Selasa, 12 Juli 2016

Liburan 5: PAGODA EKAYANA


Pagoda setinggi 9 lantai membawa imajinasi ke film Sun Go Kong, kisah legenda Kera Sakti dari China. Pagoda ini merupakan  Vihara Buddhayana, sebuah tempat beribadah bagi Umat Budha. Suatu hal unik ditemukan, di tempat yang penduduknya kebanyakan beragama Kristen ada sebuah vihara yang megah. Keberadaan Vihara ini menggambarkan kerukunan antar umat beragama di Kota Tomohon.

Kami tiba di tempat ini pada saat hari masih pagi. Sejuknya Kota Bunga Tomohon menambah semarak pagi itu. Sepanjang perjalanan kami disuguhi dengan panorama alam yang indah dan asri.

Di hadapan kami berdiri megah dan anggun  Vihara Buddhayana yang sering disebut juga Pagoda Ekayana. Dari kompleks ini kita bisa melihat pemandangan Gunung Lokon. Om Boy menjelaskan bahwa Kota Tomohon memiliki empat buah gunung, dua di antaranya masih aktif, yaitu Gunung Lokon dan Gunung Mahawu. Gunung Lokon adalah gunung tertinggi di Kota Tomohon dengan ketinggian 1580 mdpl. Selain panorama gunung, hamparan hijau tanaman dan bunga-bunga juga melengkapi keindahan vihara ini.

Memasuki gerbang vihara, kami disambut dengan jejeran 18 patung Lohan atau Arhats, yaitu pengikut “delapan belas jalan” Buddha. Mereka adalah Pindola, Nantimitolo, Pantha the Elder, Angida, Asita, Rahula, Nagasena, Gobaka, Pantha the Younger, Fajraputra, Nakula, Bodhidarma, Vanavasa, Kanaka The Bharadavaja, Katika, The Vatsa, Nandimitra, dan Pindola the Bharadvaja. Begitu tulisan yang saya baca dari setiap patung yang ada di sana. Penjelasannya panjang. Kalau saya jelaskan nanti jadi pelajaran Agama Budha.

Nampaknya pengurus vihara memelihara seluruh bangunan dengan sangat baik. Mereka memahami bahwa selain untuk tempat ibadah, Vihara Buddhayana juga merupakan salah satu daya tarik pariwisata Kota Tomohon. Para wisatawan  yang datang bisa menikmati keindahan arsitektur seluruh bagian vihara dengan tetap menghormati keberadaan Vihara Buddhayana sebagai tempat ibadah.

Pengunjung diperbolehkan untuk memasuki beberapa ruangan. Saya memasuki 3 bangunan yang setiap ruangan tersebut menampilkan keindahan arsitektur Cina yang nenawan. Setiap ruangan yang saya masuki terasa hawanya adem, mak nyus. Selain karena udara sekitarnya sejuk, juga karena itu tempat berdoa sehingga menimbulkan aura doa. Setiap masuk ruangan saya berdoa sesuai denan iman saya. Saya beranggapan bahwa ketika masuk di tempat doa, ya pantaslah kalau kita berdoa.

Ketika memasuki bangunan pagoda utama yang bertingkat 9 itu, saya sangat terkesan. Pengunjung diperbolehkan menaiki setiap tingkatnya. Saya menaikinya hingga ke tingkat 9. Perlu dicatat tidak ada eskalator atau lift untuk menaiki tangga-tangga itu. Ya, rada ngos-ngosan juga pada usia oversek seperti ini. Bukan masalah capenya, tetapi kepalanya yang mumet lihat ke bawah, apa lagi saya fobia ketinggian. Namun, saya berperinsip kalau saya masih bisa saya harus mencobanya karena pasti ada makna yang saya dapatkan ketika melakukan itu. Pada tingkat ke-9, saya terpana melihat panorama dari ketinggian. Gunung Lokon yang menjulang dengan hamparan biru kehijauan di bawahnya. Luar biasa indahnya.
Saat berada di tingkat terakhir ini saya jadi ingat Legenda Ular Putih yang saya tonton beberapa puluh tahun lalu. Bai Su Zhen (Pai Su Chen) yang diperankan Angie Chiu, berusaha menaiki Menara Petir yang bertingkat sembilan untuk memenuhi persyaratan agar terjadi keseimbangan di dunia yang selama ini terjadi bencana (tidak seimbang) karena ulahnya menikah denagn manusia yang bernama Xu Xian (Shi Han Wen). Sambil tenguk-tenguk melihat keindahan alam dari tingkat 9 menara ini, saya membayangkan Mbak Pai Su Chen yang ayu itu.

Setelah puas menikmati keindahan dari puncak menara, saya turun. Di bawah saya lebih jeli memperhatikan deretan 18 patung yang saya sebut di atas. Ketika diperhatikan ada sesuatu yang menurut saya aneh. Semua patung dalam ruangan vihara itu patung berwajah Tionghoa, tetapi 18 patung di luar wajahnya bukan wajah China. Itulah keunukannya,  patung-patung Budha tadi berwajah  India. Patung Bodhidharma tersebut mengambarkan Buddha dengan jenggot yang sebenarnya khas India, bukan China.



