Kamis, 26 Maret 2015

PELAJARAN DARI RAJA SAUL (2): Daud yang Rendah Hati

Makin hari Raja Saul makin aneh kelakuannya. Sepeperti yang diceritakan pada bagian pertama tulisan ini, saul sering melarikan diri dari kesalahannya dan mencari kambing hitam.
Akhir masa pemerintahan Saul ditandai oleh beberapa pemberontakannya kepada Allah. Saul tidak sabar untuk menunggu kedatangan Samuel untuk memimpin upacara persembahan kurban sebelum ia memimpin peperangan melawan bangsa Filistin (1 Samuel 13), dan ia menolak perintah untuk menghabisi orang Amalek dan seluruh ternaknya (1 Samuel 15). Akibatnya, Saul ditolak Allah, dan ia digantikan oleh Daud.
Menurut sejarawan Yahudi-Romawi abad ke-1 M, Flavius Yosefus (37-100 M), Saul menjadi raja atas Israel selama 18 tahun ketika Samuel masih hidup, dan kemudian memerintah sendirian selama 22 tahun. Raja kedua sesudahnya adalah Raja Daud bin Isai.
Ia adalah putra bungsu dari 8 anak laki-laki Isai. Ia mempunyai 2 saudara perempuan. Daud dilahirkan di Betlehem, Efrata, di wilayah Yehuda.  Ia bukan seorang tipe pria yang gagah perkasa dengan perawakan tinggi besar seperti pendahulunya, Saul. Al Kitab (1 Samuel 16: 12)  menggambarkan bahwa Daud adalah seorang yang kemerahan-merahan, matanya indah, dan parasnya elok. Daud tipe laki-laki yang halus dan ganteng, bukan macho. Samuel sendiri yang mendapat tugas mengurapinya saja terkecoh. Samuel menyangka yang akan diurapi Allah itu Eliab, anak pertama Isai. Tetapi, berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “ Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah, manusia melihat yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel: 16: 7)
Daud bukan yang diperhitungkan manusia. Bahkan, ayahnya saja tidak memperhitungkan dia. Saat Samuel datang ke rumah Isai untuk mengurapi salah satu anaknya, Isai tidak meminta Daud untuk tampil di depan Samuel. Saat itu, Daud sedang menggembalakan ternaknya di padang.
Lihat! Saya mendapatai kisah dalam Al Kitab beberapa di antaranya bila Tuhan memanggil seseorang, orang tersebut didapati sedang dalam posisi bekerja. Abraham ketika dipanggil-Nya sedang berada di bengekl kerjanya. Pastinya sedang bekerja bukan melamun. Para murid Yesus saat dipanggil-Nya juga mereka sedang bekerja sebagai nelayan ( menjala ikan, membetulkan jala). Belum ditemukan kisah tokoh yang dipanggil Tuhan sedang mabuk, melamun, bengong, bersantai, atau semacamnya.
Daud bukan orang yang diperhitungkan manusia. Namun, ia diperhitungkan Tuhan. Tuahn jatuh hati padanya.  Tuhan jatuh hati pada Daud karena melihat hatinya. Sudah pasti Daud itu mempunyai hati dan perilaku serta tindakan yang sama. Orang benar begitulah dia.  Bahkan, ketika ia sudah diurapi Samuel pun, Daud tidak mengubah sikapnya menjadi jumawa, sombong, angkuh, atau besar kepala. Daud masih bekerja menggembalakan ternak keluarga. Dia tidak memamerka dirinya bahwa dia sudah diurapi.
Rupanya saat Samuel mengurapi Daud, ia pergi secara diam-diam tanpa sepengetahuan Raja Saul. Saya tidak membayangkan kalau Saul tahu akan ada orang lain yang diurapi sebagai raja, selain dirinya, akan terjadi kehebohan yang menggegerkan kedaulatan negara tentunya. Sepertinya upacara pengurapan Daud itu hanya lingkup keluarga dan para pinisepuh saja. Sepertinya lagi, mereka juga menjaga rahasia ini. Karena kalau ketahuan raja yang sedang berdaulat,  bisa runyam dan menjadi celaka bagi mereka. Itu perbuatan makar.
Ada hal yang menarik dalam kisah Raja Saul sesudah ditinggalkan Sameul (itu berarti berkat urapan Than sudah tak ada padanya lagi), Saul menjadi makin aneh kelakuannya. KEJATUHAN Raja Saul terjadi karena ia Lebih Mengikuti SUARA RAKYAT daripada "SUARA TUHAN" dari Pemimpin Rohaninya, Samuel!
Suatu peristiwa yang menggambarkan titik nadir kehidupan rohani Saul adalah ketika ia pergi menghubungi seorang medium perempuan di En-Dor untuk bertanya kepada roh Samuel guna mengetahui apa yang akan terjadi dalam peperangan melawan orang Filistin yang akan segera dihadapinya (1 Samuel 28:1-25). Ini adalah keputusan Saul yang diwarnai oleh rasa putus asanya karena Samuel telah meninggal, sementara Allah tidak menjawab dia.
Ketaatan dan iman adalah dua bahan penting dalam membangun hubungan yang kuat dengan Tuhan. Sayangnya, Saul tidak pernah taat sepenuhnya ataupun pernah bersandar sepenuhnya kepada Tuhan, karena ia sombong dan menganggap ringan perintah Tuhan. Saul menghargai alasan dan kehendaknya sendiri lebih daripada alasan dan kehendak Tuhan. Sebagai hasilnya, ia melakukan tiga kesalahan besar, yang pada akhirnya harus ia bayar dengan jabatan raja dan nyawanya. 

