Pic. https://christusmedium.com/wp-content/uploads/2019/12/santo-ambrosius-1.jpg
Para pembaca yang budiman, saya akan mencantumkan artikel-artikel saya tentang spiritualitas St. Ambrosius. Hal ini terkait dengan pelayanan saya di paroki saya Vila Melati Mas. terkadang banyak orang yang menanyakan kembali artikel yang dulu saya tulis. Saya pelupa sehingga cukup lama untuk mencarinya. Karena itu saya muat saja di blog ini agar mudah untuk menemukannya daripada kalau saya simpan di drive atau laptop saya sendiri sulit menemukannya. Terima aksih. Selamat membaca.
SANTO AMBROSIUS SOSOK SEORANG PEMBELAJAR
Aurelius Ambrosius (340–397) atau Santo Ambrosius adalah Uskup Milan
yang tersohor sebagai salah seorang tokoh Gereja paling berpengaruh pada
abad ke-4. Ia adalah Gubernur Romawi atas wilayah Liguria dan Emilia yang
berpusat di Milan, sebelum dipilih secara aklamasi menjadi Uskup Milan
oleh warga kota itu pada tahun 374.
Ambrosius adalah seorang penentang paham Arianisme yang gigih.
Pada zamannya, Ambrosius adalah seorang yang terpelajar dan terpandang.
Kedudukannya sebagai seorang gubernur di Milan menyatakan betapa
berpengaruhnya beliau. Ambrosius tergolong kaum cerdik cendekia pada
masanya.
Ia adalah salah seorang di antara keempat Doktor Gereja yang mula-mula.
Tentunya kedudukan itu, beliau raih tidak karena keturunan semata,
tetapi juga berkat kerja keras dan ketekunannya. Dikisahkan bahwa setelah
ayah Ambrosius meninggal dunia, dia dididik di Roma, di sana dia belajar
hukum, sastra dan retorika.
Bagaimana Ambrosius sebagai seorang pembelajar digambarkan oleh anak
didiknya St. Agustinus dari Hipo dalam salah satu bagian dari
Confessiones (karya Agustinus), berisi sepenggal anekdot yang memuat
kebiasaan membaca St. Ambosius:
Bilamana [Ambrosius] membaca, matanya memindai isi halaman sementara
hatinya mengulik maknanya, namun suaranya tak terdengar dan lidahnya
tak bergerak. Siapa saja bebas mendekatinya dan kedatangan tetamu
lazimnya tak dimaklumkan, sehingga seringkali, manakala kami datang
mengunjunginya, kami mendapatinya sedang membaca seperti ini tanpa
suara, karena ia tidak pernah membaca dengan suara nyaring.
Kutipan ini menjadi sebuah pokok bahasan ilmiah di zaman modern.
Kebiasaan membaca seorang diri tanpa menyuarakan isi bacaan tidaklah
lazim pada zaman kuno sebagaimana sekarang ini. Pada masa itu
masayarakat berada pada sebuah kebudayaan yang sangat menghargai
kepiawaian bertutur dan segala macam unjuk kebolehan di muka umum.
Pembuatan buku-buku sangat menguras tenaga karena peralatan tidak
secanggih sekarang. Mayoritas warga masyarakat buta aksara dan
golongan yang mampu menikmati karya-karya sastra pun menggunakan
jasa hamba sahaya untuk membacakannya bagi mereka. Teks-teks
tertulis lebih dipandang sebagai huruf-huruf untuk didaraskan ketimbang
sarana untuk merenung dalam keheningan.
Namun, tidak dengan Ambrosius. Dia sudah terbiasa berliterasi dengan
diam (bukan membaca nyaring). Dengan demikian, terdapat bukti bahwa
kebiasaan membaca dalam hati sudah ada pada zaman kuno. Bahwasanya
kebiasaan (membaca dalam hati) tidaklah umum maka dianggap sebagai
ketidaklaziman.
Ambrosius terlahir dalam sebuah keluarga Kristen Romawi kira-kira pada
tahun 340. Ia tumbuh besar di Gallia Belgica, wilayah Kekaisaran Romawi
yang beribu kota di Augusta Treverorum. Kadang-kadang diriwayatkan
bahwa ayahnya adalah Prefek Pretoria Galia
(bahasa Latin: praefectus praetorio Galliarum); namun menurut sebagian
pakar, ayahnya adalah seorang pejabat bernama Uranius yang menerima
piagam kekaisaran bertarikh 3 Februari 339 (disebutkan dalam kutipan
singkat ketetapan salah satu dari ketiga kaisar pada tahun 339,
Konstantinus II, Konstantius II, atau Konstans, yang termaktub di dalam
Codex Theodosianus, Kitab XI.5).