Saya juga memasuki bangunan lain di samping pagoda, yaitu Istana Kwam Im. Di sini, bisa melakukan ramalan kuno Ciam Si. Ciam Si merupakan ramalan yang berdasarkan syair-syair kuno China. Beberapa batang bambu seperti sumpit lebar diletakkan dalam wadah bambu bulat. Masing-masing batang bambu berisikan nomor. Wadah bambu kemudian dikocok hingga mengeluarkan satu batang bambu. Dari nomor yang tertera di batang bambu, tinggal mencocokannya dengan kotak yang berada di sisi kiri dinding. Nah, di kotak tersebut kertas berisikan ramalan. Ramalan tertera dalam kanji-kanji khas tulisan China. Tetapi ada terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Saya tidak melakukan ritual meramal ini. Bagi saya itu tidak penting. Saya lebih tertarik pada keindahan arsitektur bangunan dan patung-patungnya.

Bagi yang suka ramal-meramal, masih bisa melanjutkan ramalannya di bangunan samping Istana Kwan Im. Kita bisa berjalan  terus ke belakang vihara. Di sini kita bisa  berkenalan dengan kodok yang membawa koin, simbol dari keberuntungan. Di depan patung kodok raksasa terdapat kolam air. Di tengah kolam tersebut terdapat lonceng. Pengunjung dipersilahkan melempar koin ke lonceng. Jika lonceng terkena koin, konon doanya akan terkabul. Terdengar mudah? Nyatanya, terdapat replika koin China, koin kuno yang memiliki lubang di tengah, menghalangi lonceng ini. Koin replica raksasa tersebut berputar-putar mengelilingi lonceng. Sementara lonceng berada di tengah-tengah lubang koin. Di tepi kolam terdapat 5 bagian, yaitu “Bahagia”, “Harta”, “Panjang Umur”, “Kedudukan atau Pangkat”, dan “Keberuntungan”. Pengunjung tinggal mengambil posisi sesuai permohonan yang  dinginkan, lalu lempar koin ke arah lonceng. O, ya beberap teman berhasil, salah satunya Mama Tua: Ibu Maria!!!!

Begitulah perjalanan kami ke Pagoda nan menjulang itu! (Ch. Enung Martina)

https://www.youtube.com/watch?v=pT5bA6W1DJE



Jumat, 08 Juli 2016

Liburan 4: Menikmati Surga Bunaken


Tak lengkap bila pergi ke Manado tidak pergi ke Bunaken. Maka pada hari kedua, kami keluarga besar St. Ursula BSD, pagi-pagi buta sudah mengantri di depan ruang makan hotel. Para pegawai hotel sepertinya agak risih juga dengan para tamu rombongan besar yang sangat siap untuk menyerbu makanan. Peserta bukan karena sudah sangat kelaparan menantikan makan, melainkan karena ada komando yang mengatakan pukul 7.00 WITA makan dan bersiap-siap untuk wisata bahari kami pada hari ini. Namun, peserta menanti dengan tertib. Karena kami memang warga yang baik dan taat aturan.

Dengan aneka kostum yang siap untuk berbasah-basah terciprat air, para peserta nampaknya sudah benar-benar menantikan untuk menjelajah Bunaken. Tujuan utama hari ini memang Pulau Bunaken. dari hotel kami menuju ke dermaga dengan bis. Di sana bis air sudah menanti kami. Kami naik boat berdasarkan aktivitas yang dipilih sebelumnya, yaitu snorkling dan atau submarine. Saya hanya memilih submarine. Hati saya belum berani untuk secara langsung terjun ke laut, meskipun ada alat pengaman. Saya memang fobia air dan ketinggian.

Saya naik boat dengan peserta lain yang memilih untuk kegiatan submarime dan yang memilih 2 kegiatan sekaligus: submarine dan snorkling. kami berangkat mendahului yang lain.  Ketika kami meninggalkan daratan menuju Pulau Bunaken, kami melihat pemandangan yang mirip dengan yang pernah kami lihat pada saat pergi ke Itali, yaitu di Danau Garda. Pada saat kami meninggalkan Kota Salo menuju Desenzano melalui Danau Garda dengan boat, kami melihat pemandangan yang menawan yaitu daratan yang makin lama menjauh dari kami. Hal serupa juga terjadi saat ini.

Air laut yang biru bening berbuih karena boat yang kami naiki menerobosnya. Lautnya begitu bersih. Biru dan bening. Melihat kenyataan ini, hati saya melonjak karena terpesona oleh keelokan alam. Hati siapa pun akan terpesona melihat keindahan ini. Pantas saja para turis domestik atau pun mancanegara begitu mendewakan laut Bunaken.

Untuk menunggu sampai di tempat tujuan, para peserta mengisinya dengan menikmati keindahan panorama, mengambil foto diri dan alam, mengobrol, bercanda, melamun, tidur-tidur ayam, dan beberapa orang mejeng di atas geladak dekat haluan. Matahari mulai terasa terik di badan, meski hari masih tergolong pagi. lama-lama saya tergoda juga untuk ikut bergabung dengan keriuhan teman-teman yang sedang mejeng di haluan. Akhirnya saya menggabungkan diri. Benar saja merak sedang asyik selfi, foto bersama, dan saling ribut memberi komentar dengan berbagai gaya. Jadilah saya menjadi bagian dari orang yang benar-benar menimkati laut, angin, juga matahari Minahasa nan terik.

