Oleh: Cristina Enung Martina
Pernahkah kau mersakan bahwa beban yang satu lepas beban yang lain datang lebih dari satu dan terasa lebih mennekan?
Terkadang aku merasakan dan menganggap itu sebuah beban. Aku mengalami ketika satu tanggung jawab selesai dan muncul tanggung jawab lain yang lain. Kala hati sedang sangat tidak beres dan mental sedang terpuruk semua hal terasa tidak pada tempatnya. Semua hal terasa menjadi sesuatu yang menganggu, bukan yang menantang.
Kala hati kita diliputi oleh kegelapan pikiran, muncul suatu perasaan berat yang mendesak dan meracuni. Kenapa aku harus melakukannya? Kenapa bukan orang lain yang melakukannya? Kenapa tanggung jawab itu diberikan kepadaku bukan diberikan kepada orang lain yang menurut pendapat dan penglihatanku memang semestinya itu menjadi tanggung jawabnya?
Mengapa orang yang semestinya yang bertanggung jawab malah bisa berkelit dan seolah tak tahu serta pergi meninggalkan tanggung jawabnya? Mengapa pula ketika orang itu berkelit dan melarikan diri, aku merasa harus menjadi pengganti orang tersebut. Mengapa pula ada dorongan bahwa aku harus mengambil alih tanggung jawab itu. Siapa yang mengharuskan? Tak ada? Siapa yang mewajibkan? Juga tak ada. Mengapa sepertinya memang masalah tersebut berada di hadapanku dan seolah itu sudah seharusnya aku yang ambil alih? Sementara orang yang semestinya bertanggung jawab lari kocar-kacir dan tak mungkin ditangkap karena berbagai alasan yang menunjukkan bahwa pribadinya memang tak bisa diandalkan.
Ada banyak pertanyaan mengapa yang tak juga ditemukan jawabannya. Hanya kenyantaannya bahwa masalah itu sekarang ada di hadapanku. Ayo kamu mau lari kemana? Apakah aku akan berlari seperti orang si pengecut tadi atau aku mengambil alih? Kalau aku diam saja berarti aku sama dengan si pengecut tadi. Kalau aku mengambil alih berarti tanggung jawabmu bertambah dan juga bebanmu bertambah. Nah, lo…. Bingung kan.
Nah, celakanya lagi aku itu adalah jenis manusia yang sangat tak ingin dikatakan pengecut. Aku lebih baik babak belur daripada aku harus bertindak menjadi pengecut. Payah sekali. Sebetulnya sebagian dari diriku mengatakan kau tak perlu lakukan itu. Untuk apa? Dapat keuntungan? Tidak juga. Malah yang didapat kerepotan dan juga pengorbanan materil maupun moril.
Nah… lo mau-maunya direpotkan. Lari saja… biar saja…. Ngapain kamu yang bertanggung jawab? Orang lain juga ada. Kenapa kamu repot-repot. Kamu kan bukan orang berada dan bukan orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Kamu juga masih punya banyak hal dan pekerjaan yang harus kamu urusi. Sudahlah jangan repot dan jangan jadi orang yang sosial..
Begitulah suara-suara itu terus menghantuiku. Aku berperang anatar ya dan tidak. Aku juga jengkel kenapa ada orang yang dengan manisnya bisa mencuci tangannya dan sama sekali tak peduli dengan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Berperang dalam hati kecil itu yang biasa terjadi. Suara lain berkata:
Lantas aku harus juga berlaku tidak bertanggung jawab seperti orang lain lakukan? Kalau begitu apa bedanya aku yang katanya mengenal Tuhan dan mengaku beriman dengan orang yang yang pribadinya hanya mampu diukur dengan hitungan rupiah atau materi apa yang didapat? Serendah itukah harga diriku? Apa atinya Injil yang katanya aku akui sebagai kumpulan firman Allah?
Beberapa hari ini permenunganku pada keberadaan manusia di dunia dengan segala tugas dan panggilannya. Pada tujuan Tuhan yang membuat manusia berada di dunia. Ada satu tujuan dari setiap hidup yang diciptakan Tuhan pada setiap insan. Diadari atau tidak disadari, tujuan itu ada.
Sesudah otakku mulai jernih, dingin, dan hatiku mulai berperan ikut mempertimbangkannya, mulai aku bisa melihat dengan lebih baik. Melihat dengan logika dan hati. Kalau memang orang emoh untuk bertanggung jawab, kita tak bisa memaksa orang tersebut untuk melakukannya. Namun masih ada menyisakan pertanyaan: Tapi kenapa bisa begitu ya? Kalau memang dia mau lari dari tanggung jawab mereka terhadap ini sebetulnya dia lari dirinya dan yang lebih besar daripada itu, dia menghindar dari tanggung jawabnya terhadap Tuhan. Kalau tindakan mereka yang berlaku seperti itu, sebetulnya hanya menyatakan kepadaku juga dunia bahwa itulah batas kepribadiannya.
Lantas kenapa sewot? Ya…. Sudah anggap saja Tuhan menunjuk kamu untuk mengambil alih tanggung jawab ini. Begitu suara lain berkata.
Ini perkara biaya…cing! Duit!!!
Begitu suara lain berkata.
Memangnya selama ini Bapa Surgawimu membiarkan kamu menderita, kekurangan, kelaparan, dan mengemis pada orang yang kamu anggap bisa meolongmu? Memangnya DIA membiarkan anak-anakmu menjadi anak gelandangan, buta huruf, dan tak berpendidikan?
Jawabannya adalah : TIDAK PERNAH.
Apakah limpahan berkat yang kamu nikmati selama ini kurang? Apakah rasa syukurmu hanya kamu nyatakan lewat doa dan ke gereja saban minggu? Apakah imanmu hanya dinyatakan sebatas itu tanpa perbuatan nyata?
Semprul! Itu suara tajam menghujam nubari! Tapi ya... kok benar adanya. Malu aku jadinya.
Jadi kesimpulannya: PERBUATLAH yang terbaik apa yang bisa kamu lakukan. Urusan rejeki biar Bapa Surgawi yang mengatur. Dan janganlah memikirkan nanti bagaimana kalau…. Berbuat baik tak pernah memikirkan resiko apa yang akan terjadi. Mengapa? Karena berbuat abaik adalah berbuat baik. Wis titik. Tidak ada koma atau pertanyaan lain atau alasan lain.
& & &