Sabtu, 10 Maret 2012

CATATAN DARI NEGERI LIMA MENARA


Sebagai seorang guru, saya merasa begitu tergugah dengan novel ini. Novel ini berkisah tentang seorang anak remaja tanggung bernama alif Fikri yang karena suruhan ibunya ia terdampar di sebuah pesantren bernama Pondok madani. Namun, yang tadinya sebuah keterpaksaan, rupanya pendidikan pesantren ini yang menyebabkan dia menjadi  memiliki begitu banyak hal berharga dalam hidupnya. Pengalamannya  dalam rutinitas pendidikan pesantren yang ketat justru yang mempertemukan dengan jalan hidupnya dan jati dirinya.
Yang menjadi daya tarik dari kisah ini bagi saya adalah tentang pendidikan penuh keiklasan. Guru iklas berbagi bagi siswanya, siswa iklas berbagi untuk temannya, senior iklas berbagi untuk adik kelasnya, demikian pula pimpinan tertinggi pesantren itu iklas menjalankan perannya dengan penuh cinta dan komitmen yang tinggi tanpa pilih kasih, dan semua warga pesantren itu iklas menjalani semua hal untuk kemajuan bersama pesantren mereka. Sungguh suatu keiklasan yang putih. Keiklasan yang dilandaskan pada alasan bahwa hakikatnya  manusia memang bersaudara sebagai mahluk ciptaan-Nya di alam semesta ini.

Saya juga tergugah dan sekaligus terinspirasi dengan sistem pendidikan yang mengutamakan ketrampilan hidup. Terutama yang menarik dalam sistem pendidikan mereka adalah bagaimana ketrampilan berbahasa asing (Inggris dan Arab) diterapkan dalam sistem dan program pendidikan di pondok. Untuk menguasai kedua bahasa tersebut, para siswa dituntut untuk terus menggunakannya, baik secara lisan atau tulisan melalui kegiatan berbahasa sehari-hari matau melalui kegiatan pembelajaran di kelas. Berkat didikan, latihan,  disiplin, dan usaha yang super keras, akhirnya ketrampilan tersebut bisa dikuasai dengan baik.

Tidak hanya ketrampilan berbahasa saja yang diperoleh dalam sistem pendidikan itu, tetapi jauh yang lebih penting  adalah pelajaran hidup. Nilai daya juang, religiusitas, kedisiplinan, persahabatan, dan persaudaraan, terasa sangat kental dalam kisah ini. Berbagai peristiwa harian yang rutin yang konsisten dilakukan menjadikan para siswa menjadi pribadi yang utuh. Meskipun motivasi masuk Pondok Madani beragam (ada yang memang pilihan hati, suruhan orang tua, terpaksa karena keadaan, akhirnya mereka akhirnya  menemukan jalan hidup dan jati diri mereka yang penuh makna. Mereka menemukan inti kehidupan yaitu: iklas, kerja keras, doa, dan tawakal.

Ungkapan dalam bahasa Arab man jada wa jada menjadi mantra ajaib yang mampu membangkitkan semangat mereka pada saat mereka terpuruk.
Dari sini kita melihat bahwa rancangan seseorang belum tentu sejalan dengan rancangan Ilahi. Namun, yang jelas rancangan Ilahi ada di atas segalanya. Rancangan itu sudah pasti merupakan rancangan keselamatan dan damai sejahtera. Itulah yang dialami oleh Alif Fikri, tokoh utama novel ini.

Salut untuk para Sahibul Menara dan juag para pendidik Pondok Madani yang selalu mendidik dengan penuh iklas. Jempol untuk penulis yang mampu menginspirasi pembacanya, Ahmad Fuadi.

(Ch. Enung Martina)

Sabtu, 03 Maret 2012

DALAM RENGKUHAN CAHAYA


Suka cita yang lebih besar akan kita terima melalui cinta kasih. Detai-detail pengalaman penting akan membantu kita dalam mengasihi,  segala sesuatu di luar itu adalah perlengkapannya. Sepanjang kita mengikuti pesan Sang Juru Selamat seperti yang disabdakan-Nya “ lebih dari segalanya, cintailah satu sama lain “, maka suka cita itu akan menjadi milik kita.

