaha, karyawan, pokoknya semua elemen sekolah.Yang lebih menarik lagi dalam peristiwa ini akan tampak kinerja dan kepribadian setiap individu. Saya melihat teman-teman saya sangat getol, rajin, teliti, dan bekerja tanpa lelah.
Namun, di samping teman-teman yang  yang ber-jibaku, ada juga teman yang kenyataannya tidak demikian. Teman-teman  yang pulang sampai sore, bahkan   malam, yang ini pulang tepat waktu. Yang lain berusaha sebisa mungkin membantu untuk ikut andil dan terlibat, yang ini ini melenggang entah ke mana. Ketika dia ditanya oleh kepala sekolah mengapa demikian, dia menjawab dengan enteng ‘ saya kan gak bisa komputer ‘ , ‘ saya gak bisa ngetik, jadi ya... gak bisa bantu ‘ . 
Begitu saya tahu jawaban yang dikemukakan saya benar-benar meradang. Lha, memangnya akreditasi itu hanya berkaitan dengan kegiatan memakai komputer? O...alah, wong pekerjaan lain seabrek. Ya,   mestinya kan bisa  membantu yang lainya: menjilid, menyampul, mengangkat, membereskan, atau mijetin temen, membelikan minuman untuk temannya, bahkan cukup dengan kehadiran saja, duduk nongkrong memberi dukungan moril dengan doa, atau apa sajalah. Yang penting peduli. Ya... elah malah katanya tak bisa membantu apap pun.
Saya berpikir lagi jadinya. Apa tidak salah pribadi seorang guru yang begitu? Padahal seorang guru itu kan seorang pendidik. O, ya tambah lagi, guru ini kan pernah mendapatkan penghargaan dari yayasan karena kepeduliannya. Ya... kalo begini,  jadinya mau dibawa ke mana pendidikan ini, je? Kalo saya seperti itu, kok ya... malu saya!

Ee.....ee...lha kok saya malah ikut campur urusan pribadi orang dan urusan kebijakan yayasan dalam memberi penghargaan. Siapa saya? Itu kan bukan urusan saya. Ya, betul sekali itu bukan urusan saya dalam memberi penghargaan, tetapi menjadi urusan saya berkaitan dengan relasi sebagai sesama teman di kalangan para guru. Apa alasannya? Karena saya bagian dari guru-guru dan saya merasa dirugikan juga. Keenakan sekali dia.

Ini menyoal tentang nilai hidup kerja sama, penghargaan, kepedulian, dan rasa setia kawan. Menurut apa yang dicanangkan sekolah ini, sekolah ini mengedepankan pendidikan nilai. Namun, melihat kejadian di atas, rasanya jauh dari apa yang dicanangkan. Saya memang mengakui melakukan sesuatu yang baik itu memang sangat sulit. Demikian pula dengan penerapan pendidikan nilai yang menjadi keunggulan dari sekolah ini. Memang semestinya nilai-nilai itu menjadi bagian dari gurunya juga supaya guru menjadi model untuk siswanya. Ya, itu tadi, terkadang guru seringnya jarkoni. Ming isone ngujar ning ora ngelakoni. Bisanya berkata-kata, tetapi tidak menjalankan. OD. Omong doang.
Lho.... kok saya sewot! Ya... saya akui saya memang sewot. Bagaimana tidak sewot. Sekolah ini kan bukan hanya milik yayasan dan milik ursulin saja. Sekolah ini akan menjadi baik bila menjadi milik bersama. Menjadi milik bersama artinya menjadi tanggung jawab bersama pula. Intinya menjadi keluarga besar begitu.

Ok,.... tenang..... tenang,....!  Tarik nafas panjang.... pelan.... dan hembuskan. Ulang sampai tiga kali!
Meskipun kisruh dan semerawut menurut penilaian orang tertentu, akreditasi sudah berjalan dengan baik. Cukup bukan? O, tentu tidak cukup. Mengapa? Karena akreditasi bukan segalanya. Akreditasi hanya salah satu kisah dalam perjalanan sebuah sekolah. Yang lebih penting adalah pada proses berjalannya roda persekolahan ini dari waktu ke waktu.

Saya akui akreditasi adalah gengsi sekolah, apalagi untuk sekolah sebesar sekolah tempat saya bekerja. Kalau sekolah berada di bawah level A, betapa malunya kami. Bahkan, meskipun masih level A dengan scor yang turun dari akreditasi sebelumnya, itu juga masalah bagi kami. Mengapa bisa demikian. Karena itu menunjukkan bahwa sekolah kami tidak bergerak maju, malah mundur teratur. Dan tentunya itu tidak boleh terjadi seperti itu. Itu berarti kami harus berjuang sekuat tenaga mempertahankan sekolah ini dalam setiap langkah perjalanan kami.

Karena itulah, maka saya sewot mengapa ada rekan guru yang mempunyai sikap seperti yang saya ceritakan di atas.
Gengsi sekolah dipertaruhkan dalam akreditasi. Semua orang tahu itu. Akan menjadi perkara bila bila hasil akreditasi menurun. Karena itu pula mengapa kami berjuang sekuat tenaga untuk menyukseskan akreditasi. Perjuangan ini akan berlanjut untuk proses selanjutnya dalam menjalankan roda persekolahan ini.

Saya belajar banyak dari proses akreditasi ini. Belajar untuk lebih tertib administrasi, menyimpan bukti-bukti dengan baik, melakukan prosedur pengajaran dengan baik, juga nilai-nilai hidup seperti kerja sama, kepedulian, daya juang, ketekunan, ketelitian, pengorbanan, penghargaan, kesantunan, dan terlebih relasi. Saya melihat bahwa kami harus belajar banyak untuk berelasi dan berkomunikasi dengan baik. Semoga pengalaman akreditasi ini bisa menjadikan kami lebih baik untuk menghadapi tahun-tahun berikutnya. 
Ayo... para guru di seluruh tanah air,  tetaplah berjuang untuk bangsa dan negara kita tercintah inih!!!


Jumat, 05 Agustus 2011

SEORANG IBU DENGAN 4 ORANG ANAK

Ch. Enung Martina

Alkisah ada seorang  perempuan dengan 4 orang anaknya. Anak sulung sudah duduk di bangku SMA, anak kedua berada di SMP, anak ketiga di SD, dan anak keempat di TK. Keempat anaknya bertumbuh dengan baik dan maju dalm pendidikannya. Banyak orang memuji  keberhasilan ibu ini dalam mendidik anak2nya.

Namun, orang-orang tidak mengetahui persis apa yang terjadi dengan keluarga ini. Mereka menyangka bahwa keluarga ini baik-baik saja. Karena memang demikian tampaknya dari luar. Kenyataannya, perempuan ini mempunyai tempramen yang buruk. Dia mendidik anaknya dengan sangat disiplin. Terkadang segala sesuatu keinginan perempuan ini harus dituruti. Bila tak dituruti, anak-anak akan kena sasaran amukannya. Setiap hari marah. Ada saja hal yang dijadikan masalah. Hal kecil menjadi nampak besar dan akan menyulut marahnya.

