Minggu, 28 Maret 2010
CATATAN TENTANG YERUSALEM
JERUSALEM SATU KOTA TIGA IMAN
( dari buku karya Karen Armstrong)
Bagian I
Jerusalem, sebuah nama yang begitu terkenal di seluruh jagat. Hampir semua mengharapkan satu waktu bisa tiba di tempat itu. Yerusalem sering pula disebut Al Quds. Kota ini dikultuskan sebagai kota suci. Pengultusan sebuah tempat menjadi tempat suci merupakan fenomena yang mendekati universal.
Para sejarawan agama percaya bahwa Yerusalem merupakan salah satu manisfestasi iman yang paling awal dalam semua kebudayaan. Orang mengembangkan geografi sacral yang tidak ada kaitannya dengan peta ilmiah dunia, tetapi menggambarkan kehidupan batin mereka. Dengan alasan yang berbeda, yerusalem telah menjadi pusat geografi sakral Yahudi, Kristen, dan Islam.
Hal ini mempersulit mereka melihat kota ini secara objektif karena yerusalem sangat terikat dengan konsepsi mereka tentang diri mereka sendiri dan realitas tertinggi yang disebut TUHAN atau yang sakral. Hal itu memberikan makna dan nilai pada kehidupan duniawi kita.
Ketika manusia merenungkan dunia, manusia mengalami transendensi dan misteri di jantung eksistensi. Manusia merasa bahwa itu sangat dalam berhubungan dengan diri mereka dan dengan cara alamiah, tetapi juga melampaui yang lebih jauh. Kata itu diwakili dengan TUHANB, Brahma, Nirvana, atau sebutan lain. Transendensi ini merupakan fakta kehidupan manusia.
Kita mengalami hal serupa apa pun opini teologis kita ketika kita mendengarkan gubahan music yang luar biasa atau membaca sebuah puisi yang indah. Kita merasa tersentuh, batin kita terangkat melamapaui diri kita sendiri. Kita cenderung mencari pengalaman ini. Dan jika kita tidak menemuknnya pada suatau tempat, kita akan mencarinya di tempat lain.
Yang suci dialami dengan berbagai cara:
Ia menimbulkan ketakutan, kekaguman, antusiasme, kedamaian, dan aktivitas moral yang kuat. Ia mempresentasikan eksistensi yang lebih penuh dan lebih baik yang akan melengkapi kita. Ia bukan sekedar dirasakan sebagai sesuatu kekuatan ‘di luar sana’, tetapi dapat juga dirasakan kedalaman wujud kita sendiri.
Namun, seperti pengalaman estetik lainnya, kesadaran akan yang sakral dianggap sangat penting. Memang, tanpa kesadaran yang ilahi ini, orang sering merasakan bahwa kehidupan tidak layak dijalani.
Persaan bahwa kehidupan tak layak dijalani anatara lain disebabkan oleh karena manusia selalu mengalami dunia sebagai tempat yang menyakitkan. Menjadi korban bencana alam, kematian, kepunahan, ketidakadilan, dan kekejaman manusia.
Di samping mengalami guncangan-guncangan yang umum yang dialami jasmani, kita semua mengalami tekanan personal yang menjadikan kesulitan yang remeh terasa sangat menganggu. Ada perasaan ditinggalkan yang menjadikan pengalaman seperti penolakan, perceraian, putusnya persahabatan, atau bahkan kehilangan barang tercinta. Kadang semua itu menjadi bagian dari sesuatu penderitaan mendasar dan universal.
Seringkali penyakit batin ini dicirikan oleh perasaan perpisahan. Tampaknya ada sesuatu yang hilang dalam hidup kita, sepertinya tidak utuh. Kita memiliki persaan awal bahwa kehidupan tidak dimaksudkan untuk demikian dan bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang esensial bagi kesejahteraan kita, meskipun kita sulit menjelaskan ini secara rasional. Pada abad-abad lalu manusia berpaling pada agama untuk meredakan kesulitan hidupnya dengan menemukan penyembuhan dalam pengalaman akan yang sakral.
(Enung Martina : catatan sesudah membaca buku)
Sabtu, 13 Maret 2010
KEKAGUMAN
Ch. Enung Martina
Bila dilihat dari bentuk katanya ’kekaguman’ termasuk kata jadian yang disebut kata berimbuhan. Kata ini berasal dari kata dasar ’kagum’. Menurut kamus ’kagum’ artinya heran (dengan rasa memuji), takjub, tercengang. Kata ’kekaguman’ artinya perasaan kagum, ketakjuban, dan keheranan.
