Senin, 27 September 2010

SAAT AKU MENYADARI….

Aku sudah lama tahu bahwa tubuh adalah Bait Allah. Hal itu hanya pengetahuan belaka yang kuamini tanpa aku menyadainya. Aku menyadari bahwa tubuh adalah Bait Allah setelah aku berusia 46 tahun, tepatnya saat aku terbaring tak berdaya di bed rumah sakit bersalin. Saat itu aku baru selesai dioprasi Caesar untuk kelahiran anakku yang ke-3. Untuk hal mendapatkan anak ke-3 sudah kubagikan pada sharing sebelumnya.

Sebelum oprasi aku menjalani serangkaian pemeriksaan lab dan tindakan medis lain yang harus ‘melukai’ bagian badan, seperti menyuntik, memasukkan jarum, memasang infus, dll. Tentunya tindakan itu bukan tindakan yang membuat nyaman. Mungkin aku ini sejenis orang yang takut rumah sakit dengan segala peralatannya.

Tindakan praoprasi itu membuat nervos dan tentu saja sakit, terutama saat penyuntikan obat bius di tulang punggung. Betapa menderitanya: dengan perut besar harus duduk melengkung ke depan dengan memeluk bantal dan sang dokter anestesi dengan sangat profesionalnya memasukan cairan bius itu di tulang punggung. Beliau berpesan: jangan bergerak dan jangan batuk.

Gilaaaa!!! Sakitnya bukan main. Suster di depanku adalah seorang anggota jemaat dari sebuah gereja yang baik. Beliau berkata dengan penuh keibuan dan suara yang menenangkan: Sebut nama Yesus. Beliau berada di depanku sambil memelukku dan memegang bantal yang kupeluk. Sungguh itu sangat membantu. Dan betul, saat jarum suntik yang berukuran poaaannjang itu mencoblos kulitku dan menerobos sela2 tulang punggungku, aku mendesiskan nama Yesus berkali-kali.

Dan saudara-saudari tahu apa yang terjadi sesudah itu? Kakiku kesemutan dan sangat baal. Baal itu merayap ke arah betis, paha, pantat, pinggang, dan perut. Aku dibaringkan di atas meja oprasi. Segeralah lampu sorot yang bentuknya seperti lampu di pesawat dalam film Startec dengan kekuatan seribuan watt itu menyala.

Dokter kandungan bertanya mau disetelkan music apa. Lantas dia bilang karena saya orang Sunda yang tinggal lama di Jogya dan menikah dengan orang Jawa, maka Sang dokter menyetelkan lagu manuk cucakrowo. Manuke-manuke cucakrowo, cucakrowo dawa buntute….

Bayangkan Saudara aku yang nervos karena ini pengalaman pertamaku dioprasi, tak bisa berbuat apa2. Mau mematikan lagu itu dan mengantinya dengan lagu George Groban? Aku yakin mereka tak punya lagu itu. Selain itu aku sudah tak bisa bergerak.


Segeralah tim medis lain memasang tirai untuk menghalangi pemandanganku dari perutku yang akan dioprasi. Sang dokter anestesi ada di samping kananku dan memegang pundakku. Tanganku sudah mereka ikat. Takut aku berontak mungkin. Aku seperti kambing yang dibawa ke pembantaian: tak berdaya. Sang dokter mulai menmegang pundakku. Menepuknya, kemudian mencubitnya. Dan bertanya: sakit? Ya . Aku jawab. Ini namanya sakit kalau dicubit. Lalu ia berpindah menuju perutku yang terpisahkan tirai tadi. Mulai dia mencubiti perutku dan pinggangku. Tentu saja aku tak merasakan sakit. Dia mengguncang2 perutku. Dia Tanya lagi apakah terasa goncangannya. Aku bilang: ya. Dia berkata bahwa selama oprasi berlangsung aku akan sadar dan merasakan goncangan di perut tapi tidak merasa sakit. Aku hanya mengangguk.

Di sebelah kiriku ada monitor yang mendeteksi tekanan darah dan detak jantungku. Aku melihat detak jantungku agak cepat. Saat itu berada di angka 120. Lantas dokter anestesi berkata setengah berbisik: tenang jangan takut. Kalo takut bisa berdoa. Aku mengangguk lagi. Dengan dipandu dokter anestesi aku menghela nafas panjang untuk menenangkan detak jantungku. Akhirnya sesudah nafas panjang beberapa kali, detaknya normal kembali.