Karena melihat kemolekan alam, mendorong kami untuk bernyanyi. Lagu yang kami bawakan adalah lagu Rayuan Pulau Kelapa kalau tidak salah karya Taufik Ismail. Betul Miss Ocha? Lagu ini  menggambarkan tentang negri yang begitu indah. Tanah airku Indonesia, Negeri elok amat kucinta, Tanah tumpah darahku yang mulia,Yang kupuja sepanjang masa. Tanah airku aman dan makmur, Pulau kelapa yang amat subur, Pulau melati pujaan bangsa, Sejak dulu kala. Saat refrein kami membawakannya lebih bersemangat. Melambai lambai, Nyiur di pantai, Berbisik bisik, Raja Kelana. Memuja pulau, Nan indah permai, Tanah Airku, Indonesia!!!. Keseseluruhan lagu itu kami bawakan sambil merem melek. Ada beberapa orang merentangkan tangannya di haluan. Menirukan adegan dalam video klip lagu India? Entahlah. Pasti pernah melihat refrensi sebelumnya.

Sebenarnya rombongan boat kami bisa langsung submarine dengan berganti boat submarine. Namun, airnya belum pasang sehingga tak memungkinkan kapalnya tenggelam jauh ke dalam. karena itu, tour guide memutuskan membawa rombongan menuju Pulau Bunaken dulu untuk menikmati keindahannya dan makanan atau minuman di pulau itu.  Jadilah kami rombongan yang pertama tiba di pulau.

Segeralah saya dan beberapa orang mencari pembuangan akhir membuang hajat kecil kami. Suster Francesco sebagai seorang yang paling kaya dalam rombongan, segeralah mentraktir kami makan pisang goreng sambal terasi, bukan sambal roa. Minumannya beli sendiri-sendiri. Saya pesan kelapa muda satu butir. Hijau dan muda. So, pasati sadap! Datanglah pisang goreng traktiran dari Suster. Pisangnya diiris  besar, tebal, digoreng kekuningan, garing, dan tepungnya renyah. Dalam keadaan mengepul panas disajikan pada setiap meja-bangku kayu di bawah pohon rindang  yang kami duduki. Tak lupa sambalnya. Pisang goreng tadi dicoelkan ke sambal yang didominasi oleh rawit dan bawang merah. Wessss, mak nyussss!!!!

Di sinilah kami sekarang sedang duduk. Tempat kami berada kali ini di Pulau Bunaken yang merupakan   sebuah pulau seluas 8,08 km² di Teluk Manado, yang terletak di utara pulau Sulawesi. Pulau ini merupakan bagian dari kota Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara. Di sekitar pulau ini dikelilingi laut yang disebut sebagai Taman laut Bunaken yang merupakan bagian dari Taman Nasional Bunaken. Menurut pemandu, Taman Nasional Bunaken meliputi area seluas 75.265 hektare dengan lima pulau yang berada di dalamnya, yakni Pulau Manado Tua (Manarauw), Pulau Bunaken, Pulau Siladen, Pulau Mantehage berikut beberapa anak pulaunya, dan Pulau Naen.  Lokasi penyelaman (diving) berada hanya terbatas di masing-masing pantai yang mengelilingi kelima pulau tadi.  Taman laut Bunaken memiliki 20 titik penyelaman (dive spot) dengan kedalaman bervariasi hingga 1.344 meter. Dari 20 titik selam itu, 12 titik selam di antaranya berada di sekitar Pulau Bunaken. Dua belas titik penyelaman inilah yang paling kerap dikunjungi penyelam dan pecinta keindahan pemandangan bawah laut.

Saat selesai menikmati sejuknya air kelapa muda dan hangat-legitnya pisang goreng, kami keling shoping di kios-kios sederhana untuk mencari sekedar oleh-oleh kaos bertuliskan ‘bunaken’  sebagai bukti bahwa pernah datang di pulau ini.  Mulailah belanja. Ke mana pun perginya, belanja tak pernah lupa.

Tiba saatnya kami untuk berpetualang laut. Kami naik boat untuk berganti dengan submarine. bagi teman yang akan ikut snorkling juga, mereka harus memakai baju dan peralatan yang sudah mereka sewa. Sebelum kami naik ke submarine, kami diajak dulu melihat  dunia bawah laut dengan glass bottom boat. Dari kaca yang berada di dasar perahu itu, kami bisa melihat bawah laut dengan aneka biotanya. Air Laut Bunaken yang jernih memmungkinkan kami untuk melihat aneka biota yang ada di dalam laut sana. Sungguh mempesona. Ikan, kuda laut, bintang laut, babi laut, karang, rumput laut, anemon, ubur-ubur, mahluk ini, mahluk itu, dan aneka mahluk yang ada di laut yang belum pernah saya lihat nampak dari balik kaca tersebut. Itu baru sebagian mahluk laut yang mauncul. Ada sumber yang pernah saya baca bahwa biota laut itu jauh lebih beragam daripada di darat. Saya sungguh terpana melihat kenyataan betapa indahnya dasar laut!

Tiba saatnya untuk berpindah ke submarine. Teman-teman yang akan ikut snorkling juga sudah terlebih dahulu ke submarine. Sekarang mereka dibawa ke arah laut tempat mereka akan nyebur untuk menjadi ‘mahluk laut’ sementara waktu.

