Senin, 30 Oktober 2017

KESADARAN DIRI


TERBANGUN
(foto by Theo)

Setiap orang  berharap untuk dirinya sendiri mempunyai kehidupan yang aman dan sejahtera. Namun, bebebrapa orang tidak menaydari bahwa untuk meraih kehidupan seperti itu memerlukan perjuangan. Ada beberapa orang yang hanya ingin mendapatkan segalanya dengan cara instan, tanpa memikirkan cara yang ditempuhnya baik atau buruk. Banyak orang tidak peduli pada proses. Yang penting adalah hasilnya bisa hidup enak. Perkara orang lain dirugikan karena akibat proses yang dilakukan oleh dirinya salah, itu bukan urusannya. Mansia jatuh pada hedonisme dengan cara tanpa peduli orang lain dan alam sekitar. Banyak orang tidak dalam keadaan yang  BANGUN., SADAR. AWARENESS. Itu mungkin kata-kata yang tepat.



Awal tahun lalu (2017) saya melakukan segala sesuatu dengan niat dan semangat yang diusahakan untuk tetap bernyala semaksimal mungkin. Akhirnya di bulan yang mendekati ujung pada tahun 2017 ini saya merasa  berhasil untuk beberapa hal dan  berlalu dengan baik. Namun, untuk beberapa hal masih perlu usaha yang lebih lagi untuk mencapainya. Ketika saya duduk untuk merenung di ujung hari, saya melihat  ada juga hal-hal yang  saya lakukan begitu semberono dan tanpa perhitungan. Dengan kata lain saya melakunanya sepertinya terbuai dengan kemauan diri, tanpa melihat kepentingan orang lain. Ketika saya melakukannya  dan melihatnya dalam keadaan saya  benar-benar terjaga.  Sauya melihat dengan penuh kesadaran.



Kesadaran muncul. Itu yang penting. Meski saya  tahu bahwa untuk memulai lagi dan kembali pada diri sendiri terkadang tidaklah mudah. Masih linglung mungkin. Kita belajar dan kita memang terus belajar. Dalam proses belajar itu carut marut pasti ada. Ya… tidak apa-apa. Karena belajar itu talk ada kesudahannya.



Saya pernah membaca kutipan dalam tembang  Bahasa Jawa :



pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha”
(Jangka Jayabaya)



Kesadaran merupakan kondisi dasar dari Pengendalian Diri dan Kesahatan Jiwa untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Kesadaran bukan hanya dibutuhkan oleh seorang, maka kesadaran itu sangat penting untuk menjalani hidup. “Sadar, Sadar, Sadar,  … kedamaian dan harmonis akan datang menyongsongmu”



Anthony de Mello berkata bahwa spiritualitas  berarti bangun-terjaga. Kebanyakan orang  (sadar ataupun tidak) hidup dalam keadaan tertidur. Kita tidak menyadari kebaikan dan keindahan dalam keberadaan kita. Kita asyik dengan hal-hal lain yang kita sebut masalah. Kita asyik dengan dunia yang kita ciptakan sendiri. Kita terbuai dan merasa sudah sangat benar untuk beberapa hal yang kita lakukan. Benarkah?  Kita memang sering tertidur.



Anthony de mello mengajarkan banya mengenai “Bangun”. Banyak orang yang sebenarnya tidur dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Sebagai contohnya, lakukan pengamatan di sekeliling Anda, dan perhatikan orang-orang tersebut. Mereka semua sibuk atau terbenam dengan masalah yang ada di dalam diri mereka sendiri. Orang yang sedang berjalan di jalan, sedang terbenam dalam pikiran tentang hubungan dengan kekasihnya. Orang yang sedang berjalan di pasar, sedang memikirkan anak-anaknya. Semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing.



Bacaan di bawah ini disadur dari site Master Anthony de Mello:


“Ada sebuah cerita mengenai seorang murid yang datang kepada gurunya dan bertanya, “Dapatkah guru memberikan pesan bijiak kepadaku? Dapatkah guru mengatakan pesan yang akan membimbing saya melalui hari-hariku?” Hari itu adalah hari sang guru untuk berdiam diri, maka dia mengambil papan dan menuliskan, “Kesadaran”. Ketika si murid melihatnya, dia berkata, “Itu terlalu ringkas. Dapatkah guru menjelaskannya sedikit?” Maka guru tersebut mengambil papan tersebut kembali dan menuliskan, “Kesadaran, kesadaran, kesadaran”. Murid itu bertanya lagi, “Ya, tetapi apa artinya?” Guru tersebut kembali kepada papan tersebut dan menuliskan, ““Kesadaran, kesadaran, kesadaran, artinya – kesadaran”.