Mulailah tim bedah bekerja sama: dokter kandungan, dr anestesi, bidan, perwat 5 orang. Mereka tak henti berbicara ini itu. Dan jangan lupa musik pengiring terus mengalun: ne digoyang ser-ser, aduh enake…

Detik demi detik berlalu. Mulai aku merasakan perutku dibersihkan dengan kapas beralkohol karena aku mencium baunya. Aromanya menyengat. Perutku seperti papan rasanya. Dokter mulai memakai sarung tangan. Mereka mulai mengambil peralatan rupanya. Aku tak melihat peralatan itu. Untung aku tak lihat. Kalo lihat aku pasti shock.

Aku merasakan perutku berguncang-guncang. Tiba-tiba aku melihat ada kepulan asap tipis berasal dari perutku yang ditutup tirai itu. Aku juga mencium aroma daging terbakar. Gile!!!! Perutku mulai dibedah dengan laser. Aku melihat ada tetesan darah sedikit pada sarung tangan dokter yang terangkat sedikit ke atas. Aku penasaran. Mulailah aku iseng ingin melihat apa yang terjadi di balik tirai itu. Suster jemaat yang baik tadi melarangku untuk melongokkan kepalaku ke sana. Ya sudah, aku hanya bisa menebak apa yang sedang dilakukan pada perutku.

Kemudian aku merasakan perutku berguncang lebih heboh. Rupanya mereka mulai mengeluarkan si jabang bayi. Tapi kok agak lama ya…
Rupanya bayiku mencolot sana-sini sehingga merepotkan tim medis untuk menangkap dan mengeluarkannya. Aku mendengar mereka ricuh memberikan komentar dan sang dokter kandungan segera mengeluarkan bayi itu. Nah, segera perawat berlari mengambil lampin dan membungkus bayi merah berlapiskan lendir dan darah itu. Ia menunjukkannya sebentar ke rahku. Aku takjub. Aku hanya terpana dan sedikit senyum di bibir. Lupa, sebaiknya aku harus tersenyum lebar. Tapi… karena aku terpesona jadi aku bengong.

Sesudah itu suster kembali membawa jabang bayi ke ruang lain untuk membersihkannya. Segeralah aku mendengar tangisan melengking dari ruang sebelah. Wow…. Itu tangisan dia, si jabang bayi, anakku. Dia menangis keras. Tangisan pertamanya di dunia. Hirupan pertamanya pada udara dunia yang akan menjadi tempat ia hidup sekian lama waktunya. Aku benar-benar takjub atas kelahiran ini. Aku juga takjub atas 2 kelahiranku yang lain yang sudah lupa rasanya seperti apa.

Sambil berbaring terlintas sedikit kelahiran anakku, Metta: aku merasakan jabang bayi sudah di liang vagina sementara susternya masih menyiapkan peralatan. Aku memanggilnya, malah suster itu bilang: tenang, Bu, masih lama. Aku teriak: Suster, ini udah mau ke luar! Suster itu segera melihat dan benar kepalanya sudah nongol. Baru dia panik. Segeralahdia memanggil temannya dan dokter kandungan… Nah,lo! Siapa yang mau melairkan? Kan aku yang merasakan…

Kelahiran anak lanangku, Aga, lebih heboh karena terasa dari jam setengah sepuluh pagi keluar-keluar jam 12 malam. Untuk menunggu pembukaan sempurna aku membaca novel karya V. Lerstari yang berjudul: Misteri Gaun Merah. Itu novel dibawa suamiku dari penulisnya sendiri. Dokternya sampe heran: ini ibu mau melahirkan ato pindah baca novel. Dan Aga itu keluar jam 12.00, malam Jumat kliwon, tanggal satu suro!! Nah, ampuh tenan untuk jadi dukun!!!

Sementara aku melamun ke masa lalu, bayiku sudah selesai dibersihkan. Suster menunjukkannya lagi padaku dan membawanya ke tempat perawatan bayi. Tim medis mulai merawatku: membersihkan bagian dalam perutku, menjahit bekas pembedahan tadi, membersihkan kotoran pascaoprasi tadi. Selama mereka melakukan tindakan pascaoprasi kantuk pun mulai mnyerangku. Rasanya mengantuuuuk sekali.

Lima jam kemudian, aku baru bisa merasakan kembali bagian tubuhku yang tadi baal. Berawal dari kaki. Mulailah aku gerakkan sedikit-sedikit. Rasanya sangat-sangat tidak nyaman. Dan aku tak boleh minum dulu, kecuali untuk memasukkan obat satu tegukan saja.

Malam pertama setelah dioprasi terbaring dengan perasaan seluruh tubuh sakit, pegal, dan kaku. Tentunya tak bisa bergerak dengan leluasa karena daerah sekitar perut bekas oprasi terasa sakit dan kaku. Rasanya ingin duduk. Tapi belum boleh, apalagi berdiri. Pipis pun lewat kateter.


