Sabtu, 27 Januari 2018

RENUNGAN HARI ST. ANGELA 2018

PEREMPUAN SEDERHANA DENGAN KARYA BESAR




Angela seorang wanita yang ditangkap oleh Roh Kudus.  Roh Kudus selalu bekerja membaharui muka bumi. Angela membutuhkan waktu cukup lama untuk menemukan kehendak Allah bagi hidupnya. Di mana-mana ada kebutuhan mendesak baik di rumah sakit untuk pasien-pasien yang tidak bisa sembuh, karya pastoral, menolong keluarga yang retak, dan sebagainya. Kendati banyak sekali orang datang untuk meminta nasihatnya, Angela memakai waktu berjam-jam untuk berdoa, berbincang dengan Yesus. Doa menjadi kekuatan Angela dalam segala geraknya.

Angela Merici hidup di zaman Renaissance dan Reformasi, ditandai oleh banyak pertentangan dan konflik. Di antara orang-orang sezamannya ada yang tersohor seperti Nicholas Copernicus, Cristopher Columbus, dan Vasco da Gama. Pada saat itu, di satu pihak ilmu pengetahuan dan kesenian berkembang pesat, tetapi di pihak lain kemerosotan moral bertambah parah.

Keberanian, ketulusan, dan kerja keras Angela Merici tak diragukan lagi. Sebagai seorang gadis desa (Desenzano), Angela diajarkan untuk bekerja membantu orang tuanya di ladang maupun di rumah. Kebiasaan bekerja membentuk St. Angela menjadi seorang yang siap sedia melayani siapa saja.

Semangat belajar dan rasa ingin tahu yang tinggi membuat Angela sepanjang hidupnya selalu belajar. Baginya pendidikan membawa orang pada terang sehingga membuat seseorang menjadi lebih maju dan membawa pada keselamatan.

Meskipun demikian, St. Angela tidak pernah menjadi guru dan mengajar di sebuah sekolah yang didirikannya.  Angela mendirikan Kompani Santa Ursula bukan untuk mengajar anak-anak puteri, melainkan memberikan wadah kepada anak-anak gadis yang ingin membaktikan hidup mereka secara total kepada Tuhan dengan tetap tinggal ditengah-tengah masyarakat, tanpa harus memasuki biara, seperti biasanya dilakukan pada waktu itu.

Kesiapsediaan dan ketaatan pada Allah tak perlu diragukan lagi. Cintanya pada Allah membawanya pada kerinduan untuk selalu bersatu dengan Yesus dalam penerimaan Komuni Kudus. Kerinduan inilah yang membawa Anela untuk bergabung dengan Ordo ketiga Fransiskan.

Riwayat hidup Santa Angela dan terutama kata-katanya memberi gambaran kepada kita mengenai nilai-nilai yang merupakan perwujudan sema­ngat Santa Angela. Santa Angela mendiktekan gagasannya kepada seorang yang bernama Gabriel Cozzano. Gagasan tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu Regula Kompani Santa Angela ditujukan kepada semua anggota Kompani Santa Ursula dan merupakan suatu peraturan/pegangan hidup bagi mereka. Kedua Nasehat dan ditujukan kepada puteri-puteri yang lain. Serta yang ketiga Wasiat berisikan nasehat dan anjuran bagi para ibu/ janda yang memimpin Kompani.

Pada Regula Kompani Santa Ursula kita dapat menemukan  nilai/kebajikan yang perlu ada dan dikembangan dalam diri puteri-puteri Angela yang menjadi anggota Kompani itu: Tekad/kemauan yang teguh, kebebasan pribadi, kesadaran akan martabat panggilannya sebagai anggota Kompani, kegembiraan dan syukur, kesetiaan-ketekunan-harapan, kemampuan untuk discernment dan memilih, keterbukaan para Roh Allah, keserasian-perdamaian-solidaritas.

Menurut Suster Maria Dolorosa Sasmita, OSU,  dalam tulisannya pada  https://buletinserviam.wordpress.com Nilai-nilai yang ditanamkan oleh Santa Angela dalam diri para putrinya seperti yang dipaparkan di atas bersifat pedagogis dan “modern”. Dalam perjalanan waktu ketika para puteri Santa Angela melibatkan diri dalam kerasulan pendidikan, nilai-nilai yang dihayati mereka itu dijadikan dasar pendidikan yang mereka berikan.