Kami masuk ke submarine dan turun menuju ruangan yang dikelilingi kaca semua untuk melihat ke dasar laut. Pendingin ruangan sudah menyala, dan mesin sudah dihidupkan. Mulailah submarine ini bergerak. Perlahan membelah laut. Air semuanya  di sekeliling kami. Mulailah tampak rumput laut, lumut, ubur-ubur, ikan kecil sejenis nemo dan dori, ikan belang berkostum tahanan penjara, karang putih-ijo-kuning-ping-kebiruan. Makin jauh laut makin dalam. Air agak gelap kebiruan. Saya agak merinding melihat palung-palung laut yang airnya kehitaman menandakan betapa dalamnya dia. Saya melihat dinding-dinding seperti jurang kalau di daratan, tetapi semuanya ditumbuhi aneka karang dengan aneka warna dan bentuk. Saya hanya ngowoh saja melihat keajaiban ini. Di sekitarnya aneka ikan yang cantik dengan warna emas, perak, kuning, hitam, biru, neon, menyala, ping, totol-totol, dll berenang berkejaran. Saya seperti dalam dunia finding nemo dan finding dori. Apa yang ada dalam film itu di sini nyatanya juga ada di hadapan saya, hanya dibatasai kaca tebal saja.  Ketika melewati palung yang gelap, saya membayangkan monster laut mungkin juga bersemayam di dalamnya. Keindahan ini sepertinya berada di dunia lain, antah berantah. Laut memang dunia lain yang penuh keindahan, keajaiban, sekaligus penuh misteri.

Satu jam kami berada di submarine tak terasa. Tahu-tahu mesin pendingin mati dan mesin pun berhenti. Kami dipersilakan kembali naik ke geladak. Otak saya masih penuh dengan dunia bawah laut.  

Ternyata ketika saya mencari sumber tentang keindahan bawah laut tadi begini penjelasan wikipedia: Sebagian besar dari 12 titik penyelaman di Pulau Bunaken berjajar dari bagian tenggara hingga bagian barat laut pulau tersebut. Di wilayah inilah terdapat underwater great walls, yang disebut juga hanging walls, atau dinding-dinding karang raksasa yang berdiri vertikal dan melengkung ke atas. Dinding karang ini juga menjadi sumber makanan bagi ikan-ikan di perairan sekitar Pulau Bunaken.

Taman laut Bunaken  terletak di Segitiga Terumbu Karang, menjadi habitat bagi 390 spesies terumbu karang dan juga berbagai spesies ikan, moluska, reptil dan mamalia laut. Taman ini merupakan perwakilan ekosistem laut Indonesia, meliputi padang rumput laut, terumbu karang dan ekosistem pantai.

Sumber lain mengatakan bahwa ada sekitar 13 jenis terumbu karang  yang menjulang terjal vertikal ke bawah sedalam sekitar 25 – 50 meter. Kita juga  dimanjakan dengan pemandangan yang disuguhkan oleh sekitar 91 species ikan yang ada di Taman Laut Bunaken. antara lain koi putih (Seriola rivoliana), gusimi lokal(Hippocampus), nila gasi (Scolopsis bilineatus), goropa (spilotocepsep hinephelus dan hypselosoma Pseudanthias), lolosi ekor kuning (Lutjanus kasmira), dan banyak yang lain. tidak hanya itu disini juga banyak ditemukan moluska seperti ikan kepala kambing (Cassis cornuta), nautilus (Nautilus pompillius), kima raksasa (Tridacna gigas), dan tunikates atau askidian.

Kami kembali lagi ke boat yang tadi membawa kami. Sekarang kami akan kembali ke Pulau Bunaken untuk menikmati makan siang. Tak terasa hari sudah menujukkan pukul 13.00 WITA. Beberapa teman yang tidak ikut submarine sudah mulai menikmati makian siang. Segeralah kami membereskan diri di kamar mandi yang bisa disewa untuk membilas diri.
Hidangan di hadapan kami adalah: nasi putih hangat, acar tomat dan bawang beraroma lemong cui, ikan bakar, ikan gule, ikan goreng, kari ayam, cah kangkung, cah bunga pepaya, sup ikan, sambal cabe-bawang merah, dan bakwan jagung. Segeralah kami menyerbu hidangan ini. Perut memang sudah lapar.  (Ch. Enung Martina)





Kamis, 07 Juli 2016

Liburan 3: Bereksplorasi di Kota Manado


Whiz Prime Megamas Manado yang terletak di Jl. Piere Tendean Boulevard, Manado, Sulawesi Utara merupakan hotel yang menjadi tempat penginapan kami.  Kawasan Mega Mas ini merupakan kawasan hasil reklamasi pantai yang dimulai sejak tahun 1996.  kawasan ini sekarang menjadi kawasan bisnis yang digunakan untuk pusat perbelanjaan, hotel, restoran, dan aneka tempat hiburan.

Ketika pemandu wisata menjelaskan bahwa kawasan ini merupakan hasil reklamasi, saya jadi teringat tentang pro dan kontra reklamasi pantai di Teluk Jakarta. Karena saya penasaran tentang reklamasi di Manado ini yang sekarang hasilnya sudah menjadi bagian  pusat kota ini, saya akhirnya mencari beberapa informasi tentang reklamasi ini.

Pesatnya pertumbuhan penduduk di kota Manado tentu mendorong pembangunan dan pengadaan lahan baru untuk dihuni maupun kebutuhan komersial. Namun, dengan terfokusnya pembangunan pada satu daerah dan tidak meratanya pembangunan di daerah lain pasti akan mendorong masyarakat untuk menetap dan melakukan kegiatan perniagaan pada daerah yang dianggap sudah maju dan menjanjikan. Hal inilah yang mendorong gencarnya pembangunan di daerah kota Manado. Lalu bagaimana dengan luas wilayah kota Manado sendiri? Bukankah jika pembangunan terus dilakukan justru akan berakibat pada berkurang atau bahkan tidak tersisanya lahan untuk pembangunan? Dari hal inilah muncul “konsep pembangunan ke depan” yang dinamakan reklamasi pantai.