Mencintai akan terasa manis ketika kita berhadapan dengan hal yang kita temui pada orang-orang di sekitar kita yang membuat kita tidak terlalu bersusah payah. Situasi yang wajar dan normal. Orang-orang yang mudah dipahami dan memahami. Namun, kebalikannya bila kita berhadapan dengan orang-orang yang tidak kita sukai, yang bersebrangan dengan kita, yang menurut kita prinsipnya tak sesuai dengan yang selama ini kita anut, yang membuat kita sengsara, yang juga menyengsarakan orang lain. Sungguh itu sangat tidak mudah.  

Cinta berkembang menjadi semakin luas ketika di dalamnya juga kita melibatkan perasaan itu pada setiap gerak dan langkah kita. Dia akan tumbuh di rumah, di lingkungan gereja, lingkungan masyarakat sekitar, di tempat bekerja, bahkan di satu tempat yang baru kita datangi. Dia tak akan habis ketika kita membagi-bagikannya. Justru kebalikannya, dia justru akan tumbuh subur bila kita membaginya.

Untuk mempunyai cinta dalam diri kita, kehidupan pribadi dan penuh makna itu penting. Yesus berkata: kasih adalah yang utama. Kasih harus menguasai kita. Kita membangun lingkungan kita dengan pikiran-pikiran kita dan juga terutama dengan hati yang penuh kasih. Kita diutus untuk menjalani kehidupan secara penuh dan berkelimpahan untuk menemukan suka cita dalam kreasi kita sendiri, juga termasuk di dalamnya untuk mengalami kesuksesan dan kegagalan. Dalam menjalani hidup,  kita diberi hak  untuk menggunakan kehendak bebas, untuk memperluas wawasan, mengembangkan pribadi,  dan memperkaya kehidupan kita.

Bila kita mempunyai cinta, kita bisa melakukan hal-hal baik tanpa pamrih, dengan demikian kita akan memperoleh suka cita. Namun, sebelum merasakan kesukacitaan, terkadang  harus mengalami kedukaan. Kedukaan yang ditemukan dalam berbagai peristiwa yang melintas hidup kita. Di situlah saatnya kita berjuang, berusaha, berjerih payah, dan menunjukkan ketahanan dan daya juang kita. Tantangan yang menghadang dengan penuh semangat dan rasa percaya diri serta keimanan satu persatu kita hadapi. Kritikan, cercaan, ejekan, dan hinaan, bukanlah rintangan yang berarti ketika dalam hati kita dipenuhi dengan kasih. Kita mempunyai kebebasan untuk menentukan apakah saya terpengaruh dengan semua hal negatif dari luar dan dalam diri kita, atau justru kita menjadikan hal tersebut sebagai pemicu untuk terus maju dan melejit. Sekali lagi: kita mempunyai kebebasan.

Terkadang kita mengabaikan kebenaran-kebenaran sederhana yang telah kita ketahui. Kita menganggap itu semua sebagai suatu rumus atau dalil  yang ada pada kitab-kitab suci atau buku-buku bijak lainnya. Atau justru kebalikannya kita menganggap kebenaran-kebenaran tersebut hanya omong kosong.  Salah satu kebenaran tersebut adalah :  Bila tidak ada wawasan, manusia akan celaka. Kebenaran tersebut sebetulnya berasal dari pepatah Indian kuno. Wawasan menjadi hal yang penting untuk bisa mengetahui benar dan salah. Wawasan juga berguna untuk memberikan petunjuk arah mana yang patut kita tempuh. Wawasan itu begitu banyak macamnya dan  cara untuk mendapatkannya. Namun, yang perlu kita catat semua hal baik selalu berasal dari satu sumber, yaitu Sang Pencipta, yang Ilahi.

Sebagai orang beriman Katolik kita mengakui bahwa Yesus adalah kehidupan dan cinta itu sendiri. Cinta-Nya memberikan suka cita yang sedemikian penuh hingga berlimpah-limpah. Awalnya kita hanya melihat dan memahami cinta-Nya adalah sesuatu yang abstrak, yang ada dalam deretan ayat Al Kitab, atau sederet dogma gereja  yang banyak tidak kita mengerti. Namun, begitu kita membawa Dia dalam setiap helaan nafas, setiap langkah dan tindak kita, rupanya Dia tidaklah abstrak dan tidaklah jauh. Seorang penggubah lagu mengatakan Dia hanya sejauh doa.