                Kesalahan Saul yang pertama ialah mempersembahkan korban tanpa memedulikan perintah Tuhan untuk menunggu Samuel selama tujuh hari. Saul memang menunggu Samuel, tetapi tujuh hari itu belum sepenuhnya berlalu ketika prajurit-prajuritnya mulai berpencar. Saul panik dan lebih memikirkan bagaimana menyenangkan manusia ketimbang Tuhan. Lebih mengandalkan diri sendiri daripada Tuhan, ia mempersembahkan korban menuruti kata hatinya. Samuel datang tidak lama kemudian dan menegur Saul. Ia memberitahu Saul bahwa kerajaannya tidak akan tetap sebagai akibat dari ketidaktaatannya (1Sam. 13:13-14). 

          Kesalahan Saul yang kedua ialah menyuruh prajurit-prajuritnya bersumpah, dengan berkata, ”Terkutuklah orang yang memakan sesuatu sebelum matahari terbenam dan sebelum aku membalas dendam terhadap musuhku“ (1Sam. 14:24). Saul menetapkan penitah ini tanpa berhenti untuk berpikir apakah Tuhan menghendaki agar pasukannya berpuasa. Tidak tahu akan sumpah itu, Yonatan, anaknya  memakan madu. Setelah itu, Saul menduga bahwa seseorang telah membatalkan puasa itu karena Tuhan tidak menanggapi permintaannya. Selagi mereka melempar undi, Saul membuat satu sumpah ceroboh lagi, katanya, “Sekalipun itu disebabkan oleh Yonatan, anakku, maka ia pasti akan mati” (1Sam. 14:39). Undian menunjukkan Yonatanlah pelakunya. Untuk menyelamatkan mukanya, Saul berkata, “Beginilah kiranya Allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu. Sesungguhnya, Yonatan, engkau harus mati.” (1Sam. 14:44). Tetapi, pasukan Saul datang untuk melepaskan Yonatan dan menyelamatkan nyawanya. Saul mengucapkan sumpah-sumpah kosong itu tanpa mengindahkan pesan Tuhan untuk ”jangan bersumpah palsu,“ melainkan “peganglah sumpahmu di depan Tuhan” (Mat. 5:33-37). 

          Saul melakukan kesalahannya yang ketiga ketika ia tidak mematuhi perintah Tuhan: “Kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya” (1Sam. 15:3). Walaupun Tuhan memerintahkan dengan jelas agar ia memusnahkan segala yang ada, Saul menentang perintah Tuhan supaya ia dapat menyimpan barang-barang dan harta kekayaan. Sifat rakunya muncul. Dia juga melepaskan Agag, raja orang Amalek, untuk memperbesar dan bersenang-senang dalam kemuliaannya sendiri. 

Saul kemudian meninggal di dalam peperangan melawan bangsa Filistin. Karena terjepit dan tidak rela jatuh ke tangan musuhnya hidup-hidup, Saul menjatuhkan dirinya ke pedang yang dibawa oleh pembantunya (1 Samuel 31). Itu memang tindakan bunuh diri kalau bisa dikatakan begitu.
Akhirnya Daud naik tahta setelah pendahulunya meninggal dunia.
Ada rasa menyesak ketika membaca akhir cerita raja pertama Israel ini. Rasanya seperti gelo, kecewa, karena tokoh utamanya kok tidak bertobat, menyesalai kesalahannya, mengubah dirinya menjadi lebih baik, akhirnya hidup berbahagia untuk selamanya. Itu kan harapan saya ketika menjadi seorang bocah kecil, kalau membaca dongeng yang penting berakhir dengan bahagia.

Namun, saya banyak belajar dari tokoh Raja Saul ini. Ada banyak sifat Saul yang juga saya miliki. Saya juga sering mengabaikan apa yang diminta Tuhan karena lebih melihat pertimbangan saya sendiri. Bahkan saya tidak bertanya apa mau Tuhan. Saya lebih memikirkan bagaimana supaya saya bisa selamat dari berbagai kesalahan yang saya buat, bukan memeprtanggungjawabkannya.  Saya juga suka berbicara tanpa berpikir terlebih dahulu apa akibatnya bagi diri saya, keluarga saya, atau yang lain. Sepertinya saya banyak sok tahu. Saya sering mempertimbangkan sesuatu berdasarkan kerakusan saya. Bisa menguntungkan saya atau tidak.  Saul... oh... Saul! Kau dan aku tak jauh beda. 
(Ch. Enung Martina-Jelupang Maret 2015)

