Minggu, 25 November 2018

FILM INDIA: FILM TAARE ZAMEN PAR






Retret tahun 2018 membawa saya pada sebuah film lama bertema pendidikan yang diproduksi 11 tahun silam ( tahun 2007). Nammun, film ini tetap relevan dengan dunia pendidikan dan profesi saya sebagai seorang pendidik. Film ini berjudul TAARE  ZAMEN PAR.



Taare Zameen Par (Seperti bintang-bintang di Bumi?) adalah sebuah film drama India tahun 2007 yang diproduksi dan disutradarai oleh Aamir Khan. Film ini mengeksplorasi kehidupan dan imajinasi Ishaan, anak disleksia berusia 8 tahun. Meskipun dia unggul dalam seni, tetapi  kinerja akademisnya sangat parah sehingga orang tuanya  mengirimnya ke sebuah sekolah asrama. Dari sekian guru yang mengajar Ishaan, tak ada satu pun yang menyadari bahwa anak ini mempunyai kelainan dalam belajar. Seorang guru seni rupa yang masih honorer melihat dan menyadari  bahwa anak ini  adalah penderita disleksia.  Bagi para guru yang lain Ishaan hanyalah anak bandel, malas, dan bodoh.

Ishaan Nandkishore Awasthi tidak suka sekolah dan gagal setiap tes atau ujian. Ia menemukan semua mata pelajaran yang sulit.  Karena ketidakmampuannya  itu, ia  diremehkan dan dimarahi oleh guru dan teman sekelasnya. Namun, dunia internal (imajinasi) Ishaan penuh dengan keajaiban yang dia tidak dimiliki oleh anak-anak  lain. Imajinya begitu hidup dan berwarna:  tempat-tempat  magis yang penuh dengan warna,  dunia animasi hewan yang imajinatif, dan benda-benda ajaib yang tak ditemukan di dunia nyata. Sebenarnya ia  adalah seorang calon seniman yang berbakat. Namun, sayangnya tak satu orang pun yang melihat itu, termasuk kedua orang tuanya.

Ayah Ishaan, Nandkishore Awasthi, adalah seorang eksekutif yang sukses dalam karirnya. Ia  mengharapkan anak-anaknya menjadi anak yang sukses seperti dirinya. Ibu Ishaan bernama Maya Awasthi, ia seorang perempuan yang meninggalkan karirnya demi mengurusi keluarga, khususnya kedua buah hatinya. Maya sering merasa frustrasi karena  ketidakmampuannya  untuk mendidik anaknya, Ishaan. Kakak Ishaan, Yohaan, adalah seorang murid  teladan dan juga atlet tenis, yang mengerti Ishaan.  

Setelah menerima laporan akademik semester pertamam di kelas 3 SD yang sangat buruk, orang tua Ishaan mengirimnya ke sebuah sekolah berasrama. Dengan harapan agar anak ini bisa lebih disiplin dan fokus dalam  belajar serta  tidak  malas atau bandel lagi.

Di sekolah asrama tersebut, Ishaan  tenggelam ke dalam ketakutan dan depresi karena jauh dari keluarga, tidak punya teman,  dan takut menghadapi sekolah yang disiplin dan tanpa ampun.  Namun,  ada salah satu anak bernama  Rajan Damodharan, seorang anak cacat fisik (memakai kursi roda),  yang mau berteman dengan Ishaan.  Karena kesepian dan depresinya yang mendalam,  ia bahkan memikirkan untuk  bunuh diri dengan terjun dari balkon.  

Sampai akhirnya ada seorang guru baru bernama Ram Shankar Nikumbh (Aamir Khan). Guru ini menemukan hal yang berbeda dari Ishaan. Dengan kesabaran dan kerja keras tanpa putus asa, pak guru muda ini mendampingi Ishaan.  Bapak  Ram Shankar Nikumbh melatih Ishan sedikit demi sedikit untuk  membaca, menulis, melukis dan juga  menghitung dengan cara naik turun tangga. Hingga akhirnya,  Ishaan bisa memahami pelajaran dan menjadi seperti layaknya anak anak lain.

Pada akhir tahun pelajaran bapak Ram Shankar Nikumbh mengadakan lomba melukis yang di ikuti oleh semua siswa  dan para guru. Namun,  pada saat lomba itu berlangsung,  Ishaan menghilang, tak nampak di antara  para peserta lomba. Ram Shankar Nikumbh mencari Ishaan dan menanyakan ke sahabat Ishaan, Rajan Damodaran,tetapi dia tidak tahu dimana Ishaan berada.