Meskipun demikian perempuan ini juga terkadang bisa juga berbelas kasih. Dia tak akan membiarkan ana-anaknya terlantar. Karena bila sampai terlantar, itu akan menurunkan prestisenya di mata orang-orang. Bagi perempuan ini, prestise sangatlah penting. Ia sering melakukan tindakan amal. Namun, bila diperhatikan dengan sungguh, perbuatannya tersebut semata untuk mengibarkan namanya di depan kolega-koleganya.

Perempuan ini juga rupanya terkenal dengan pilih kasihnya. ia menganut azas like and dislike. Dia akan memberikan apa pun kepada orang yang disuakinya. Hal ini sering dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mengeruk keuntungan darinya. Namun, perempuan ini tak menyadarinya karena orang tersebut orang yang disukainya.

Di samping itu perempuan ini dikenal sebagai orang yang sangat pandai, disiplin, dan mandiri. Dia merasa tak ada orang yang mengalahkannya. Karena sifatnya inilah banyak orang mengagumi dan segan olehnya. Dia sadar sekali akan kelebihannya itu. Terkadang nampak dia arogan dengan kemampuannya itu.

Kembali kepada sifatnya yang pilih kasih, rupanya berlaku juga kepada anak-anaknya. Mari kita melihat seperti apa sifat anak-anaknya ini. Si sulung (SMA), ia adalah anak yang sangat cerdas, sedikit licik, pandai memanfaatkan situasai, pandai membolak-balikkan fakta untuk mencari perhatian dan cinta dari ibunya. Bahkan si sulung ini tak peduli bila harus 'makan' adik-adiknya, terutama yang SMP. Dia sangat pandai untuk melakukan tipu daya dan rekayasa kenyataan demi keselamatan dari amuk ibunya. Dia akan mencari cara bagaimana agar cinta ibunya tumpah padanya. Dia sering memanfaatkan kesulugannya untuk beberapa tujuan yang berkaitan dengan relasi dengan ibunya.

Anak kedua (SMP), dia seorang anak yang lemah fisiknya, banyak mengalah, tak pernah mau pamer, tak ingin muncul, rendah hati, pemalu, namun sebenarnya dia cerdas, bahkan kecerdasannya dan kreativitasnya bisa melebihi saudara-saudaranya. Ada salah satu kolega ibunya yang ditunjuk oleh sang ibu untuk memberikan pelatihan kepada keempat anak ini. Kolega ini seorang yang objektif. Ketika dimintai laporan tentang kemajuan keempat anaknya oleh perempuan ini, ia memnyebutkan bahwa anak kedua adalah seorang anak yang beyond. Melampau saudara-saudaranya. Anak ini mampu melihat dengan jeli dan kritis serta kreatif melihat suatu masalah. Tetapi sayang, sang ibu rupanya tidak menyukai anak SMP ini. Ibunya selalu mencap bahwa anak ini tidak mencuat, lamban, malas, dan bodoh. Meskipun dilecehkan oleh ibunya sendiri, anak ini tetap dengan kemurniannya untuk terus maju melangkah meraih cita-citanya. Banyak prestasi yang diraihnya, tetapi sang ibu seolah tak melihat hal itu. Ketika mendapatkan juara di olompiade fisika saja yang keluar dari mulut ibunya adalah: saya mengeluarkan uang begitu banyak untuk kamu! Tak ada pujian, tak ada penghargaan. Yang ada hanya cacian. Anak ini hanya bisa menahan rasa sakit hatinya. Namun, ia bertekad dalam hati bahwa ia akan menunjukkan kepada ibunya, kepada saudara-saudaranya, dan  kepada dunia bahwa ia bisa. Beberapa ketidakadilan yang lain contohnya adalah: laptop anak SMP diambil dan diberikan kepada anak yang SD. Ketika ada ujian/ulangan, anak-anak lain boleh libur dari tugas sehari-hari di rumah untuk persiapan ujian/ulanga, tapi anak SMP harus tetap mengerjakan tugasnya. Dengan ancaman yang tegas sang ibu mengatakan bahwa anak SMP paling tidak harus meraih angka 95! Begitulah...ia diperlakukan. Tetapi, anak ini tetap tabah menjalankan semuanya meskipun dengan tangisan dan rasa sakit hati. Justru perlakuan yang pilih kasih inilah, anak ini malah semakin bertumbuh menjadi pribadi yang alot, kuat, dan berkarakter.

Anak ketiga, duduk di SD. Dia tidak begitu dekat dengan ibunya. Namu, justru itulah dia banyak selamat dari banyak masalah. Terkadang dia suka melarikan diri dari kesalahan yang dibuatnya. Dia akan mencari alasan untuk keselamatan dari kemarahan sang ibu. Anak ini terkadang sering lari dari tanggung jawabnya. Bila ada masalah membelit dia akan menyalahkan situasi, saudaranya, alat, alam, atau apa pun yang ada di luar dirinya. Dia banyak selamat dari masalah-masalah moral yang sebetulnya sangat prinsipil. Bila dia ketahuan tak mengerjakan tugasnya, maka dia akan menyalahkan pembantunya. Akhirnya kemarahan sang ibu jatuh kepada pembantunya, dan yang harus menanggung adalah pembantunya. Sebetulnya anak ini agak lambat, tetapi karena dia pandai mencari alasan, maka selamatlah dia.

Anak bungsu, ada di TK. Ia seorang anak yang masih kecil, masih lucu, dan sangat riang. Karena kesibukan sang ibu, anak ini juga jauh dari ibunya. Tak begitu banyak kenakalan yang dilihat dari anak ini. Yang tampak adalah kenakalan kanak-kanak yang menggemaskan.

Begitulah keempat sosok anak-anak yang berbeda karakter. Pertanyaan saya, bagaimanakah nasib anak-anak ini kelak ketika sang ibu sudah tiada? Adakah keempat anak ini akan bertahan dan melanjutkan hidup mereka dengan berhasil? Adakah sifat-sifat mereka mempengaruhi mereka dalam menghadapi hidup? Adakah mereka akan akur satu sama lain? Adakah perempuan ini menyadari akan perlakuannya yang penuh dengan pilih kasih? Apakah perempuan ini menyadari bahwa ada luka-luka yang dia buat untuk anaknya mempengaruhi hidup mereka? Adakah dia juga sadar bahwa hidup tidak selalu berpihak padanya?

Sabtu, 23 Juli 2011

Coba2 Berhadiah

Coba2 Berhadiah
Ch. Enung Martina
Itu adalah kata-kata yang tak sengaja kutuliskan saat sedang tak ada karya yang bisa kutuliskan. Bukan tak ada ide. Ide buanyaak sekali, tetapi apa daya : keterbatasan waktu dan tenaga.



