Senin, 8 Agustus 2011 itulah saatnya kami diakreditasi sesudah lima tahun lebih sejak akreditasi sebelumnya. Akreditasi merupakan proses penilaian yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional terhadap sekolah-sekolah. Ada standar yang harus dipenuhi oleh sekolah sesuai dengan statusnya masing-masing (sekolah negeri, sekolah swasta nasional, sekolah internasional, dll.)
Sebuah sekolah yang akan diakreditasi tentu harus mempersiapkan diri dengan baik. Dalam menghadapinya sekolah tenu memrelukan persiapan administrasi, waktu, tenaga, dan tentunya biaya. Berbagai kesibukan untuk menghadapi akreditasi dilakukan oleh setiap sekolah dari persiapan, pelaksanaan, hingga sesudahnya.
Yang ingin saya bagikan bukan pada persaiapan administrasi atau kiat menghadapi akreditasi agar berhasil meraih standar A, tetapi kisah dibalik dapur akreditasi kami.
Sudah pasti persiapan diwarnai dengan kerja keras bahkan kerja lembur. Sebetulnya tidak perlu sampai seperti itu kalau semua tuntutan administratif sudah dilengkapi jauh-jauh tahun, bukan jauh-jauh hari lagi. Dengan begitu administrasi harus tertib! Namun, kenyataan berbeda dengan seharusnya. Ternyata banyak kekurangan yang harus dipenuhi untuk pembuktian bahwa hal yang diminta dalam buku panduan (sesuai standar) sudah kami lakukan. Semua harus ada bukti. Akan menjadi omong doang kalau hanya dikatakan sudah dilakukan tanpa disertai bukti. Nah, itu dia, bukti sering terselip, tidaik ada, atau tidak ditemukan. Kalau bukti sudah tak ada, ya.... harus mengadakan! Kreativitas mencipta!
Menarik memang proses persiapan ini karena di sini akan terlihat kinerja sekolah, yayasan, kepala sekolah, guru, tata usaha, karyawan, pokoknya semua elemen sekolah.Yang lebih menarik lagi dalam peristiwa ini akan tampak kinerja dan kepribadian setiap individu. Saya melihat teman-teman saya sangat getol, rajin, teliti, dan bekerja tanpa lelah.
Namun, di samping teman-teman yang yang ber-jibaku, ada juga teman yang kenyataannya tidak demikian. Teman-teman yang pulang sampai sore, bahkan malam, yang ini pulang tepat waktu. Yang lain berusaha sebisa mungkin membantu untuk ikut andil dan terlibat, yang ini ini melenggang entah ke mana. Ketika dia ditanya oleh kepala sekolah mengapa demikian, dia menjawab dengan enteng ‘ saya kan gak bisa komputer ‘ , ‘ saya gak bisa ngetik, jadi ya... gak bisa bantu ‘ .
Begitu saya tahu jawaban yang dikemukakan saya benar-benar meradang. Lha, memangnya akreditasi itu hanya berkaitan dengan kegiatan memakai komputer? O...alah, wong pekerjaan lain seabrek. Ya, mestinya kan bisa membantu yang lainya: menjilid, menyampul, mengangkat, membereskan, atau mijetin temen, membelikan minuman untuk temannya, bahkan cukup dengan kehadiran saja, duduk nongkrong memberi dukungan moril dengan doa, atau apa sajalah. Yang penting peduli. Ya... elah malah katanya tak bisa membantu apap pun.
Saya berpikir lagi jadinya. Apa tidak salah pribadi seorang guru yang begitu? Padahal seorang guru itu kan seorang pendidik. O, ya tambah lagi, guru ini kan pernah mendapatkan penghargaan dari yayasan karena kepeduliannya. Ya... kalo begini, jadinya mau dibawa ke mana pendidikan ini, je? Kalo saya seperti itu, kok ya... malu saya!