Setelah ayah Ambrosius meninggal dunia, dia dididik di Roma, di sana dia
belajar hukum, sastra dan retorika. Setelah rampung studinya, Ambrosius
menerima sebuah tempat di dewan pemerintahan, seperti ayahnya, dan
dijadikan prefek konsuler, atau Gubernur untuk Liguria dan Emilia sekitar
tahun 372. Kantor pusat tempat Ambrosius berada di Milan, ibu kota
kedua Italia setelah Roma.
Perjalanan hidup Ambrosius berikutnya menuju pada satu garis lurus yang
sudah disiapkan untuk mengubah dunia. Setelah Uskup Milan meninggal,
terjadilah perselisihan antara kaum Arian dengan Gereja Katolik saat itu
tentang siapa yang pantas menduduki jabatan itu. Ambrosius menghadiri
pemilihan tersebut untuk mencegah terjadinya konflik antara Gereja
( yang ikut Konsili Nicea) dan kaum Arian
(Orang Kristen yang hanya mempercayai keilahian Yesus).
Namun banyak umat yang menginginkan Ambrosius menjadi Uskup di
wilayah itu. Kendati sempat menolak karena belum dibaptis, Ambrosius
akhirnya menerima tanggung jawab baru itu. Dilansir dari
Imankatolik.or.id,
setelah terpilih Ambrosius harus menjalani enam hari berturut-turut untuk
menerima semua sakramen yang harus diterima oleh seorang uskup.
Setelah itu ia ditahbiskan menjadi uskup pada 7 Desember 374.
Terlihat lagi bahwa Ambrosius seorang pembelajar saat dia menerima jabatan
Uskup Milan. Ia belajar teologi dengan Simplisianus. Dengan menggunakan
pendidikan barunya, bersama dengan pengetahuannya tentang bahasa
Yunani, dia meluangkan waktu untuk mempelajari para penulis Perjanjian
Lama dan Yunani. Kembali ia menunjukkan kebiasaannya
berliterasi dan seorang pembelajar yang baik.
Ambrosius menggunakan semua pengetahuannya dan wawasan serta
buah renungnya hasil pembelajaran dan kegiatan berliterasinya saat
berkhotbah di mimbar di depan umatnya. Sudah pasti khotbahnya bukan
hanya biasa saja. Khotbah yang bernas, berisi, dan mendalam.
Dan sudah pasti juga bahwa khotbahnya menyentuh banyak
hati. Kemampuannya berkhutbah dan tentunya isi khutbahnya
mengesankan Agustinus dari Hippo, yang sebelumnya menganggap
buruk para pengkhotbah Kristen. Itu pula lah yang membuka jalan
pertobatan dari Agustinus.
Ambrosius-lah yang membawa Agustinus menjadi seorang santo dan
sekaligus seorang pujangga Gereja yang terkenal. Setelah bertemu
dengan Ambrosius, Agustinus mengevaluasi kembali dirinya
dan berubah. Pada tahun 387, Ambrose membaptis Agustinus, yang
memiliki pengaruh besar terhadapnya.
Dengan kempuan literasinya pula, Ambrosius mencoba mengakhiri
pengaruh Arianisme di Milan. Dia sering berusaha secara teologis
untuk membantah pendapat mereka.
Kaum Arian mengajukan banding ke banyak pemimpin berpangkat tinggi,
tetapi Ambrosius dapat bertahan bahkan bisa selangkah lebih maju.
Kekuatan karakter Ambrosius ditunjukkan dengan caranya membela
diri saat kaum Arian menuntut beberapa gereja di Milan didedikasikan
untuk mereka, satu di kota dan satu di pinggiran kota. Ambrosius
menolak permintaan mereka. Dia diperintahkan untuk tampil di depan
dewan, di mana dia kemudian berbicara dengan fasih dalam
membela Gereja.
"Jika Anda menuntut pribadi saya, saya siap untuk tunduk: membawa
saya ke penjara atau mati, saya tidak akan menolak; tapi saya tidak akan
pernah mengkhianati Gereja Kristus. Saya tidak akan meminta orang
untuk menolong saya; Saya akan mati di kaki altar daripada
meninggalkan-Nya,” ujar Ambrosius saat itu.
Ambrosius meninggal pada tanggal 4 April 397. Sebagai uskup Milan dia
diganti oleh Simplisianus. Jasad Ambrosius dikebumikan di Gereja
St. Ambrogio di Milan. Karena kepemimpinannya di Milan, baik sebagai
gubernur atau sebagai uskup, dia dihormati sebagai santo pelindung
Kota Milan.
(Ch. Enung Martina )
dari sumber:
*Ambrosius dari Milan, Corpus Scriptorum Ecclesiasticorum Latinorum 64, 139
* Ambrosius dari Milan, De Mysteriis, 59, PG 16, 410
* Ambrosius dari Milan, De Spiritu Sancto, III, 11,79–80
* Ambrosius dari Milan, Expositio in Lucam 2, 17; PL 15, 1640
* De virginibus (Perihal Para Perawan); De virginitate
A. Heuken SJ. Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Yayasan Cipta Loka, 2004.
* H. Berkhof, H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.