Pukul
02.00 dini hari, waktunya orang tertidur pulas. Ketika tiba-tiba ada dering
telpon rumah atau HP, pasti orang akan terbangun dengan kekagetan yang tak alang
kepalang. Pikiran seseorang kalau ada telpon waktu seperti itu otomatis tertuju
pada berita yang buruk. Pasti ada apa-apa. Kalau mempunyai keluarga berada pada
jarak jauh, apalagi orang tua yang memang sudah renta usia, akan berprasangka
buru, yang pastinya membuat cemas.
Nah,
saat seperti itu memang kerja otak bukan pada bagian neokorteks (otak
berpikir), melainkan pada bagian otak reptilia, bagian otak yang berkaitan
dengan insting dan naluri. Bagian otak yang dimiliki oleh setiap mahluk hidup
yang punya otak ini memang berkaitan dengan survival. Bertahan hidup. Mempertahankan
diri. Otak ini memang aktif ketika sedang panik, takut, sedih, dan emosi
negatif lain. Pada saat bagian otak ini aktif, yang ada hanya bagaimana
menyelamatkan diri dari bahya dan bertahan hidup.
Karakter otak
manusia yang demikian, rupanya dimanfaatkan oleh orang tertentu untuk tujuan
tidak baik. Tujuan tersebut mencari keuntungan materi dengan cara yang tentunya
tidak terpuji. Cara mempengaruhi otak pada saat seperti itu dengan memakai
gendan dan hipnotis. Orang kebanyakan
mengnggap kedua kata itu sama. Namun sebetulnya berbeda. Dlihat
dari katanya saja sudah berbeda. Menurut Kamus Besar Bahsa Indonesia gendam
artinya mantra atu guna-guna yang membuat orng terpesona. Kamus Besar Bahasa
Indonesia membedakan antara kata hipnotis dengan hipnosis. Hipnosis adalah keadaan
seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu ada di bawah
pengaruh orang yang memberikan sugestinya. Namun, pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.
Hipnotis adalah membuat atau menyebabkan seseorng berada dalam keadaan
hipnosis.
Nah,
kejadian Pukul 02.00 dini hari tiba-tiba ada dering telpon dan terbangun dengan
kekagetan yang tak alang kepalang itu terjadi pada keluarga saya. Hal ini
terjadi pada hari Selasa, 9 September 2014. Kena gendam atau mungkin terkena hipnotis
pun kami almi. Pada dini hari itu, kami dimintai uang, tepatnya ditodong melalui telpon rumah dan
dilanjutkan melalui HP. Seseorang meminta kami mengirimkan uang ke rekening tertentu untuk
menebus anak laki-laki kami yang kuliah di Bandung. Penelepon yang mengaku bernama
Mangatas Samosir dan mengaku sebagai seorang polisi di Bandung mengatakan bahwa
Aga, anak kami, ditangkap polisi karena
ketahuan membawa narkoba. Mereka minta tebusan 25 juta.
Bayangkan saja, bangun karena kaget mendengar dering telpon.
Kesadaran jelas belum pulih. Otak reptil langsung berfungsi. Penelepon menambah
tingkat kepanikan dengan menimbulkan latar belakang suara hiruk pikuk: suara
sirine yang keras dan monoton, serta orang membentak-bentak, serta suara seorang yang menghiba-hiba minta dikasihani agar tidak ditangkap. Lengkap
sudah efek suara di sebrang sana itu mendramatisir suasana tegang.
Ketakutan, kecemasan, dan
ketegangan merambat masuk. Situasi ini dimanfaatkan suara Polisi Mangatas
Samosir gadungan yang ada disebrang sana untuk menekan suami saya, Pak Bob,
agar segera mengirimkan uang ke rekening
BRI. Gendam lewat suara itu rupnya sangat efektif. Karena buktinya suami
saya tercinta itu mulai terdengar panik. Dan mulai melakukan apa yang diminta
Mangatas Samosir di sebrang sana. Saya mulai menyadari bahwa ini sebenarnya
penipuan. Peristwa ini sering saya degnar karena beberapa korbannya adalah
orang tua murid saya. Namun, saya tetep gemetar meskipun itu adalah penipuan.
Otak neokorteks saya, saya paksa untuk mulai berpikir bagaiman caranya
untuk kelur dari situsi gawat ini. Akhirnya saya memutuskan menghubungi Aga di
Bandung lewat HP. Ternyata HP-nya tidak diangkat. Lantas saya hubungi bapak
kosnya. Juga tak diangkat. Kemudian dengan tergesa saya langsung menghubungi Metta, anak pertama
saya yang berada di mess di tempat
kerjanya, Serang. Telpon saya tersambung. Kaget pasti dia. Metta disebrang sana
juga berpikir. Apakah yang harus dilakukan.