Akhirnya, setelah lomba berselang cukup lama, Ishaan datang untuk mengikuti perlombaan tersebut. Ishaan melukis dengan imanijasinya yang tinggi. Semua imajinasinya ia tuangkan dalam karyanyaa sehingga hasilnya nampak hidup dan berwarna.  Tibalah saatnya para  juri menilai karya para peserta lomba.  Ada 2 karya terbaik dalam lomba itu yaitu karya Ram Shankar Nikumbh dan   lukisan Ishaan Nandkishore Awasthi. Dengan berbagai pertimbangan, para juri akhirnya memutuskan karya Ishaan-lah yang terbaik.

Pembagian rapot kenaikan pun tiba. Para orang tua datang untuk menerima hasil laporan belajar anak-anaknya dan juga sekalian menjemput mereka untuk berlibur. Demikian pula orang tua Ishaan pun datang menjemputnya. Betapa kagetnya kedua orang tuanya, karena nilai Ishaan baik. Tak kalah membaggakannya karena lukisan Ishaan menjadi sampul belakang  buku tahuanan sekolah, sementara wajah Ishaan (lukisan karya Ram Shankar Nikumbh)  menjadi sampul depan .   

Tentu saja keluarganya tak menyangka ini terjadi pada anaknya. Mereka sangat bangga akan prestasi Ishaan.  Berkat kepedulian, kesabaran, dan ketelatenan, serta perhatian seorang guru; Ihsaan akhirnya selamat dari kegelapan yang selama ini menyelimutinya. 





Selamat hari guru untuk semua guru di seluruh pelosok Tanah Air! Ibu dan Bapak adalah para pahlawan nyata di zaman now! Kiranya kisah seorang guru Ram Shankar Nikumbh yang masa kecilnya mengalami disleksia menjadi inspirasi untuk kita semua dalam menjalankan tugas mulia kita. Saya teringat para guru saya yang sudah sepuh dan yang sudah tiada. Bagimu, guruku doa dan hormatku. (Ch. Enung Martina)

Senin, 19 November 2018

CINTA DAN RASA AMAN




Ada sejenis pohon di Pulau Salomon untuk menebangnya tidak perlu gergaji atau peralatan lainnya. Warga cukup berkumpul lalu melakukan ritual memaki-maki pohon itu. Pada hari ketiga pohon itu layu dan warga tinggal menggunakannya.

Begitu dahsyatnya kata-kata. Sama dengan manusia ketika seorang anak terus dicaci maki, maka dia pun lama-kelamaan akan layu dan mati secara mental, bahkan fisiknya juga. Kata-kata berpengaruh terhadap pertumbuhan kepribadian seorang anak.

Pertumbuhan pribadi seorang anak dimulai ketika ia merasa dicintai dan merasa aman. Cinta dan rasa aman akan membawa anak apda rasa percaya diri dan juga tumbuh cinta adalam hatinya. Modal percaya diri dan rasa cinta ini akan menjadi investasi besar dalam pertumbuhan pribadi seorang anak. Dengan investasi dalam dirinya seorang anak kelak akan juga mampu mencintai dan menghargai orang lain dalam kehidupannya. Rasa empati akan tumbuh subur dalam diri mereka.

Saya memperhatikan pertumbuhan ketiga anak saya. Khususnya yang 2 anak yang bukan remaja lagi. Mereka sekarang sudah menjadi anak-anak dewasa yang sudah bekerja dan berkarya dalam dunia yang mereka pilih.  Saya mengalami tahun-tahun emas dalam pertumbuhan mereka. Senyatanya setiap  usia dalam kegidupan anak itu tahun emas karena tiap usia mempunyai tantngannya tersendiri dan memerlukan relasi yang pas untuk tiap usia.

Namun, tahun emas yang selalu diperbincangkan para ahli pertumbuhan anak adalah usia Antara 0-5 tahun sebagai tahapan pertama, lalu tahap berikutnya dari 5-11 tahun. Tahap ketiga tak kalah penting saat anak memasuki akil balig yaitu usia 12-15 tahun. Bukan berarti tahapan berikutnya tidak penting. Tahapan masa anak masuk ke SMA mereka sudah lebih bisa mandiri secara fisik juga mental mereka.