Namun, akhirnya kata-kata ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dilanjutkan. Dalam hidup kita sering mencoba-coba keberuntungan kita. Coba-coba itu ada yang berhasil, tetapi seringnya gagal. Kegagalan terkadang membuat sesorang malas untuk melakukan coba-coba berikutnya. Termasuk diriku ini. Aku sejenis orang yang terlalu terpola mengikuti pola lama yang selama ini sudah biasa dilakukan.

Sebetulnya jenis orang seperti diriku ini, bukan orang yang bisa sukses untuk meraih cita-cita dan berbagai usaha. Ini adalah sejenis orang yang suka dengan kenyamanan. Tak mau tantangan. Senang berada di zona nyaman.

Orang yang suka berada di zona nyaman, rupanya gampang terlibas dengan adanya berbagai kemajuan. Orang sudah mengetahui berbagai hal penemuan baru, tetapi dia (aku juga) masih aman-aman saja dengan pola yang selama ini dipakai.

Aku ingin belajar keluar dari zona nyaman untuk mencapai pencerahan dalam hidup. Rupanya hal yang harus aku lakukan pertama adalah mau berkorban dan berani bersusah-susah. Bersusah untuk proaktif mencari hal baru. Berkorban untuk membagi waktu. berkorban untuk keluar dari kelekatan. Berkorban untuk peduli kepada diri sendiri jugaorang lain.

Saudari-Saudara, ternyata itu sangat tidak mudah. Perlu perjuangan dan niat yang kuat. Banyak tantangan dan rintangan. Tantangan yang paling berat rupanya justru dari diriku sendiri.

Karena itu, aku akan berjuang untuk mengalahkan diri sendiri! Mari kita belajar untuk mencoba hal-hal baru untuk kemajuan dan pencerahan hidup kita.

Kamis, 16 Juni 2011

ADA KALANYA

Ada kalanya kita menjumpai sesuatu hal yang merupakan atribut menjadi lebih penting daripada subjek. Dalam keagamaan ada kalanya kita menemukan ibadat lebih penting daripada kasih. Demikian pula symbol lebih penting daripada makna. Kulit lebih penting daripada isi. Begitu juga konsep lebih penting daripada realitas.

Sifat dasariah manusia yang selalu merasa kurang dan tidak pernah puas, barangkali itulah yang membuat manusia terkadang lebih mementingkan hal yang materi daripada yang hakiki.

Kecenderungan yang demikian semestinya bisa dikurangi bila manusia kembali menaydari tujuan dan makna hidupnya. Bagi yang mengaku dirinya orang beriman menyatakan bahwa tujuan hidupnya pada akhirnya adalah TUHAN, dan alam semesta adalah sarana.

Agar manusia selalu mengingat tujuannya itu, manusia memerlukan kesadaran yang terus menerus. Anthony de Mello menyatakan bahwa kesadaran itu merupakan jalinan pengetahuan yang berproses sehingga menggerakkan kita pada kebenaran.

Kebenaran tidak ditentukan oleh perintah, himbauan, system nilai yang diyakini, atau pendapat seseorang. Kebenaran itu mutlak.

Manusia akan selalu berubah dan terus berubah untuk mencapai pusat hidupnya. Mencapai tujuannya. Untuk bisa sampai ke pusat hidupnya manusia harus kembali ke Fitrah. Kembali pada kesuciannya.

Untuk sampai pada tujuan akhirnya itu, manusia sering terperosok. Untuk mengurangi keterperosokannya maka kesadaran tadi diperlukan oleh manusia. Kesadaran seseorang bisa dilatih, tapi bisa juga datang dengan sendirinya. Kesadaran bisa dilatih dengan bersekolah, menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, berbagai kegiatan rohani melalui retret, rekoleksi, gladi rohani, berbagai pelatihan mental yang terbimbing, juga kesadaran bisa terasah melalui refleksi dan doa.

Diharapkan dengan berbagai latihan kesadaran, orang bisa kembali menyadari tujuan hidupnya dan makna hidupnya. Tidak sekedar mementingkan hal yang Nampak saja, melainkan lebih jauh ke hal yang esensi. (NUNG MARTINA)

Senin, 13 Juni 2011

CATATAN tentang KEBEBASAN

Dari SAAT TUHAN TIADA karya A. Setyawan, SJ

Aku bebas, sebebas air hujan turun di bumi: di semak ia menumbuhkan duri, di kebun ia menumbuhkan bunga. Aku bebas sebebas air yang mengalir di gunung: di tempat curam ia mengalir deras, di tempat landai ia bisa membuat banjir. (Saat Tuhan Tiada, A. Setyawan, 1999, hal.73).

Bebas akan berarti benar-benar BEBAS kalau kita dalam keadaan sadar. Dalam kesadaran sempurna kita bisa bebas sebebas-bebasnya.

Seperti air, ia bebas. Air mengalir mengarah ke pusat gravitasi, pusat bumi. Kalau begitu dalam pribadi kita yang bebas ini, kita juga harus mempunyai pusat hidup agar bisa sebebas air. Tuhan adalah inti yang tidak berinti. Tuhan inti yang tak terbatas, yang sempurna. Suara hati menjadi titik temu anatar Tuhan dan manusia.

Seseorang yang bebas adalah ketika ia memiliki kekayaan tanpa takut kehilangan, ketika sehat tanpa takut sakit, ketika dipuji tanpa takut dicela, ketika dihormati tanpa takut dijelekkan. Namun beberbeda dengan ketika seseorang tidak bisa melihat hidup secara menyeluruh. Ketika ia terpaku pada barang, peristiwa, atau orang tertentu. Ketika kita hidup dalam tempurung tertentu, kita sungguh tak bisa menikmati hidup yang sangat kaya. Ia tidak bebas. Ia tidak bisa menikmati kehidupan.

Ketika seseorang menjadi manusia yang bebas, ia bisa melangkah menuju keutamaan yang lepas bebas dengan memilih sesuatu secara sederhana, ugahari. Berbeda dengan situasi demikian: menjadi kaya, sehat, dan terkenal, tetapi diwarnai oleh kesakitan. Itulah ilustrasi tentang: Memiliki seluruh dunia, tapi kehilangan nyawa.

Namun inti dari kebebasan sejati itu adalah KESADARAN. Kesadaran akan realitas yang ada di sini dan sekarang. Orang yang memiliki kesadaran tak akan pernah merasa terpaksa karena ia memiliki kebebasan memilih. Hal itulah yang akan membawa pada pengalaman rohani yang mendalam. Begitu katanya.

Wah,… mau sadar saja kok ya tidak mudah, ya. Selamat meraih kesadaran diri untuk bisa menggapai kebebasan sejati.

Minggu, 22 Mei 2011

CATATAN tentang BAHAGIA

Dari SAAT TUHAN TIADA karya A. Setyawan, SJ

‘ Jangan mencari kebenaran. Singkirkan saja opini-opinimu.’ ( Guru Zen Jepang )
Hidup yang indah selalu menuntut perubahan. Namun, orang belum juga terbebas dari gambaran diri yang keliru karena terbatas pada lapisan luar yang dirasa itulah dirinya yang asli.