Hal itu berarti melihat ke dalam diri. Tak ada seorangpun yang dapat menunjukkan bagaimana kita harus melakukannya, karena kesadaran  akan memberikan kita sebuah cara, dia kemudian akan memprogram kita. Tetapi hanya dengan mengamati diri sendiri. Ketika kita berbicara, apakah kita sadar bahwa kita sedang berbicara? Ketika kita sedang marah terhadap seseorang, apakah kita sadar bahwa kita sedang marah atau adakah kita mengenali kemarahan kita itu?

Kemudian, ketika kita memiliki waktu, apakah kita mempelajari pengalaman kita dan berusaha untuk mengertinya? Dari mana hal tersebut datang? Apa yang membawanya? Saya tak tahu cara lain untuk menuju kepada kesadaran. Kita hanya dapat berubah atas sesuatu yang kita pahami. Jika kamu tidak paham dan tidak menyadarinya, maka kamu hanya menekannya. Kamu tidak mengubahnya. Tetapi ketika kita memahaminya, maka hal tersebut akan berubah.”



Saya akan berusaha bangun dan terjaga untuk setiap detik saya.  Kurun waktu dari  tahun  ke tahun akan sangat panjang kalau kita melihat dan menghitungnya dari sekon demi sekon. Namun satu tahun adalah waktu yang pendek bila kita menjalaninya dan menyadarinya bahwa belum banyak yang bisa kita lakukan untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan Tuhan.



Mari kita belajar untuk terus terjaga pada setiap hal yang kita lakukan dan kita alami.



(Ch. Enung Martina)

Sabtu, 21 Oktober 2017

BELAJAR DARI SPIRITUALITAS SANTO AMBROSIUS


Hari ini, Sabtu, 21 Oktober 2017. Kami guru-guru di sekolah St. Ursula  berlibur karena ini perayaan santa pelindung kami, Santa Ursula. Tadinya saya berniat menghabiskan waktu bersama orang-orang yang terkasih di rumah atau jalan-jalan. Namun, niat itu surut karena hari ini saya diundang untuk ikut rapat karya di gereja saya, St. Ambrosius, Vila Melati Mas. Wah, liburan saya bersama Santo Ambrosius jadinya. Namun, hari ni saya mendapat pelajaran yang banyak dari santo yang satu ini.

Santo Ambrosius, Uskup dan Pujangga Gereja

Untuk mengetahui riwayat hidup St. Ambrosius silakan baca link di atas!

Saat ini saya akan berbicara tentang pribadi  Santo Ambrosius yang membuat dia menjadi seseorang yang unggul sehingga dikenang dalam sejarah Gereja.

Bila dilihat di Vatikan, patung St. Petrus ditopang oleh 4 patung yang lain, yaitu: patung St. Agustinus, St. Ambrosius, St. Atanasius, dan St. Yohanes Krisostomus. Dua santo yang pertama adalah santo yang berasal dari Gereja Barat dan yang kedua terakhir adalah santo dari Gereja Timur. Keempat patung itu melambangkan persatuan anatara Barat dan Timur yang menopang tahta St. Petrus di Vatikan.

Keempat santo inilah yang melawan ajaran bidaah pada masa itu dan tetap menegakkan ajaran Gereja yang hidup dan  kita kenal hingga sekaarang.

St. Ambrosius adalah seseorang yang berani menyuarakan pendapat untuk melawan ajaran bidaah (Arianisme) pada masa itu. Aliran Arianisme pada saat itu sangat dekat dengan sumbu kekuasaan (politik). Istri kedua Kaisar Valentianus, Yustina dan anaknya  Theodosius adalah pengikut Arianisme. Seperti pada zaman sekarang, politisasi agama sudah ada. Maka Yustina mengangkat uskup tandingan, Uskup Dionesius yang sepaham dan setia kepadanya.