Ee.....ee...lha kok saya malah ikut campur urusan pribadi orang dan urusan kebijakan yayasan dalam memberi penghargaan. Siapa saya? Itu kan bukan urusan saya. Ya, betul sekali itu bukan urusan saya dalam memberi penghargaan, tetapi menjadi urusan saya berkaitan dengan relasi sebagai sesama teman di kalangan para guru. Apa alasannya? Karena saya bagian dari guru-guru dan saya merasa dirugikan juga. Keenakan sekali dia.
Ini menyoal tentang nilai hidup kerja sama, penghargaan, kepedulian, dan rasa setia kawan. Menurut apa yang dicanangkan sekolah ini, sekolah ini mengedepankan pendidikan nilai. Namun, melihat kejadian di atas, rasanya jauh dari apa yang dicanangkan. Saya memang mengakui melakukan sesuatu yang baik itu memang sangat sulit. Demikian pula dengan penerapan pendidikan nilai yang menjadi keunggulan dari sekolah ini. Memang semestinya nilai-nilai itu menjadi bagian dari gurunya juga supaya guru menjadi model untuk siswanya. Ya, itu tadi, terkadang guru seringnya jarkoni. Ming isone ngujar ning ora ngelakoni. Bisanya berkata-kata, tetapi tidak menjalankan. OD. Omong doang.
Lho.... kok saya sewot! Ya... saya akui saya memang sewot. Bagaimana tidak sewot. Sekolah ini kan bukan hanya milik yayasan dan milik ursulin saja. Sekolah ini akan menjadi baik bila menjadi milik bersama. Menjadi milik bersama artinya menjadi tanggung jawab bersama pula. Intinya menjadi keluarga besar begitu.
Ok,.... tenang..... tenang,....! Tarik nafas panjang.... pelan.... dan hembuskan. Ulang sampai tiga kali!
Meskipun kisruh dan semerawut menurut penilaian orang tertentu, akreditasi sudah berjalan dengan baik. Cukup bukan? O, tentu tidak cukup. Mengapa? Karena akreditasi bukan segalanya. Akreditasi hanya salah satu kisah dalam perjalanan sebuah sekolah. Yang lebih penting adalah pada proses berjalannya roda persekolahan ini dari waktu ke waktu.
Saya akui akreditasi adalah gengsi sekolah, apalagi untuk sekolah sebesar sekolah tempat saya bekerja. Kalau sekolah berada di bawah level A, betapa malunya kami. Bahkan, meskipun masih level A dengan scor yang turun dari akreditasi sebelumnya, itu juga masalah bagi kami. Mengapa bisa demikian. Karena itu menunjukkan bahwa sekolah kami tidak bergerak maju, malah mundur teratur. Dan tentunya itu tidak boleh terjadi seperti itu. Itu berarti kami harus berjuang sekuat tenaga mempertahankan sekolah ini dalam setiap langkah perjalanan kami.
Karena itulah, maka saya sewot mengapa ada rekan guru yang mempunyai sikap seperti yang saya ceritakan di atas.
Gengsi sekolah dipertaruhkan dalam akreditasi. Semua orang tahu itu. Akan menjadi perkara bila bila hasil akreditasi menurun. Karena itu pula mengapa kami berjuang sekuat tenaga untuk menyukseskan akreditasi. Perjuangan ini akan berlanjut untuk proses selanjutnya dalam menjalankan roda persekolahan ini.
Saya belajar banyak dari proses akreditasi ini. Belajar untuk lebih tertib administrasi, menyimpan bukti-bukti dengan baik, melakukan prosedur pengajaran dengan baik, juga nilai-nilai hidup seperti kerja sama, kepedulian, daya juang, ketekunan, ketelitian, pengorbanan, penghargaan, kesantunan, dan terlebih relasi. Saya melihat bahwa kami harus belajar banyak untuk berelasi dan berkomunikasi dengan baik. Semoga pengalaman akreditasi ini bisa menjadikan kami lebih baik untuk menghadapi tahun-tahun berikutnya.