DOA SEORANG PRAJURIT BAGI PUTRANYA
by Douglas Mac Arthur (ditulis pada masa-masa sulit di awal Perang Pasific)
Tuhanku,
Bantulah putraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk menyadari
manakala ia lemah
dan cukup berani menghadapi dirinya sendiri
manakala ia takut
Manusia yang memiliki rasa bangga dan keteguhan dalam kekalahan,
rendah hati dan jujur dalam kemenangan
Bentuklah putraku menjadi seorang yang kuat dan
mengerti bahwa mengetahui dan mengenal diri sendiri
adalah dasar dari segala ilmu yang benar
Tuhanku,
janganlah purtaku kau bimbing pada jalan yang mudah dan lunak
biarlah Kau bawa dia ke dalam gelombang
dan desak kesulitan tantangan hidup.
Bimbinglah putraku,
supaya dia mampu tegak berdiri di tengah badai,
serta berwelas asih kepada mereka yang jatuh.
Bentuklah putraku
menjadi manusia berhati bening dengan cita-cita setinggi langit.
Seorang manusia yang mampu memimpin dirinya sendiri
sebelum bermaksud memimpin orang lain.
Seorang manusia yang meraih ke hari depan
tapi tak melupakan masa lamapau.
Dan setelah segala menjadi miliknya
semoga putraku memiliki hati yang ringan
untuk bergembira serta selalu bersungguh-sungguh
namun jangan sekali-kali berlebihan
berikan kepadanya kerendahan hati,
kesederhanaan dan keagungan hakiki,
pikiran cerah dan terbuka bagi sumber kearifan dan kelembutan
dari kekuatan yang sebenarnya
sehingga aku, orang tuanya berani berkata:
"hidupku tidaklah sia-sia."
(Puisi ini kukutip untuk kedua belahan jiwaku: Metta dan Aga)
Sabtu, 26 September 2009
Rabu, 23 September 2009
REFLEKSI DARI TEMAN
DI SAAT DAKU TUA
Di saat daku tua, bukan lagi diriku yang dulu
Maklumilah diriku, besabarlah dalam menghadapiku
Di saat daku menumpahkan sayuran di bajuku
Di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikat sepatu
Ingatlah saat bagaimana daku mengajarimu, membimbingmu untuk melakukannya
Di saat daku dengan pikun mengulang terus menerus ucapan yang membosankanmu
Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku
Di masa kecilmu, daku harus mengulang terus sebuah cerita yang telah kuceritakan
Ribuan kali hingga dirimu terbuai dalam mimpi
Di saat daku membutuhkanmu untuk memandikanku
Jangan menyalahkanku
Ingatlah di masa kecilmu, bagaimana daku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi
Di saat daku kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern
Jangan menertawakanku
Renungkanlah bagaimana daku dengan sabar menjawab setiap pertanyaan mengapa yang kau ajukan
Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan
Ulurkanlah tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku
Bagaimana di masa kecilmu daku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan
Di saat daku melupakan topik pembicaraan kita
Berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya
Sebenarnya topik pembicaraan bukanlah hal yang pentinng bagiku
Asalkan engkau berada di sampingku untuk mendengarkanku, daku bahagia
Di saat engkau meliat diriku menua, janganlah bersedih
Maklumilah diriku, dukunglah daku bagaikan yang kulakukan di saat engkau belajar tentang kehidupan.
(Refleksi ditulis oleh temanku satu perjuangan dalam KEP 7: Ibu Evodia Iswandi. Semoga Tuhan memberkati Ibu Evodia dan keluarga.)
Di saat daku tua, bukan lagi diriku yang dulu
Maklumilah diriku, besabarlah dalam menghadapiku
Di saat daku menumpahkan sayuran di bajuku
Di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikat sepatu
Ingatlah saat bagaimana daku mengajarimu, membimbingmu untuk melakukannya
Di saat daku dengan pikun mengulang terus menerus ucapan yang membosankanmu
Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku
Di masa kecilmu, daku harus mengulang terus sebuah cerita yang telah kuceritakan
Ribuan kali hingga dirimu terbuai dalam mimpi
Di saat daku membutuhkanmu untuk memandikanku
Jangan menyalahkanku
Ingatlah di masa kecilmu, bagaimana daku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi
Di saat daku kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern
Jangan menertawakanku
Renungkanlah bagaimana daku dengan sabar menjawab setiap pertanyaan mengapa yang kau ajukan
Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan
Ulurkanlah tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku
Bagaimana di masa kecilmu daku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan
Di saat daku melupakan topik pembicaraan kita
Berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya
Sebenarnya topik pembicaraan bukanlah hal yang pentinng bagiku
Asalkan engkau berada di sampingku untuk mendengarkanku, daku bahagia
Di saat engkau meliat diriku menua, janganlah bersedih
Maklumilah diriku, dukunglah daku bagaikan yang kulakukan di saat engkau belajar tentang kehidupan.
(Refleksi ditulis oleh temanku satu perjuangan dalam KEP 7: Ibu Evodia Iswandi. Semoga Tuhan memberkati Ibu Evodia dan keluarga.)
Labels:
lansia,
puisi lansia,
refleksi,
refleksi orang tua,
saat tua
Selasa, 22 September 2009
DIBALIK NOVEL THE SECRET CARDINAL
KISAH NYATA KARDINAL KUNG PIN MEI
Kardinal Yin Daoming dalam novel THE SECRET CARDINAL sebetulnya mendekati gambaran dari seorang uskup Shianghai yang juga dipenjarakan di China. Novel ini memang mengambil kisah nyata itu dan kemudian diracik menajdi sebauh cerita yang memikat. Mari kita lihat persamaannya.
Kardinal Kung Pin Mei adalah Uskup Shanghai, dan Administrator Apostolik di Souchou dan Nanking sejak tahun 1950, yaitu jabatan yang dipegangnya sampai wafatnya. Dia ditahbiskan sebagai imam hampir 70 tahun yang lalu pada tanggal 28 Mei 1930, dan dikonsekrasikan sebagai Uskup 50 tahun yang lalu . Beliau adalah Uskup Shanghai pertama dari etnis local. Beliau ditahbiskan pada hari perayaan Santa Maria dari Rosario tanggal 7 Oktober 1949, setelah pasukan komunis telah menguasai daratan Cina.
Kardinal Kung diangkat sebagai Kardinal oleh Sri Paus Yohanes Paulus II secara "in pectore" (dalam hati Sri Paus, tanpa pengumuman kepada seorangpun termasuk Kardinal Kung sendiri) 20 tahun yang lalu pada tahun 1979 pada usia 78 tahun ketika sang Kardinal sedang menjalani hukuman seumur hidup dalam sel isolasi di Cina. Setelah selama 12 tahun berada dalam benak pikiran Sri Paus, Kardinal Kung akhirnya diproklamasikan sebagai seorang Kardinal kepada dunia pada tanggal 28 Juni 1991 oleh Sri Paus. Pada waktu ia meninggal, Kardinal Kung adalah yang tertua diantara para Kardinal.
Kisah tentang Kardinal Kung adalah kisah tentang seorang gembala iman yang setia dan seorang pahlawan. Kardinal Kung menolak untuk menyangkal Tuhan dan menyangkal Gereja Katolik meskipun sebagai konsekuensinya ia dihukum penjara seumur hidup oleh pemerintahan komunis Cina.
Berbulan-bulan sebelum penangkapannya pada tahun 1955, Uskup Kung bersikeras untuk tetap berada bersama-sama para imam dan ditengah-tengah umatnya meskipun berulang-kali beliau ditawarkan untuk keluar dari daratan Cina secara diam-diam. Dia adalah seorang pemimpin yang membawa inspirasi bagi berjuta-juta penduduk Cina untuk mengikuti teladan kesetiaannya terhadap iman dan Gereja Katolik.
Dia adalah orang yang memelihara eksistensi Gereja Katolik di negara komunis selama 50 tahun. Dia adalah orang yang menjadi simbol bagi para pemimpin rakyat di seluruh dunia yang berjuang bagi kebebasan beragama. Tiada kisah penindasan agama atau pelanggaran hak-hak azasi di Cina yang tidak menyinggung sedikitnya beberapa kata yang menyangkut Kardinal Kung.