Ketiga tahapan itu memerlukan metode pendekatan yang berbeda pada diri anak. Tahap pertama orang tua akan direpotkan dengan hal-hal yang mendukung  pertumbuhan fisiknya seperti makan, minum, memerangi sakit ini-itu, imunisasi, kebersihan, dll. Pendekatan dari sisi relasi tak kalah penting dengan pertumbuhan fisiknya. Kehadiran kedua orang tua pada saat ini membuat anak merasa dicintai dan memiliki rasa aman. Maka, anak akan tumbuh dengan ceria dan sehat secara fisik dan mental.

Tahapan kedua adalah pada masa pertumbuhannya memasuki jenjang pendidikan dasar di Sekolah Dasar. Anak mulai meninggalkan masa kanak-kanaknya menuju masa anak-anak. Pada masa ini bekal cinta dan rasa aman yang besar akan membuat anak punya rasa percaya diri dan patuh pada orang dewasa yang mendampinginya.  Didikan yang diterapkan pada diri anak akan diterima dengan baik meskipun ada kalanya ia juga protes dan mengalami kesukaran untuk beberapa hal. Namun, dengan perasaan dicintai dan rasa aman yang dimilikinya membuat anak ini mempunyai pribadi yang PENUH. Kepenuhan inilah yang membuat anak mampu melalui tantangannya saat dia tidak bisa matematika, tidak mengerti bahasa Indonesia, menghadapi guru yang cerewet dan galak, menghadapi bully dari teman, dan banyak lagi tantangan dalam hidup dia.

Penerapan disiplin yang sesuai dengan usia akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang makin kuat dalam hal tanggung jawab dan kemandiriannya. Nilai kepedulian pada orang di sekitarnya dan juga lingkungan diterapkan sesuai dengan porsinya sehingga sisi kepeduliannya dan penghargaannya juga tumbuh. Sangat penting juga pengembangan nilai religiusitas dari sejak dini diberikan. Buat anak mengandalkan dirinya pada yang transenden sehingga pada saat dia mengalami tekanan dia bisa tetap seimbang.

Pada pertumbuhan kedua tahapan emas ini peran orang tua, terutama ibu sangat dominan. Seorang ibu adalah sosok yang bisa memelihara, merawat, mengerti, mendidik, menerima, sekaligus juga sebagai polisi yang mengawasi dan mendisiplinkan anak. Bila anak merasa sedih, takut, dikucilkan, merasa tak mampu, marah, dan aneka emosi negatif lainnya; ia bisa mengandalkan orang tuanya, secara istimewa IBU.

Bisa dibayangkan seorang anak yang sedih, marah, atau terluka; tanpa sosok orang tua (ibu). Anak ini akan menghadapi emosi negatifnya sendirian tanpa ada orang yang memahami dan berpihak kepadanya. Emosi itu memang nampaknya berlalu pada keesokan harinya, tetapi emosi itu mengendap dari waktu ke waktu dan terbawa menjadi bagian bawah sadarnya. Hingga akhirnya kita menyadari bahwa perilaku pembenrontakan dan pembangkangan anak ini nampak pada saat dia memasuki masa akil balig. Anak menjadi sangat bengal dan susah diatur. Bahkan beberapa kasus orang tua kalah dengan anaknya karena anak sangat berani terhadap orang tuanya. Orang tua tak dihargai lagi oleh anak yang mengalami ketidakhadiran orang tua saat masa-masa sulit pada tahapan emas pertama dan kedua. Ada ruang kosong yang ‘jeglong’ pada mereka sehingga mereka tidak mengalami kepenuhan. Dan kekosongan ini sangat sukar untuk diisi kembali karena masanya sudah berlalu.

Masuk pada masa emas tahap ketiga, masa akil balig. Masa ini susah-susah gampang. Dikatakan mudah, bila dilihat dari kemandirian anak. Usia 12 tahun anak sudah mandiri untuk mengurus makan-minumnya, kebersihan dirinya, pakain,  dan juga urusan pelajarannya. Orang tua tidak perlu repot menyuapi, memandikan, atau mendandani anak. Namun, ada juga tantangan mengahadapi anak akil balig. Anak ini cesara fisik sudah besar, tetapi secara mental masih kekanak-kanakan. Mereka akan tersinggung bila dianggap masih anak kecil, tetapi di sisi lain untuk banyak hal dia masih perlu bimbingan, pendampingan dan kehadiran orang tua.

Masalah yang sering ditemukan pada usia ini berkaitan dengan relasi (dengan teman, guru, orang tua) juga kedisiplinan dalam belajar. Mereka sudah merasa menjadi anak besar dan menyepelekan beberapa hal. Hal ini tentu saja membuat orang tua dan guru yang melihatnya sangat geregetan. Maka akan terjadilah kesalahpahaman yang akan dilanjutkan dengan berbagai drama kehidupan remaja seperti pada adegan sinetron dan drama korea.

