Sabtu, 05 Februari 2011

DI BALIK YANG MATERIAL

Keseharian kita akrab dengan hal yang bersifat materi. Hal yang bisa diindra: bisa dilihat, bisa dicecap, bisa diraba, bisa dicium, dan bisa didengar. Karena itu kita juga biasa mengharagai hal yang material. Kita terbiasa melihat yang kuantitas daripada yang kualitas, melihat yang duniawi daripada rohani, memandang rupa daripada pribadi, melirik kulit daripada isi, mencermati kerangka daripada makna. Semuanya serba materi yang terkadang terhenti pada yang sifatnya dangkal di permukaan saja.

Begitu banyak contoh orang terjerumus pada hal yang materi saja. Akhirnya hal yang hakiki terabaikan. Persaudaraan tersisihkan karena urusan rupiah, harga diri direndahkan agar bisa ditukar harta dan jabatan, iman digadaikan untuk mendapatkan yang duniawi, hati nurani ditumpulkan demi meraih materi, keselamatan jiwa diabaikan demi mendapatkan harta melimpah. Pokoknya semua dilakukan untuk meraih materi.

Saudara dan saya juga sering terjebak dalam tuntutan materi, apalagi kebutuhan hiidup dari hari ke hari semakin menekan. Kita berada dalam situasi bahwa materi itu sangat penting sehingga hal yang hakiki terabaikan. Dalam situasi itu, kita terkadang kita membandingkan materi yang kita miliki dengan si ini dan si itu. Kita terus membanding-bandingkan. Si ini begini, si itu begitu, si anu demikian. Meminjam istilah Metta, anak perempuan saya: kita terus naik banding.Tak pernah ada cukupnya, tak pernah ada puasnya,, tak pernah ada tuntasnya. Keadaan seperti itu terkadang membutakan kita pada hal yang maknawi, menjauhkan dari yang hakiki, dan menumpulkan nurani.

Beberap kasus terjadi di sekitar hidup kita, orang begitu mengagungkan materi, yang kita sebut materialistis. Segalanya diukur dari materi. Segala hal dimaterikan. Padahal, kita tahu bahwa ada hal yang tidak bisa terukur dengan materi. Kendaraan mewah, rumah bagus, makanan enak, kenyamanan tubuh, kenikmatan badani dipenuhi sedemikian rupa. Kebutuhan dipenuhi dan tubuh dimanjakan dengan segala hal yang sifatnya materi.

Untuk memenuhi kebutuhan di atas orang berani bekerja keras,membanting tulang, kapala jadi kakai, kaki jadi kepala. Bahkan, beberapa orang berani mengambil resiko mempertaruhkan harga diri, keluarga, nama baik, bahkan nyawa. Beberapa hal dalam hidup dikorbankan untuk mendapatkan materi: diri sendiri, keluarga, persahabatan, persaudaraan, bahkan terkadang nyawa.

Materi seperti yang kita ketahui bahwa itu juga merupakan salah satu berkat Tuhan dalam hidup kita. Materi menjadi sarana untuk menyejahterakan kita. Kita bisa hidup damai dan sejahtera juga karena salah satunya didukung materi. Materi penting dalam hidup kita di dunia. Salah satu kesuksesaan seseorang juga dilihat dari materi yang diperolehnya. Namun, bila materi menjadi sebuah tujuan dan bukan lagi sebagai sarana, hal itulah yang akan menjerumuskan seseorang pada hidup yang materialistis. Segala sesuatu diukur dari sudut pandang materi. Jangan sampai karena materi hal yang sifatnya lebih luhur terkalahkan. Akan menjadi apa jadinya hidup kita bila semua yang luhur tidak diharagai lagi, tidak dimaknai lagi.

Dengan kebijakasanaan yang ada pada setiap orang, materi bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan diri, mempererat persaudaraan, menjalin persahabatan, menghubungkan silaturahmi yang terputus, membina kekeluargaan, bahkan mewartakan iman. Karena itu, selain kita berlomba mencari materi duniawi, alangkah lebih baiknya juga kita mengumpulkan harata surgawi yang tak mungkin hilang dicuri, dimakan ngengat, atau membusuk.

Enung Martina