Rabu, 05 Juli 2017

SUAM-SUAM KUKU


Wahyu 3:15-16
Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!
Jadi karena engkau suam-suam kuku , dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku.

Tulisan ini saya unggah untuk menghormati  ibu saya, Maria Napti, yang sekarang sudah berusia 80 tahun. Pada usianya sekarang banyak kemunduran fisik dan juga ingatan yang dialami oleh Emak, begitu saya memanggil  beliau. 

Namun, di balik semua kemunduran ini, beliau adalah seorang yang kampiun dalam imannya yang sejati. Sebagai orang Sunda yang beragama Katolik, pasti tak mudah untuk ibu saya menjalani keimanannya. 

Ibu saya adalah seorang perempuan tangguh, pekerja keras, cerewet, keras kemauannya, dan juga kuat dalam pendiriannya, juga termasuk kuat dalam imannya. Pendidikan beliau tamatan SR (sekolah rakyat pada masanya). 

Jelas beliau bukan orang pintar dalam berkata-kata dan menafsirkan Kitab Suci. Namun, untuk masalah menjalankan 10  Perintah Allah, sudah pasti. Orang yang cerdik cendekia bisa kalah dengan Emak yang orang desa dan orang bodoh dalam hal keimanan.

Emak adalah orang yang selalu bersemngat. Dia bukan orang yang suam-suam kuku. Dia adalah orang pasti dan tegas untuk beberapa hal.  Terbukti dari bagaimana beliau mendidik kami ketiga putrinya. 

Nah, berbicara tentang suam-suam kuku, terkadang saya mengalaminya dalam perjalanan hidup saya.  saya menjadi loyo dan melempem. Tidak panas dan tidak dingin. Campuran antara panas dan dingin menghasilkan sesuatu yang hangat, yakni tidak panas juga tidak dingin.

Suam-suam kuku lebih sering bermakna metaforis: setengah hati, tanpa semangat, merupakan keadaan yang "mati suri". 

Untuk orang yang punya semangat seperti itu Tuhan berkata:  "Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku."

 Hal ini menggambarkan rasa muak dan penolakan. Kristus yang penuh kasih itu pada akhirnya tidak akan bertoleransi kepada sikap kerohanian yang "mati suri" dan tidak berguna itu. Mereka sama dengan garam yang sudah kehilangan asinnya (Matius 5:13). 

Dalam ungkapan dengan maksud yang sejenis untuk "Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku," adalah "Aku akan menolak kalian" atau "Aku tidak akan menerima kalian lagi." 

Sebagaimana dikatakan dengan jelas dalam perikop di atas, suam-suam kuku adalah keadaan yang tidak dapat diterima di mata Tuhan. Orang yang suam-suam kuku tidak bersemangat bagi Tuhan. Hatinya tidak dibakar oleh kasih kepada-Nya.

Cara pandangnya terhadap diri sendiri sepenuhnya berbeda dengan cara pandang Tuhan terhadapnya. Orang yang suam-suam kuku memandang dirinya rendah, tak mampu ini dan itu. Demikian  kala seseorang memandang negatif dirinya, ia pun memandang orang lain demikian. Bagaimana seseorang bisa memberlakukan orang lain baik, bila pada dirinya saja ia tak baik. 

Atau kebalikannya, ada yang terlalu tinggi memandang dirinya sehingga meremehkan orang lain, bahkan merendahkan Tuhan. Orang itu tak menyadari akan perbuatannya karena ia membungkusnya dengan kesalehan yang dijalankannya dalam hidup kesehariannya. Kesalehannya tak diragukan, semua perintah agama dijalankannya. Namun, ia tak menjalankannya sampai ke intinya, sampai ke dalam rohnya. Semua ada di permukaan. Ini pun orang yang suam-suam kuku. 

Tindakan mengikuti Tuhan dan ikut-ikutan jelas berbeda. Tindakan mengikuti Tuhan  sama sekali tidak statis. Bagi orang yang mengikut Yesus Kristus, ia  harus menyangkal dirinya dan memanggul salibnya. Menyangkal diri artinya tidak mengikuti keinginan daging, nafsu badani, nafsu duniawi yang selalu ada pada setiap orang. Memuja kenikmatan.  Memanggul salib artinya menerima dan menjalankan hidupnya dengan segala permasalahannya. Berani hidup dan menghadapi dan menyelesaikan persoalannya. Orang pemberani adalah orang yang berani hidup menghadapi segala sesuatu yang harus dihadapinya. Orang yang pemberani adalah orang yang berani hidup bukan memilih mati untuk menghindari masalah. 

Iman bukan sesuatu yang statis. Bukan sesuatu yang karena kita melakukannya kemarin, maka pasti akan kita lakukan juga pada hari ini. Iman tercermin dalam kehidupan nyata: dalam pikiran, sikap, perkataan, dan tindakan. Jangan menyatakan diri bahwa saya seorang beriman ketika kita masih suam-suam kuku dalam menjalankan hidup kita. Masih lari dari masalah, bersembunyi dari persoalan, dan menghindar dari tanggung jawab. 

Saya harus memilih untuk panas atau dingin supaya saya tidak dilontarkan dalam situasi saya. Orang yang suam-suam kuku mungkin aman nampaknya. Namun, hanya beberapa saat saja. Namun, segala sesuatu ada waktunya. Saya dan Anda tak bisa menghindari waktu yang telah ditetapkan-Nya. 

Fakta bahwa kita pernah pada suatu hari suam-suam kuku. Namun, bukan berarti kita akan terus menjadi orang yang demikian. Sekalipun Tuhan membenci keadaan yang suam-suam, Ia mengasihi orang yang sedang mengalami kesuaman dan ingin agar orang itu berubah. Ia ingin melihat saya dan siapa pun  bertumbuh dan kembali BERSEMANGAT.

Itulah sebabnya di dalam perikop yang sama dalam Wahyu 3, ia berkata: “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar”. Reaksi Tuhan terhadap keadaan suam-suam kuku adalah ganjaran yang penuh kasih, seperti dikatakan dalam Ibrani 12:11, pada waktu diberikan “tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita”. Namun dukacita ini adalah “dukacita menurut kehendak Allah” yang akan “menghasilkan pertobatan” (2 Korintus 7:10) yang sangat dibutuhkan oleh orang yang suam-suam kuku, seperti saya. 
(Ch. Enung Martina, Liburan Lebaran 2017)