Tanggal
25 Desember 2018, kami sekeluarga menikmati perjalanan ke Gereja Hati Kudus
Tuhan Yesus Ganjuran, demikian nama lengkapnya. Sering disebut dengan Gereja Ganjuran.
Gereja Ganjuran terletak di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, 17 kilometer di
sebelah selatan kota Yogyakarta. Gereja ini dibangun di tanah seluas 2,5 hektar,
termasuk tempat parkir, candi, gereja, pastoran, dan beberapa bangunan lain.
Gedung gereja dibuat dengan gaya joglo dan dihiasi dengan ukiran gaya Jawa yang
menutupi 600 meter per segi. Ini termasuk ukiran nanas dari kayu serta ukiran
berbentuk jajar genjang yang disebut wajikan. Altarnya dihiasi dengan malaikat
yang berbusana tokoh wayang.Karena gaya arsitektur ini, ilmuwan Belanda M. C.
Ricklefs menyatakan bahwa gereja di Ganjuran
merupakan manifestasi penyesuaian gereja Katolik di Jawa yang paling
menonjol. Ilmuwan Jan S. Aritonang dan Karel A. Steenbrink menyatakan bahwa gereja
ini merupakan "produk paling spektakular dari kesenian pribumi yang dibantu orang Eropa
Berdasarkan
hasil penelusuran dari berbagai sumber, Gereja
Ganjuran mulai dibangun pada tahun 1924
atas prakarsa dua bersaudara keturunan Belanda, Joseph Smutzer dan Julius
Smutzer. Gereja ini merupakan salah satu bangunan yang didirikan sejak dua
bersaudara itu mulai mengelola Pabrik Gula Gondang Lipuro di daerah tersebut
pada tahun 1912. Bangunan lain yang didirikan adalah 12 sekolah dan sebuah
klinik yang menjadi cikal bakal Rumah Sakit Panti Rapih.
Pembangunan
gereja yang dirancang oleh arsitek Belanda J Yh van Oyen ini adalah salah satu
bentuk semangat sosial gereja (Rerum Navarum) yang dimiliki Smutzer bersaudara,
yaitu semangat mencintai sesama, khususnya kesejahteraan masyarakat setempat
yang kebanyakan menjadi karyawan di Pabrik Gula Gondang Lipuro yang mencapai
masa keemasan pada tahun 1918 - 1930.
Dalam
perkembangannya, kompleks gereja ini disempurnakan dengan pembangunan candi
yang dinamai Candi Hati Kudus Yesus pada tahun 1927. Candi dengan teras berhias
relief bunga teratai dan patung Kristus dengan pakaian Jawa itu kemudian
menjadi pilihan lain tempat melaksanakan misa dan ziarah, selain di dalam
gereja, yang menawarkan kedekatan dengan budaya Jawa.
Ketika
saya memandang keliling dari komplek gereja Ganjuran, saya menyadari bahwa
bangunan ini dirancang dengan perpaduan gaya Eropa, Hindu, dan Jawa. Gaya Eropa
dapat ditemui pada bentuk bangunan berupa salib bila dilihat dari udara,
sementara gaya Jawa bisa dilihat pada atap yang berbentuk tajug, bisa digunakan
sebagai atap tempat ibadah. Rupanya atap itu disokong oleh empat tiang kayu
jati, melambangkan empat penulis Injil, yaitu Matius, Markus, Lukas dan
Yohanes.
Nuansa
Jawa juga terlihat pada altar, sancristi
(tempat menyimpan peralatan misa), doopvont
(wadah air untuk baptis) dan chatevummenen
(tempat katekis). Patung Yesus dan Bunda Maria yang tengah menggendong putranya
juga digambarkan tengah memakai pakaian Jawa. Demikian pula relief-relief pada
tiap pemberhentian jalan salib, Yesus digambarkan memiliki rambut mirip seorang
pendeta Hindu.
Kami
menginap di ganjuran In, 200 meter dari Gereja Ganjuran. Pemandang sawah yang
hijau dan pohon yang dibentuk cemara menyambut kami begitu memasuki Desa
Ganjuran, tempat gereja ini berdiri. Mengunjungi gereja ini, kita akan merasakan
suasana pedesaan Jawa pada umumnya.