Drama keanehan masa akil balig ini tak akan terjadi bila ada relasi yang baik antara orang tua dan anak. Relasi yang baik adalah relasi yang sesuai dengan usianya. Jangan terlalu mendikte anak akrena dia akan memberontak merasa diperlalukan sebagai anak kecil. Namun, juga jangan terlalu dilepas karena ada beberapa yang bisa membahyakan dia. Dampingi layaknya seorang teman yang paham akan keadaanya. Beri kepercayaan dan jangan terlalu banyak mendikte dan melarang. Berbicara dan berdiskusi sebagai teman untuk meminta tanggapan dan pendapatnya. Biasakan terbuka dengan saling mempercayai. Lama kelamaan anak akan merasa aman dan nyaman sehingga dia terbuka pada orang tuanya untuk berbagai permasalahannya.

Penting untuk orang tua mengenali teman-temannya, kesukaannya, bintang idolanya, dan media sosial yang digunakannya. Orang tua yang terkesan ‘gaul’ akan banyak mengenal anaknya dengan dunianya yang tentunya akan membuat mereka merasakan kehadiran orang tua  pada masa akil balig mereka.

Juga tak kalah penting orang tua tidak memaksakan kehendak kepada anak pada usia ini. Cari cara agar apa tujuan yang ingin dicapai bisa diterima mereka dengan masuk akal. Mereka akan bisa menerima apa pun asal mereka paham dan melihat faedahnya bagi mereka.

Anak itu cerminan dari orang tuanya, begitu ungkapan yang sering kita dengar. Agar cermin itu jernih dan tak retak atau pecah, maka tugas kita menjaga, merawat, serta yang paling utama memberikan cinta dan rasa aman pada mereka. Dengan cinta dan rasa aman ini, mereka akan berselancar di dunia mereka dengan penuh rasa percaya diri dan ada di jalan yang benar. (Enung Martina)

Minggu, 04 November 2018

MENGASAH RASA MELALUI PELAJARAN SASTRA



Banyak orang mulai menyadari bahwa keunggulan, keberhasilan dan kesuksesan seseorang bukan semata-mata ditentukan atau diukur dengan kecerdasan intelektual atau IQ. Bila ada sebuah pengujian atau tes IQ, dan orang tersebut mendapatkan hasil yang tinggi belum tentu menjamin aspek psikomotor dan afektif orang tersebut juga baik. Hal  yang dibutuhkan dalam kehidupan bukan hanya kecerdasan dalam menciptakan sesuatu, tetapi juga kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual.

Kecerdasan emosi menjadi salah satu hal yang penting dalam menjalani dan menghadapi  kehidupan dengan berbagai tantangannya. Emosi dihubungkan dengan perasaan seseorang dalam menhdapi suatu hal. Perasaan ini menentukan afeksi/sikap yang akan menjadi pendorong untuk melakukan tindakan.

Mengolah atau mengasah perasaan merupakan bagian dari membangun karakter.  Pendidikan mengasah rasa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bukan hanya melalui penjelasan tentang definisi umum karakter/budi pekerti semata, tetapi melalui pelbagai cara yang dilakukan, salah satunya melalui SASTRA. Tak jarang kita melihat bahwa banyak orang yang terharu dan bahkan meneteskan air mata saat membaca novel, puisi, dan karya sastra lainnya. Di sini tampak bahwa karya sastra juga mampu menyentuh perasaan seseorang dan tentunya juga mampu menumbuhkan karakter seorang pribadi. Melalui karya sastra kita dapat mengasah perasaan, berempati, lebih menghargai orang lain, memperhalus perasaan dan membuat diri kita menjadi lebih mampu memahami orang lain.

Karya sastra banyak mengemukakan permasalahan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan psikologi atau jiwa peserta didik. Maka semakin banyak siswa yang membaca sastra, semakin kayalah siswa akan pengalaman batin sehingga akan terbentuk pribadi yang lebih arif dalam menghadapi problema kehidupan.

Namun, tantangan guru adalah banyak anak yang tidak suka membaca. Inilah yang dihadapi guru Bahasa dan Sastra Indonesia untuk menekankan budaya gemar membaca. Bukan hanya tugas guru bahasa Indonesia,  tugas utama ini juga terkait dengan pengelola pustaka atau pustakawan sekolah untuk menyuguhkan bahan bacaan yang bermanfaat dan berguna untuk membentuk kebiasaan gemar membaca dikalangan sekolah.