Dilihat dari segi ekonomi mungkin reklamasi pantai adalah solusi pembangunan yang sangat menjanjikan, tetapi jika dilihat dari segi ekologi apakah reklamasi pantai cukup menjanjikan? Itulah yang menjadi pertanyaan saya yang sebenarnya itu pertanyaan retoris. Semua orang sudah tahu jawaban atas pertanyaan tadi. 

Reklamasi pantai bukanlah hal yang baru di kota Manado, pesatnya perkembangan teknologi dan pembangunan serta terus bertambahnya jumlah penduduk mendorong reklamasi pantai untuk segera dilakukan. Namun, apa  yang terlihat di kawasan Boulevard, reklamasi pantai menjadi sarana bisnis yang menjanjikan dan bukannya menjadi lahan untuk dihuni. Reklamasi memberikan keuntungan dan dapat membantu kota dalam rangka penyediaan lahan untuk berbagai keperluan, penataan daerah pantai, pengembangan wisata bahari, dan terutama untuk kawasan perbisnisan. 

Pertanyaan retoris saya tentang dampak bagi lingkungan ternyata sudah nampak di depan mata saya. Di depan hotel tempat kami menginap dibangun deretan  restoran yang aktif buka pada sore hari sampai jauh malam. Nah, deretan restoran ini agak mengganggu panorama ke laut lepas dari jalan raya di depan hotel karena pemandangan terhalang oleh bagunan restoran-restoran tadi. Selain itu, para pedagang  makanan di restoran tersebut juga membuang limbahnya sembarangan ke sela-sela tumpukan batu-batu besar yang ditumpuk di tepi laut. Aroma limbah di sekitar restoran itu agak menganggu penciuman.  Saya jadi teringat kuliner saya di Pantai Jimbaran, Bali beberapa tahun yang lalu. Kami makan di meja yang ditata pemilik restoran di pantai. Sambil menikmati laut lepas para pengunjung bisa menikmati pesanannya. Suasananya sungguh romantis. Sepertinya Menado bisa meniru ala Bali. Meskipun pantai di Jimbaran dan di Bulevard seperti langit dan bumi. Namun, laut tetaplah laut akan menampakkan keindahannya tersendiri.

Itu dampak negatif yang saya lihat. Dampak lain yang mengakibatkan rusaknya biota laut pasti terjadi. Hal itu juga berdampak bagi para nelayan tradisional di sekitar kawasan ini yang pasti hasil tangkapannya berkurang. Pembangunan ada, pasti juga ada harga yang harus dibayar, bukan?

Saya berjalan-jalan di sekitar kawasan ini bersama kawan saya, Ibu Devota Maria Layan. Kami berkeliling seputar kompleks hotel kami. Pada acara bebas, kami menikmati makan malam kami di restoran tepi pantai dengan menu bertema BABI!!!! Saya memesan miba (mi babi), bu Maria memesan babi panggang. Masalah rasa? Jangan tanya! So pasti sedap Jo!

Hari kedua, kami nekat mencari Gereja Katolik terdekat dari hotel. Kami keluar dari kamar pukul 05.15. Dengan modal bertanya pada resepsionis hotel dan beberapa orang bapak yang ada di sekitar kompleks Bolevard Mega Mas. Dari seorang bapak yang sedang menyapu di depan salah satu restoran, kami mendapat petunjuk ke arah Katedral Manado.

Akhirnya kami berjalan ke arah jalan raya. Begitu ada angkot lewat kami hentikan dan naiklah kami. Ketika kami menyebutkan tujuan kami Abang Angkot agak mengerenyitkan alis. Alur kendaraan di sini satu arah. Jadi kami melewati jalan yang sama yang kami mlewati beberapa kali dengan bis kami. Akhirnya kami diturunkan persis di depan pintu Katedral St. Joseph Manado. Persis ketika Pastur pemimpin Misa memberikan kata pengantar, kami pun masuk dari pintu samping. Umat yang mengikuti misa pagi tidak begitu banyak seperti pada umumnya misa pagi di luar misa wajib. Umat yang hadir kebanyakan para suster dan anak-anak sekolah. Kami menduga anak asrama yang ada di sekitar komplek situ.

Pulangnya kami berjalan kaki berdasarkan petunjuk dari seorang ibu, salah satu umat di misa pagi tadi. Dari Katedral kami menyebrang dan masuk jalan gang di samping komplek sekolah. Kami ikuti insting bahwa pantai tepat lurus di depan kami. Kami jalan lurus terus. Hingga akhirnya kami melihat pantai. Nah, ternyata sangat dekat jarak pantai dengan katedral. Pantas saja sopir angkot mengerenyitkan alisnya waktu kami menyebutkan tujuan kami ke Katedral.