Terus ia membuat susu dulu sambil mencari cara. Sesudahnya, baru menelepon saya lagi. “ Bu, minta tolong Pak Joko supaya ada orang
yang pikirannya seger dari pihak ke-3.”
Jadilah dini hari itu saya
mengontak pak Joko, teman sejawat saya dan juga sekaligus tetangga saya selang satu rumah dari rumah kami. Sekali tak
diangkat. Baru kali kedua dia mengangkat HP-nya.
“Ada
apa, Teh?” begitu dia menjawab. Sesudah saya jelaskan, segera dia keluar. Ia melihat
kami panik. Pak Bob sudah menghidupkan motor untuk pergi ke ATM terdekat.
Sementara itu HP Pak Bob menyala terus karena Mangatas Samosir mengatakan komunikasi
dengannya tak boleh terputus. HP Pak Bob
dengan Mangatas Samosir dalam keadaan kontak. Pak Joko langsung tanggap
situasi. Dia segera mematikan kontak di HP Pak Bob. Begitu kontak HP terputus,
telpon rumah langsung berdering. Pak Joko yang mengangkat. Terdengar latar
belakang hiruk pikuk: suara sirine yang keras monoton dan orang
membentak-bentak serta seorang yang menghiba minta dikasihani agar tidak
ditangkap. Terdengar suara bentakan: brogol saja dia! Disambung dengan orang yang
minta dkasihani: Papa tolong! Papa tolong!
Pak Joko membentak, “ siapa di
situ? “
“Saya Angga,” suara
di sebrang sana menjawab.
“Ini bukan rumah
Angga. Salah smbung,” Pak Joko membentak lagi.
Suara di sana
meralat, ” Saya Aga.”
“ Bohong kamu. Jangan menipu!” suara Pak Joko
makin garang.
Kontak putus. Kami
selamat dari gendam.
Pagi itu kami tak melanjutkan
tidur. Setelah perasaan kami reda, kami duduk di teras. Setelah melihat kembali
peristiwa tadi jadi geli juga kami. Ada beberapa kejanggalan yang terjadi. Pak Bob
baru sadar bahwa Aga itu tak pernah
memnggil dia dengan panggilan papa, tetapi babe. Bunyi sirine itu yng terus-terusan
sebagai latar belakang, spertinya agak aneh juga. Bukannya sirine di ruangan
tak mungkin dibunyikan? Tebusan untuk tahanan narkoba 25 juta itu terlalu
kecil. Selain itu, Polisi tak mungkin terang-terangna minta tebusan. Bob baru
sadar kalau nama anak yang ditangkap itu bukan Aga, tetapi Angga.
Begitulah
pengalaman kena gendam. Ternyata kami mengalaminya. Dari pengalaman ini saya
melihat bahwa terkena gendam dan terkena tipu, tak ada korelasinya dengan
kebiasaan seseorang berdoa. Meskipun
seseorang rajin berdoa, ternyata bisa saja ia terkena gendam atau bisa
juga tertipu orang. Mengapa hal ini saya katakan karena ada salah seorang teman
yang menanyakan apakah saya tidak berdoa?
Pernyataan ini bukan berarti mengecilkan arti berdoa. Kasus lain bisa
saja terjadi bahwa seseorang pendoa yang hidupnya kudus bisa saja menghindar
dari hal ini. Yang saya alami bahwa terkena gendam atau tertipu orang tak ada
kaitannya dengan kebiasaan berdoa. Sekali
lagi ini berlaku untuk kami, khususnya saya.
Mungkin perlu ada penelitian khusus tentang kebiasaan berdoa dengan
terkena tipu. Penipu yang mengarahkan gendam atau hipnotis yang diserang adalah
otak reptilia seseorang. Memanfaatkan otak tersebut bila keadaan panik, orang
bisa kehilangan akal sehat. Saat seperti ini keadaan seseorang sedang lemah
karena otak berpikirnya belum berjalan 100%. Terbangun karena kaget. Nah, ini
merupakan sasaran yang empuk untuk dimanfaatkan. Saya memperhatikan para penipu
ini tidak sendirian. Mereka berkelompok. Bisa jadi sindikat.
Namun, saya tetap percaya
akan pertolongan Tuhan melalui orang-orang yang ada di sekitar saya. Misalnya
melalui Pak Joko, sebagai pihak ke-3
yang berotak jernih daripada kami yang mengalami. Terima kasih Pak Joko.
Saya berharap para pembaca
tidak mengalami seperti saya. Namun, bila mengalami, saran saya, carilah orang
ke-3 yang otaknya dalam keadaan segar sehingga tidak dikuasai kepanikan.
Ch. Enung
Martina