Kiranya semangat perempuan sederhana dari Desenzano ini membawa para Ursuliner (orang yang mendapat pendidikan Ursulin)  di selurih dunia untuk selalu menghayati nilai-nilai yang ditinggalkan beliau. Nilai-nilai yang diwariskan ini diharapak mampu membentuk tiap pribadi dalam hidupnya masing-masing.

Khususnya para pendamping, pembimbing, dan para pendidik mampu menjalankan tugasnya untuk membimbing putri dan putra yang dipercayakan untuk dibimbing. Para pembimbing ini mempunyai tugas mulia untuk membentuk teruni dan teruna menjadi manusia yang utuh. Menurut Santa Angela, pembentukan adalah suatu panggilan Allah, suatu pemberian Allah yang dipercayakan kepada orang-orang yang dipanggilnya sebagai pembimbing. Sebenarnya yang menjadi pembimbing utama ialah Allah sendiri. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas pembentukan, para pembimbing perlu bersikap terbuka atau dan peka  akan bimbingan Allah sendiri.

Bunda Angela adalah perempuan sederhana dengan karya besar yang terseber ke seluruh dunia, hingga sampai juga ke Indonesia. Dengan penuh harapan kita berdoa agar nilai-nilai luhur warisan Bunda Angela tak akan luntur tertelan zaman.

“Berbahagialah mereka yang dengan sungguh-sungguh menjalankan tugas ini. Jika Anda menjalankan semua ini sesuai dengan petunjuk Roh Kudus menurut zaman dan keadaan, berbahagialah Anda dan majulah dengan yakin.” (Warisan Terakhir: 13-14).
(Bumi serpong Damai, Pesta St. Angela, 27 Januari 2018 - Ch. Enung Martina)



Jumat, 26 Januari 2018

Catatan Kecil Setelah Melayat

KEPERGIAN YANG DINI


Selalu akan ada perasaan duka pada saat salah satu keluarga, kerabat, sanak, sahabat, teman,dan  kenalan kita meninggal dunia. Perasaan duka yang muncul kadarnya akan berbeda pada saat kita mendengar kematian atau melayat dan  menghadiri pemakaman seseorang. Semakin kental relasi dengan orang yang meninggal, semakin dalam perasaan duka tersebut.

Saya sering hadir untuk melayat, mendoakan, dan pemakaman seseorang. Namun, kadar duka saya akan sangat dalam ketika saya hadir untuk melayat atau pemakaman murid, anak yang saya didik selama beberapa tahun.

Pengalaman duka yang dalam kembali terulang ketika saya hadir untuk melayat Natasha Marvella (almarhumah). Kedukaan yang terasa sering membaut terasa diri begitu kosong bagai sarang yang ditinggalkan.

Kembali lagi satu anak didik saya terbaring karena kanker darah atau leukemia. Satu lagi pejuang kehidupan terbaring dalam peti mati di hadapan saya. Kedukaan mendalam dari keluarga dan dari semua teman mengiringi kepergian gadis manis,Natasha.

Hari Selasa, 23 Januari 2018, saya melayatnya di Rumah Duka Atmajaya, Heaven Funeral Home, Jl. Pluit Raya No. 2, Penjaringan, Jakarta Utara. Saya tahu, semakin tua, saya semakin cengeng. Semakin gampang mengeluarkan air mata. Karena itu, saya sudah menyiapkan diri untuk menangis di rumah duka. Layaklah kiranya kala kita pergi ke rumah duka, lalu menangis di dalamnya. Begitu pikiran saya.

Namun, Saudari-Saudara, saya mengurungkan diri untuk tidak memangis di sana. Saya berusaha sekuat tenaga agar air mata saya tidak jebol. Kenapa pasal?

Jawabannya karena saya malu dengan Mama Natasha, ibu kandung almarhumah. Saya malu karena melihat ketegaran dan keiklasan yang terpancar darinya. Saya malu karena saya, yang tak melakukan apa-apa untuk Natasha,  menangis di hadapan seorang perempuan hebat, yang sudah berjuang dengan seluruh hidupnya  untuk Natasha, anaknya.