Kami berhsil bereksplorasi di Kota manado. Keberhasilan eksplorasi kami,  Ibu Maria wartakan kepada teman-teman. hasilnya besok pagi kami mendapat teman 7 orang ikut misa pagi. Akhirnya kami misa pagi bersembilan. (Ch. Enung Martina)




Rabu, 06 Juli 2016

Liburan 2: Pusat Kerajinan Rumah Kayu Desa Woloan


Sebelum kami meninggalkan Tomohon, kami mampir dulu ke Desa Woloan Kecamatan Tomohon Tengah, Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Desa ini dikenal sebagai pusat kerajinan rumah kayu. Desa ini sudah sangat terkenal di Nusantara dan Mancanegara karena rumah kayunya. Pengrajin di Desa Woloan telah menerima pesanan dari berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta dan Bali dan beberapa Negara di Eropa, seperti Belanda dan Perancis.

Warga desa  Woloan memilih profesi ini karena keuntungan yang didapat relatif besar. Selain  itu, pekerjaan ini merupakan pekerjaan turunan dari pendahulu-pendahulu mereka  yang memang telah dikenal handal dalam ranah kerajinan rumah kayu khas Minahasa  ini.

Terkenalnya rumah kayu tersebut di kancah dunia internasional tidak luput karena memang kerajinan tersebut unggul, baik dari segi kualitas dan nilai jual. Beberapa rumah kayu tersebut selain digunakan untuk rumah pribadi, juga difungsikan untuk cottage atau bungalow bagi para pengusaha wisata.

Desa Woloan memiliki kisah sejarah yang panjang. Desa yang telah berusia  lebih dari 150 tahun ini ada sejak tahun 1845. Konon, desa ini didirikan oleh  lima orang pemuka desa. Di antara kelimanya, disebut nama Walian Pontoh sebagai  hukum tua atau kepala desa yang pertama kali. Selain selaku pemimpin desa, ia juga  ahli pengobatan bagi masyarakat desa. Terkait dengan itu, nama Woloan berasal dari Walian.  Walian ialah  gelar adat yang dilekatkan kepada seseorang di dalam sebuah kelompok masyarakat  tertentu di Minahasa karena dianggap memiliki keistimewaan tertentu sehingga  ia pantas menjadi orang nomor satu di desanya.

Menurut Om Boy, pemandu kami, untuk bahan baku kayu sebagian besar didatangkan dari Palu, Sulawesi Tengah. Namun ada juga yang didatangkan dari Sulawesi Tenggara. Jenis kayu untuk pembuatan rumah kayu tersebut yaitu kayu cempaka dan meranti. Kayu cempaka mempunyai ciri khas berserat lurus, liat, tidak mudah patah, dan memiliki tekstur yang halus, begitu juga dengan kayu meranti.

Rumah kayu hasil produksi para pengrajin di Desa Woloan ini terkenal keunikannya. Salah satu keunikannya adalah  kayu tersebut dapat dibongkar pasang, seperti rumah joglo (Rumah Adat Jawa). Meski rumah kayu sangat sedikit menggunakan hiasan seni ukir dalam desainnya, tetapi memiliki desain arsitektur khas Minahasa. Para pembeli. tidak perlu khawatir untuk pengiriman dan perakitan rumah karena rumah kayu yang diinginkan akan dikirim ke alamat pemesan beserta tukang pasangnya. (Ch. Enung Martina)

Selasa, 05 Juli 2016

LIBURAN: DANAU LINOW


Danau ini merupakan objek kedua yang kami kunjungi dalam wisata kami di Manado. Danau Linow terletak di Desa Lahedong, Kecamatan Tomohon Selatan, Kota Tomohon Minahasa Sulawesi Utara. Danau ini memiliki kadar belerang yang cukup tinggi sehingga warna danau mudah sekali berubah-ubah bahkan saat kami datang menampilkan 3 warna sekaligus. Kalau dilihat secara kasat mata warna tampak di hijau tosca, biru laut serta coklat susu, sungguh indah sekali ciptaan  Allah ini.

Perubahan warna itu disebabkan kandungan belerang di danau. Kandungan belerang itu sendiri karena di salah satu sisi danau terhubung langsung dengan sumber air yang mengandung belerang dan mengalir ke dalam danau. Penyebab lainnya karena pembiasan cahaya dan pantulan dari vegetasi di sekitar danau. Selain itu, warna  danau tersebut juga terpengaruh oleh terobosan sinar matahari yang masuk melalui celah-celah awan dan memantul di permukaan danau. Hawa sejuk dan asri pepohonan di sekitarnya membuat  perjalanan terasa nikmat dan nyaman, apalagi saat kami sampai , hujan baru saja usai sehingga menambah kesejukan udara di Danau Linow.

Saya bertanya kepada pemandu kami, Om Boy, tentang seputar pengelolaan danau ini yang tampak bersih dan teratur. Om Boy mengatakan bahwa objek wisata ini dikelola oleh swasta. Sehingga, wajarlah bila pihak pengelola menjaga kebersihan, kenyamanan, dan kealamian danau ini untuk menjadi daya tarik yang bisa mendatangkan para wisatawan.

Danau seluas 35 hektar ini juga lengkapi lintasan trekking atau buat pejalan kaki, jadi kita bisa memutari danau dengan berjalan menikmati keheningan, keindahan dari berbagai sisi sudut danau linow. Kalau di lihat sekilas, danau ini  mirip Kawah Putih yang di Bandung, tapi Danau Linow ini lebih sepi, lebih terawat.