Uskup Kung telah menjabat sebagai Uskup Shanghai dan Administrator Apostolik bagi dua keuskupan lainnya hanya selama lima tahun saja sebelum dia ditangkap oleh pemerintah Cina. Dalam waktu lima tahun saja Uskup Kung telah menjadi musuh yang paling ditakuti oleh komunis Cina. Dialah yang menjadi pusat perhatian dan devosi dari segenap umat Katolik di daratan Cina yang pada waktu itu jumlahnya sekitar 3 juta jiwa. Dia sangat dihormati oleh rekan-rekan sesama Uskup di Cina, dan dia telah memberi inspirasi bagi ribuan umat untuk memberikan nyawanya kepada Tuhan. Dalam menentang Asosiasi Katolik Patriotik Cina, sempalan gereja Katolik yang didirikan oleh pemerintahan komunis, Uskup Kung secara pribadi membimbing Legio Maria, suatu kerasulan awam Katolik yang didedikasikan bagi Santa Perawan Maria. Sebagai hasilnya, banyak anggota-anggota Legio Maria yang berani terancam resiko ditangkap demi nama Tuhan, demi Gereja Katolik dan demi Uskup Kung. Ratusan anggota-anggota Legio Maria, termasuk banyak mahasiswa-mahasiswi, yang ditangkap dan dihukum kerja paksa selama 10, 15, dan 20 tahun.
Ditengah-tengah penindasan tersebut, Uskup Kung mendeklarasikan tahun 1952 sebagai Tahun Maria di Shanghai. Selama tahun itu, diadakan pengucapan doa Rosario selama 24-jam secara terus-menerus di hadapan sebuah patung Santa Maria dari Fatima, yang mana patung tersebut dibawa berkeliling dari satu paroki ke paroki lainnya di Shanghai. Patung Maria yang kudus tersebut akhirnya tiba di Gereja Katolik Kristus Raja. Di sana penangkapan besar-besaran terhadap para imam baru saja terjadi. Uskup Kung mengunjungi gereja tersebut dan memimpin doa Rosario secara pribadi sementara ratusan polisi bersenjata lengkap berdiri menyaksikan. Pada akhir doa Rosario, sambil memimpin umat, Uskup Kung berdoa: "Santa Maria, kami tidak meminta suatu mukjijat kepadamu. Kami tidak meminta engkau supaya menghentikan penindasan. Tetapi kami memohon engkau untuk mendukung kami yang sangat lemah ini."
Menyadari bahwa dia dan para imamnya akan segera ditangkap, Uskup Kung membina ratusan katekis (guru agama) untuk meneruskan iman Katolik di keuskupan bagi generasi di masa depan.
Usaha-usaha yang gagah berani dari para katekis ini, kemartiran mereka dan juga para umat, dan kaum religius Katolik membawa andil yang besar bagi pertumbuhan yang kuat dari Gereja Katolik bawah tanah di Cina sekarang ini. Uskup Kung yang menempati tempat khusus dalam hati para umatnya, disarikan dengan tepat dalam ucapan yang dikeluarkan oleh sejumlah mudika di Shanghai pada tahun 1953 pada saat jambore mudika tahunan: "Uskup Kung, dalam kegelapan, engkau telah menerangi jalan kami. Engkau membimbing kami dalam perjalanan kami yang penuh marabahaya. Engkau menopang iman kami dan tradisi-tradisi Gereja. Engkau adalah pondasi batu karang atas Gereja di Shanghai."
Pada tanggal 8 September 1955, media berita di seluruh dunia melaporkan berita yang mengejutkan tentang penangkapan Uskup Kung bersama lebih dari 200 imam dan para pemimpin Gereja lainnya di Shanghai. Berbulan-bulan setelah penangkapannya, dia dibawa ke hadapan orang banyak dalam acara pertemuan yang disponsori oleh pemerintah yang diadakan di dalam stadium pacuan anjing di Shanghai. Beribu-ribu orang diperintahkan untuk menghadiri dan mendengar pengakuan Uskup Kung atas "kejahatan-kejahatannya". Dengan kedua tangannya terikat di belakang dan mengenakan piyama khas Cina, bapa Uskup yang tingginya hanya 150cm didorong kedepan ke hadapan corong mikrofon untuk mengaku "dosa-dosanya." Para polisi khusus yang menjaganya tercengang-cengang ketika mereka mendengar sang Uskup berteriak dengan keras: "Terpujilah Kristus Raja, Terpujilah Sri Paus". Untuk itu para hadirinpun segera membalas berteriak: "Terpujilah Kristus Raja, Terpujilah Uskup Kung." Uskup Kung segera diseret masuk ke sebuah mobil polisi dan menghilang dari pandangan dunia sampai ia diadili pada tahun 1960. Uskup Kung dihukum penjara seumur hidup.
Pada malam sebelum dia dibawa menghadap ke pengadilan, Jaksa Penuntut kembali membujuk agar Uskup Kung bersedia menerima tawaran pemerintah untuk memimpin gereja yang independen dan untuk mendirikan Asosiasi Patriotik Cina. Dia menjawab: "Saya adalah seorang Uskup Katolik Roma. Jika saya menyangkal Sri Paus, bukan hanya saya bukan lagi seorang Uskup, saya bahkan bukan lagi seorang Katolik. Kalian bisa memotong kepala saya, tetapi kalian tidak bisa memisahkan saya dari tugas kewajiban saya."
Uskup Kung menghilang di balik penjara selama tiga puluh tahun. Selama tiga puluh tahun tersebut dia menghabiskan banyak waktu-waktu panjang dalam sel isolasi. Permintaan yang bertubi-tubi dari kelompok hak azasi dan religius internasional dan pemimpin-pemimpin negara untuk mengunjungi Uskup Kung selalu ditolak oleh pemerintah komunis. Dia tidak pernah diperbolehkan untuk menerima pengunjung, bahkan termasuk para anggota keluarganya, surat-surat, maupun uang untuk membeli barang-barang kebutuhan mendasar yang diperbolehkan bagi para tahanan lainnya.
Usaha-usaha bagi pelepasan dirinya oleh keluarganya yang dipimpin oleh keponakannya, Joseph Kung, juga oleh organisasi-organisasi pembela hak azasi seperti Amnesti Internasional, Palang Merah, dan Pemerintah Amerika Serikat, tidak pernah berhenti. Pada tahun 1985, dia dibebaskan dari penjara untuk menjalani 10 tahun tahanan rumah dibawah pengawasan uskup-uskup dari Asosiasi Patriotik yang menghianati dia, menghianati Sri Paus dan yang mengambil alih keuskupan yang dulu dipimpinnya. Dalam suatu artikel yang muncul segera setelah dia dilepaskan dari penjara, koran New York Times melaporkan bahwa pernyataan yang tidak jelas dari kantor berita Cina menyiratkan bahwa kalangan penguasa, dan bukannya sang Uskup, yang telah melunakkan posisinya. Setelah dua setengah tahun menjalani tahanan rumah, akhirnya dia secara resmi dibebaskan. Akan tetapi, tuduhan yang dijatuhkan kepadanya sebagai kontra-revolusioner, tidak pernah dihapuskan. Pada tahun 1988, keponakannya, Joseph Kung, berangkat ke Cina dua kali dan mendapatkan ijin untuk mengawal Uskup Kung ke Amerika untuk menjalani perawatan medis.