Insting manusia adalah prolife. Secara natural kita berorientasi pada kehidupan di dunia ini. Tetapi dalam kenyataan kita menemukan ada orang yang memilih kematian sebagai tujuan yang tidak disadarinya. Hal ini dipengaruhi karena ada brainwashing oleh konsep ideologi tertentu. Orang yang memilih kematian sebagai tujuan jelas berbeda dengan orang yang memilih kematian sebagai konsekwensi.

Karena seseorang berorientasi pada kehidupan, maka kerinduan terdalam manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan bukanlah hasil usaha kita. Kebahagiaan itu suatu keadaan ketika kita berpasrah, menyerahkan diri pada kebahagiaan itu sendiri, ketika kita menyadari realitas.

Sebetulnya kebahagiaan itu ada pada diri kita, tetapi kita tidak menyadrinya. Kalau kita dalam keadaan terluka, kita sendiri yang melukai diri. Gagasan kita, ide kita, dan harapan kita sendiri yang melukai, bukan dunia, bukan orang lain, bukan realitas. Dunia, orang lain, realitas itu baik-baik saja. Kehidupan berjalan seturut hukumnya. Dunia, orang lain, dan realitas bukan sumber masalah. Masalah terjadi ketika gagasan, ide, cita-cita, dan harapan tidak sesuai dengan realitas.

Langkah menggapai kebahagiaan:
1. mendiagnosa apa penyebab ketidakbahagiaan
2. Menelusuri apa yang menyebabkan perasaan negatif itu muncul
3. memahami perasaan tersebut dan menerimanya
4. jangan mengidentikkan diri dengan perasaan-perasaan itu
5. Pikirkan bagaimana mengubah diri sendiri.

Perlu diketahui juga bahwa kebahagiaan tidak disejajarkan dengan perasaan tidak bersalah. Kebahagiaan itu melampaui gejala perasaan senang. Kebahagiaan itu semacam kondisi ketika kita memahami dan menerima segala realitas. Kita tidak perlu tidak bahagia karena alasan kesedihan, kekecewaan, kesusahan, dan hal negatif lain. Kita bahagia.... ya bahagia saja. Perasaan negatif bisa berubah menjadi bahagia karena kita menyadarinya. KESADARAN!!

(Ch. Enung Martina)

Minggu, 15 Mei 2011

CATATAN ‘SETELAH PESTA DANSA’ Leo Tolstoy

Hidup ini tak bisa ditebak. Berlapis kabut tipis yang sering kali menjebak. Ada yang lubang jebakannya dalam tak berdasar. Ada pula yang hanya pendek tak berarti. Kadangkala hidup ini seakan hambar tak bergaram, tapa rasa, tanpa selera. Terkadang terasa susah, rumit, bagai jalan yang berkelok-kelok dengan seribu rintangan. Tetapi ada juga perjalanan hidup yang tadinya datar, tiba-tiba berbalik hanya karena sebuah halangan kecil.

Begitulah hidup dengan riak dan gelombangnya. Dengan liku dan belokannya. Dengan naik dan turunnya. Terkadang seseorang mengalami perubahan perjalanan hidup bukan karena keadaan atau lingkungan, tetapi karena satu peristiwa kecil.
Namun, kita boleh berpikir bahwa hidup di dunia ini semuanya berjalan dengan baik selama kita melakukan yang dikehendaki-Nya.

Selasa, 10 Mei 2011

VIA DOLOROSA,


JALAN SENGSARANYA
SEBAGAI JALAN KESELAMATAN

Ch. Enung Martina

Masih dalam kaitannya dengan Pekan Suci, kali ini saya mengambil tulisan dari catatan perjalanan saya empat tahun yang lalu. Pada waktu itu, kami melakukan Prosesi Jalan Salib yang juga sering disebut Via Dolorosa. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia Via Dolorosa (bahasa Latin untuk "Jalan Kesengsaraan" atau "Jalan Penderitaan") adalah sebuah jalan di Kota Yerusalem Kuno. Jalan ini adalah jalan yang dilalui Yesus sambil memanggul salib menuju Kalvari. Jalan ini ditandai dengan 14 titik salib. Lima titik salib terakhir berada di dalam Gereja Sanctum Sepulchrum. Jalan ini menjadi tujuan utama para peziarah.
Hari itu, Rabu, 15 Oktober 2007, bertepatan dengan Hari Pangan sedunia. Kami sudah berangkat dari Kedem Tower, hotel tempat kami menginap, tanpa sarapan seperti biasanya. Pada hari itu kami punya niat berpuasa sampai kami selesai mengikuti prosesi jalan salib ke Golgota. Selain karena kami akan jalan salib, kami berpuasa karena hari itu adalah Hari Pangan sedunia.

Pihak hotel sudah menyiapkan sarapan kami yang dikemas dalam dus yang cukup besar. Sarapan ini akan dinikmati sesudah kami selesai prosesi jalan salib kami. Kami mulai memasuki bis kami. Cholid, sopir kami yang berkebangsaan Arab dan berwarga Palestina itu, sudah siap menyambut kami dengan senyumnya yang menjual.

Kami turun dari bis dan berbaris melalui lorong pasar tradisional yang masih kotor karena belum dibersihkan. Onggokan sampah pasar nampak di mana-mana. Rupanya pasar tradisional Israel sama juga kotornya dengan pasar di tanah air beta. Pasar masih tutup karena hari masih cukup pagi. Bebatuan yang kami pijak sepanjang lorong tampak sangat tua. Romo Robby Wowor mengatakan beberapa batu masih batu yang sama dengan zaman Yesus ketika menapaki tempat ini dengan salib yang dipanggul-Nya. Kami melangkah harus hati-hati karena jalan cukup licin. Kami berjalan dalam diam untuk mempersiapkan batin dalam ibadat jalan salib nanti.

Kami memasuki pelataran sebuah gereja yang disebut Benteng Antonia, tempat Yesus dihadapkan pada Pilatus. Romo Robby memulai penjelasannya tentang tempat kami berdiri. Pelataran ini dahulunya merupakan tempat Yesus disiksa dengan dicambuki seperti pada film Passion of the Christ.

Kami mulai dengan perhentian pertama. Marilah kita renungkan Yesus yang menjadi korban karma cinta kasih-Nya. Terdengar lagu dinyanyikan oleh para peziarah dengan pelan dan khidmat. Perhentian demi perhentian dilewati. Dari empat belas perhentian semua kurasakan kekhidmatan meskipun makin siang keadaan makin ramai. Gang di pasar sudah mulai disibukkan dengan truk pengangkut sampah yang berisiknya minta ampun. Menyusul kios dan toko-toko mulai buka. Namun, semua keributan itu tak menghilangkan kesakralan ibadat kami. Saya membayangkan ketika Yesus menapaki jalan salib-Nya keadaan lebih ramai lagi karena banyak orang yang menonton. Betapa Dia dipermalukan begitu rupa.