Benar-benar saya tertohok oleh kepasarahan dan keiklasan seorang ibu yang melepas putri semata wayangnya pergi dalam sukacita abadi. Lantas saya siapa? Saya hanya perempuan yang cengeng, yang bisanya hanya menangis, sementara saya tak lakukan apa pun untuk Natasha.

Dengan begitu tenang, Mama Natasha, perempuan yang ditinggalkan mati oleh putri semata wayangnya itu, menyambut kami para pelayat. Tak ada riak kesedihan pada dirinya. Yang ada hanya kepasarahan yang tulus. Ketenangan dan kepasrahan itu terpancar membawa para pelayat pada satu pemahaman spiritual tentang kematian. Bahwa kematian bukan untuk ditangisi, melainkan untuk disyukuri. Karena semuanya ada waktunya.

Mama Natasha bercerita tentang seputar kepergian puterinya tercinta. Satu hal yang membuat saya tertohok lagi adalah bahwa Natasha dalam kesakitannya selama 2 tahun itu, ia mempelajari Al Kitab. Natasha begitu rindu akan Firman Allah. Ia bisa membaca dan mempelajari Al Kitab lebih dari 5 jam dalam sehari.  Dalam keadaan kesakitan pun, bahkan kala matanya kabur karena efek dari kanker yang dideritanya, Natasha masih tetap meminta mamanya membacakan Al Kitab.

Mama Natasha berkata bahwa kala keadaan seseorang seperti Natasha, makanan-minuman dan obat-obatan serta tindakan medis tak lagi bisa diandalkan, maka satu-satunya yang tersisa adalah iman. Iman pada Allah adalah satu-satunya yang mampu membuat seseorang bertahan untuk melewati berbagai penderitaan.

Mama natasha menunjukkan pamflet yang berilustrasi foto Natasha bertuliskan kutipan ayat Al Kitab dalam bahasa Inggris: Jesus said to her, “I am the resurrection and the life. The one who believes in me will live, even though they die (John 11:25). Akulah   kebangkitan   dan hidup;  barangsiapa percaya   kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”

Mama Natasha menjelaskan, ayat itu merupakan kutipan favorit Natasha. Anehnya, Natasha menghembuskan nafas terakhirnya juga pada pukul 11.25. Bila dilihat ayat John 11: 25 dalam versi bahasa Inggris nampak bahwa Yesus berkata kepada dia (perempuan),  Jesus said to her. Mama Natasha memaknai bahwa Yesus berkata pada dia, anak perempuannya, Natasha: “Akulah   kebangkitan   dan hidup; barangsiapa percaya   kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”

Bagi Mama natasha, semua itu bukan hal yang kebetulan belaka. Ia memandang dari kacamata iman bahwa itulah kasih dan kebesaran Tuhan yang ditujukan untuk Natasha.
Diungkapkan pula bahwa sebelum meninggal Natasha memberikan pesan kepada salah satu temannya (tidak disebutkan namanya) bahwa ia ingin saat dia meninggal ada satu ayat yang dituliskan pada petinya. Kutipan itu diambil dari Surat Paulus kepada Timoteus yang berbunyi :  Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman (2Timotius 4:7).

Ketika Mama Natasha mengobrol dengan kami, para guru SMP yang datang ke sana, tak ada raut kesedihan yang membuat seseorang nampak berat. Yang saya lihat adalah ketulusan iman dari seorang mahluk kepada Khalik- nya. Bercerita dengan tenang dan penuh sukacita, bahkan.

Saya dengan Ibu Maria berpandangan mata kala kami mendengar kesaksian iman yang luar biasa ini. Ketika kami mengobrol sepulang melayat di grab car sewaan kami, Bu Maria berkata, “Imanku tak ada apa-apanya. Aku masih sering mengeluh dan mengomel.”  Saya dan Ibu Nina mengamininya.

Natasha sudah mengakhiri pertarungannya dengan baik, bahkan teramat baik. Kini Ia telah mencapai garis finish. Yang lebih penting lagi adalah bahwa Natasha sudah memelihara iman.

Lantas saya berkata pada diri saya sendiri: pertaruganku belum berakhir. Sudahkah aku melakuakn pertarunagn ini dengan baik?

Selamat jalan, Natasha. Saya bangga menjadi gurumu!

