Minggu, 23 September 2018

MENEMUKAN TUJUAN HIDUP



“ Bu, sebenarnya tujuan hidup kita di dunia ini utuk apa?” seorang anak perempuan berusia 15 tahun bertanya pada saya pada satu kali pertemuan di kelas pelajaran bahasa Indonesia.

Semakin tumbuh dewasa seseorang, maka dia akan makin bisa berpikir. Termasuk, dia akan berpikir sebetulnya untuk apa dia melakukan rutinitas-rutinitas yang kadang rasanya itu melelahkan, dan menyebalkan. Seperti misalnya pekerjaan Sekolah, Kuliah, Kantor, bisnis, Rumah tangga, dan lain-lain sebagainya.

Seperti yang dipikirkan oleh murid saya di atas.

Ketika rasa tidak enaknya terus memuncak, maka dia akan terus mempertanyakan, sebenarnya kenapa harus melakukan hal tersebut? Biasanya, jawabannya karena itu disuruh orang tua. Memang begitu yang diajarkan orang tua atau guru.

Selain itu, apa memang kita harus seperti itu terus sehingga nanti lulus pendidikan formal, kerja, nikah, punya anak; maka nanti anak kita akan kita buat ia mengulangi apa yang pernah kita alami juga?

Apabila pertanyaan tersebut tak terjawab, buat apa kita harus berdoa atau  sholat? Berarti sekali-sekali sholat/berdoa dan sesekali tidak, itu tidak  apa-apa? Buat apa kita sekolah, kuliah, kerja? Hidup kok jadi ribet hanya bolak-balik ke siklus yang sama.

Jawaban akan hal tersebut akan menjadi landasan kehidupan seseorang. Yang notabene jawaban tersebut akan senantiasa diemban dan dipraktikkan. Termasuk pada saat berinteraksi dengan orang lain, pada saat sekolah, bekerja, pada saat berekonomi, pada saat bersosial, bahkan sampai mengajak-ajak orang lain agar ikut mengemban keyakinan tertentu.

Seseorang atau sekelompok yang punya jawaban berupa keyakinan bahwa di balik alam semesta dan kehidupan ini ada Sang Pencipta Yang mengadakan seluruh alam, termasuk dirinya, tentunya akan berbeda dengan seseorang yang tidak memiliki keyakinan akan hal itu.

“Sang Pencipta memberikan tugas kepada manusia, selama ia hidup. Karena kelak ada kehidupan lain setelah kehidupan di dunia, kemudian pada saat itu Sang Pencipta akan memintai pertanggungjawaban atas seluruh perbuatannya pada saat hidup di dunia. Apabila sesuai tugas, maka ia akan berada di suatu tempat yang sangat menyenangkan, yakni di Surga, untuk selama-lamanya. Kalau tidak, maka ia berpotensi akan berada di suatu tempat yang sangat menyengsarakan, yakni di Neraka, untuk selama-lamanya.” Begitu jawaban orang yang beragama.

Lantas pertanyaan kritis muncul seperti sebuah syair lagu :; kalau surga dan neraka itu tak ada, aakah saya dan Anda aka juga mempercayai Tuhan dengan segala kebaikan-Nya. Jawaban ada pada tiap individu.

Meski seandainya surga dan neraka itu tak ada, dengan keyakinan adanya Sang Pencipta, maka mereka akan menjalani hidupnya sebagaimana keyakinan itu. Pada saat berekonomi, berbudaya, bersosial, berpolitik; semuanya akan diusahakan agar sesuai dengan tugas yang diberi Tuhan. Jangan sampai menyimpang. Kalau menyimpang akan melukai orang lain yang juga berarti melukai Sang Pencipta. Karena itu jagalah agar tidak berbuat yang merugikan siapa pun.

Namun, bagi beberapa orang yang mempunyai keyakinan bahwa Sang Pencipta (Tuhan) tidak ada maka pandangan akan berbeda. Bagi  seseorang atau kaum yang punya jawaban berupa keyakinan bahwa alam semesta ini semuanya ada dengan sendirinya. Katanya, “Makhluk hidup itu berasal dari materi, dan kelak akan kembali lagi menjadi materi. Manusia itu hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia mampu hidup.” Pandangan hidupnya yang paling mendasar adalah dialektika materi.

Dengan jawaban seperti itu, maka dia akan melakukan hal-hal apa saja yang ia anggap layak dilakukan. Dia membuat sendiri hukum dan standarnya. Tentu dia seperti itu pada saat berekonomi, bersosial, dan berpolitik. Bebebrapa ideologi di dunia seperti sosialisme-komunisme mendasarkan pada dialektika materi. Namun, tetap ada hukum yang mengatur agar semuanya berjalan terorganisir. Kehidupan menjadi teratur bila semua orang taat aturan/hukum.

