Minggu, 09 Oktober 2016

RUMAH ANYO

Anyo, adalah sebuah nama yang tak asing bagi telinga saya. Nama ini membawa saya pada satu perasaan sendu, cinta, dan kagum. Rasa sendu karena mengingatkan pada peristiwa duka yang menimpa keluarga dan orang-orang yang mencintai Anyo atas kepulangannya ke Rumah Bapa. Cinta karena menghubungkan rasa kasih yang mengalir antara saya sebagai gurunya dan Anyo sebagai murid. Kagum karena perjuangannya untuk hidup.

Andrew Manulang, begitu ia dikenal di kalangan sekolah kami Santa Ursula BSD. Seorang anak yang terbit dalam ingatan saya adalah anak remaja dengan badan tinggi besar dan kepala gundul pelontos karena akibat kemoterapi yang dijalaninya. Anyo begitu nama panggilan untuk pemuda yang mengagumkan itu.

Anyo divonis terkena lekemia pada saat duduk di kelas IV SD. Dokter menyatakan bahwa saat lulus SD anak ini akan meninggal dunia. Namun, kenyataan berbicara lain, anak ini masih diberi kesempatan untuk memberikan inspirasi untuk banyak orang, termasuk saya. Saya mengenalnya saat dia berada di SMP. Akhirnya dia berpulang pada saat dia menjadi mahasiswa.

Hari Selasa, 6 September 2016, kami 4 orang guru pergi berkunjung ke rumah singgah untuk anak penderita kanker di bilangan Slipi, jakarta Barat. Rumah singgah itu bernama Rumah Anyo. Rumah Anyo memang mengacu pada satu nama yang saya sebutkan di atas. Andrew Manulang.

Orang tua Andrew Manulang mendirikan Rumah Anyo ini yang didedikasikan untuk putra mereka. Rumah ini diperuntukkan bagi pasien penderita kanker dan  keluarga  yang sedang berobat serta tidak punya tempat tinggal. Terutama dari kalangan prasejahtera.  Di rumah singgah inilah penderita kanker dan orang tuanya bisa tinggal selama berobat di Jakarta (RS Dharmais).

Ketika kami berkunjung ke sana, ada 13 anak dari rentang usia 3 tahun sampai 16 tahun yang menjadi penghuni di rumah ini. Ingatan saya menerobos pada sosok Andrew Manulang. Melihat mereka, para penghuni Rumah Anyo, kita melihat ada persamaan di antara mereka, yaitu kepala gundul. Rambut rontok akibat kemoterapi yang mereka jalani.

Ada beberapa nama yang masih saya ingat ketika saya berkenalan dengan mereka. Satu nama yang saya ingat dengan jernih,  yaitu Gibran. Nama ini saya ingat betul mungkin karena namanya yang mengingatkan pada seorang tokoh dunia, Khalil Ghibran.  Selain itu juga karena pembawaannya yang lucu, ceriwis, dan berani. Bocah berusia 3 tahun ini menderita leukemia. Namun, bila dilihat dari keceriaannya, tak ada yang menyangka bila anak ini sakit.

Dengan semangat Gibran bernyanyi bersama teman-temannya:
Satu-satu, daun-daun berguguran, tinggalkan tangkainya
Satu-satu burung kecil beterbangan, tinggalkan sarangnya
Jauh, jauh, tinggi ke langit yang biru

Andaikan aku punya sayap, ku kan terbang jauh mengelilingi angkasa
Kan ku ajak ayah bundaku terbang bersamaku melihat indahnya dunia

Suara mereka mengambang di udara Jakarta  yang basah sore itu. Suara beningnya menembus langsung ke jantung saya.Saya perempuan paruh baya yang cengeng. Namun, saya berusaha untuk tidak menangis mendengar nyanyian mereka.

Dalam kepala saya berkecamuk mempertanyakan yang sehararusnya tidak perlu saya tanyakan. Mengapa ada penderitaan? Mengapa anak-anak polos itu harus menderita? Dan banyak lagi pertanyaan yang menandakan keegoisan saya dan kedunguan hati yang  saya lontarkan.


Namun semua jawabannya ada pada kata-kata Sang Maestro. Karena : Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tidak memiliki, pun tidak ingin dimiliki. Karena cinta telah cukup bagi cinta (Khalil Gibran)
Ch. Enung Martina