Menjelang pembebasannya dari penjara, Uskup Kung diperbolehkan untuk mengikuti jamuan makan yang diadakan oleh pemerintah Shanghai untuk menyambut Kardinal Jaime Sin, Uskup Agung Manila, Filipina, yang sedang mengadakan kunjungan persahabatan. Ini adalah untuk pertama kalinya Uskup Kung bertemu dengan seorang Uskup dari Gereja Katolik yang universal, sejak ia ditahan di penjara. Kardinal Sin dan Uskup Kung diberi tempat duduk yang jauh berseberangan dan dipisahkan oleh lebih dari 20 anggota partai komunis. Tidak ada kesempatan bagi sang Uskup untuk berbicara secara pribadi dengan Kardinal Sin. Selama makan malam, Kardinal Sin mengajak setiap orang untuk menyanyikan sebuah lagu untuk memeriahkan acara. Ketika tiba giliran Uskup Kung untuk bernyanyi di hadapan para pejabat pemerintah Cina dan para uskup Asosiasi Patriotik, dia menatap ke arah Kardinal Sin dan menyanyikan: "Tu es Petrus et super hanc petram aedificabo Ecclesiam" (Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku), suatu nyanyian iman yang memproklamasikan otoritas tertinggi Sri Paus. Uskup Kung menyampaikan kepada Kardinal Sin bahwa selama sepanjang masa penahanannya, dia tetap setia kepada Tuhan, kepada Gereja-Nya, dan kepada Sri Paus.
Setelah jamuan makan malam, Aloysius Jin, Uskup Shanghai dari Asosiasi Patriotik Katolik Cina, menegur Kardinal Kung, "Apa yang engkau lakukan? Menunjukkan posisimu?" Kardinal Kung dengan tenang menjawab, "Tidak perlu untuk menunjukkan posisiku. Posisiku tidak pernah berubah."
Kardinal Sin dengan segera membawa pesan Kardinal Kung kepada Bapa Suci Sri Paus dan mengumumkan kepada dunia bahwa kecintaan Uskup Kung bagi Gereja dan bagi umat tidak pernah berkurang meskipun mengalami penderitaan, kesengsaraan dan isolasi yang tidak terperikan.
Mendiang Uskup Walter Curtis, Uskup dari Bridgeport, negara bagian Connecticut pada waktu itu, mengundang Uskup Kung untuk tinggal bersama dengan imam-imam yang sudah pensiun dari keuskupan Bridgeport setibanya di Amerika Serikat. Uskup Kung tetap menjadi tamu di keuskupan tersebut - yang nantinya dipimpin oleh Uskup Edward Egan - selama sembilan tahun sampai bulan Desember 1997.
Ketika Sri Paus Yohanes Paulus II mempersembahkan topi merah tanda jabatan Kardinal bagi Kardinal Kung di konsistori pada tanggal 29 Juni 1991 di Vatikan, Uskup Kung yang berusia 90 tahun pada waktu itu, berdiri dari kursi rodanya, meletakkan tongkatnya ke samping, dan berjalan menaiki anak tangga untuk berlutut di depan kaki Sri Paus. Sri Paus yang jelas tersentuh oleh peristiwa ini, mengangkat Uskup Kung untuk bangkit berdiri, memberikan topi Kardinal kepada Uskup Kung, dan berdiri dengan sabar menanti sampai Kardinal Kung kembali ke kursi rodanya, di tengah-tengah gemuruh suara 9000 undangan yang berdiri dan bertepuk tangan selama tujuh menit di dalam Balai Audiensi di Vatikan.
Selama dua belas tahun terakhir, Kardinal Kung merayakan Misa Kudus kepada umum di banyak paroki, dalam konferensi-konferensi Katolik dan di televisi. Dia memberikan wawancara dan homili di seluruh penjuru Amerika Serikat untuk menarik perhatian dunia yang bebas terhadap penindasan yang masih berlangsung terus terhadap Gereja Katolik di Cina. Dia tetap merupakan sumber inspirasi bagi 9-10 juta umat Katolik bawah tanah di Cina dan musuh yang ditakuti oleh pemerintah komunis Cina. Dalam suatu wawancara dengan Chinese Press di New York pada tanggal 12 Februari 1998, Mr. Ye Xiaowen, Direktur Biro Agama dari Cina, menyatakan: "Kung Pin Mei telah melakukan tindakan kejahatan yang serius dengan memecah belah negara dan membawa bahaya bagi warga negara." Sebulan sesudahnya pada bulan Maret 1998, pemerintah komunis menyita paspor sang Kardinal yang pada waktu itu sudah berumur 97 tahun, dan secara resmi mengucilkannya.
Kardinal Kung tidak pernah berhenti untuk mendoakan mereka yang telah memisahkan diri dan bergabung dengan Asosiasi Patriotik yang didirikan oleh pemerintah Cina. Sebelum melakukan perjalanan ke Roma untuk menghadiri Konsistori pada tahun 1991, Uskup Kung menyiarkan ucapannya melalui media radio Voice of America, mengundang para uskup Asosiasi Patriotik Cina untuk kembali ke Kota Abadi bersamanya.
Dalam majalah Mission pada tahun 1957, mendiang Uskup Fulton Sheen - seorang Uskup yang terkenal di Amerika Serikat - menulis demikian, "Di Barat ada Mindszenty, tetapi Timur punya Uskup Kung. Tuhan dimuliakan lewat para kudus-Nya."
Yang Mulia, Ignatius Kardinal Kung Pin Mei wafat pada jam 3.05 dini hari pada tanggal 12 Maret 2000 di Stamford, Connecticut, Amerika Serikat. Beliau berumur 98 tahun.
Sumber: http://www.gerejakatolik.net/artikel/kardinalkung.htm
Kardinal Yin Daoming dalam novel THE SECRET CARDINAL sebetulnya mendekati gambaran dari seorang uskup Shianghai yang juga dipenjarakan di China. Novel ini memang mengambil kisah nyata itu dan kemudian diracik menajdi sebauh cerita yang memikat. Mari kita lihat persamaannya.
Kardinal Kung Pin Mei adalah Uskup Shanghai, dan Administrator Apostolik di Souchou dan Nanking sejak tahun 1950, yaitu jabatan yang dipegangnya sampai wafatnya. Dia ditahbiskan sebagai imam hampir 70 tahun yang lalu pada tanggal 28 Mei 1930, dan dikonsekrasikan sebagai Uskup 50 tahun yang lalu . Beliau adalah Uskup Shanghai pertama dari etnis local. Beliau ditahbiskan pada hari perayaan Santa Maria dari Rosario tanggal 7 Oktober 1949, setelah pasukan komunis telah menguasai daratan Cina.
Kardinal Kung diangkat sebagai Kardinal oleh Sri Paus Yohanes Paulus II secara "in pectore" (dalam hati Sri Paus, tanpa pengumuman kepada seorangpun termasuk Kardinal Kung sendiri) 20 tahun yang lalu pada tahun 1979 pada usia 78 tahun ketika sang Kardinal sedang menjalani hukuman seumur hidup dalam sel isolasi di Cina. Setelah selama 12 tahun berada dalam benak pikiran Sri Paus, Kardinal Kung akhirnya diproklamasikan sebagai seorang Kardinal kepada dunia pada tanggal 28 Juni 1991 oleh Sri Paus. Pada waktu ia meninggal, Kardinal Kung adalah yang tertua diantara para Kardinal.
Kisah tentang Kardinal Kung adalah kisah tentang seorang gembala iman yang setia dan seorang pahlawan. Kardinal Kung menolak untuk menyangkal Tuhan dan menyangkal Gereja Katolik meskipun sebagai konsekuensinya ia dihukum penjara seumur hidup oleh pemerintahan komunis Cina.
Berbulan-bulan sebelum penangkapannya pada tahun 1955, Uskup Kung bersikeras untuk tetap berada bersama-sama para imam dan ditengah-tengah umatnya meskipun berulang-kali beliau ditawarkan untuk keluar dari daratan Cina secara diam-diam. Dia adalah seorang pemimpin yang membawa inspirasi bagi berjuta-juta penduduk Cina untuk mengikuti teladan kesetiaannya terhadap iman dan Gereja Katolik.
Dia adalah orang yang memelihara eksistensi Gereja Katolik di negara komunis selama 50 tahun. Dia adalah orang yang menjadi simbol bagi para pemimpin rakyat di seluruh dunia yang berjuang bagi kebebasan beragama. Tiada kisah penindasan agama atau pelanggaran hak-hak azasi di Cina yang tidak menyinggung sedikitnya beberapa kata yang menyangkut Kardinal Kung.