(Ch. Enung Martina, Jelupang, 26 Januari 2018,  1 hari sebelum hari St. Angela) 

Sabtu, 20 Januari 2018

NYEKAR MENELUSURI LELUHUR II : AMBARAWA


Hari kedua perjalanan keluarga kami adalah ke Ambarawa. Tujuan kami ke Ambarawa adalah berziarah ke Gua Kerep. Perjalanan ini kami lakukan setelah kami berkunjung ke rumah Mbok Reso, di Cinde Barat, Semarang. Sepulangnya kami berkunjung, kami menuju hotel untuk mengambil barang-barang dan untuk mandi-mandi agar badan terasa segar.

Waktu menunjukkan pukul 14.15 ketika kami keluar dari hotel. Mobil pesanan kami sudah menunggu siap membawa kami ke Ambarawa. Maka perjalanan kamipun dimulai. Pemandangan di kiri kanan jalan hijau merata diselingi dengan perkampungan. Karena perut kenyang dan badan segar serta pendingin udara di mobil, maka ketiga buah hatiku dan sang suami pun jatuh tertidur. Tinggal saya yang memang tidak mudah tertidur di kendaraan. Duduk dengan bersandar santai sambil menikmati hijaunya panorama di sepanjang jalan, membawa saya pada perasaan kagum akan segala hal yang dilihat.

Ambarawa adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Dari sumber yang saya baca ternyata Ambarawa pada era kerajaan kerajaan Mataram (Amangkurat II) kawasan ini bernama Limbarawa. Dulu Ambarawa pernah menjadi ibu kota Kabupaten. Ambarawa juga disebut sebagai kota Palagan karena  terdapat Musium Palagan Ambarawa. Museum Palagan Ambarawa dikenal juga dengan sebutan Monumen Palagan Ambarawa. Di sini merupakan lokasi terjadinya peperangan atau pertempuran dahsyat ketika melawan Jepang yang berlangsung pada tahun 1945.

Ambarawa adalah sebuah kota kecil dengan sejuta pesona. Wisata alam, wisata sejarah, hingga wisata kuliner semua ada di sini. Siapa yang tak kenal Rawa Pening, danau purba dengan kisah mistis yang melegenda. Terletak di kaki Gunung Ungaran, Ambarawa dikelilingi oleh barisan pegununga yang menawan. Untuk penyuka kegiatan fisik trekking, kita bisa mendaki Gunung Ungaran atau Merbabu.

Kecamatan Ambarawa adalah sebuah kota pasar yang terletak di antara Semarang dan Salatiga. Dalam perjalanan itu, kita akan disuguhi dengan pemandangan alam Rawa Pening, sebuah rawa yang membenatng panjang.

Menurut sumber yang saya baca ternyata asal muasal rawa menurut geologist J. Van Bemellen, Rawapening merupakan cekungan danau tektonik, yang terjadi dari peristiwa tektonik gravitasi, yaitu pergeseran akibat gaya berat, yang mengakibatkan Gunung Telomoyo Purba, yang dikenal sebagai Gunung Soropati, sobek dan menghasilkan sesar Klegung yang sekarang sudah tidak aktif lagi. Pada Masa Pra-sejarah, sisi timur Gunung Soropati bergeser ke arah timur laut, sehingga daerah antara Gunung Telomoyo dan Pegunungan Payungrong mengalami depresi. Akibatnya, bagian kaki dasarnya patah dan terlipat, sehingga membentuk cekungan yang terisi air hujan dan menghasilkan banyak mata air dari patahan aquifer. Cekungan inilah yang dikenal sebagai Rawapening. Rawa ini menjadi sumber air utama Sungai Tuntang, yang bermuara ke Laut Jawa. Nah. Pada tahun 1921-1923, Pemerintah Hindia Belanda membendung aliran air yang keluar dari Rawapening, dengan membangun Bendung Gerak Jelok (lebar 43,25 m dengan 6 pintu radial) pada bagian hulu Sungai Tuntang, untuk dialirkan ke turbin PLTA Jelok dan Timo yang berkapasitas 25 MW (Damar Kumala, 2010).
Perjalanan kami akhirnya memasuki  kota Ambarawa. Kami mulai memasuki Jalan Tentara Pelajar. Tujuan kami akan berziarah ke Gua Maria Kerep Ambarawa yang sering disingkat GMKA. Gua Kerep bukanlah nama yang asing lagi di telinga umat Katolik Indonesia, khususnya umat dari Keuskupan Agung Semarang. Sejak beberapa tahun terakhir, nama Gua Kerep juga mulai diakrabi oleh umat dari berbagai keuskupan di Indonesia.