Pada perhentian keempat, Yesus bertemu dengan ibu-Nya, saya tertegun begitu rupa. Lukisan Maria dengan ekspresi yang sangat sedih memandang Puteranya yang berjalan tertatih dengan peluh bercampur darah meleleh di wajah-Nya, sangat menyentuh hati. Teringat dan terbayang sekilas cuplikan film The Passion of the Christ kala Sang Bunda dengan wajah duka berusaha meraih Sang Putra. Betapa hatimu terluka, ya Bunda, karena Putramu menjadi terdakwa yang hina atas apa yang tak Dia lakukan.
Saya tidak tahu mengapa saya mempunyai perasaan seperti itu. Mungkin karena saya seorang ibu sehingga saya membayangkan bagaimana perasaan Bunda Maria kala itu. Kubayangkan diri saya sendiri. Kala Bunda menyaksikan Puteranya, seolah saya bagian dari salah satu yang melihat peristiwa itu, bagian dari kerumunan orang banyak kala itu.

Ya, Bunda terpujilah engkau di antara para perempuan karena ketabahan yang engkau miliki meski sebuah pedang duka menembus jiwamu. Genap sudah apa yang dinubuatkan Simeon ketika engkau mempersembahka-Nya di bait Allah: …tetapi kelak suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri (Luk.2:35).
Bunda, ajari aku untuk selalu memahami segala kesedihan dan penderitaan sebagai sarana untuk memurnikan jiwaku. Amin.

Satu persatu kami merasakan memanggul salib yang tersedia. Bukan salib seperti yang Dia panggul kala itu. Salib yang kami panggul terbuat dari kayu yang tipis. Tidak seberat salib yang Dia bawa. Salib yang kami bawa, bukan apa-apanya. Kami membawanya berdua. Dia membawanya sendirian. Salib yang kami panggul hanya bagian dari ritual jalan salib. Namun, kala pundak kami memanggulnya, terasa berat juga. Bagaimana kita bisa menyepelekan pada pengorbanan yang sudah dilakukan-Nya untuk kita? Bagaimana kita sering lupa akan apa yang sudah Dia lakukan untuk kita?

Stasi (perhentian) demi stasi kami jalani dengan nyanyian dan doa yang terdaras dengan hati penuh syukur dan khidmat. Setiap stasi itu mengingatkan saya bahwa dalam kehidupan nyata kita juga ada beberapa perhentian. Ada perhentian yang menggembirakan dan membahagiakan, tetapi juga kebalikannya ada yang menyedihkan dan menekan. Namun, setiap kita berjalan ke perhentian berikutnya tak putus kita terus mendaraskan doa.

Via Dolorosa dengan 14 stasi itu adalah juga jalan hidup kita yang kita jalani setindak demi setindak. Namun, terkadang dalam setiap perhentian jalan kita, kita banyak mengeluh dan banyak berhentinya. Akhirnya kita merasa kelelahan sebelum kita sampai pada perhentian terakhir kita. Kita berharap dengan mengingat Via Dolorosa ini menjadikan kekuatan bagi kita untuk melalui perjalanan hidup kita dengan penuh syukur dan meminimalisir keluhan.

Jumat, 22 April 2011

BUKIT ZAITUN


Untuk peringatan Kamis Putih tahun ini, saya mengambil catatan perjalanan saya pada tahun 2007 lalu. Selamat merayakan Tri Hari Suci. Salam.

Kami pergi ke Bukit ini dua kali, yaitu ketika kami akan berziarah ke Betlehem pada hari Minggu, 15 Oktober 2007 . Waktu itu pagi hari, kami mengambil foto bersama. Kedua pada hari Senin 16 Oktober 2007.

Saat aku berdiri memandang ke arah barat, kota Yerusalem Lama tampak di hadapanku panorama yang mempesona. Seluruh bangunan nampak menampilkan kindahannya masing-masing. Tembok kota yang menjadi pembatas antara kota lama dan kota baru yang dibangun di luar tembok, nampak berdiri berkelok dengan megahnya menjadi pelindung kota lama. Dari kejauhan tampak bukit-bukit Yudea sampai ke Laut Mati, dan pegunungan Moab yang tampak samar.

Bukit ini dimuliakan oleh umat Yahudi dan juga Kristen. Bagi umat Yahudi di bukit ini dimakamkan nabi-nabi yang menjadi leluhur mereka, yaitu nabi Hagai, Zakaria, dan Malekhi. Sedangkan bagi kita umat Nasrani bukit ini berkaitan dengan beberapa peristiwa penting dalam hidup Tuhan kita, yaitu Yesus berdoa dan menyepi, Yesus mengajarkan doa Bapak Kami, dan naik ke surga.

Bukit ini sebenarnya ada tiga puncak, yaitu di sebelah utara, tengah, dan selatan. Puncak bukit yang di tengah merupakan puncak yang diyakini sebagai tempat kenaikan Yesus ke surga. Ada legenda berkaitan dengan tempat ini, yaitu ditemukan batu yang terdapat jejak kaki di atasnya. Jejak kaki pada batu itu konon katanya adalah jejak kaki Yesus ketika naik ke surga. Di tempat itu didirikan gereja oleh para pejuang Perang Salib. Namun, gereja itu diubah menjadi mesjid pada masa kemenangan Sultan Saladin. Hingga sekarang gereja itu kubahnya tertutup. Hak kepemilikan Gereja Kenaikan itu ada pada keluarga Sultan Saladin. Pada saat itu, Nissim, local guide kami yang lain, memperkenalkan salah seorang anggota keluarga sultan kepada kami. Nama orang itu Joseph. Dia berada di tempat itu sambil berjualan cendera mata.

Bukit yang berada di utara dan di selatan tidak banyak diterangkan oleh Romo Roby maupun local guide kami. Namun, kuperoleh keterangan sedikit dari catatan perjalanan Romo Moses H. Beding, CSsR, dalam bukunya yang berjudul O Yeusalem. Dalam buku itu dikatakan bahwa puncak Bukit Zaitun bagian utara disebut Viri Galilea yang artinya orang-orang Galilea. Mengapa disebut demikian? Rupanya di bukit ini Malaikat Allah menegur para rasul sesudah kenaikan Yesus: Hai orang-orang Galilea, mengapa kalian hanya berdiri saja di situ dan memandang ke langit? Yesus yang kalian lihat diangkat ke surga itu di hadapan kalian, akan kembali lagi dengan cara itu juga seperti kalian lihat tadi (Kis.1:11).
Tempat ini sekarang menjadi milik Gereja Ortodoks Yunani.

Puncak bukit sebelah selatan dijuluki Gunung Skandal oleh umat Kristen. Mengapa? Karena, katanya di puncak itulah Raja Salomo mendirikan tempat pemujaan dewa-dewi yang dihormati oleh para istrinya yang kafir. O..ya, menurut Kitab Raja-raja, Raja Salomo mempunyai istri seribu orang. Nah, lho…! Apakah semua bisa dinafkahi lahir dan batin? Itu mah bukan urusan saya atuh, euy!