Uskup Kung telah menjabat sebagai Uskup Shanghai dan Administrator Apostolik bagi dua keuskupan lainnya hanya selama lima tahun saja sebelum dia ditangkap oleh pemerintah Cina. Dalam waktu lima tahun saja Uskup Kung telah menjadi musuh yang paling ditakuti oleh komunis Cina. Dialah yang menjadi pusat perhatian dan devosi dari segenap umat Katolik di daratan Cina yang pada waktu itu jumlahnya sekitar 3 juta jiwa. Dia sangat dihormati oleh rekan-rekan sesama Uskup di Cina, dan dia telah memberi inspirasi bagi ribuan umat untuk memberikan nyawanya kepada Tuhan. Dalam menentang Asosiasi Katolik Patriotik Cina, sempalan gereja Katolik yang didirikan oleh pemerintahan komunis, Uskup Kung secara pribadi membimbing Legio Maria, suatu kerasulan awam Katolik yang didedikasikan bagi Santa Perawan Maria. Sebagai hasilnya, banyak anggota-anggota Legio Maria yang berani terancam resiko ditangkap demi nama Tuhan, demi Gereja Katolik dan demi Uskup Kung. Ratusan anggota-anggota Legio Maria, termasuk banyak mahasiswa-mahasiswi, yang ditangkap dan dihukum kerja paksa selama 10, 15, dan 20 tahun.
Ditengah-tengah penindasan tersebut, Uskup Kung mendeklarasikan tahun 1952 sebagai Tahun Maria di Shanghai. Selama tahun itu, diadakan pengucapan doa Rosario selama 24-jam secara terus-menerus di hadapan sebuah patung Santa Maria dari Fatima, yang mana patung tersebut dibawa berkeliling dari satu paroki ke paroki lainnya di Shanghai. Patung Maria yang kudus tersebut akhirnya tiba di Gereja Katolik Kristus Raja. Di sana penangkapan besar-besaran terhadap para imam baru saja terjadi. Uskup Kung mengunjungi gereja tersebut dan memimpin doa Rosario secara pribadi sementara ratusan polisi bersenjata lengkap berdiri menyaksikan. Pada akhir doa Rosario, sambil memimpin umat, Uskup Kung berdoa: "Santa Maria, kami tidak meminta suatu mukjijat kepadamu. Kami tidak meminta engkau supaya menghentikan penindasan. Tetapi kami memohon engkau untuk mendukung kami yang sangat lemah ini."
Menyadari bahwa dia dan para imamnya akan segera ditangkap, Uskup Kung membina ratusan katekis (guru agama) untuk meneruskan iman Katolik di keuskupan bagi generasi di masa depan.
Usaha-usaha yang gagah berani dari para katekis ini, kemartiran mereka dan juga para umat, dan kaum religius Katolik membawa andil yang besar bagi pertumbuhan yang kuat dari Gereja Katolik bawah tanah di Cina sekarang ini. Uskup Kung yang menempati tempat khusus dalam hati para umatnya, disarikan dengan tepat dalam ucapan yang dikeluarkan oleh sejumlah mudika di Shanghai pada tahun 1953 pada saat jambore mudika tahunan: "Uskup Kung, dalam kegelapan, engkau telah menerangi jalan kami. Engkau membimbing kami dalam perjalanan kami yang penuh marabahaya. Engkau menopang iman kami dan tradisi-tradisi Gereja. Engkau adalah pondasi batu karang atas Gereja di Shanghai."
Pada tanggal 8 September 1955, media berita di seluruh dunia melaporkan berita yang mengejutkan tentang penangkapan Uskup Kung bersama lebih dari 200 imam dan para pemimpin Gereja lainnya di Shanghai. Berbulan-bulan setelah penangkapannya, dia dibawa ke hadapan orang banyak dalam acara pertemuan yang disponsori oleh pemerintah yang diadakan di dalam stadium pacuan anjing di Shanghai. Beribu-ribu orang diperintahkan untuk menghadiri dan mendengar pengakuan Uskup Kung atas "kejahatan-kejahatannya". Dengan kedua tangannya terikat di belakang dan mengenakan piyama khas Cina, bapa Uskup yang tingginya hanya 150cm didorong kedepan ke hadapan corong mikrofon untuk mengaku "dosa-dosanya." Para polisi khusus yang menjaganya tercengang-cengang ketika mereka mendengar sang Uskup berteriak dengan keras: "Terpujilah Kristus Raja, Terpujilah Sri Paus". Untuk itu para hadirinpun segera membalas berteriak: "Terpujilah Kristus Raja, Terpujilah Uskup Kung." Uskup Kung segera diseret masuk ke sebuah mobil polisi dan menghilang dari pandangan dunia sampai ia diadili pada tahun 1960. Uskup Kung dihukum penjara seumur hidup.
Pada malam sebelum dia dibawa menghadap ke pengadilan, Jaksa Penuntut kembali membujuk agar Uskup Kung bersedia menerima tawaran pemerintah untuk memimpin gereja yang independen dan untuk mendirikan Asosiasi Patriotik Cina. Dia menjawab: "Saya adalah seorang Uskup Katolik Roma. Jika saya menyangkal Sri Paus, bukan hanya saya bukan lagi seorang Uskup, saya bahkan bukan lagi seorang Katolik. Kalian bisa memotong kepala saya, tetapi kalian tidak bisa memisahkan saya dari tugas kewajiban saya."
Uskup Kung menghilang di balik penjara selama tiga puluh tahun. Selama tiga puluh tahun tersebut dia menghabiskan banyak waktu-waktu panjang dalam sel isolasi. Permintaan yang bertubi-tubi dari kelompok hak azasi dan religius internasional dan pemimpin-pemimpin negara untuk mengunjungi Uskup Kung selalu ditolak oleh pemerintah komunis. Dia tidak pernah diperbolehkan untuk menerima pengunjung, bahkan termasuk para anggota keluarganya, surat-surat, maupun uang untuk membeli barang-barang kebutuhan mendasar yang diperbolehkan bagi para tahanan lainnya.
Usaha-usaha bagi pelepasan dirinya oleh keluarganya yang dipimpin oleh keponakannya, Joseph Kung, juga oleh organisasi-organisasi pembela hak azasi seperti Amnesti Internasional, Palang Merah, dan Pemerintah Amerika Serikat, tidak pernah berhenti. Pada tahun 1985, dia dibebaskan dari penjara untuk menjalani 10 tahun tahanan rumah dibawah pengawasan uskup-uskup dari Asosiasi Patriotik yang menghianati dia, menghianati Sri Paus dan yang mengambil alih keuskupan yang dulu dipimpinnya. Dalam suatu artikel yang muncul segera setelah dia dilepaskan dari penjara, koran New York Times melaporkan bahwa pernyataan yang tidak jelas dari kantor berita Cina menyiratkan bahwa kalangan penguasa, dan bukannya sang Uskup, yang telah melunakkan posisinya. Setelah dua setengah tahun menjalani tahanan rumah, akhirnya dia secara resmi dibebaskan. Akan tetapi, tuduhan yang dijatuhkan kepadanya sebagai kontra-revolusioner, tidak pernah dihapuskan. Pada tahun 1988, keponakannya, Joseph Kung, berangkat ke Cina dua kali dan mendapatkan ijin untuk mengawal Uskup Kung ke Amerika untuk menjalani perawatan medis.
Menjelang pembebasannya dari penjara, Uskup Kung diperbolehkan untuk mengikuti jamuan makan yang diadakan oleh pemerintah Shanghai untuk menyambut Kardinal Jaime Sin, Uskup Agung Manila, Filipina, yang sedang mengadakan kunjungan persahabatan. Ini adalah untuk pertama kalinya Uskup Kung bertemu dengan seorang Uskup dari Gereja Katolik yang universal, sejak ia ditahan di penjara. Kardinal Sin dan Uskup Kung diberi tempat duduk yang jauh berseberangan dan dipisahkan oleh lebih dari 20 anggota partai komunis. Tidak ada kesempatan bagi sang Uskup untuk berbicara secara pribadi dengan Kardinal Sin. Selama makan malam, Kardinal Sin mengajak setiap orang untuk menyanyikan sebuah lagu untuk memeriahkan acara. Ketika tiba giliran Uskup Kung untuk bernyanyi di hadapan para pejabat pemerintah Cina dan para uskup Asosiasi Patriotik, dia menatap ke arah Kardinal Sin dan menyanyikan: "Tu es Petrus et super hanc petram aedificabo Ecclesiam" (Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku), suatu nyanyian iman yang memproklamasikan otoritas tertinggi Sri Paus. Uskup Kung menyampaikan kepada Kardinal Sin bahwa selama sepanjang masa penahanannya, dia tetap setia kepada Tuhan, kepada Gereja-Nya, dan kepada Sri Paus.