Di kawasan sekitar Danau Linow tercium aroma belerang yang cukup kuat, baunya seperti bau kentut. Di sini juga banyak ditemukan beberapa tempat pemandian air panas. Diduga, sumber belerang dan mata air panas tersebut berhubungan dengan Gunung Lokon yang masih aktif. Gunung yang terlihat gagah dan  elok dari pusat Kota Tomohon tersebut terakhir kali meletus pada September 2013.

Pengunjung juga bisa menikmati makanan di kafe yang terletak di sisi bukit yang mengitari danau. Menikmati kopi dan pisang goreng sambal ikan roa sungguh nikmat sembari melihat pemandangan ke seluruh area danau. Duduk berlama-lama di kafe terasa tak membosankan karena indahnya pemandangan danau dan sejuknya udara.

Jalanan menuju bibir danau terbuat dari kayu dan bambu yang dibangun seperti dermaga. Tepat di ujung jalan, sebenarnya tersedia sarana wisata berupa perahu kayuh (dikayuh dengan pedal mirip sepeda) dan kano yang bisa disewa. namun, kami tak menggunakan wahana itu. Kami hanya duduk menyeruput kopi dan menikmati pisang goreng sambal roa ditemani semilirnya angin. Kata Om Boy, pengunjung jangan coba-coba untuk berenang. Kandungan belerang yang tinggi bisa membuat tubuh terluka dan berakibat fatal.

Di sisi kanan danau terdapat sebuah bangunan rusak yang tampaknya dimaksudkan sebagai Pusat Informasi Geotermal dan Geowisata Tomohon. Sebenarnya pembangunan kantor semacam itu adalah inisiatif yang bagus, sayangnya bangunan belum selesai dibangun, dan entah kenapa dibiarkan begitu saja hingga rusak.  Om Boy menginformasikan kepada kami bahswa pembangunan oleh pemerintah itu pekerjaan yang sia-sia. Buang-buang uang dan energi, begitu ungkap Om Boy.

Menurut satu sumber yang saya baca, Linow berasal dari kata lilinowan yang artinya tempat berkumpul air. Kata itu diambil dari bahasa Tombulu atau bahasa dari salah satu etnis di Minahasa. Area Danau Linow seluas sekitar 35 hektar dan berkedalaman sekitar 5 meter bisa terlihat jelas dari atas bukit sebelum turun menuju bibir danau.
Setelah kami puas menikmati indahnya alam dan lezatnya kopi panas dengan pisang goreng sambal roa, kami mulai menaiki bis kami untuk menuju Kota Menado untuk makan malam dan beristirahat di hotel.

Meskipun jalan penuh liku, beruntung pemandangan asri sepanjang jalan dan hawa yang sejuk bisa mengusir rasa jenuh di perjalanan. Bahkan, kami bisa melihat pemandangan Laut Sulawesi dari jendela bis kami.  Jalan di Tomohon memang berliku dan melewati perbukitan. Sepanjang jalan Tomohon kami melihat penjual buah-buahan, seperti pisang dan langsat.  Hamparan hutan dan pohon cengkeh juga menjadi pemandangan sepanjang jalan. Beberapa teman, sudah mulai tertidur karena lelah dan bangun pada dini hari. Jadi, meskipun jalan penuh liku, kami bisa menikmati perjalanan dengan nyaman. (Ch. Enung Martina)




Jumat, 01 Juli 2016

BUKIT KELONG-BUKIT DOA

Salib Merah di Bukit Kelong

Liburan tahun pelajaran 2015-2016 ini, keluarga besar Santa Ursula BSD melakukan perjalanan ke Menado. Kegiatan ini dilakukan dari hari Selasa, 14 Juni  sampai hari Juamt, 17 Juni 2016. Peserta yang  ikut dalam tour ini adalah TU dan guru  yang bsudah mengabdi minimal 5 tahun ke atas.
Perjalanan kami mulai dari Santa Ursula BSD menuju Bandara Sukarno Hatta pada pukul 3.00 dini hari dengan bis. Keberangkatan kami ke Menado tepat pukul 05.30 dengan pesawat Garuda, flight GA602. Tiba di Bandara Sam Ratulangi pada pukul 09.55 WITA.

Bukit Doa Kelong menjadi tujuan perdana perjalanan wisata kami. Setiba di lokasi peserta mengikuti doa jalan salib menaiki bukit tersebut. Bukit Doa ini terletak di Kabupaten Tomohon, Sulawesi Utara.  Keindahan alam yang berpadu dengan sejuknya udara pegunungan  Tomohon, membuat setiap pengunjung betah untuk berlama-lama ditempat ini. Tak heran jika Bukit Doa Kelong menjadi salah satu tempat wisata religi yang dikunjungi para wisatawan, bukan hanya mereka yang berkepercayaan Katolik saja yang mengunjungi tempat ini.

Sebenarnya Bukit Doa Tomohon tidaklah begitu jauh dari Kota Manado, akan tetapi dikarenakan jalan dari Kota Manado menuju Kota Tomohon yang menanjak dan berbelok-belok, ditambah ruas jalan yang tidak terlalu lebar, membuat pengendara tidak bisa memacu kendaraan dengan cepat dan kami sebagai penumpang agak ser-seran melihat jalan berkelok-kelok.  Melihat jalanan di tenpat ini mengingatkan kita pada jalan di Cadas Pangeran yang mengubungkan Sumedang dan Bandung.
  