Kita hidup sekedar mencari cinta dan kebaikan serta menjalaninya saja. Karena itulah, kita mempunyai alsan untuk hidup di dunia. Karena itu pula kita sampai gumun(heran)mengapa ada orang yang dalam hidupnya begitu rupa mengejar hal (duniawi) yang menurutnya sangat berharga sampai dia mau melakukan apa saja untuk mendapatkan hal tersebut. Hakekat hidup ya itu tadi mencari cinta dan kebaikan. Kalau kita perhatikan orang-orang yang melakukan berbagai macam kegiatan yang halal atau yang haram akhirnya kembali pada dua hal di atas. Melakukan korupsi untuk mendapatkan uang milyaran rupiah agar bisa banyak uang, bisa membeli ini itu menyenangkan keluarga, mendapat perhatian orang lain, dan mendapat pujian menjadi orang kaya atau orang sukses. Namun semuanya dia lakukan untuk apa? Ya, karena dia ingin dipuji, disayangi, diperhatikan keluarga atau orang lain. Demikian juga seorang perempuan membesarkan atau mengecilkan  ini itu pada dasarnya supaya dia mendapat sanjunagn dari kaumnya ( sesama perempuan) dan perhatian dari pasangannya. Semuanya intinya sama bahwa seseorang memerlukan perhatian dan cinta. Orang sering mengatakan ujung-ujungnya duit (uud), tetapi saya boleh mengatakan uuc (ujung-ujungnya cinta).

Berbicara tentang cinta yang lain, yaitu cinta pada Tuhan, di dunia ini ada banyak agama, kepercayaan, dan gereja. Masing-masing dari kita berada pada tingkat pemahaman dan perkembangan spiritual yang berbeda.  Karena itu, tiap orang disiapkan dengan tingkat pengetahuan dan spiritual yang berbeda pula. Semua agama di dunia penting karena ada orang-orang yang memerlukan ajarannya. Satu ajaran agama tertentu tersebut cocok untuk yang satu, tetapi belum tentu sesuai untuk yang lain. Saya merasa cocok memilih Katolik. Bagi orang lain Katolik bukan pilihan yang tepat. Mungkin saya dan Anda bertanya: kenapa ada orang yang memilih ajaran agama yang garis keras? Itu tadi karena berada pada tingkat pemahaman dan perkembangan spiritual masing-masing orang.

Penganut suatu agama dapat saja ia tidak memiliki pemahaman lengkap tentang sabda Tuhan dan tak akan pernah paham selama dia berada dalam agamanya. Namun, agama tersebut digunakan sebagai batu loncatan untuk pengetahuan lebih lanjut. Setiap gereja memenuhi kebutuhan spiritual yang mungkin tidak dapat dipenuhi oleh gereja yang lain. Tak satu gereja pun yang dapat memenuhi kebutuhan semua orang di segala tingkat spiritual. Bagi saya (lagi) Gereja katolik memenuhi kebutuhan spiritual saya. Bagi teman saya yang berpindah ke Muslim dengan alasan apa pun, ya.... agama Islam memenuhi kebutuhan spiritualnya saat ini. Mungkin saya dan Anda bertanya lagi: Ada orang yang berpindah agama bukan karena kebutuhan spiritual, tetapi untuk kebutuhan duniawi (mencari jodoh, pekerjaan, jadi anggota dewan partai ini itu, ingin menjadi terkenal, atau karena kekecewaan) itu bagaimana? Lha, itu tadi tingkat pemahaman spiritual dia baru tingkat duniawi. Spiritual diukur dengan yang materi atau jabatan.

Apa pun pilihan seseorang bila dia mampu mengembangkan diri dan mejalankan cinta, menurut saya itu lebih dari cukup. Kita akan membandingkan dengan ketika  kita bertemu dengan orang yang mengaku mempunyai  cinta dan memiliki iman, tetapi kenyataannya tak menampakkan itu semua, malah lebih parahb bukan? Mengingat lagi apa yang sudah disimggung di atas : lebih dari segalanya, cintailah satu sama lain.