Setelah jamuan makan malam, Aloysius Jin, Uskup Shanghai dari Asosiasi Patriotik Katolik Cina, menegur Kardinal Kung, "Apa yang engkau lakukan? Menunjukkan posisimu?" Kardinal Kung dengan tenang menjawab, "Tidak perlu untuk menunjukkan posisiku. Posisiku tidak pernah berubah."
Kardinal Sin dengan segera membawa pesan Kardinal Kung kepada Bapa Suci Sri Paus dan mengumumkan kepada dunia bahwa kecintaan Uskup Kung bagi Gereja dan bagi umat tidak pernah berkurang meskipun mengalami penderitaan, kesengsaraan dan isolasi yang tidak terperikan.
Mendiang Uskup Walter Curtis, Uskup dari Bridgeport, negara bagian Connecticut pada waktu itu, mengundang Uskup Kung untuk tinggal bersama dengan imam-imam yang sudah pensiun dari keuskupan Bridgeport setibanya di Amerika Serikat. Uskup Kung tetap menjadi tamu di keuskupan tersebut - yang nantinya dipimpin oleh Uskup Edward Egan - selama sembilan tahun sampai bulan Desember 1997.
Ketika Sri Paus Yohanes Paulus II mempersembahkan topi merah tanda jabatan Kardinal bagi Kardinal Kung di konsistori pada tanggal 29 Juni 1991 di Vatikan, Uskup Kung yang berusia 90 tahun pada waktu itu, berdiri dari kursi rodanya, meletakkan tongkatnya ke samping, dan berjalan menaiki anak tangga untuk berlutut di depan kaki Sri Paus. Sri Paus yang jelas tersentuh oleh peristiwa ini, mengangkat Uskup Kung untuk bangkit berdiri, memberikan topi Kardinal kepada Uskup Kung, dan berdiri dengan sabar menanti sampai Kardinal Kung kembali ke kursi rodanya, di tengah-tengah gemuruh suara 9000 undangan yang berdiri dan bertepuk tangan selama tujuh menit di dalam Balai Audiensi di Vatikan.
Selama dua belas tahun terakhir, Kardinal Kung merayakan Misa Kudus kepada umum di banyak paroki, dalam konferensi-konferensi Katolik dan di televisi. Dia memberikan wawancara dan homili di seluruh penjuru Amerika Serikat untuk menarik perhatian dunia yang bebas terhadap penindasan yang masih berlangsung terus terhadap Gereja Katolik di Cina. Dia tetap merupakan sumber inspirasi bagi 9-10 juta umat Katolik bawah tanah di Cina dan musuh yang ditakuti oleh pemerintah komunis Cina. Dalam suatu wawancara dengan Chinese Press di New York pada tanggal 12 Februari 1998, Mr. Ye Xiaowen, Direktur Biro Agama dari Cina, menyatakan: "Kung Pin Mei telah melakukan tindakan kejahatan yang serius dengan memecah belah negara dan membawa bahaya bagi warga negara." Sebulan sesudahnya pada bulan Maret 1998, pemerintah komunis menyita paspor sang Kardinal yang pada waktu itu sudah berumur 97 tahun, dan secara resmi mengucilkannya.
Kardinal Kung tidak pernah berhenti untuk mendoakan mereka yang telah memisahkan diri dan bergabung dengan Asosiasi Patriotik yang didirikan oleh pemerintah Cina. Sebelum melakukan perjalanan ke Roma untuk menghadiri Konsistori pada tahun 1991, Uskup Kung menyiarkan ucapannya melalui media radio Voice of America, mengundang para uskup Asosiasi Patriotik Cina untuk kembali ke Kota Abadi bersamanya.
Dalam majalah Mission pada tahun 1957, mendiang Uskup Fulton Sheen - seorang Uskup yang terkenal di Amerika Serikat - menulis demikian, "Di Barat ada Mindszenty, tetapi Timur punya Uskup Kung. Tuhan dimuliakan lewat para kudus-Nya."
Yang Mulia, Ignatius Kardinal Kung Pin Mei wafat pada jam 3.05 dini hari pada tanggal 12 Maret 2000 di Stamford, Connecticut, Amerika Serikat. Beliau berumur 98 tahun.
Sumber: http://www.gerejakatolik.net/artikel/kardinalkung.htm
Senin, 21 September 2009
TANGGAPAN BUKU THE SECRET CARDINAL
THE SECRET CARDINAL (novel karya: Tom Grage)
Yin Daoming uskup Shanghai meringkuk di penjara Chifeng selama 30 tahun. Pengadilan China menajtuhkan hukuman mati kepada Yin atas tuduhan kejahatan melawan negara. Eksekusi belum dilaksanakan karena beberapa alasan berkaitan dengan alasan politik. Para penguasa China mengenal Yin sebagai seseorang yang mempunyai pengikut dalam jumlah besar dan iman yang mendalam.
Karena itulah Yin ditempatkan di laogai gulag (tempat pengucilan para tahanan politik). Para penguasa China berharap agar uskup Shianghai ini mati sebelum ia terhubung dengan Vatikan.
Bagaimana keteguhan Yin Daoming Nampak dalam dialog di bawah ini:
“Apakah benar orang yang kamu sembah sebagai Tuhan itu menanggap dirinya seorang gemnala dan pengikutnya adalah doma-dombanya yang harus dipimpinnya?”
“ya”
“jadi dalam hal ini Ia sangat serupa dena Mao Zedong?”
“Yesus Kristus adalah gembala ang baik, dan ia mau menyerahkan nyawanya bagi kawanannya. Tidak sama dengan Mao.”
“Mungkin. Tapi China sudah berkembang sejak kamu dimasukkan ke dalam penjara. Malam ini kamu punya kesempatan untuk keluar dari gedung ini sebagai orang merdeka dan uskup Shanghai.”
“Dan apa harga yang harus saya bayar untuk kebebasan yang Anda berikan?” Tanya Yin datar.
Ternyata harga yang harus diberikan Yin adalah menyangkal imannya dan menyangkal tahta suci Vatikan. Yin harus mengumumkan penyangkalannya di depan ratusan pengikutnya yamg berada di gedung teater. Mereka sedang menantikan Yin, gembala mereka.
Pilihan Yin tak tergoyahkan, tetap pada imannya. Gedung teater itu berubah gelap ketika tentara mendorong Yin keluar dari gedung teater melalui pintu belakang. Tentara itu mengunci pintumya. Tak berapa lama kemudian gedung itu terbakar, tepatnya dibakar lengkap dengan ratusan umat Yin yang ada di dalamnya.
Dari dalam api yang ganas menyala suara nyanyian bertambah keras. Yin measa sangat kecil dengan kesaksian iman mereka. Ia ikut menimpali suara mereka dengan nyanyiannya.
Kisah tragis pembakaran gedung teater itu rupanya bocor sampai ke luar China dan akhirnya sampai ke Vatikan. Paus Leo XIV sangat prihatin dengan nasib umatnya di China. Secara diam-diam (dalam hati) Paus mengangkat Yin Daoming sebagai kardinal. Tak seorang pun mengetahuinya sampai pada hari ketika beliau mengatakannya pada seorang kepercayaannya. Paus menghendaki kebebasan Kardinal Yin dari penjara.
Nolan Kilkeny, seorang katolik yang tidak terlalu taat, seorang agen lepas CIA, seorang lulusan terbaik dari angkatan laut, ia yang mengemban tugas membebaskan Yin dari Chifeng yang dijaga dengan sangat ketat.
Sementara itu di Vatikan, paus mangkat karena usia dan juga penyakitnya. Tahta Suci kosong. Ini berarti konklaf (pemilihan paus baru) harus segera dilaksanakan. Itu juga berarti Kardinal Yin harus segera berada di Vatikan karena ia mempunyai hak pilih dan juga bisa dipilih.