Sekedar pengetahuan Arianisme adalah bidaah/ heresy yang muncul di awal abad ke -4 (319). Ajaran ini dianggap bidaah karena mengajarkan ajaran sesat dalam hal Trinitas dan Kristologis. Bidaah ini diajarkan oleh Arius, seorang imam dari Alexandria, yang ingin menyederhanakan misteri Trinitas. Ia tidak bisa menerima bahwa Kristus Sang Putera Allah berasal dari Allah Bapa, namun sehakekat dengan Bapa. Maka Arius mengajarkan bahwa karena Yesus ‘berasal’ dari Bapa maka mestinya Ia adalah seorang ciptaan biasa, namun ciptaan yang paling tinggi. Arius tidak memahami bahwa di dalam satu Pribadi Yesus terdapat dua kodrat, yaitu kodrat Allah dan kodrat manusia.

Seperti yang selama ini diketahui St. Ambrosius adalah seorang ahli hukum. Maka beliau sangat memahamai duduk perkara berbagai permasalahan secara hukum. Keahliannya dalam bidang hukum mampu membawa dia mendamaikan perseleisihan pihak pengikut Arianisme dan Trinitanisme.

Kemampuan lain yang menjadi keunggulan St. Ambrosius adalah bakat berbahasa. Ambrosius fasih berbahasa Latin dan Yunani yang merupakan Bahasa yang digunakan dalam dunia ilmu pengetahuan dan juga pergaulan antarbangsa pada masa itu. Kemampuan inilah yang membuat Ambrosius dapat menyatukan Gereja Barat dan Gereja Timur.

Selain itu kemampuan berbahasa ini juga yang membuat Ambrosius menulis beberapa karya pemikirannya yang dibukukan. Karyanya ini menjadi khasanah pustaka yang berharga untuk Gereja.

Pendidikan keluarga yang memmbesarkan dan mendidik Ambrosius mampu menjadi dasar kepribadian Ambrosius yang peduli, terbuka, dan bertanggung jawab. Konon dikisahkan bahwa Ambrosius selalu membuka pintunya untuk umatnya yang membutuhkan bantuannya.

Nenek moyang Ambrosius dikisahkan merupakan pemeluk Kristen yang taat  pada masa Kaisar Nero yang kejam. Leluhurnya  mendapat perlakuan keji bersama dengan para pengikut Kristus yang lain pada masa itu.

Ambrosius mempunyai 2 orang kakak, yaitu Marcelina dan Satyrus. Kedua kakanya juga memberikan inspirasi pada Ambrosius. Marcelina adalah seorang perempuan selibater yang menjaga kesucian dirinya. Keteladanan kakanya, Marcelina membawa Ambrosius untuk selalu mengagungkan kesucian. Dari kakaknya Satyrus, Ambrosius belajar tentang keredahan hati. Saat adiknya menjadi uskup, Satyrus mengabdikan diri untuk melayani adiknya dengan menjadi ahli hukumnya dan menyediakan finansial. Juga menjadi anak laki-laki yang mengurus keluarganya, kakak perempuannya, Marcelina.

Pelayanan Ambrosius di Milano tanpa kenal lelah. Milano adalah sebuah wilayah keuskupan yang besar. Namun, Ambrosius selalu berkeliling untuk melawat umatnya di wilayah keuskupannya. Karena itu St. Ambrosius diabadaikan sebagai seorang uskup yang menunggang kuda pada beberapa patung karya para seniman pada masanya. 

Santo Amrosius adalah orang yang sangat menghargai keheningan. Beliau berpendapat keheningan akan membawa pada ketenangan pikiran. Saat pikiran tenang, orang akan dekat dengan Sang Pencipta. Keheningan membawa pada kedalaman pikiran yang membawa pada Sang Pencipta. Iman lahir dari pengetahuan. Pengetahuan ada karena pendengaran. Orang bisa mendengarkan kalau ada keheningan. Karena itu kendalikanlah lidahmu! Hati-hati dengan kata-kata karena bisa menjerumuskan diri seseorang. Pilihlah kata-kata yang membangkitkan kebaikan. Kata-kata akan terbukti dengan karya nyata.