Hari kedua setelah oprasi baru boleh duduk pelan-pelan. Sesudah itu baru boleh turun, berdiri, dan jalan. Sungguh… rasanya ketika berdiri seluruh saraf berdenyut saking sakitnya. Lantas aku bandingkan dengan cara melahirkan normal. Lima jam pascakelahiran normal, dianjurkan untuk berdiri dan berjalan, serta ke belakang sendiri. Memang segala yang alami jauh lebih baik.

Namun, rasa sakit pascaoprasi itulah yang menyadarkanku tentang konsep bahwa tubuh adalah Bait Allah. Dalam denyut rasa sakitku, aku merasakan bahwa aku adalah mahluk yang berdaging selain berjiwa dan beroh. Rasa sakitku meyadarkanku akan betapa badan kedaginganku ini begitu ringkih dan fana.

Aku merasakan bagian pusat rasa sakitku yaitu pada daerah bekas oprasi yang masih diplester. Aku merasakan tiap saat dia berdenyut. Aku juga merasakan rasa panas dan denyar-denyar saraf yang mungkin sedang proses menyambung kembali. Meski tiap 2x sehari obat anti sakit dijejalkan lewat duburku dan juga segenggam butiran obat yang harus kuminum, tak mampu menawarkan dan menghilangkan rasa sakitku. Selain rasa sakit pada luka oprasi, juga rasa sakit di payudara karena jabang bayi belum menyedot asi dengan sempurna. Rasanya badanku meriang.

Ketika rasa sakit yang kurasakan dan tak bisa tidur itulah, saat aku menyadari betapa aku ini sangat lemah dan terbatas. Betapa tubuh ini sangat berarti. Terlebih kesadaran itu aku rasakan pada saat aku mulai merawat bekas oprasi sesampainya di rumah. Aku mulai memngoleskan ramuan oles tradisional yang disarankan ibuku dan ibu mertuaku (sebelum beliau tiada: semoga damai di sisi-Nya) yaitu: campuran air kapur sirih, air jeruk nipis, dan kayu putih. Semuanya dicampur dan dioleskan di sekitar perut dan pinggang. Selain hangat juga membuat jaringan kulit yang kisut jadi kencang dan mempercepat proses pengecilan rahim. Begitu menurut para pini sepuh. Ya… sudah aku ikuti karean aku anak yang baik. Dan… memang aku merasakan khasiatnya.

Nah, saat oles mengoles, pijat memijat, dan elus mengelus bagian perut dan pinggang itulah aku menghayati bahwa tubuh itu Bait Allah. Aku melihat proses luka bekas oprasi mengering, merasakan setiap denyar saraf, mengecilnya rahim, dan mengempesnya perut. Dalam ketelajanjanganku aku melihat bahwa aku dipercaya menjadi seorang perempuan. Aku punya rahim.
Aku dianugrahi untuk merasakan pengalaman semua: Hamil, melahirkan, mempunyai anak!!! Itu luar biasa!!!

Saat seperti ini aku sering memikirkan betapa banyak perempuan di dunia ini. Namun, berapa banyakkah yang menyadari bahwa dirinya sebagai perempuan itu sungguh luar biasa. Bahkan ada beberapa perempuan yang entah karena terpaksa atau karena keinginan dagingnya melecehkan tubuhnya. Aku melihat betapa organ tubuh perempuan yang satu itu bisa dijadikan berkat kehidupan sekaligus untuk jatuh ke dalam lubang dosa. Betapa banyak perempuan yang tak menyadarinya. Beberapa hanya menganggap tubuh ya… sudah memang tubuh. Dari sononya emang begitu. Hakku untuk melakukan apa pun terhadap tubuhku sendiri. Mau begadang, diet terlalu ketat, makan sesuka hati, mendandaninya, menyakitinya, menjualnya, menyewakannya, atau apalah yang dilakukan (hal buruk) oleh perempuan terhadap tubuhnya. Terkadang kita tak menyadari bahwa tubuh ini berasal dari Allah tempat roh berada. Tanpa tubuh, roh tak mungkin berdiam. Tubuh adalah rumah bagi roh.

Berbaring di meja oprasi, merintih karena rasa sakit luka oprasi, merawat tubuh selama masa nifas, semua itu membuat aku bersyukur atas tubuh ini. Ini adalah tubuh yang pas untuk rohku berdiam. Aku berusaha untuk merawatnya dengan baik. Aku tak boleh lagi sembarangan menggunakan tubuh ini dengan: kerja yang tak tahu waktu, makan yang tak beraturan, pola makan salah, berpakaian yang tak pantas, menyakiti diri sendiri. Selain itu juga aku belajar menghargai orang lain yang juga punya tubuh dan roh.