Ke arah selatan dari Gereja Kenaikan berdirilah gereja Pater Noster (Gereja Bapa Kami). Di tempat inilah Yesus mengajarkan doa Bapak Kami yang menjadi doa pokok bagi umat Kristen. Di serambi gereja dinding-dindingnya dipasangi doa Bapak Kami dengan berbagai bahasa dan tulisan dari seluruh dunia. Sekarang doa Bapak Kami di tempat ini ada lebih dari 100 bahasa. Dari tanah air kita baru tiga bahasa, yaitu bahasa nasional kita, bahasa Jawa, dan bahasa Batak.

Di antara bukit Zaitun dan kota Yerusalem ada lembah yang dikenal dengan Lembah Kidron. Menurut penjelasan dari Philips dan Romo Roby, lembah ini sering dilewati oleh Yesus dengan para murid-Nya. Lembah ini menjadi pemakaman yang besar. Di sini juga ada makam tua yang bersejarah, yaitu makam dari Absalom, Yosafat, Zakaria, dan Yakobus.Yang kami lihat sepanjang lembah itu hanya kuburan Yahudi berwarna putih.
Berdekatan dengan Lembah Kidron, di lereng yang lain ada sebuah gereja yang disebut Gereja Dominus Flevit (Tuhan Menagis). Gereja ini mengingatkan kita pada saat menjelang sengsara Yesus, tepatnya sebelum Yesus dielu-elukan dengan daun palma, yang kita kenal dengan Minggu Palma.

Ketika Ia telah mendekati dan melihat kota itu (Yerusalem), Yesus menagisinya, kata-Nya, “Alangkah baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal itu tersembunyi bagi matanu “(Luk.19:43). Bahkan Yesus sudah melihat kehancuran kota ini: “Sebab akan datang harinya, ketika musuhmu akan mengelilingi engkau (Yerusalem) dengan kubu, lalu mengepung engkau dan menghimpit engkau dari segala jurusan. Mereka akan membinasakan engkau beserta dengan penduduk yang ada padamu, dan mereka tidak akan membiarkan satu batu pun tinggal terletak di atas batu yang lain, karena engkau tidak mengetahui saat ketika Allah datang untuk menyelamatkan engkau.” (Luk.19:43-44).

Panorama dari jendela Gereja Dominus Flevit langsung menghadap ke kota Yerusalem dengan segala keindahan dan kemegahannya. Kala kupandang panorama yang mempesona itu persaanku jadi ikut terharu. Jadi membayangkan bagaimana perasaan Yesus kala Dia menangisi kota-Nya yang saat itu Bait Allah masih berdiri dengan megahnya. Meskipun tak tahu persis keadaan perasaan hati-Nya pada saat itu, paling tidak aku pun merasakan keprihatinan dan kesedihan terhadap keadaan tanah airku tercinta. Lantas aku harus berbuat apa? Akhirnya hanya bisa menjalankan tugasku yang semestinya. Itu saja. Terkadang itu pun tidak mudah.



***Ch. Enung Martina ***

Minggu, 10 April 2011

DARI SEBUAH FILM

Menonton film adalah hal yang biasa untuk manusia pada zaman sekarang karena film sudah merupakan bagian dalam hidup kita. Banyak film beredar dalam masyarakat kita. Kita memanfaatkan film dalam hidup kita untuk berbagai kepentingan antara lain hiburan, pelajaran di sekolah, materi untuk berbagai pelatihan, dan bahan refleksi dalam rekoleksi atau retret.

Kita bisa asyik masuk ke dalam dunia film. Kita seolah menjadi bagian dalam film itu. Kita menyaksikan dunia lain yang tersaji di depan kita. Kita hanyut bersama petualangan dan emosi para tokoh film. Kita berkelana masuk dunia lain yang berbeda dari dunia kita. Kita berpetualang dan merasakan sensasi sebuah kebebasan dalam dunia lain.

Namun, tidak hanya sensasi petualngan saja yang diperoleh seseorang ketika berhadapan dengan sebuah film. Di dalmnya juga ada hidup yang dihadapi. Hidup itu mewakili juga hidup penontonnya. Beberapa peristiwa dan adegan juga adalah adegan hidup kita.

Karena itu, bila kita sedang asyik menonton film dan salah satu di antara kita tiba-tiba nyeletuk: Itu kan hanya film. Rekaan sutradaranya. Maka, dunia yang terbentuk tadi bisa saja berakhir dalam keping-keping kenyataan bahwa itu adalah sebuah rekaan belaka. Nah, kalau sudah seperti itu film menjadi tidak asyik lagi.
Tetapi, itulah film. Dengan film kita dihanyutkan, dengan film kita bisa dibawa ke realitas tertentu, dengan film kita bisa sejenak menjauhkan diri dari realitas diri kita sendiri. Josdeph V. Mascelli, ASC berkata: Film adalah dunia pura-pura yang meyakinkan.

Hal yang penting dari sebuah film adalah meyakinkan. Tujuan sebuah film meyakinkan penonton bahwa mereka sedang berada di suatu realitas tertentu yang nyata dan tidak dibuat-buat. Ketika kita bisa hanyut seolah film adalah dunia nyata, itu berarti pembuat film berhasil.

F.X. Murti Hadi Wijayanto, SJ mengatakan bahwa melalui film kita bisa:
Mencari hiburan, belajar tentang nilai hidup (value), mengasah kreativitas, merenung/bereflkesi. Film mengajak manusia melihat hidupnya sendiri yang sedang dibentangkan di layar lebar. Dalam cerita film ada kisah-kisah yang mewakili perasaan, kerinduan, kenangan, dan mimpi-mimpi kita.

Beliau juga mengatakan ada 3 hal penting yang bisa diambil dari dunia audio visual, termasuk film di dalamnya, yaitu: message (pesan), kemasan (graund, ambience, packing), dan vibrasi (getaran). Setiap program audio visual pasti mempunyai pesan verbal. Supaya pesan sampai kepada penonton, programharus dikemas sedemikian rupa untuk menimbulkan vibrasi yang mampu menggetarkan emosi penonton.
Demikianlah film sebuah program audio visual yang bila dikemas sedemikian rupa, ia akan mampui menyampaikan pesan dan mem-vibrasi penontonya.

Kamis, 24 Maret 2011

TIDAK HANYA SEKEDAR KATA-KATA

Hanya cerita....(kata-kata) yang menyelamatkan anak-anak kita dari kesalahan besar seperti pengemis buta yang berjalan ke arah duri-duri pagar kaktus. Cerita (kata-kata) adalah penjaga kita. Tanpanya, kita buta. ( Chinua Achebe: Anthills of The savanah )

Karunia manusia yang unik adalah kata-kata. Kata-kata dirangkai menjadi cerita. Kita sudah lama mengetahui bahwa cerita sejak lama sudah lama membimbing dan menghibur kita. Dengan keajaiban kata-kata yang terangkai lewat cerita, nenek moyang kita telah menurunkan kebijaksanaan yang memungkinkan kita bisa berkembang dan bertahan dalam situasi tersulit. Selama berabad-abad cerita telah digunakan untuk berbagi kebenaran. Bahkan, cerita merupakan pelajaran yang lebih penting daripada sejarah yang terkadang dibelokkkan sesuai dengan kebituhan politik pada masanya.