Karena Uskup Milan mencintai keheningan pada masa itu, maka banyak orang mencintai Kitab Suci. Keheningan mengantar seseorang pada Sabda Tuhan. Belajar mendengarkan Sabda Tuhan dari Kitab Suci. Kitab Suci selalu baru bila kita membacanya dengan hati yang hening. Itulah yang membawa seseorang pada pembaharuan diri yang terus-menerus “ecclesia semper reformanda”.

Saat secara aklamasi Ambrosius terpilih menjadi uskup, Ia bersedia menerima tugas tersebut meskipun dia tahu bahwa dia tidak mampu. Ada kesiapsediaan pada diri Ambrosius yang membawa beliau siap bekerja sambil belajar. Ambrosius melakukan tugasnya sambil belajar dari guru yang mumpuni( Imam Simplisianus) juga dari pengalaman yang diperolenya dalam proses dia menjalankan tugas. Ambrosius tidak gentar sebelum melakukan tugas. Dia menyediakan diri untuk bekerja melayani dan belajar.

Berangkat  dari pendidikan keluarga, pendidikan hukum yang dimilikinya, dan pengalamannya bekerja di bidang hukum serta sebagai Gubernur Milano, membawa Ambrosius pada suatu kepiawaian untuk berbicara dengan baik. Beliau dikenal sebagai seorang orator yang ulung. Kata-kata Ambrosius bukan kata-kata indah yang kosong dan klise, tetapi kata-kata indah yang berisi dan mendalam. Dia mengatakan: ‘Setiap kata yang keluar dari mulutku bukan kata-kata yang malas.”

Keuskupan Milano pada masa itu dikenal sebagai keuskupan yang umatnya guyub. Ambrosius juga menyederhanakan liturgi agar bisa diterima umatnya. maka dikenal dengan liturgia Ambrosius. Beliau juga menciptakan lagu-lagu yang dikenal dengan lagu-lagu Ambrosian. 

Demikian beberapa spiritualitas yang bisa kita teladani dari seorang tokoh gereja pada masa silam ini. Pemikirannya hingga saat ini masih relevan dengan dunia kita yang hingar bingar dengan kejadian di dunia nyata dan dunia maya (yang terkadang banyak hoax-nya). Beliau mempunyai karakter sebagai  pekerja keras, mencintai keheningan, berkata-kata dengan baik, melihat perkara tidak memihak,bertanggung jawab,  memiliki kejujuran, keterbukaan, kesiapsediaan, pemersatu, pembelajar, rendah hati, mengedepankan karya bukan kata-kata, mempunyai ketegasan, berani mengatakan tidak pada hal yang tidak benar, melayani dengan total, dan berani menderita untuk sesuatu yang benar. Karakter tersebut bisa kita teladani untuk masa kita sekarang dalam bekerja dan melayani di tempat kita bekerja, di keluarga, di Gereja, dan di masyarakat umum. (Ch. Enung Martina)