Memasuki jalan lingkar Tomohon, kami  disuguhi  nuansa hijau khas pegunungan  dengan daerah perbukitan yang masih asri. Di samping kiri dan kanan jalan yang menuju Tondano ini, kami bisa melihat hamparan sayuran dan taman bunga milik warga Tomohon. Jalan ini memang  akses untuk menuju  objek wisata alam Bukit Doa Tomohon atau yang biasa juga dikenal dengan nama Jalan Salib Mahawu.

Di beberapa titik kami  bisa melihat panorama Kota Manado dengan latar belakang laut dengan hamparan pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen. Menurut Om Boy, pemandu kami, meskipun begitu, tidaklah sulit untuk menuju ke tempat ini. Bagi para pelancong dengan biaya terbatas (backpaker), untuk menuju Bukit Doa Tomohon, dari pusat Kota Manado wisatawan  tinggal naik mikrolet (angkot) jurusan Wanea Samrat untuk menuju ke terminal Karombasan. Begitu tiba di terminal Karombasan, pengunjung bisa mencari bus jurusan Tomohon. Agar tidak tersesat, bicaralah kepada kondektur bahwa kita hendak menuju ke Bukit Doa Tomohon sehingga bisa diturunkan di pangkalan ojek yang siap mengantar kita.

Pemandangan alam yang begitu indah, bersih, sejuk dan tertata dengan rapi, menjadikan Bukit Doa Mahawu, sebutan lain  untuk Bukit Kelong,  bak sebuah magnet yang menarik setiap orang untuk berkunjung ke tempat ini. Atas semua kelebihan yang dimilikinya, tidak mengherankan jika Jalan Salib Mahawu menjadi lokasi perhelatan berbagai macam kegiatan mulai dari tempat wisata alam dan wisata religi umat Kristiani, lokasi out bond, lokasi gathering, tempat berlangsungnya pemberkatan nikah yang kudus hingga menjadi tempat menggelar pesta pernikahan dengan nuansa pesta taman. Namun, harus berhati-hati saat menapaki rute jalan salib terutama pada musim penghujan karena agak licin dengan lumut yang tumbuh di bebatuan sepanjang rute.

Untuk menuju Bukit Doa Tomohon terdapat dua pintu masuk. Pintu masuk pertama, dengan jalan kaki. Biasanya jalan ini dipergunakan bagi umat Katolik yang akan mengikuti Jalan Salib, prosesi untuk mengenang peristiwa sengsara Yesus Kristus. Di tanah yang berkontur berbukit-bukit ini terdapat perhentian-perhentian. Puncak via dolorosa ini adalah Chapel of Mother Mary. Di lokasi di atas bukit ini juga terdapat The Grotto of Mother Mary,  Gua Mahawu,  kafe , dan amphiteater.

Jalan salib kami lewati dengan khidmat, meskipun ada salah satu teman kami pada stasi IV tidak kuat karena kondisi badan yang tidak prima. Ada juga beberapa teman (yang fisiknya tidak memungkinkan) yang langsung menuju resto yang berdekatan dengan lokasi Gua Maria melalui pintu yang lain. Saat kami berada di stasi 12, gerimis mulai datang menjelang. Peserta yang membawa payung dan pelindung kepala lain segera mengeluarkan perbekalannya. Pada stasi 13  mulai deras sehingga pada Makam Yesus di stasai 14 hujan turun bagaikan dicurahkan langit Menado mengguyur kami.

Cukup lama kami menunggu di Makam Yesus hingga hujan agak reda. Beberapa peserta yang membawa pelindung kepala mulai menerobos hujan untuk menuju ke resto yang akan dijadikan titik pertemuan kami untuk makan siang bersama. Para guide mulai mendistribusikan payung secara bergantian untuk menjemput para peserta yang terjebak hujan. Sesudah menyelesaikan doa rosario, saya memutuskan menerobos hujan dengan payung biru yang saya bawa. Sebetulnya saya ingin mampir di Gua Maria sebelum menuju resto, tetapi hujan sangat deras mengguyur. Akhirnya saya terus menuju resto untuk menikmati makan siang kami.

Menu makan siang pertama kami di Menado adalah makanan khas Menado : ada nasi putih (agak ngeletis-belum begitu matang), paniki (kelelawar) dibumbu pedas, sate babi, balado ikan tongkol, rica-rica RW, sup brenebonen (kacang merah), dan kerupuk. Sebagai penutupnya semangka dan pisang.   Menu yang sungguh menantang karena ada lauk yang tergolong extreem food. Semua lauk saya coba sedikit-sedikit, kecuali RW karena saya tahu kapasitas darah saya. Ketika makan paniki, saya merasa kurang cocok karena aromanya yang kurang sesuai untuk saya. Namun, secara umum saya menyukai makan siang ini, terutama sup kacang merahnya yang beraroma rempah begitu terasa.

Usai makan siang, cuaca kembali membaik. Matahari mulai menampakkan diri lagi meski malu-malu. Awan mulai menyibak. Maka tampaklah di hadapan kami  pemandangan alam yang spektakuler tersaji didepan mata. Sambil berjalan di atas rerumputan dan membelakangi perbukitan Mahawu, kami  bisa dengan leluasa melihat pemandangan Gunung Lokon yang menjulang tinggi. Hijaunya perkebunan terpapar di depan mata. Udara segar dengan pemandangan yang menakjubkan akan membuat tubuh terasa seperti  mendapat suntikan energi. Pesona wisata alam ini membuat kami terpesona. Indah sekali, Jo! (Ch. Enung Martina)