Cerita mempunyai kekuatan yang menyampaikan kebenaran. Dalam setiap cerita di situ nyata ada kehidupan. Kita menemukan sepotong diri kita dalam cerita. Di dalam cerita ada benang yang menyambungkan dengan kisah hidup kita. Benang itu juga menguatkan. Ya... itulah cerita!

Cerita terkumpul dalam kata-kata. Bersemi dan hidup karena kata-kata. Kata-kata yang tepat memberi jiwa dan menghidupi. Perkataan mempunyai kekuatan yang hebat. Jangan meremehkan kata-kata!

Kata-kata bisa menguatkan bila digunakan untuk hal yang tepat. Namun, sekaligus kata-kata bisa membunuh. Sekali lagi: jangan meremehkan kata-kata!

Tyron Edward berkata: Perkataaan bisa lebih baik dan lebih buruk dibandingkan pikiran. Perkataan mengekspresikan pikiran dan menambahkan makna pada pikiran. Perkataan memberi pikiran kekauatan untuk berbuat baik dan buruk. Perkataan mengawali pikiran pada perjalanan tanpa akhir. Perkataan membawa pada instruksi dan kenyamanan, juga berkat, atau pada luka, duka, dan kehancuran.

Berkaitan dengan perkataan adalah: hal yang terbaik yang dapat kita lakukan untuk orang lain adalah menahan lidah kita. Ada kalanya kita tergoda untuk memberikan nasihat yang tidak diinginkan, kita sangat ingin pamer, kita merasa butuh untuk menunjukkan kesalahan orang lain, kita ingin protes karena perlakuan tak adil, atau kita hanya ingin menunjukkan eksistensi kita agar dipuji. Kebijakan yang terbaik untuk situasi seperti ini adalah kita tidak mengatakan apa pun. Tidak mengatakan apa-apa. Diam adalah emas.

Seorang jurnalis dari Inggris pada abad 19 bernama George Sala mengatakan: Kita harus berupaya tidak saja mengatakan sesuatu yang tepat di tempat yang tepat, tetapi lebih sulit membuat sesuatu sesuatu yang tidak tepat tidak dikatakan pada momen yang menggoda.

Kita berharap untuk diri kita masing-masing bisa mengendalikan lidah kita. Saya akui itu memang sangat sulit. Saya mudah keterucutan kalau berbicara. Sesudah selesai berkata baru saya sadar bahwa sebetulnya perkataan itu tidak patut saya ucapkan. Ya... sudah keterucutan mau apa.

Kata-kata bijak Raja Salomo adalah: Seperti buah apel emas di pinggan perak, begitulah perkataan yang diucapkan pada situasi yang tepat.

Ho ho ho, ..... sungguh luar biasa! Kata-kata itu tidak sekedar meluncur dari mulut. Semoga kata-kata yang keluar dari mulut saya, mulut Anda, mulut kita semua mampu membangun hal yang positif dalam diri kita dan orang lain.

(Enung Martina yang sedang belajar bahasa bayi)

Sabtu, 19 Maret 2011

Sabtu, 05 Februari 2011

DI BALIK YANG MATERIAL

Keseharian kita akrab dengan hal yang bersifat materi. Hal yang bisa diindra: bisa dilihat, bisa dicecap, bisa diraba, bisa dicium, dan bisa didengar. Karena itu kita juga biasa mengharagai hal yang material. Kita terbiasa melihat yang kuantitas daripada yang kualitas, melihat yang duniawi daripada rohani, memandang rupa daripada pribadi, melirik kulit daripada isi, mencermati kerangka daripada makna. Semuanya serba materi yang terkadang terhenti pada yang sifatnya dangkal di permukaan saja.

Begitu banyak contoh orang terjerumus pada hal yang materi saja. Akhirnya hal yang hakiki terabaikan. Persaudaraan tersisihkan karena urusan rupiah, harga diri direndahkan agar bisa ditukar harta dan jabatan, iman digadaikan untuk mendapatkan yang duniawi, hati nurani ditumpulkan demi meraih materi, keselamatan jiwa diabaikan demi mendapatkan harta melimpah. Pokoknya semua dilakukan untuk meraih materi.

Saudara dan saya juga sering terjebak dalam tuntutan materi, apalagi kebutuhan hiidup dari hari ke hari semakin menekan. Kita berada dalam situasi bahwa materi itu sangat penting sehingga hal yang hakiki terabaikan. Dalam situasi itu, kita terkadang kita membandingkan materi yang kita miliki dengan si ini dan si itu. Kita terus membanding-bandingkan. Si ini begini, si itu begitu, si anu demikian. Meminjam istilah Metta, anak perempuan saya: kita terus naik banding.Tak pernah ada cukupnya, tak pernah ada puasnya,, tak pernah ada tuntasnya. Keadaan seperti itu terkadang membutakan kita pada hal yang maknawi, menjauhkan dari yang hakiki, dan menumpulkan nurani.

Beberap kasus terjadi di sekitar hidup kita, orang begitu mengagungkan materi, yang kita sebut materialistis. Segalanya diukur dari materi. Segala hal dimaterikan. Padahal, kita tahu bahwa ada hal yang tidak bisa terukur dengan materi. Kendaraan mewah, rumah bagus, makanan enak, kenyamanan tubuh, kenikmatan badani dipenuhi sedemikian rupa. Kebutuhan dipenuhi dan tubuh dimanjakan dengan segala hal yang sifatnya materi.

Untuk memenuhi kebutuhan di atas orang berani bekerja keras,membanting tulang, kapala jadi kakai, kaki jadi kepala. Bahkan, beberapa orang berani mengambil resiko mempertaruhkan harga diri, keluarga, nama baik, bahkan nyawa. Beberapa hal dalam hidup dikorbankan untuk mendapatkan materi: diri sendiri, keluarga, persahabatan, persaudaraan, bahkan terkadang nyawa.

Materi seperti yang kita ketahui bahwa itu juga merupakan salah satu berkat Tuhan dalam hidup kita. Materi menjadi sarana untuk menyejahterakan kita. Kita bisa hidup damai dan sejahtera juga karena salah satunya didukung materi. Materi penting dalam hidup kita di dunia. Salah satu kesuksesaan seseorang juga dilihat dari materi yang diperolehnya. Namun, bila materi menjadi sebuah tujuan dan bukan lagi sebagai sarana, hal itulah yang akan menjerumuskan seseorang pada hidup yang materialistis. Segala sesuatu diukur dari sudut pandang materi. Jangan sampai karena materi hal yang sifatnya lebih luhur terkalahkan. Akan menjadi apa jadinya hidup kita bila semua yang luhur tidak diharagai lagi, tidak dimaknai lagi.