Kamis, 05 Maret 2015

Mental Pengemis


Mental pengemis bukan pengemis betul-betulan yang sering ditemukan di pinggir jalan atau di tempat umum yang menadahkan tangan untuk meminta belas kasihan. Namun, mental pengemis tepatnya adalah mental yang selalu resah harta, selalu merasa kurang, dan selalu khawatir dengan masa depan. Kata “resah” menjadi kunci di sini. Warna jiwa inilah yang diyakini telah menjadikan banyak orang memiliki mental pengemis. Mental ini tidak bergantung pada harta, kelas, profesi, usia, jenis kelamin,  atau jabatan. Artinya karena ini menyangkut  mental, maka  miskin dan kaya sama-sama bisa memiliki mental pengemis, jika jiwanya resah dan selalu merasa kurang. Membahagiakan anak, istri, dan keluarga,biasanya menjadi alasan yang klise untuk mental ini.
            Orang yang bermental pengemis yakin  bahwa harta duniawi yang banyak akan membuat ia lebih bahagia. Harta itu bisa menyelesaikan segala perkara. Kehormatan, prestise, masalah, dan bahkan kebahagiaan bisa diselesaikan dengan harta. Orang yang bermental pengemis jauh dari mental yang percaya akan kelimpahan. Orang yang bermental pengemis sangat anti untuk memberi. Kalau bisa,  setiap kesempatan yang dia dapat bisa mendapatkan keuntungan. Orangnya tak mau rugi. Orang seperti ini akan berpikir dua kali kalau disuruh menyumbang.  Bagi mereka memberi itu akan mengurangi jatah mereka. Dengan memberi artinya yang sudah ada menjadi berkurang. Karena itu lebih baik ia menerima karena artinya pasti akan terus bertambah.
Demikianlah mental pengemis, yang sering memicu masalah. Berarti, gemar meminta-minta itu jelas faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Bukti lain, banyak orang yang hidupnya sederhana ogah meminta-minta. Mereka lebih mempunyai harga diri untuk tidak menjadi pengemis.  Mereka sangat malu kepada Allah, mengingat karunia yang diterima lebih banyak ketimbang musibah yang sedang diterima. Karena itulah, senjata yang mereka andalkan adalah usaha tanpa kenal lelah disertai doa dan sabar.
Mental pengemis ini amat rentan menimbulkan banyak masalah. Akan lebih bermasalah lagi jika ia berkolaborasi dengan mental serakah. Maka yang terjadi kemudian, banyak orang berkelimpahan harta, dengan gaji dan fasilitas yang memadai, masih gemar meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara.
Tidak ada orang yang mau hidup susah. Namun, bila  lantas menginginkan enak tanpa mau berusaha, itu namanya tak mempunyai harga diri. Bila seorang manusia tanpa martabat disebut apakah dia? Orang dihargai karena dia mempunyai hati yang mau memberi dan mau berbagi, bukan hanya menadahkan tangan belaka.
Sebaliknya bagi orang yang mental berkelimpahan mempercayai bahwa semesta yang diciptakan Tuhan ini tak pernah kekurangan. Rejeki selalu ada. Karena itu orang yang mentalnya percaya akan kelimpahan akan sangat senang memberi. Karena dengan memberi, rejeki mengalir datang. Prinsipnya diberikan bukannya berkurang malah ia datang berlipat ganda, berkelimpahan.
Memberi bukan selalu dalam bentuk harta. Memberikan ide, gagasan, waktu, tenaga, pikiran, saran, kemampuan. Kerelaan dalam memberi menjadi kunci bagi pribadi berkelimpahan.
Beberapa kata bijak yang disitir dari beberapa Kita Suci tentang memberi antara lain:

“Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan darimu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS Al-Baqarah: 271].

Hendaklah masing-masing orang memberi sesuai dengan niat hatinya, jangan dengan sedih hati atau dengan terpaksa, karena sikap hati orang yang memberi dengan gembira disukai Allah. (2 Korintus 9:7 )

Bila orang berbuat kebajikan dengan memberi  hadiah-hadiah, suka memberi pelajaran dan nasehat-nasehat walaupun kepada orang miskin sehingga dapat menghibur hatinya, maka orang yang  demikian akan selamatlah anak cucu dan keturunanya serta akan terkenalah kebaikan budinya . (SS.172)

                                                

Jelaslah, kemiskinan bukan aib. Saatnya orang beriman mampu mengikis mental pengemis dari sanubari. Tanamkan kalimat berikut dengan mantap: biar miskin, aku pantang mengemis! Jadilah orang kaya, kaya ilmu, kaya harta, kaya amal. Berapa pun ilmu yang kita punya, berapapun harta yang kita miliki, kita harus mengamalknnya, membaginya tidak akan mengurangi jumlahnya. Ilmu dan harta adalah titipan Allah yang akan berlipat ganda jika kita membaginya dengan orang yang membutuhkannya.
 Ch Enung Martina