Apa pun keyakinannya, yang jelas bahwa faktanya kehidupan bersifat terbatas. Satu kehidupan kenyataannya hanya ada pada satu individu. Sekali selesai satu hidup individu, maka yah selesailah hidupnya individu itu. Ia tidak bisa punya hidup atau nyawa baru lagi. Tidak ada nyawa cadangan.

Dengan melihat fakta tentang kehidupan itu, maka MENJAGA KEHIDUPAN bagi yang percaya akan Sang Pencipta atau yang percaya akan dialektika materi, itu SANGAT PENTING. (Sumber utama www.teknikhidup.com dan beberapa sumber lain) :




Selasa, 11 September 2018

PUISI WETON 1 SURO



UNTUK LELAKI SATU SURO


lelaki satu suro kini umurmu sepermpat dari bulatnya abad
kau bukan lagi bocah yang merengek minta mainan
dolananmu bukan lagi gasing buluh atau layangan
musikmu bukan lagi lagu pop tentang berseminya cinta



dalam kesendirian semadimu kau cari makna diri
di antara deburan ombak dan butiran pasir
barangkali di sana kau temukan arti mimpi-mimpimu
atau barangkali buih samudra pada bayangan bulan menjadi ilhammu


lelaki satu saro  padamu aku belajar berani
untuk mengambil energi mewujudkan angan
kau sangat tahu bahwa doaku ada untuk sepanjang denyutmu
karena jalanmu hitam dan harum teruar lewat seduhan kopimu

(untuk Aloysius Gonzaga Ilham Sidharta yang berweton 25 tahun pada hari 1 Suro (11 September 2018)

Senin, 10 September 2018

EFATA, TERBUKALAH!


EFATA! ORANG TULI ITU MENDENGAR
((Mark 7:31-37))

(Laut Ambon)

Ode an die Freude adalah lagu kebangsaan Uni Eropa.  Simfoni ini merupakan karya musik klasik yang paling terkenal, dan dianggap sebagai salah satu mahakarya Beethoven. Ludwig van Beethoven (dibaptis 17 Desember 1770 di Bonn, wafat 26 Maret 1827 di Wina) adalah seorang komponis musik klasik dari Jerman. Ode an die Freude digubah Beethoven pada saat dia mengalami ketulian. Semasa muda, ia adalah pianis yang berbakat, populer di antara orang-orang penting dan kaya di Wina, Austria, tempatnya tinggal. Namun, pada tahun 1801, ia mulai menjadi tuli. Ketuliannya semakin parah dan pada 1817 ia menjadi tuli sepenuhnya. Meskipun ia tak lagi bisa bermain dalam konser, ia terus mencipta musik.  Pada masa ketuliannya, ia mencipta sebagian karya-karyanya yang terbesar. Beethoven mengalami tuli pada telinganya, tetapi tidak menutup kreativitasnya untuk terus berkarya. Telinga boleh tuli, tetapi hati nurani tetap bekerja. Bahkan, bisa jauh lebih tajam.

Bacaan hari ini tentang seorang tuli dan gagap dari daerah Dekapolis. Ia mengharapkan kesembuhan. Kemudian Yesus datang dan Dia memisahkan ia dari orang banyak, Yesus memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu meludah dan meraba lidah orang itu. Setelah itu Yesus menengadah ke langit menarik nafas dan berkata kepadanya: EFATA, artinya: Terbukalah. Maka terbukalah telinga orang tuli itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik.

Orang tuli dalam bacaan hari ini bisa mendengar dan berbicara kembali karena ada kesediaan dan keterbukaan hati untuk menerima uluran Tangan Tuhan. Keterbukaan hati memungkinkan Roh Allah bekerja pada siapa saja. Keterbukaan hati mampu membawa seseorang untuk melihat segala sesuatu yang selama ini tak tampak. Dalam keterbukaan hati ada mata batin yang mampu melihat hal yang berbeda daripada yang orang lain lihat. Dalam keterbukaan hati ada mata iman yang mampu memberikan kekuatan untuk berani berkata-kata benar dan jujur. Dengan keterbukaan hati orang mampu mengakui kelemahan dan kesalahan, setelah itu memperbaikinya. Hal ini tentunya akan juga membawa pada terbukanya kembali relasi yang sebelumnya sudah putus dan rusak. Dengan terbukanya relasi, maka pintu rejeki pun terbuka.