Dengan kebijakasanaan yang ada pada setiap orang, materi bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan diri, mempererat persaudaraan, menjalin persahabatan, menghubungkan silaturahmi yang terputus, membina kekeluargaan, bahkan mewartakan iman. Karena itu, selain kita berlomba mencari materi duniawi, alangkah lebih baiknya juga kita mengumpulkan harata surgawi yang tak mungkin hilang dicuri, dimakan ngengat, atau membusuk.

Enung Martina

Kamis, 13 Januari 2011

KARYA PERTAMA TAHUN INI

Tahun 2011 sudah datang. Aku masih sibuk dengan hal-hal yang keseharian dilakukan sebagai seorang guru dan seorang ibu. Untuk duduk sejenak menuliskan sedikit kalimat yang bisa dibagikan pun terasa sangat sulit. Baru hari ini Senin, 10 Januari 2011, saya bisa mencuri waktu untuk bisa menuliskan sesuatu untuk penyemangat pada awal tahun ini.

Saya tercenung ketika tanggal 1 Januari 2011 anak perempuan saya bertanya kepada saya: Apa resolusi Ibu pada tahun 2011?
Saya bisa saja membuat hal yang muluk untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya bisa merencanakan yang terinci untuk menuraikannya. Namun, pertanyaan tersebut tidak memerlukan hal yang demikian. Pertanyaan itu hanya memerlukan waktu beberapa jenak untuk merenungkannya dan yang paling penting bagaimana aku bisa melaksanakan apa yang menjadi resolusiku.

Baiklah, aku akan tuliskan resolusi sederhanaku untuk tahun 2011, meski saya tahu yang sederhana ini pun perlu perjuangan untuk konsisten melakukannya. Aku membaginya menjadi tiga sesuai peranku, yaitu sebagai istridan ibu, sebagai guru, dan sebagai diriku sendiri.
Pertama sebagai istri dan ibu dalam keluarga: Aku tahu ini peran yang gampang-gampang susah. Aku ingin menambahkan sepersekian pada tingkat kesabaranku. Rupanya untuk menjadi orang yang sabar memerlukan perjuangan. Aku paling tidak sabar ketika harus membangunkan anak laki-lakiku pagi hari karena tidurnya sangat kebluk. Ketika membangunkan harus disertai dengan omelan panjang pendek. Pada hal yang lain pun tingkat kesabaran perlu ditambahkan. Aku juga akan lebih berjuang untuk tidak mudah mengeluarkan keluhan yang berujung dengan omelan tentunya. Aku tahu persis bila hal ini aku lakukan maka semuanya akan berjalan dengan baik.

Kedua diriku sebagai seorang guru. Menjadi guru selalu belajar setiap hari. Karena itu, aku membaginya menjadi empat hal, yaitu: 1) meningkatkan ketrampilan untuk mendengarkan dengan penuh perhatian. Mendengarkan meliputi aku sebagai guru memperhatikan apa yang dikatakan muridku dengan sepenuh hati. Mendengarkan pada saat atasan dan rekan kerja berbicara kepadaku dengan sepenuh hati. Mendengarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk menambah wawasanku sebagai seorang pendidik. Termasuk juga mendengarkan hati kecil sendiri. Ketrampilan ini sungguh sangat tidak mudah untuk dilakukan. 2) Berbicara dengan baik itu hal yang kedua. Sebagai guru terkadang aku berbicara belum teratur dengan baik. Berbicara yang baik dengan memperhatikan kaidah berbahasa,keruntutan, kualitas isi, sopan-santun, volume suara, artikulasi, diksi (pilihan kata) yang tepat, intonasi yang sesuai, juga ekspresi. Bila seorang guru bisa berbicara dengan memperhatikan itu semua, niscaya pengajaran akan sangat menarik. Aku masih jauh dari itu. Karenanya, aku akan berusaha untuk melakukan hal ini meskipun tidak mudah. 3) Kebiasaan membaca, itu adalah hal yang ketiga yang menjadi perjuangan saya. Sebagai seorang guru membaca merupakan kebutuhan untuk menginput pengetahuan dan informasi yang akan memperkaya wawasanku yang sangat berguna dalam proses pengajaran di kelas. Dengan kondisiku yang mempunyai seorang bayi lagi, membaca dibutuhkan perjuangan agar bisa terlaksana. 4) keempat berkaotan dengan tulis-menulis. Aku akan bagi menjadi menulis (tulisan tangan) dan membuat karangan (karya tulis). Seperti yang banyadiketahui umum bahwa tulisan tangan saya biasa-biasa saja. Tidak terlalu buruk, tetapi juga tidak tergolong bagus. Hal ini diperkarakan karena ada kaitannya dengan menulis di depan kelas. Kalau aku menulis di depan kelas seringnya tidak beraturan/tidak sistematis. Karena itu aku akan berusaha menulis dengan baik (sistematis dan jelas bisa dibaca dan dipahami siswa. Menulis karya itu merupakan hal yang aku coba untuk membiasakannya. Meskipun karya tulisanku tidak spektakuler, tetapi ada juga karya yang sudah dipublikasikan. Aku akan mencoba minimalnya menulis uneg-uneg atau kereteg hate yang bisa dibahasakan secara tertulis. Hal ini penting buatku untuk bisa menata pikiran dan gagasan dalam bentuk bahasa tulis. Berharap bisa mndapatkan nilai kedisiplinan diri dari kegiatan ini.

Ketiga diriku sebagai diri sendiri. Mengingat bahwa aku ini bagian dari smesta ini, tentunya aku juga tak bisa lepas dari Pencipta semesta. Karena itu, maka sebagai mahluk aku akan meningkatkan hubunganku dengan Sang Pencipta. Sebagai bagian dari mahluk bumi, paling tidak sedikit memberikan andil untuk planet tempat aku hidup dengan memelihara tumbuhan yang ada di halamanku. Sebagai mahluk sosial, aku pun berusaha untuk memelihara relasi dengan sesamaku. Keluarga sebagai tempat utama kita hidup merupakan hal yang pertama yang menjadi prioritas. Apalagi karena aku sekarang mendapat tugas lagi untuk membesarkan titipan-Nya, jelas tugas itu tidak boleh aku abaikan. Memelihara relasi dengan teman-teman di tempat bekerja, di lingkungan rumah, lingkungan gereja, dan di sekitar tempat aku berada.

Begitu kira-kira niatanku di tahun ini. Aku tahu bahwa hari-hari akan terus berganti dan aku akan tetap menjalaninya dengan rutinitas yang biasa kujalani. Namun, di balik kerutinan itu, aku tetap berusaha memelihara semangat dan menjaganya agar tetap menyala. Berharap bahwa nyala tersebut akan juga mempengaruhi orang lain yang ada di sekitarku, minimal keluargaku.
Ayo kita lakukan tugas dan kewajiban kita dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran serta semangat dalam jiwa kita.

(Enung Martina)