Kamis, 16 Juni 2011

ADA KALANYA

Ada kalanya kita menjumpai sesuatu hal yang merupakan atribut menjadi lebih penting daripada subjek. Dalam keagamaan ada kalanya kita menemukan ibadat lebih penting daripada kasih. Demikian pula symbol lebih penting daripada makna. Kulit lebih penting daripada isi. Begitu juga konsep lebih penting daripada realitas.

Sifat dasariah manusia yang selalu merasa kurang dan tidak pernah puas, barangkali itulah yang membuat manusia terkadang lebih mementingkan hal yang materi daripada yang hakiki.

Kecenderungan yang demikian semestinya bisa dikurangi bila manusia kembali menaydari tujuan dan makna hidupnya. Bagi yang mengaku dirinya orang beriman menyatakan bahwa tujuan hidupnya pada akhirnya adalah TUHAN, dan alam semesta adalah sarana.

Agar manusia selalu mengingat tujuannya itu, manusia memerlukan kesadaran yang terus menerus. Anthony de Mello menyatakan bahwa kesadaran itu merupakan jalinan pengetahuan yang berproses sehingga menggerakkan kita pada kebenaran.

Kebenaran tidak ditentukan oleh perintah, himbauan, system nilai yang diyakini, atau pendapat seseorang. Kebenaran itu mutlak.

Manusia akan selalu berubah dan terus berubah untuk mencapai pusat hidupnya. Mencapai tujuannya. Untuk bisa sampai ke pusat hidupnya manusia harus kembali ke Fitrah. Kembali pada kesuciannya.

Untuk sampai pada tujuan akhirnya itu, manusia sering terperosok. Untuk mengurangi keterperosokannya maka kesadaran tadi diperlukan oleh manusia. Kesadaran seseorang bisa dilatih, tapi bisa juga datang dengan sendirinya. Kesadaran bisa dilatih dengan bersekolah, menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, berbagai kegiatan rohani melalui retret, rekoleksi, gladi rohani, berbagai pelatihan mental yang terbimbing, juga kesadaran bisa terasah melalui refleksi dan doa.

Diharapkan dengan berbagai latihan kesadaran, orang bisa kembali menyadari tujuan hidupnya dan makna hidupnya. Tidak sekedar mementingkan hal yang Nampak saja, melainkan lebih jauh ke hal yang esensi. (NUNG MARTINA)

Senin, 13 Juni 2011

CATATAN tentang KEBEBASAN

Dari SAAT TUHAN TIADA karya A. Setyawan, SJ

Aku bebas, sebebas air hujan turun di bumi: di semak ia menumbuhkan duri, di kebun ia menumbuhkan bunga. Aku bebas sebebas air yang mengalir di gunung: di tempat curam ia mengalir deras, di tempat landai ia bisa membuat banjir. (Saat Tuhan Tiada, A. Setyawan, 1999, hal.73).

Bebas akan berarti benar-benar BEBAS kalau kita dalam keadaan sadar. Dalam kesadaran sempurna kita bisa bebas sebebas-bebasnya.

Seperti air, ia bebas. Air mengalir mengarah ke pusat gravitasi, pusat bumi. Kalau begitu dalam pribadi kita yang bebas ini, kita juga harus mempunyai pusat hidup agar bisa sebebas air. Tuhan adalah inti yang tidak berinti. Tuhan inti yang tak terbatas, yang sempurna. Suara hati menjadi titik temu anatar Tuhan dan manusia.

Seseorang yang bebas adalah ketika ia memiliki kekayaan tanpa takut kehilangan, ketika sehat tanpa takut sakit, ketika dipuji tanpa takut dicela, ketika dihormati tanpa takut dijelekkan. Namun beberbeda dengan ketika seseorang tidak bisa melihat hidup secara menyeluruh. Ketika ia terpaku pada barang, peristiwa, atau orang tertentu. Ketika kita hidup dalam tempurung tertentu, kita sungguh tak bisa menikmati hidup yang sangat kaya. Ia tidak bebas. Ia tidak bisa menikmati kehidupan.

Ketika seseorang menjadi manusia yang bebas, ia bisa melangkah menuju keutamaan yang lepas bebas dengan memilih sesuatu secara sederhana, ugahari. Berbeda dengan situasi demikian: menjadi kaya, sehat, dan terkenal, tetapi diwarnai oleh kesakitan. Itulah ilustrasi tentang: Memiliki seluruh dunia, tapi kehilangan nyawa.

Namun inti dari kebebasan sejati itu adalah KESADARAN. Kesadaran akan realitas yang ada di sini dan sekarang. Orang yang memiliki kesadaran tak akan pernah merasa terpaksa karena ia memiliki kebebasan memilih. Hal itulah yang akan membawa pada pengalaman rohani yang mendalam. Begitu katanya.

Wah,… mau sadar saja kok ya tidak mudah, ya. Selamat meraih kesadaran diri untuk bisa menggapai kebebasan sejati.