Situasi bertambah runyam ketika diketahui bahwa isi pembicaraan konklaf ang sangat rahasia itu bisa bocor keluar. Itu berarti salah satu kardinal ada yang berkhianat.
Bagaimana cerita selanjutnya? Untuk cerita selengkapnya silakan baca sendiri novelnya.
Ketegangan dan lika-liku penyelamatan Yin dari penjara Chifeng dituturkan dengan begitu memikat. Ritual gereja Katolik tentang konklaf dan keindahan basilica St. Petrus dengan segala keagungannya muncul sebagai sebuah latar yang memukau dalam cerita tersebut. Meski awalnya novel ini dirasa akan membawa pada bacaan rohani, namum akhirnya genre novel ini menjadi novel spionase ala amerika. Namun, itu semua tak mengurangi daya tarik novel ini.
Sebagai novel spionase The Secret Cardinal baik untuk kita baca. Kita diajak untuk mengetahui tentang salah satu kekayaan yang ada pada gereja Katolik yaitu konklaf.
Setelah memabca buku ini, pada diriku muncul keinginan untuk melihat dari dekat salah satu kekayaan gereja Katolik dan karya agung para seniman besar dunia yang ada di Vatikan. Rasanya aku ingin sekali berada di basilica St. Petrus untuk mengangumi ornament, arsitektur juga lukisan2 serta penataannya. Akankah aku bisa sampai ke sana?
Yin Daoming uskup Shanghai meringkuk di penjara Chifeng selama 30 tahun. Pengadilan China menajtuhkan hukuman mati kepada Yin atas tuduhan kejahatan melawan negara. Eksekusi belum dilaksanakan karena beberapa alasan berkaitan dengan alasan politik. Para penguasa China mengenal Yin sebagai seseorang yang mempunyai pengikut dalam jumlah besar dan iman yang mendalam.
Karena itulah Yin ditempatkan di laogai gulag (tempat pengucilan para tahanan politik). Para penguasa China berharap agar uskup Shianghai ini mati sebelum ia terhubung dengan Vatikan.
Bagaimana keteguhan Yin Daoming Nampak dalam dialog di bawah ini:
“Apakah benar orang yang kamu sembah sebagai Tuhan itu menanggap dirinya seorang gemnala dan pengikutnya adalah doma-dombanya yang harus dipimpinnya?”
“ya”
“jadi dalam hal ini Ia sangat serupa dena Mao Zedong?”
“Yesus Kristus adalah gembala ang baik, dan ia mau menyerahkan nyawanya bagi kawanannya. Tidak sama dengan Mao.”
“Mungkin. Tapi China sudah berkembang sejak kamu dimasukkan ke dalam penjara. Malam ini kamu punya kesempatan untuk keluar dari gedung ini sebagai orang merdeka dan uskup Shanghai.”
“Dan apa harga yang harus saya bayar untuk kebebasan yang Anda berikan?” Tanya Yin datar.
Ternyata harga yang harus diberikan Yin adalah menyangkal imannya dan menyangkal tahta suci Vatikan. Yin harus mengumumkan penyangkalannya di depan ratusan pengikutnya yamg berada di gedung teater. Mereka sedang menantikan Yin, gembala mereka.
Pilihan Yin tak tergoyahkan, tetap pada imannya. Gedung teater itu berubah gelap ketika tentara mendorong Yin keluar dari gedung teater melalui pintu belakang. Tentara itu mengunci pintumya. Tak berapa lama kemudian gedung itu terbakar, tepatnya dibakar lengkap dengan ratusan umat Yin yang ada di dalamnya.
Dari dalam api yang ganas menyala suara nyanyian bertambah keras. Yin measa sangat kecil dengan kesaksian iman mereka. Ia ikut menimpali suara mereka dengan nyanyiannya.
Kisah tragis pembakaran gedung teater itu rupanya bocor sampai ke luar China dan akhirnya sampai ke Vatikan. Paus Leo XIV sangat prihatin dengan nasib umatnya di China. Secara diam-diam (dalam hati) Paus mengangkat Yin Daoming sebagai kardinal. Tak seorang pun mengetahuinya sampai pada hari ketika beliau mengatakannya pada seorang kepercayaannya. Paus menghendaki kebebasan Kardinal Yin dari penjara.
Nolan Kilkeny, seorang katolik yang tidak terlalu taat, seorang agen lepas CIA, seorang lulusan terbaik dari angkatan laut, ia yang mengemban tugas membebaskan Yin dari Chifeng yang dijaga dengan sangat ketat.
Sementara itu di Vatikan, paus mangkat karena usia dan juga penyakitnya. Tahta Suci kosong. Ini berarti konklaf (pemilihan paus baru) harus segera dilaksanakan. Itu juga berarti Kardinal Yin harus segera berada di Vatikan karena ia mempunyai hak pilih dan juga bisa dipilih.
Situasi bertambah runyam ketika diketahui bahwa isi pembicaraan konklaf ang sangat rahasia itu bisa bocor keluar. Itu berarti salah satu kardinal ada yang berkhianat.
Bagaimana cerita selanjutnya? Untuk cerita selengkapnya silakan baca sendiri novelnya.
Ketegangan dan lika-liku penyelamatan Yin dari penjara Chifeng dituturkan dengan begitu memikat. Ritual gereja Katolik tentang konklaf dan keindahan basilica St. Petrus dengan segala keagungannya muncul sebagai sebuah latar yang memukau dalam cerita tersebut. Meski awalnya novel ini dirasa akan membawa pada bacaan rohani, namum akhirnya genre novel ini menjadi novel spionase ala amerika. Namun, itu semua tak mengurangi daya tarik novel ini.
Sebagai novel spionase The Secret Cardinal baik untuk kita baca. Kita diajak untuk mengetahui tentang salah satu kekayaan yang ada pada gereja Katolik yaitu konklaf.
Setelah memabca buku ini, pada diriku muncul keinginan untuk melihat dari dekat salah satu kekayaan gereja Katolik dan karya agung para seniman besar dunia yang ada di Vatikan. Rasanya aku ingin sekali berada di basilica St. Petrus untuk mengangumi ornament, arsitektur juga lukisan2 serta penataannya. Akankah aku bisa sampai ke sana?
Jumat, 18 September 2009
KETIKA HARUS MENJADI ORANG BUTA
Dimuat dalam majalah Komunika edisi 2008
Menjadi orang buta, ini adalah sebuah permainan, sebuah game yang dimainkan pada suatu acara untuk para guru dalam sebuah pelatihan psikologi pada suatu waktu yang sudah sekian tahun berlalu. Waktu itu Ibu Ratih Ibrahim dan tim memberikan permainan A Blind Man. Dalam permainan itu mata kami ditutup dengan secarik kain hitam yang panjangnya kira-kira 30 cm dengan dilipat berkali-kali sehingga tidak memungkinkan mata pemakainya untuk mengintip di baliknya.
Permainan itu dimainkan oleh dua orang. Yang seorang menjadi orang buta dan yang satu lagi menjadi penunjuk jalan. Penunjuk jalan tidak boleh menuntun. Ia hanya boleh memberikan petunjuk dengan kata-kata untuk sampai ke tempat tujuan. Sebelumnya badan Si Orang Buta diputar-putar dulu agar ia tidak mengingat arah kiri, kanan, atau utara-selatan di ruang itu. Kemudian Ibu ratih membawa Si Penunjuk Jalan melewati rute yang harus dilewati Orang Buta yang dipimpinnya. Sebelumnya rute itu sudah diberi rintangan dengan kursi, meja, papan tulis, tali rafia yang harus diterobos oleh Si Buta.
Permainan pun dimulai. Barisan Orang Buta dan barisan Penunjuk Jalan berdampingan. Penunjuk Jalan beraksi dengan kata-kata yang mengarahkan Si Buta, tanpa menyentuh badan. Si Buta siap melaksanakan instruksi dengan menggapai-gapai di udara.