Bila dilihat di google map dari arah Semarang, GMKA cuma berjarak 900 meter (dari Jalan Raya Semarang). Bagi peziarah yang baru pertama kali berkunjung ke gua ini, cukup mengikuti petunjuk papan nama yang berada di seberang jalan depan Terminal Ambarawa. Atau tepatnya di sebelah kanan SD Pangudi Luhur Ambarawa atau sebelah Timur SMP Pangudi Luhur Ambarawa kemudia ke arah utara.
Kesejukan hawa dan pesona alam yang menawan menyambut setiap kehadiran kami. Nampak di kejauhan hamparan hijau sawah serta pepohonan di kaki Gunung Ungaran terasa begitu ramah. Pesona alam ini seolah  mengantarkan setiap hati menuju alam surgawi Gua Maria Kerep.

Waktu menunjukkan sekitar pukul 15.30 ketika kami tiba di lokasi Giua Maria Kerep. Keadaan saat kami datang cukup ramai. Hal ini terlihat dari berderetnya mobil yang diparkir di sepanjang area parkiran. Padatnya kendaraan dan keberadaan kios-kios souvenir yang berderet di sekitar lokasi seakan tak mampu menembus kedamaian dan ketenangan area Gua Maria Kerep Ambarawa. Keheningan terasa, terutama ketika kita memasuki arena gua.  
Meskipun ini bulan Desember, tepatnya tanggal 24 Desember 2017, gua ini Nampak ramai dengan para peziarah yang datang untuk berdoa. Setelah lebih dari setengah abad berdiri, kini GMKA tak pernah sepi dari para peziarah. Nyaris setiap saat dari pagi hingga malam, selalu saja didatangi peziarah sekalipun di luar Bulan Maria yang jatuh pada Bulan Mei dan Oktober. Seperti  saat kami datang. Penginapan sekitar gua pun sudah  full book. Ada satu atau dua  kamar yang masih kosong, tetapi tidak kami pilih karena letaknya di lantai dua. Hal itu cukup merepotkan, terutama untuk Bob, suami saya karena masalah dengan lututnya.

Akhirnya kami terlebih dahulu mengisi perut dengan santapan nasi pcel, saren ayam, bacem teme-tahu, sate telur puyuh, soto ayam, kerupuk gendar, serta minumannya jus jeruk baby yang segar dan asli tanpa campuran apa pun. Harganya fantastic! Murah dan lezat!
Dalam perbincangan selama kami makan, pemilik warung memberikan rekomendasi seorang saudaranya, Mbak Pur, yang punya rumah kosong dan biasa disewakan. Akhirnya kami bertemu dengan Mbak Pur. Kami pun tawar-menawar harga. Maka, dapatlah harga yang pantas berdasarkan sepakat dua belah pihak untuk sebuah rumah penginapan.

Rumah itu terletak sekitar 300 meter dari lokasi Gua Maria. Rumah itu terdiri dari 2 kamar tidur, 2 kamar mandi dan WC, dapur yang dilengkapi kompor dan peralatan memasak, ruang keluarga yang bergabung dengan ruang depan, dan teras kecil. Rumah yang pas untuk kami sekeluarga. Kami beristirahat sejenak dan membersihkan diri karena sebentar lagi, pukul 17.00, kami akan mengikuti Misa Natal pertama di Gereja Santo Yusuf, yang lebih dikenal dengan Gereja Jago.
Gereja Katolik St. Yusup- Paroki Ambarawa, Jawa Tengah, terletak di Jalan  Mgr. Soegijapranata 56, Ambarawa.  Gereja Jago, begitu biasanya orang menyebut gereja ini, pada tahun 2 Agustus 1859 tersebut, bagian tenggara stasi Semarang mulai dipisah. Berdirilah Gereja Ambarawa yang menjangkau wilayah; Ambarawa, Salatiga, Solo, Madiun, Pacitan. Pada tahun 1862 sudah ada Jesuit Yohannes F van der Hagen, SJ yang ditempatkan bertugas di Ambarawa dan Yogyakarta.

