Seseorang
berbuat kesalahan itu sesuatu yang wajar dan manusiawi. Kesalahan akan membuat
orang melihat mana yang benar. Dari kesalahan orang belajar berhati-hati dan
berusaha untuk menjadi lebih baik. Biasanya sesudah seseorang melakukan
kesalahan, ia akan berusaha untuk memperbaiki dan menjaga agar tak jatuh pada
kesalahan yang sama. Memperbaiki kesalahan itu sebuah usaha yang tak mudah.
Jadi, ketika ada seseorang berusaha memperbaiki kesalahan dan berhasil, itu
suatu yang luar biasa.
Namun, proses
memperbaiki kesalahan ternyata bukan proses yang mudah. Banyak tantangan yang
dihadapi seseorang dalam perbaikan tersebut. Orang bisa berhadapan dengan
tantangan dari luar maupun dari dalam dirinya. Dukungan dari orang sekitar akan
menjadi suatu kekuatan bagi orang tersebut melanjutkan proses hingga berhasil.
Kenyataan lain
yang mungkin dihadapi seseorang ketika ia berproses memperbaiki diri dan bahkan
ketika ia berhasil adalah ada orang lain yang mengungkit kembali kesalahan masa
lalu. Ini dia permasalahan yang sering kita hadapi. Banyak di antara kita
ketika mengalami ini merasa terpuruk dan disudutkan. Kesalahan masa lalu
kembali dibeberkan, sungguh membuat kita
merasa tidak aman dan tidak nyaman. Sementara itu, ada orang yang sangat suka
mengungkit kesalahan orang lain. Ada beberapa alasan mengapa si pengungkit
kembali membuka kesalahan orang lain. Alasan yang biasanya terjadi adalah agar
si pembuat kesalahan tidak kembali terjatuh pada kesalahan yang sama. Alasan
lain karena kesalahan itu sangat fatal dan tak bisa hilang begitu saja dari
ingatan. Ada juga alasan hanya untuk melampiaskan perasaan kesal terhadap si
pembuat kesalahan. Atau alasan yang lainya untuk kepuasan si pengungkit dan
untuk menjatuhkan si pembuat kesalahan.
Kasus lain
yang mungkin kita alami adalah bila ada
kesalahan di masa sekarang, kita akan mencari kambing hitam ke masa lalu.
Contoh anak SMA tidak bisa berdoa dengan
baik pada saat mengikuti
retret di kelas XII, maka akan menyalahkan guru agama SMP yang tak mengajarkan
doa dengan baik. Kalau itu siswa SMP yang tak bisa bersikap doa dengan baik,
maka akan ditelusuri bagaimana dulu guru agama SD mengajarkan berdoa. Dan
seterusnya seperti itu. Pertanyaan kita: apakah kebiasaan berdoa
itu hanya mutlak tanggung jawab pendidikan semasa di SMP atau di SD saja? Bagaimana
dengan pendidikan dalam keluarga? Bagaimana proses selama dia berada di SMA
dari kelas X sampai kelas XII? Apakah masa selama di SMA pendampingan tidak dianggap? Apakah
pendidikan hanya terjadi pada satu periode? Apakah kalau anak sudah sampai di
SMA pendampingan (termasuk sikap berdoa) juga berhenti? Bukankah selama ini
yang kita ketahui dan kita amini bahwa pendidikan itu merupakan sebuah proses
yang berkesinambungan?
Mengungkit dan
terus mengungkit, mencari dan terus mencari, membeberkan dan terus membeberkan
kesalahan orang lain terasa sudah biasa bahkan menjadi suatu kenikmatan
tersendiri. Mencari kambing hitam untuk kesalahan sekarang dengan mencari
kesalahan dan mengaitkannya dengan masa
lalu apakah sebuah jalan keluar untuk memperbaiki kesalahan sekarang? Bukankah
kesalah tidak akan bisa diperbaiki dengan hanya menyalahkan dan mengungkit
kesalahan di masa lalu? Apakah kesalah bisa kita perbaiki dengan mencari
kesalahan orang lain untuk menutupinya?
Apa pun alasan
si pengungkit untuk kembali membeberkan kesalahan seseorang, itu sangat
bertentangan dengan makna memaafkan atau lebih tepatnya lagi pengampunan.
Mengampuni berarti benar-benar memafkan dan tak perlu lagi mengungkitnya,
apalagi kalau diutarakan di depan orang banyak dan di depan si pembuat
kesalahan. Bila hal ini dilakukan, orang yang mengalami ( dengan catatan si
pembuat kesalahan sudah memperbaiki diri atau dalam proses perbaikan diri
) akan merasa benar-benar dijatuhkan. Semangat
untuk membenahi diri pada orang itu akan jatuh.
Ada yang
mengatakan bahwa mengampuni bukan berarti melupakan. Betul juga pendapat itu.
Kesalahan bukan untuk dilupakan karena kalau dilupakan kita tak akan bisa
belajar dari kesalahan. Namun, kesalahan bukan untuk diungkit atau terus
dibeberkan ke mana-mana. Bila kesalahan terus diungkit, bagaimana si pembuat kesalahan bisa mendapat
ruang untuk memperbaiki diri karena terus diingatkan dan dihakimi dengan
kesalahan masa lalunya.
Kesalahan
mungkin saja fatal akibatnya bagi orang lain dan juga bagi si pelaku. Namun,
kesalahan juga menunjukkan kepada kita bahwa manusia tidak sempurna. Dari
kesalahan ada pembelajaran dan ada pengampunan. Tanpa kesalahan orang tidak
bisa melihat mana yang benar. Karena
itu, mari kita belajar dari kesalahan kita dan juga mari kita berani untuk
tidak mengungkit kesalahan orang lain.
(Ch. Enung Martina)