Pembelajaran sastra harus berorientasi pada kegiatan pengalaman bersastra bukan pada pengembangan teori-teori sastra. Inilah “PR” bagi guru Bahasa Indonesia (termasuk saya) yang harus terus meningkatkan kemampuan berliterasi dan bersastranya. Seorang guru hendaknya (mampu) memberikan contoh dan memberikan pembelajaran terhadap pendalaman materi sastra.

Sastra itu berbicara tentang kehidupan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa secara kasat mata, pembelajaran sastra di sekolah terlihat hanya sekedar “menumpang” pada pelajaran Bahasa Indonesia saja, meskipun namanya adalah pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Guru terpaksa menjelaskan mengenai sastra hanya berdasarkan teori yang ada di dalam buku, karena waktu yang tersedia tidak mencukupi jika harus mempraktikkan pembelajaran mengenai sastra lebih mendalam.

Dapat kita pahami bahwa pembelajaran sastra di sekolah belum sepenuhnya berjalan optimal. Padahal jika kita cermati, pembelajaran sastra memiliki banyak manfaat, bukan hanya sebagai pelengkap nilai kognitif dalam buku raport, melainkan dapat menjadi sarana pengembangan diri bagi siswa. Seperti yang sudah diungkapkan di atas pembelajaran sastra dapat memaksimalkan pengendalian terhadap kecerdasan emosional serta mengembangkan paradigma berpikir siswa berkaitan dengan kehidupan sosial. Tentunya dengan mempelajari kehidupan masyarakat dalam karya sastra sangat berguna agar anak mampu  berinteraksi dalam hubungan sosial dan diterima dengan baik di lingkungan masyarakat.

Pembelajaran sastra berperan dalam mengasah kecerdasan emosional dan pola pikir siswa. Mengapa demikian? Karena saat membaca karya sastra (contonya novel), secara tidak langsung, siswa ikut beradaptasi dengan alur cerita di dalam novel tersebut. Misalnya saja ketika cerita di dalam novel tengah menyajikan bagian-bagian yang menyedihkan, maka siswa akan terangsang untuk ikut berempati kepada tokoh yang sedang mengalami kesedihan. Begitupun juga jika jalan cerita di dalam novel tengah menggambarkan konflik yang sedang klimaks. Lalu, di saat konflik sudah menurun (antiklimaks) dan solusi sudah didapat, maka penyelesaian konflik pun dapat terwujud dengan baik. Dengan demikian, siswa dapat memetik pelajaran berharga bahwa di setiap kesulitan (konflik), jika mampu mengendalikan diri, maka akan mudah mendapatkan solusi.

Pengendalian diri tersebut termasuk ke dalam aspek kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional dapat ditingkatkan dan dampaknya dapat dirasakan, baik oleh diri siswa sendiri, maupun orang lain yang berada di sekitar mereka. Setidaknya ada 5 aspek yang membangun kecerdasan emosi, yaitu:

1. Memahami emosi-emosi sendiri

2. Mampu mengendalikan emosi-emosi sendiri

3. Memotivasi diri sendiri

4. Memahami emosi-emosi orang lain

5. Mampu membina hubungan sosial yang baik



Gambaran dari kelima aspek tersebut dapat kita temukan di dalam pembelajaran sastra, khususnya dalam karya sastra yang berupa cerita fiksi (cerpen/novel).  Membaca cerpen dan novel dapat membantu siswa dalam memahami emosi para tokoh dan merefleksikannya kepada diri sendiri, serta belajar untuk mengendalikan emosi tersebut.

Kiranya contoh di atas memicu para guru, khususnya guru Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kegiatan bersastra peserta didiknya. Selain dapat mengelola dan mengendalikan emosi dengan baik, efek positif yang didapat oleh siswa adalah dapat memiliki hubungan sosial yang berkualitas. Kemampuan bersosialisasi erat hubungannya dengan keterampilan menjalin hubungan dengan orang lain. Orang yang cerdas secara emosi mampu menjalin hubungan sosial dengan baik dan mampu menghargai orang lain sebagai pribadi yang setara. Dengan bersastra, rasa semakin terasah untuk mampu berempati dengan orang lain. (Ch. Enung Martina)

Sumber utama : Goleman, Daniel. 2000. Emotional Intelligence (Terjemahan). Jakata: PT    Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence           (Terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.