Tanggal 1 Oktober 1870, Pastoor J. Lijnen melakukan peletakkan batu pertama guna mengawali pembangunan gedung gereja St. Yusup di atas tanah pemberian pemerintah. Menjelang selesainya pembangunan, bulan Mei 1873 gereja yang sudah setengah jadi tiba-tiba roboh. Selanjutnya dilakukan perbaikan. Tanggal 12 Desember 1875 bangunan gereja tersebut diberkati Pastoor. J. Lijnen. Tahun 1876 sudah ada Jesuit yang ditempatkan bertugas di Semarang untuk membantu pastoor diosesan.
Mengapa Gereja St. Yusuf Ambarawa disebut Gereja Jago? Mudah saja jawabannya: karena di atas atap gereja ini terdapat patung ayam jago yang menghadap ke timur. Yang menjadi pertanyaan mengapa harus ayam jago, tidak binatang yang lain?

Ayam jago adalah salah satu simbol dalam Gereja Katolik dengan makna paling tua dalam sejarah. Kita tahu bahwa kokok ayam jago menandakan terbitnya matahari. Bisa dibilang, kokok ayam jago MENYAMBUT fajar. Gelar Kristus yang bangkit adalah Sang Fajar atau Sang Timur (Latin: Oriens). Secara umum, fajar juga menandakan harapan, harapan bahwa Tuhan akan datang, saat di mana kegelapan dosa dikalahkan. Dengan demikian, ayam jago, sebagai hewan yang menyambut fajar, melambangkan umat Allah yang berjaga-jaga dan menyambut Kristus yang bangkit. Dalam kegelapan, kita bersabar sambil terus waspada menunggu terbitnya Sang Fajar yang mengalahkan maut.
Selain itu, ayam jago juga mengingatkan kita akan kisah Santo Petrus yang menyangkal Kristus tiga kali sebelum ayam berkokok. Simbol ayam jago di atap gereja hendak memperingatkan kita agar kita terus berjaga-jaga setiap waktu, menjaga iman kita tetap menyala dengan doa dan amal kasih, sebab kita tidak tahu kapan Sang Fajar akan datang.

Merayakan Natal di tempat perziarahan membawa kesan yang menarik dan mendalam. Kami sebagai tamu peziarah berkesempatan merayakan Natal bersama umat Paroki Santo Yusuf Ambarawa pada Misa Raya pukul 17.00 WIB. Misa Kudus diawali dengan pemberkatan Lilin Natal di depan gereja. Lilin Natal kemudian diarak ke dalam gereja yang diikuti penyalaan lilin umat. Selama perarakan dinyanyikan lagu Malam Kudus oleh koor yang bagus diikuti umat sehingga tercipta suasana agung dan meriah. Dalam misa juga dilangsungkan pembabtisan umat baru.
Misa berakhir sekitar pukul 19.00. Semua umat membubarkan diri sambil bersalam-salaman mengucapkan selamat Natal. Kami keluar untuk menuju ke penginapan kami di Gua Maria Kerep. Menyusur jalanan sepanjang Kota Ambarawa, hal  yang terlihat adalah gedung-gedung tua peninggalan kolonial Belanda dan etnis Cina. Tak terbayang berapa tepat usianya, mungkin sudah ratusan tahun.

Inilah Ambarawa, kota kecil yang selalu menyisakan sejuta cerita. Bangunan Gereja Jago, yang baru kami tinggalkan, merupakan bangunan megah dengan arsitektur khas Negeri Kincir Angin ini sampai sekarang masih kokoh berdiri. Lekukan relief dan menara yang menjulang jelas-jelas menunjukkan betapa kentalnya nuansa Belanda pada bangunan tersebut. Walau terus berbenah dengan penambahan di sekitarnya, namun bangunan induk itu tetap dipertahankan keasliannya, seolah untuk seratus bahkan hingga seribu tahun mendatang, Gereja Jago akan tetap seperti itu adanya.
Berjalan sedikit agak ke tengah kota, akan kita jumpai SMP Pangudi Luhur. Sekolahan yang dahulu bernama MULO ini masih tampak jelas sentuhan arsitektur Belandanya. Pondasi bebatuan kali yang tampak menonjol agak tinggi, relung jendela dan daun pintunya yang serba besar, masih ditambah lagi dengan adanya sebuah Kapel lengkap dengan menara kecilnya. Semua itu tak lain adalah karya peninggalan jaman kolonial Belanda yang masih kokoh berdiri hingga saat ini.