Hal di atas merupakan urutan yang linear yang menjadi hukum sebab akibat dari sebuah situasi keterbukaan. Kita dapat melihat sebuah kebenaran yang penting di sini bahwa hubungan dengan pemberi berkat itu jauh lebih penting daripada berkatnya sendiri. Hubungan dengan penyembuh lebih penting daripada penyembuhannya. Orang tuli dan gagap ini bukan hanya disembuhkan dari sakitnya, namun dia juga memiliki sebuah hubungan yang lebih pribadi dan erat  dengan Tuhan Yesus. Bukan berkat yang menjadi pokok dalam hal ini, melainkan kedekatan relasi dengan Tuhan yang menjadi utama. Ketika relasi itu terjalin dengan baik dengan Tuhan, maka pintu berkat akan dibukakan-Nya untuk kita. Bagaimanakah hubungan pribadi Anda dan saya  dengan Tuhan? (Ch. Enung Martina)


Sabtu, 01 September 2018

MISA TAHUNAN LEGIO MARIA SENATUS BEJANA ROHANI 2018




Setiap murid Kristus dipanggil untuk mencapai kesucian yang sempurna. Inilah panggilan dasar orang Kristiani. Sampai saat ini panggilan dasar ini belum dikenal apalagi dihidupi oleh orang Kristiani.

Sebagai gerakan awam yang mempunyai niat untuk menjadikan iman sebagai aspirasi hidup, Legio Maria dipanggil untuk menjalankan hidup pribadi yang baik (kudus) melalui doa, membaca kitab suci, dan karya pelayanan. Diharapkan dengan memiliki hidup yang baik (kudus), para lrgioner mampu mengajak orang lain ke hidup arah kekudusan pula. 

Untuk mengingatkan akan tugas seorag legioner, para tentara Maria ini perlu mendapat siraman rohani dan penguatan. Salah satu bentuk untuk penguatan ini melalui Perayaan Ekaristi tahunan para legioner.

Misa tahunan ini diadakan di setiap regia. Keuskupan Agung Jakarta (KAJ)  termasuk Regia Barat yang tergabung pada satu wadah yang disebut Senatus Bejana Rohani. Senatus Bejana Rohani meliputi beberaap keuskupan di Bandung, Bogor, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan.

Senatus ini masih terbagi ke organisasi yang lebih kecil yaitu komisium, kuria, dan yang terkecil presidium. Di Paroki Melati Mas, Gereja Santo Ambrosius ada dua presidium yaitu Presidium Bunda Pecinta Damai dan Presidiun Junior Maria Immaculata.  Sementara organisasi Legio Maria terbesar (sedunia) bernama Konsilium Morning Star bertempat di Kota Dublin, Irlandia. 

Misa tahunan Legio maria 2018 mengambil tema ‘ Panggilan Legioner untuk Hidup dalam Kebinekan”. Tema ini diusung dalam rangka Tahun Persatuan KAJ. Sebagai salah satu gerakan awam dalam Gereja katolik, Legio Maria mempunyai tantangan untuk bisa mengatasai perbedaan menjadi sebuah berkat dalam berkarya.

Misa kali ini digelar di Gereja St. Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pada misa ini, selain misa tahunan Senatus Bejana Rohani, sekaligus merupakan perayaan 25 tahun Kuria Mater Dei yang bekarya di Paroki Kelapa Gaading ( Gereja St. Yakobus dan St. Kim Tae Gon), Paroki Danau Sunter ( Gereja St. Yohanes Bosco), Paroki Cilincing ( Gereja Sali Suci), dan  Paroki Tanjung Priok (Gereja St. Fransiskus Xaverius). Bersamaan dengan misa ini, Uskup Agug Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo juga merayakan Hari Ulang Tahun Episkopal.

Misa akbar ini dihadiri lebih dari 3.700 para legioner dari berbagai presidium yang tergabung dalam Senatus Bejana Rohani. Sebagai konselebran utama dalam misa ini adalah Mgr. Ignatius Suharyo didampingi oleh para romo yang merupakan pimpinan rohani di paroki masing-masing.

Penulis merupakan salah satu Legioner dari Gereja St. Ambrosius dari Presidium Junior Maria Immaculata, merasa sangat bersuka cita hadir dalam misa akbar ini. Sebagai seorang legioner yang terkadang memberikan sisa waktu dan tenaga dalam pelayanan merasa terkuatkan dengan khotbah Bapak Uskup. Beliau mengtakan sebagai seorang Katolik yang segaligus legioner, kita harus melihat segala peristiwa dari mata kontemplatif. Mata iman. Mata yang melihat segala sesuatu di balik yang tampak oleh mata biasa. Mata yang melihat ada campur tangan Tuhan di balik semuanya. Mata yang melihat ada keselamatan dan harapan  di balik peristiwa yang terburuk sekalipun.

Lanjutan khotbah  Mgr. Ignatius Suharyo tentang situasi negara kita adalah bahwa Allah berkarya. Allah berkarya melalui sejarah panjang bangsa Indonesia. Dimulai dari peristiwa Budi Utomo, kemudian lahir Sumpah Pemuda, lahirnya Pancasila, dan akhirnya tercetus kemerdekaan, hingga masa kini. Mata iman melihat bahwa di balik sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, Allah hadir dan berkarya.  (Ch. Enung Martina)