Begitu besar kasih karunia-Nya melalui kehamilan dan kelahiran ini. Selain berkat indah berupa seorang anak, juga penyadaran diri akan nilai-nilai hidup yang selama ini aku tak menyadarinya atau tak mengindahkannya. Terima kasih Tuhan untuk segala hal yang telah terjadi. Terpujilah Allah dengan segala keagungan-Nya.

(Teh Nung yang mengetik sambil menunggu bayinya yang sedang tidur)

Jumat, 10 September 2010

LIBURAN TELAH USAI

Sudah setahun aku terbiasa dengan ketakberadaannya secara fisik di rumah ini, ternyata ketika ia kembali ke rumah ini suasana berubah menjadi kembali ramai dan heboh. Rumah terasa lebih ribut dan sibuk. Ada saja bahan pembicaraan dari hal-hal sepele hingga hal-hal menyangkut kehidupan dan masa depannya.
Sebulan ia berada di rumah ini untuk berlibur (libur musim panas). Waktu sebulan begitu cepat berlalu, ternyata sudah tiba saatnya untuk dia kembali ke kampusnya, ke asramanya, kepada teman-temannya, ke kehidupan nyata dia yang sedang dijalaninya.
Kembali ia meninggalkan rumah ini dengan doa seluruh keluarga, dengan air mata, dengan seribu pesan, dan juga harapan. Dan hatiku masih sama : gundah dan berdarah ketika ia kembali harus meninggalkan rumah ini. Meski setahun aku sudah merasakan dan membiasakan diri untuk menyadari ketakberadaannya secara fisik di rumah ini, tetap saja aku belum terbiasa dengan kepergiannya kembali. Barangkali akan terus seperti itu.
Kala aku mengingat masa dia bocah, aku memeluk, menggendong, dan memilikinya.
Kini di tanganku sekarang ada juga orok lain yang aku peluk dan aku dekap seperti aku mendejap dan memeluknya.
Ketika aku memandang dia yang sudah tumbuh menjadi gadis berusia 19 tahun, aku tetap merasakan kasih yang mengalir dari hatiku seperti kala dia masih orok. Dengan telaten ia mengasuh adik bayinya. Setiap ada kesempatan dia akan mencium pipi montok adik bayinya dengan penuh kegemasan. Setiap saat adiknya mengencinginya, ia akan tetap berteriak. Hingga kembali ia kembali ke asramanya, ia tetap tak berani untuk membersihkan adik bayinya saat berak.
Itulah anak perempuanku, Metta, yang baru pulang berlibur dan sekarang sudah kembali ke kehidupan kampusnya yang jauh dari bau ompol dan bau bedak adiknya. Aku yakin ia akan merindukan bau khas dari adik bayinya : yaitu perpaduan antara bau minyak telon, bedak, shampoo bayi, bau asam susu, dan bau ompolnya. Itu adalah bau yang khas yang sukar ditemukan. Bau itu yang membawa dia akan selalu merindukan adik bayinya. Demikian juga hawa dan debu rumah kmi yang mungil akan tetap ia rindukan sehingga ia akan selalu pulang entah seberapa jauh ia pergi merantau.
Dan aku, ibunya, akan tetap merindukannya dari waktu ke waktu. Menunggu lagi kapan liburan akan terjadi dan dia bisa kembali pulang ke rumah ini dengan sejuta cerita yang mengisahkan hidupnya di luar sana. Aku selalu bangga menjadi ibunya. Aku selalu yakin bekal yang aku berikan selama ini cukup untuk melalui sejuta tantangan dalam hidupnya. Doa yang aku daraskan tak pernah putus akan terus menghubungkan aku, dia, dan juga Sang Pencipta. Aku tahu dari ceritanya tantangan macam apa yang dia hadapi. Aku akan lagi mengalami perasaan ditinggalkan oleh anakku yang kedua ketika tiba waktunya untuk mengembara di luar sana mendapatkan hidup yang sudah digariskan Ilahi. Demikian juga dengan anakku yang ketiga yang sekarang masih bayi berusia 52 hari. Suatu hari nanti dia akan juga pergi meninggalkan rumah untuk merenda hidupnya. Begitulah hidup, segalanya terus berubah dari waktu ke waktu. Tak ada yang abadi.

Lebaran ke-2 (11 September 2010)