Ambarawa mulai sepi dari hiruk pikuk harian. Beberapa orang terlihat berjalan santai menikmati malam di kotanya. Kebanyakan toko-toko sudah tutup digantikan dengan tenda-tenda penjual makanan malam.
Kami kembali ke penginapan. Sebelumnya kami mampir dulu di kios makan di komplek Gua Maria Kerep untuk menikmati makan malam kami. Kali ini menikmati makanan berkuah: mi-bakso, sate ayam, nasi putih, dan teh panas manis. Perut kenyang, kami menuju ke Gua Maria untuk berdoa dulu sebelum masuk di penginapan.

Suasana gua temaram karena hari mulai beranjak malam. Saya mengambil tempat doa di pelataran yang agak jauh dari gua. Saya tidak nyaman dengan wangi yang menyengat yang berasal dari parfum yang diguyurkan begitu saja sekitar patung. Bagi saya itu malah membuat tidak konsentrasi berdoa. Saya juga heran mengapa harus diguyur parfum? Alangkah lebih baik kalau wewangian itu berasal dari yang alami seperti bunga mawar, melati, kantil, sedap malam, dll. Malah harumnya lembut dan menyegarkan daripada diguyur parfum. Menurut saya sesuatu yang berlebihan itu tidak pas. Termasuk wewangian yang terlalu harum malah membuat pusing.
Tiba di penginapan, hari sudah menunjukkan pukul 23.30. Segera membersihkan diri untuk menuju tempat tidur. Besok pagi petualangan baru menanti. (Ch. Enung Martina)




Jumat, 05 Januari 2018

NYEKAR, MENELUSURI LELUHUR I: SEMARANG


Liburan Natal tahun 2017, kami sekeluarga ,memutuskan untuk mudik ke Jawa Tengah untuk nyadaran makam leluhur dari pihak suami saya, Yohanes Bob Hariyadi Martopranoto. Berbicara tentang leluhur itu berarti dari pihak ayah dan ibu suami saya. Dari pihak ibu (Agatha Dientje Adolfin Breton van Groll)  makam keluarga Breton Van Groll  berada di  Pemakaman Umum Kyai Klungsu, Kecamatan Wonosari, Klaten, Jawa Tengah.  Dari pihak ayah Bob (Paulus Martono Martopranoto) berada di Pemakaman Umum Bergota, belakang RS Karyadi, Semarang. Juga dari pihak kakek Bob (R. NG. Sumarmo Martopranoto dan Ny. Ng. Martopranoto) berada di Pemakaman Umum Baben, Bareng Lor, Klaten. 

Kami berangkat dari Serpong pada hari Sabtu, 23 Desember 2017. Karena kami tahu bahwa itu  musim liburan, maka kami memutuskan untuk tidak membawa kendaraan sendiri, melainkan naik kereta api. Betul saja perkiraan kami. Karena keponakan yang pulang ke Yogyakarta dari Bumi Serpong Damai dengan membawa kendaraan sendiri baru tiba setelah menempuh perjalanan 20 jam.

Tujuan pertama kami ke Semarang, kota tempat  Bob dibesarkan. Di sini Bob mempunyai banyak kenangan masa kanak-kanan bersama-sama keluarga besar,  bersama ayah dan ibunya, serta saudara-saudarinya.  Kami berangkat dengan Kereta Api Gumarang dari Statsiun Senen, Jakarta,  pukul 16.45 dan tiba di Statsiun Tawang, Semarang pukul 23.05. 

Kami memutuskan untuk menginap di Hotel Olympic. Mencarinya dari traveloka.com yang harganya murah meriah. Pilihan kami tepat karena hotel ini strategis berada di Jalan Imam Bonjol yang dekat ke mana-mana. 


Tanggal 24 setelah sarapan di hotel kami menuju makam pertama yang akan kami datangi, yaitu makam mertua lelaki yang tidak saya kenal karena saat saya menikah dengan Bob, beliau sudah tiada. Beliau bernama Paulus Martono Martopranoto.