“Ya, maju tiga langkah. Stop. Geser ke kiri tiga langkah. Serong kiri. Ya bagus. Ulurkan tangan, rasakan ada benda di depanmu. Pegang dulu. Ya ok. Bungkukkan badan. Ya… sedikit lagi. Melangkah dengan membungkuk. Pelan saja…. Ya…bagus.” Begitulah Si Penunjuk Jalan dengan gaya mereka berusaha membawa Si Buta ke garis finish. Rute itu sebenarnya berkeliling aula dengan melewati beberapa rintangan menerobos papan tulis, melewati kursi yang dideretkan. Dan terakhir akan naik di panggung. Kini berganti peran, Si Buta jadi Penunjuk jalan dan sebaliknya.
Yang menjadi bahan renungan saya kali itu adalah hasil refleksi para guru sesudah mengikuti permainan. Dalam beberapa refleksi sering terungkap bagaimana perasaan ketika menjadi Si Buta dan Si Penunjuk Jalan.
Menjadi orang buta itu tidak enak dan tidak nyaman. Tidak bisa melihat apa-apa. Bingung dan mengalami kehilangan orientasi arah. Namun, meskipun tak melihat apa-apa masih mendengar ada orang memberikan petunjuk arah. Akhirnya mendengarkan pemberi petunjuk dan mengikuti kata-katanya. Ya… sudah percaya saja, kan tidak mungkin penunjuk jalan akan menjerumuskan. Karena itu akhirnya bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Menjadi penuntun sepertinya juga gampang, tinggal berbicara agar Si Buta bisa berjalan. Namun, jangan salah ketika memilih kata-kata harus benar-benar tepat. Jangan sampai menjerumuskan orang yang yang dituntun. Kata-kata yang dipilih harus jitu dan tepat sasaran. Jangan sampai membingungkan yang dituntun. Ternyata menjadi Penunjuk Jalan itu tidak mudah.
Satu saat kita menghadapi posisi keduanya, menjadi orang buta atau menjadi penuntun. Pada suatu saat kita menjadi orang buta, tidak tahu harus bagaimana melangkah, arah mana yang akan diambil. Mau berjalan sembarangan, kita takut celaka, tetapi kalau kita diam saja juga salah. Rasanya semua langkah yang kita ambil tak ada yang tepat. Semua meragukan. Tidak pasti.
Lain waktu kita juga berada pada posisi menjadi Si Penunjuk. Kita harus memberikan arah kepada orang lain yang kebingungan dalam mengambil langkah yang tepat. Sebagai penunjuk jalan, kita juga tidak bisa main tunjuk saja. Jangan-jangan tidak sesuai, atau ada buntutnya di akhir nanti. Bahkan bisa membawa resiko yang lebih besar lagi bagi hidup orang lain.
Ini pengalaman ketika menjadi Si Buta dalam kehidupan. Kita tidak diam saja dan menyerah. Berusahalah mencari pegangan yang terdekat. Pertajamlah indra yang lain, yaitu pendengaran dan perabaan, serta perasaan. Mendengarkan tidak sama artinya dengan mendengar. Itu tidak mudah. Seumur hidup kita harus belajar untuk ketrampilan yang satu ini. Mendengarkan petunjuk-Nya melalui firman-Nya dalam Kitab Suci, melalui perkataan orang lain, saran yang positif dari teman, nasihat orang tua, khotbah para romo, kritik yang membangun dari rekan kerja, teguran dari atasan, dan banyak hal lain yang sangat layak didengarkan.
Perasaan dan perabaan kita pun akan diasah saat kita buta. Refleksi mungkin itu satu cara yang tepat untuk kita lakukan kala kita mengalami kebutaan dalam hidup. Bertanya pada diri sendiri, apa yang terjadi, mengapa terjadi, apa yang sebelumnya aku lakukan, adakah orang lain yang terluka karena aku, bagaimana perasaan orang lain, apa yang aku peroleh dari peristiwa itu, adakah Tuhan mau menyatakan sesuatu kepadaku, apa yang bisa aku lakukan, langkah apa yang bisa kuambil,…. Dan segudang pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab dalam sehari atau dua hari. Namun, kebenaran akhirnya akan menjadi pemenang pada suatu waktu yang sudah ditetapkan-Nya.
Kala kita buta jangan lupa kita meraba-raba di sekitar kita dengan berdoa minta hidayah-Nya, meminta bantuan pada orang yang tepat, dan meraih tongkat iman kita agar kita tetap bisa berdiri tegak.
Bagaimana kala saya kena giliran menjadi Penunjuk Jalan? Yang jelas menjadi penunjuk harus tahu arah. Itu penting. Menjadi penunjuk tak tahu arah kita tidak akan sanggup membawa Si Buta samapi ke tujuan. Arah itu harus dipelajari dengan benar. Bagaimana mempelajarinya? Kita diberi-Nya pedoman untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Diberi-Nya hati nurani dan akal budi. Semuanya perlu diasah dengan banyak membaca hal yang bermutu. Kitab Suci adalah pedoman utama, baru keturunannya, seperti berbagai bacaan rohani, dan bacaan profan yang sesuai.
Doa adalah satu hal yang tak bisa dilupakan oleh Si Penunjuk jalan. Hikmat akan diberikan oleh-Nya kepada orang yang memintanya. Seperti yang dilakukan Raja Salomo.
Kita semua berharap kita akan selalu siap untuk menerima giliran mendapatkan peran Si Buta atau Si Penunjuk jalan dalam hidup kita semua. Giliran itu tak bisa kita ganti atau tukar atau kita tolak karena itu bagian dari semua rencana-Nya yang indah untuk kita semua.
(Christina Enung Martina)
Menjadi orang buta, ini adalah sebuah permainan, sebuah game yang dimainkan pada suatu acara untuk para guru dalam sebuah pelatihan psikologi pada suatu waktu yang sudah sekian tahun berlalu. Waktu itu Ibu Ratih Ibrahim dan tim memberikan permainan A Blind Man. Dalam permainan itu mata kami ditutup dengan secarik kain hitam yang panjangnya kira-kira 30 cm dengan dilipat berkali-kali sehingga tidak memungkinkan mata pemakainya untuk mengintip di baliknya.
Permainan itu dimainkan oleh dua orang. Yang seorang menjadi orang buta dan yang satu lagi menjadi penunjuk jalan. Penunjuk jalan tidak boleh menuntun. Ia hanya boleh memberikan petunjuk dengan kata-kata untuk sampai ke tempat tujuan. Sebelumnya badan Si Orang Buta diputar-putar dulu agar ia tidak mengingat arah kiri, kanan, atau utara-selatan di ruang itu. Kemudian Ibu ratih membawa Si Penunjuk Jalan melewati rute yang harus dilewati Orang Buta yang dipimpinnya. Sebelumnya rute itu sudah diberi rintangan dengan kursi, meja, papan tulis, tali rafia yang harus diterobos oleh Si Buta.
Permainan pun dimulai. Barisan Orang Buta dan barisan Penunjuk Jalan berdampingan. Penunjuk Jalan beraksi dengan kata-kata yang mengarahkan Si Buta, tanpa menyentuh badan. Si Buta siap melaksanakan instruksi dengan menggapai-gapai di udara.
“Ya, maju tiga langkah. Stop. Geser ke kiri tiga langkah. Serong kiri. Ya bagus. Ulurkan tangan, rasakan ada benda di depanmu. Pegang dulu. Ya ok. Bungkukkan badan. Ya… sedikit lagi. Melangkah dengan membungkuk. Pelan saja…. Ya…bagus.” Begitulah Si Penunjuk Jalan dengan gaya mereka berusaha membawa Si Buta ke garis finish. Rute itu sebenarnya berkeliling aula dengan melewati beberapa rintangan menerobos papan tulis, melewati kursi yang dideretkan. Dan terakhir akan naik di panggung. Kini berganti peran, Si Buta jadi Penunjuk jalan dan sebaliknya.
Yang menjadi bahan renungan saya kali itu adalah hasil refleksi para guru sesudah mengikuti permainan. Dalam beberapa refleksi sering terungkap bagaimana perasaan ketika menjadi Si Buta dan Si Penunjuk Jalan.