Dalam kehidupan kita, kita sering mengalami rasa kagum. Misalnya, saya sendiri kagum terhadap hal yang indah-indah, yang nyeni, yang cantik, yang ngganteng, yang menyentuh nubari, dll. Saya mengagumi beberapa tokoh yang menurut saya mereka itu hebat karena saya tidak bisa seperti mereka. Saya mengagumi tokoh yang ternama di dunia sampai akhirat, juga yang tidak ternama. Kekaguman saya kepada mereka karena saya tidak memiliki apa yang mereka miliki. Misalnya saya mengagumi para penulis seperti Khalil Gibran, Paulo Coelho, Andera Hirata, Dewi Lestari, dll karena karya mereka yang menginsipari. Saya juga kagum pada tokoh Kitab Suci seperti Yesus, Abraham, Nuh, Ayub, Esther, dll karena kehebatan mereka dalam kisah hidup mereka yang menginspirasi dunia. Saya juga kagum pada Soekarno juga Mbah Marijan dan Romo Widyo. Akhir-akhir ini saya kagum pada Amsi, gadis Flores yang tinggal di keluarga Ibu Rini. Ia gadis yang pandai memanjat pohon kelapa dan punya iman katolik yang kampiun. Wah, kalau saya ceritakan satu persatu kekaguman saya, banayak sekali dan tak mungkin muat untuk ditulis.
Kekaguman pada seseorang membuat kita bersemangat karena kita terinspirasi pada cara hidup mereka atau keberhasilan mereka. Kekaguman tidak semata karena ganteng dan cantik secara fisik saja. Namun, juga hal yang sifatnya rohani.Bila kita mengingat orang yang kita kagumi kita jadi ingin juga ketularan kehebatan mereka.
Pada suatu liburan Lebaran tahun 2008 kemarin, ketika gema takbir berkumandang, saya duduk berdua dengan adik ipar saya di beranda sebuah pondok di tepi pantai sambil mendengarkan deburan ombak di laut lepas. Malam itu kami duduk-duduk berdua saja sementara anak-anak dan para suami sibuk bermain kartu. Ipar saya bercurhat ria tentang banyak hal. Salah satunya tentang rasa kagum dan hormat yang berubah menjadi tidak simpatik dan cenderung meremehkan. Apa pasalnya?
Ada seseorang yang layak dihormati dan dikagumi karena ia tokoh masyarakat. Namun, dalam perjalanan waktu ipar saya jadi tahu belangnya tokoh ini. Rupanya sepak terjangnya dia selama ini ternyata menyembunyikan ’kebobrokan’ tokoh kita ini. Ipar saya kecewa karena yang layak dikagumi ini ternyata... layak juga dicaci. Pokoknya malam itu kartu tokoh kita ini terbuka di hadapan saya. Saya juga kaget awalnya meskipun tokoh ini bukan tokoh yang saya kagumi. Saya kenal baik dengan tokoh kita ini, tetapi apa yang diceritakan oleh adik ipar saya, di luar dugaan saya. Saya benar-benar kaget dengan cerita ipar saya itu. Tidak sangka ya...begitulah hidup penuh dengan misterinya.
Saya tidak akan berkisah tentang tokoh kita di atas karena itu bukan urusan saya juga bukan urusan pembaca. Urusan saya sekarang berbicara tentang kekaguman. Kekaguman memang bisa saja berakhir dengan kebencian bila ternyata tokoh yang kita kagumi menunjukkan sisi kelemahannya apalagi kalau kelemahan itu selama ini tidak muncul. Selama ini kita mengagumi tokoh karena kelebihannya.
Mengagumi juga ternyata ada seninya ada kaidahnya. Kalau kita mengagumi secara buta, akhirnya akan berakhir dengan kecewa. Saya mengagumi laki-laki yang menjadi pacar saya karena dia ... sesuai dengan harapan saya. Begitu saya tahu ternyata laki-laki tadi menampilkan hal yang berlawanan dengan harapan saya, kekaguman saya pun pudar.
Mengagumi juga harus dewasa. Ketika kita mengagumi seseorang kita juga sudah harus tahu bahwa orang itu tidak sempurna. Saya mengagumi Ir. Soekarno (presiden RI pertama) karena pemikirannya, gagasan, dan pandangannya. Sisi lain juga saya tidak suka dan tidak setuju dengan tokoh saya ini karena dia doyan kawin. Dia orang yang berpoligami. Perempuan mana yang mendukung poligami? Kecuali dalam film Ayat-Ayat Cinta atau mungkin Teh Ninih (istri Aa Gim) ketika diwawancarai wartawan tentang suaminya yang beristri lagi, dia merelakan dirinya untuk dimadu.
Kekaguman jangan membabi buta karena akan berakhir dengan kecewa bahkan kebencian. Kekaguman juga berarti kita melihat sisi lemah dari tokoh yang kita kagumi. Kehebatan tokoh ini yang membuat saya terinspirasi, tetapi kelemahannya juga membuat saya bercermin tentang arti kesempurnaan dan ketidaksempurnaan.
Saran saya tetaplah mengagumi tokoh-tokoh nyata atau tak nyata dalam hidup kita karena mengagumi itu sebuah hak. Ambillah pelajaran-pelajaran hidup dari tokoh yang kita kagumi, jangan hanya semata-mata karena keren, ganteng, cantiknya, atau kaya saja. Belajarlah dari tokoh yang kita kagumi tentang makna kasih yang ia lakoni dan daya juang yang ia miliki. Jangan mendewakan tokoh yang kita kagumi, kecuali pada tokoh dunia-akhirat kita. Kalau saya siapa lagi yang saya kagumi, tentu saja Yesus dari Nazareth itu.
* * * *
Labels:
Andera Hirata,
Dewi Lestari,
kagum,
Khalil Gibran,
Mbah Marijan,
Paulo Coelho
Langganan:
Postingan (Atom)