Memasuki kawasan tempat permakaman umum (TPU) Bergota Kota Semarang, saya tidak merasa seram seperti kalau memasuki area pemakaman. Mungkin karena lokasi pemakaman ini berdekatan dengan perumahan penduduk. Seperti pada umumnya pemakaman yang sering kita temukan, di sekitar pemakaman Borgota pohon kamboja  tumbuh di sela-sela kuburan. Bunganya bermekaran putih kekuningan. Keindahannya dan harumnya menyemarakkan area tersebut.

Pemakaman ini berada di sebuah bukit di atas kota Semarang. Ada beberapa gang kecil, jalannya telah beraspal. Jalan yang hanya bisa dilalui satu mobil, membelah kuburan berlokasi di atas perbukitan wilayah Keluruhan Randusari, Semarang Selatan ini. Di sini kami berdoa dan menabur bunga. Ada perasaan syukur pada saya karena akhirnya kami bisa berziarah setelah 8 tahun berlalu. Terakhir ke kuburan ini tahun 2009. 
Ketika menyusuri jalan kecil yang ada di komplek pemakaman Borgota, kami sampai ke atas dan  mendapatkan pemandangan ganjil bagi orang awam, karena di antara makam-makam tersebut berdiri bangunan rumah. Ada perkampungan di sela-sela komplek pemakaman. 

Bangunan rumah kebanyakan sudah permanen, ditembok, bahkan ada yang telah ditingkat. Semuanya berpadu dengan batu-batu nisan di sekitarnya.  Penduduk berlalu lalang beraktivitas seperti biasanya.
Sepulang dari makam kami menuju ke arah Padanaran dulu untuk mencari oleh-oleh dan makam lumpia semarang yang terkenal itu. Jalan Padanaran merupakan jalan yang berada di tengah-tengah kota Semarang ini merupakan sentra jajanan oleh-oleh khas Semarang. Di tempat inilah makanan khas Semarang seperti lumpia, bandeng presto, dan wingko babat, serta bakso tahu dapat ditemui dengan mudah.


Setelah cukup berbelanja, maka kami memutuskan untuk menikmati jajanan lumpia semarang di kaki lima dari pedagang yang banyak berjejer sepanjang jalan. Harganya per lumpia Rp 10.000. Bisa dinikmati dengan digoreng atau basah. Sesuai selera. Kami pun membeli minuman segar jus jeruk baby yang diperas langsung tanpa campuran apa pun. ada 2 pilihan yang harga Rp 12.000 dengan gelas sedang atau gelas besar seharga Rp 15.000. Boleh ditambah es batu untuk menambah kesegarannya. Rasanya manis asli, juisy, tanpa pengawet apapun. segar dan alami!
Selesai mengisi perut, kami melanjutkan untuk mengunjungi kerabat yang berada di area Cinde Barat. Lokasi perumahan di tempat yang kami kunjungi berada di atas bukit. jalannya cukup curam sehingga agak mengkhawatirkan ketika kami naik. Akhirnya diputuskan untuk memarkir kendaraan di jalan yang ada di bawah. Untuk menuju ke rumah kerabat kami, Mbah Reso, kami jalan kaki. Namun, pemandangan dari atas bukit sangat menakjubkan. Seluruh panorama kota Semarang nampak dari sini. Panorama nan elok merupakan upah yang setimpal setelah cukup lelah berjalan naik ke atas bukit. 
Kunjungan kami dipenuhi dengan obrolan dan canda tawa karena sudah lama tidak berjumpa. Bercerita banyak hal seputar pengalaman yang lalu dan  keadaan sekarang. Silaturahmi kami dimeriahkan dengan makanan kecil aneka kue dan sirup jeruk yang segar. Serta menu utama kami adalah lontong opor ayam kampung yang gurih dan sedap. Hidangan yang luar biasa disantap kala lapar dan penuh kekeluargaan. Kami mengakhiri kunjungan dengan doa bersama sebagai bentuk ucapan syukur atas pertemuan dan persaudaraan yang selama ini terjalin. 


Kami pun menlanjutkan perjalanan kami menuju hotel untuk check out mengambil barang-barang untuk menuju ke destinasi kami yang kedua: ziarah ke Gua Maria di Ambarawa. 
(Ch. Enung Martina)