Rupanya
ada kisah tersendiri di balik kata Ganjuran. Dari sumber yang saya baca, perubahan
nama menjadi Ganjuran sendiri berkaitan dengan kisah percintaan Ki Ageng Mangir
dan Rara Pembayun yang diasingkan oleh Mataram. Kisah cinta dua orang tersebut
yang kemudian mengilhami penciptaan tembang Kala Ganjur, berarti tali pengikat
dasar manusia dalam mengarungi kehidupan bersama dengan dasar cinta. Nah, dari
nama tembang tersebutlah desa yang dulu bernama Lipuro itu berubah menjadi
Ganjuran.
Sebetulnya
yang sangat berniat ke Ganjuran itu adalah Metta, anak saya yang pertama. Dia
lupa lagi gereja itu seperti apa. Kami pernah mengunjungi gereja ini saat dia
masih kelas V SD. Dia sangat penasaran dengan berbagai cerita tentang keunikan
gereja tersebut. Maka jadilah kami berada di tempat ini.
Yang
menjadikan gereja ini berbeda dengan bangunan gereja pada umumnya adalah
keberadaan bangunan candi. Candi tersebut bernama Candi Hati Kudus Yesus. Candi
yang diangun pada tahun 1927 ini sebagai perwujudan rasa syukur Schmutzer
bersaudara atas keberhasilan mengelola pabrik gula. Seperti candi-candi pada
umumnya, candi ini juga berhiaskan relief bunga teratai dan memiliki relung.
Jika di relung candi terdapat patung budha atau arca lingga yoni, maka di
relung Candi Hati Kudus Yesus terdapat patung Yesus mengenakan pakaian adat
Jawa, dengan rambut menyerupai pendeta Hindu, dan sebuah mahkota di kepalanya.
Pelataran
depan candi merupakan tempat favorit untuk berdoa. Di bawah naungan pucuk-pucuk
pinus, kita bisa berkontemplasi di atas kursi kecil sambil menatap Yesus Sang
Raja di hadapan kita. Halaman yang luas ini juga menjadi lokasi misa bulanan
dan Prosesi Agung Sakramen Maha Kudus. Mengikuti misa malam hari di tempat
terbuka beratapkan langit dan diiringi dengan alunan gamelan akan menjadi
pengalaman spiritual yang baru dan tak kan pernah terlupakan.
Di
kompleks Gereja Ganjuran pengunjung juga bisa melakukan prosesi jalan salib.
Pada masing-masing stasi atau pemberhentian terdapat relief yang lekat dengan
tradisi Jawa. Biasanya jalan salib akan diakhiri dengan berdoa di depan candi.
Seusai berdoa, kita bisa mengambil air suci Tirta Perwitasari yang dialirkan
melalui kran-kran di samping kiri candi. Beberapa peziarah kerap mengambil air
suci dan memasukkannya ke dalam botol atau jerigen kecil kemudian membawanya
pulang.
Meskipun
merupakan tempat peribadatan umat Katholik, Gereja Ganjuran biasa dikunjungi
oleh siapa pun. Para pengunjung bisa datang ke gereja ini sewaktu-waktu baik
untuk beribadah maupun melakukan kontemplasi. Namun, pengunjung wajib mematuhi berbagai peraturan yang berlaku
untuk men jaga ketertiban. Saat tanggal 25 Desember 2018 sore, kami berkunjung
ke sana, tampak beberapa pengunjung asyik berdoa. Bahkan, ada 2 orang turis
asing (sepertinya India atau Pakistan)
yang juga datang berkunjung.
Gereja Ganjuran memang tempat yang teduh dan menenangkan,
baik bagi tubuh maupun bagi jiwa. Deretan pepohonan yang berdiri rimbun di
halaman gereja menjadikan suasana begitu sejuk dan teduh. Bangunannya yang
berbentuk pendopo terbuka dengan pilar-pilar berwarna hijau dan altar dengan
nuansa Jawa yang kental menjadikan tempat ini begitu menyatu dengan sekitar. Di
tempat ini kita akan merasakan suasana gereja yang begitu melebur dengan sekitar,
gereja yang tanpa sekat dan tanpa batasan. Konsep pendopo terbuka ini
menegaskan bahwa gereja siap menyambut siapa pun yang datang dengan tangan
terbuka, tak peduli suku atau kebangsaanmu,
tak peduli derajat sosialmu, tak peduli agamamu.
Bagi yang bepergian kea rah Yogyakarta, jangan lupa sempatkan
mampir ke Gereja Ganjuran untuk menikmati suasana magisnya. Betapa saya
bersyukur karena Gereja Katolik begitu kaya. (Ch. Enung Martina)