Senin, 02 Oktober 2017

STRAWBERRY GENERATION




Setiap hari Selasa saya bertugas piket. Biasanya saya akan mengambil tempat pagi hari untuk berpiket di tempat favorit saya, yaitu di bawah pohon nangka. Spot itu paling saya sukai karena  berdekatan dengan tempat penyebrangan dari lapangan parkir yang berlokasi di unit SD. Jadi setiap orang yang akan pergi ke SMP dan SMA atau TK akan melewati tempat saya berdiri. Biasanya saya berdiri di situ sambil mengawasi anak-anak berlalu lalang menuju kelasnya masing-masing. Saya senang karena bisa menyapa mereka dan melihat bagaimana mereka dengan berbagai ekspresi menuju kelasnya.
Aneka ekspresi yang biasanya saya lihat. Ada yang tersenyum manis siap menyongsong hari. Ada yang cemberut bermuka bete. Ada yang nampak berbeban berat. Ada yang kalem melangkah dengan pasti. Ada juga yang tak peduli melangkah dengan serampangan. Berbagai ekspresi tersebut menunjukkan isi hati yang tak bisa saya ketahui.
Suatu pagi di hari Selasa yang cerah, tepatnya 3 Oktober 2017, saya terkagetkan karena di sebrang jalan dari parkiran SD ada seorang ibu dengan  Pak Rio, kawan saya guru SD yang sedang piket dekat pos satpam, mereka menggandeng seorang anak SMP. Lha itu berarti murid saya anak SMP karena saya guru SMP.
Lantas atas seijin satpam saya menerobos kendaraan yang berseliweran untuk menyebrang mendekati anak tadi. Lalu saya menyebrang dan memastikan anak tersebut. Rupanya salah seorang anak perempuan dari kelas VIII-C. anak itu sudah dibawa masuk ke pos satpam. Ketika saya jenguk dia sedang dalam keadaan kejang.
Lalu ibu yang menggandengnya tadi (ternyata itu mamanya) menyatakan bahwa  anak ini kena serangan kejang dan sesak nafas  takut diejek temannya karena salah seragam. Anak ini akan mengalami serangan seperti itu kalau dia merasa takut dan tak  bisa mengatasai sesuatu.
Agak lama saya menenangkan dia. Namun, usaha saya tak ada hasil. Karena dia masih kejang. Akhirnya dia dibawa pulang. Hari itu dia tidak masuk sekolah.
Lantas saya berkomentar dalam hati. Walah, kalau hanya gara-gara salah seragam saja dia sudah mendapat serangan kejang. Apalagi kalau mendapat tekanan permasalahan yang berat. Apa yang akan terjadi. Betapa rapuhnya mental anak ini. Lantas saya mengingat masa SMP saya pada akhir tahun 70-an yang penuh dengan banyak tantangan. Termasuk saya di-bully oleh teman dan guru saya karena saya beragama katolik.
Jadinya pagi itu saya melihat perbedaan antara generasi saya dan generasi anak sekarang. Zaman saya dulu berjalan kaki ke sekolah dengan jarak 5 km sudah biasa. Kepanasan dan kehujanan bukan masalah. Bahkan, perlakuan dari guru yang mendidik pun lebih keras daripada saya yang jadi guru sekarang pun kami alami. Itu pun tak menjadi masalah, malah menjadikan mental kami sekuat baja.
Sementara anak sekarang mendapat tantangan dan kesusahan sedikit saja sudah mengeluh panjang pendek. Inilah yang membaut para pengamat dan para ahli pendidikan melihat anak sekarang sebagai generasi stoberi. Generasi yang manis tetapi lembek di dalam. Rapuh dan mudah terlukai.
Dari bentuk dan warnanya, strawberry itu menawan. Namun, di balik keindahannya, ia ternyata begitu rapuh. Itu adalah ilustrasi dari strawberry generation. Sebuah bagian dari suatu generasi yang rapuh meski terlihat indah. Demikian Rhenald Kasali menggambarkan anak-anak di generasi ini.
Strawberry Generation didefinisikan Rhenald sebagai generasi yang penuh dengan gagasan kreatif, tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Generasi yang menginginkan perubahan besar, tetapi menuntut jalan pintas dan berbagai kemudahan.

Apa akibatnya jika mereka tidak dapat memeroleh semua hal dalam waktu singkat? Mereka—strawberry generation—akan mudah marah, cenderung berputus asa, lantas menyerah sebelum mencapai apa yang dinginkan. Sayang sekali, bukan?

Perlu diketahui bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang instan, yang diperoleh dengan jalan-jalan pintas. Kesuksesan membutuhkan waktu, ketekunan, dan kesabaran. Seperti yang Rhenald selalu katakan, untuk menjadi seorang yang sukses, mental “passanger” harus diubah menjadi “driver”; “fixed mindset” harus diganti dengan “growth mindset”.

Menurut Rhenald, kesuksesan tidak bisa diraih melalui jalan pintas. Maka, mentalitas rapuh itu harus diubah. "Passenger" harus menjadi "driver". Fixed mindset digantikan growth mindset. Itulah tugas orang tua, guru, Gereja, lembaga keagamaan lain, organisasi, dan masyarakat  untuk mendidik mereka ini siap menghadapi tantangan. Siap mengarungi lautan kehidupan yang tidak mudah. Siap bila suatu saat harus terluka. Siap bila suatu saat harus gagal. Karena kita tahu bahwa hidup terbentuk juga karena adanya kesalahan dan kegagalan. Kesempurnaan  manusia itu karena adanya carut marut yang membaut semuanya menjadi indah pada saatnya.
(Ch. Enung martina)