Menjadi orang buta itu tidak enak dan tidak nyaman. Tidak bisa melihat apa-apa. Bingung dan mengalami kehilangan orientasi arah. Namun, meskipun tak melihat apa-apa masih mendengar ada orang memberikan petunjuk arah. Akhirnya mendengarkan pemberi petunjuk dan mengikuti kata-katanya. Ya… sudah percaya saja, kan tidak mungkin penunjuk jalan akan menjerumuskan. Karena itu akhirnya bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Menjadi penuntun sepertinya juga gampang, tinggal berbicara agar Si Buta bisa berjalan. Namun, jangan salah ketika memilih kata-kata harus benar-benar tepat. Jangan sampai menjerumuskan orang yang yang dituntun. Kata-kata yang dipilih harus jitu dan tepat sasaran. Jangan sampai membingungkan yang dituntun. Ternyata menjadi Penunjuk Jalan itu tidak mudah.
Satu saat kita menghadapi posisi keduanya, menjadi orang buta atau menjadi penuntun. Pada suatu saat kita menjadi orang buta, tidak tahu harus bagaimana melangkah, arah mana yang akan diambil. Mau berjalan sembarangan, kita takut celaka, tetapi kalau kita diam saja juga salah. Rasanya semua langkah yang kita ambil tak ada yang tepat. Semua meragukan. Tidak pasti.
Lain waktu kita juga berada pada posisi menjadi Si Penunjuk. Kita harus memberikan arah kepada orang lain yang kebingungan dalam mengambil langkah yang tepat. Sebagai penunjuk jalan, kita juga tidak bisa main tunjuk saja. Jangan-jangan tidak sesuai, atau ada buntutnya di akhir nanti. Bahkan bisa membawa resiko yang lebih besar lagi bagi hidup orang lain.
Ini pengalaman ketika menjadi Si Buta dalam kehidupan. Kita tidak diam saja dan menyerah. Berusahalah mencari pegangan yang terdekat. Pertajamlah indra yang lain, yaitu pendengaran dan perabaan, serta perasaan. Mendengarkan tidak sama artinya dengan mendengar. Itu tidak mudah. Seumur hidup kita harus belajar untuk ketrampilan yang satu ini. Mendengarkan petunjuk-Nya melalui firman-Nya dalam Kitab Suci, melalui perkataan orang lain, saran yang positif dari teman, nasihat orang tua, khotbah para romo, kritik yang membangun dari rekan kerja, teguran dari atasan, dan banyak hal lain yang sangat layak didengarkan.
Perasaan dan perabaan kita pun akan diasah saat kita buta. Refleksi mungkin itu satu cara yang tepat untuk kita lakukan kala kita mengalami kebutaan dalam hidup. Bertanya pada diri sendiri, apa yang terjadi, mengapa terjadi, apa yang sebelumnya aku lakukan, adakah orang lain yang terluka karena aku, bagaimana perasaan orang lain, apa yang aku peroleh dari peristiwa itu, adakah Tuhan mau menyatakan sesuatu kepadaku, apa yang bisa aku lakukan, langkah apa yang bisa kuambil,…. Dan segudang pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab dalam sehari atau dua hari. Namun, kebenaran akhirnya akan menjadi pemenang pada suatu waktu yang sudah ditetapkan-Nya.
Kala kita buta jangan lupa kita meraba-raba di sekitar kita dengan berdoa minta hidayah-Nya, meminta bantuan pada orang yang tepat, dan meraih tongkat iman kita agar kita tetap bisa berdiri tegak.
Bagaimana kala saya kena giliran menjadi Penunjuk Jalan? Yang jelas menjadi penunjuk harus tahu arah. Itu penting. Menjadi penunjuk tak tahu arah kita tidak akan sanggup membawa Si Buta samapi ke tujuan. Arah itu harus dipelajari dengan benar. Bagaimana mempelajarinya? Kita diberi-Nya pedoman untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Diberi-Nya hati nurani dan akal budi. Semuanya perlu diasah dengan banyak membaca hal yang bermutu. Kitab Suci adalah pedoman utama, baru keturunannya, seperti berbagai bacaan rohani, dan bacaan profan yang sesuai.
Doa adalah satu hal yang tak bisa dilupakan oleh Si Penunjuk jalan. Hikmat akan diberikan oleh-Nya kepada orang yang memintanya. Seperti yang dilakukan Raja Salomo.
Kita semua berharap kita akan selalu siap untuk menerima giliran mendapatkan peran Si Buta atau Si Penunjuk jalan dalam hidup kita semua. Giliran itu tak bisa kita ganti atau tukar atau kita tolak karena itu bagian dari semua rencana-Nya yang indah untuk kita semua.
(Christina Enung Martina)
Selasa, 15 September 2009
BERKAT DI SAAT YANG TEPAT
Kekosongan setelah kepergian salah satu anggota keluarga dari rumah untuk menetap jauh di negri orang, memang sangat terasa. Sepertinya ada sesuatu yang hilang dan tak lengkap. Nah, perasaan itu terus ada menggelayut bersama kami.
Namun, rupanya Tuhan mempunyai caranya yang ajaib untuk menghibur kami sekeluarga. Pada saat kesepian dan kekosongan melanda rumah kami yang mungil, tiba-tiba Tuhan memberikan berkatnya pada saat yang tepat. Bagi keluarga kami itu berkat. Bagi keluarga adik iparku, mungkin itu kutuk atau masalah. Apa pasal?
Adik ipar mempunyai anak asuh yang dibiayai tiap bulannya. Anak asuh ini tinggal di sebuah panti asuhan yang dikelola para bruder (biarawan katolik) di Lenteng Agung. Rupanya anak asuh ini dicap nakal dan tukang bikin onar. Sekarang anak ini sudah kelas 8 SMP, seharusnya kelas 9, tetapi tahun kemarin tinggal kelas. Singkat cerita anak ini diusir, halusnya disuruh pergi dari panti dan dipercayakan pada keluarga yang membiayai untuk diasuh.
Karena adik iparku masih mempunyai dua anak yang masih perlu mendapatkan pendampingan ( duduk di SMA, SD, dan TK), maka agak keberatan menerima anak ini. Mereka berpikir mau dikirim ke panti asuhan lain yang ada di Yogya. Nah, kami pikir kalau anak ini dipindah dari panti satu ke panti yang lain, jalan ceritanya pasti akan tidak seru. Ya… karena aku guru dan tahu sedikit psikologi anak, maka alangkah lebih eloknya kalau anak ini justru diberikan vitamin yang belum pernah dia dapatkan selama ini. Vitamin itu adalah vitamin C dan K dibaca: CINTA KELUARGA.
Akhirnya, sekarang kami mempunyai pendatang di rumah kami yang mungil ini. Kami jadi berempat lagi, eh berlima dengan Copi, si anjing yang setia. Sementara satu anggota keluarga anakku yang sipit itu, sekarang berada nun jauh di Khaosiung. Jeneng opo toh kuwi? Kayaknya Metta cocok di sana karena penampilan dia yang putih dan bermata sipit.
Nama anggota keluarga kami yang baru adalah Renee (rene, e yang pertama diucapkan seperti pada kata erang dan e yang paling akhir dibacanya e seperti membaca pada kata eling). Nama itu mengingatkan pada salah satu sepupu Bob (suamiku) yang ada di Belanda dan sekarang sudah pass a way.
Renee penampilannya kurus, hitam, tangannya kecil, kakinya kecil, juga keseluruhan badan kecil, muka tirus, dan agak tinggi. Dia seorang anak yang kidal. Sungguh dia adalah salah satu contoh konkrit produk oarang OTAK KANAN! Ciri-ciri yang aku pelajari tentang tipe dengan otak kanan semuanya persis ada pada dia. Ini manusia langka. Kebanyakan dari kita terlalu otak kiri. Bagiku ini sesuatu yang baik dan ajaib adanya.
Dia selalu dicap nakal, tak bisa diatur, bandel, dll. Aku kok berpikir berbeda ya. Entahlah mungkin aku ini orang yang suka beda sendiri. Tapi untung bojoku pikirannya sama denganku. Maklum ada banyak persamaan aku kira antara sifat Renee dengan sifat Bob kecil. Selama ini daftar ul;ahnya sudah diberikan pada kami. Kami diberi pesan sponsor untuk mendidik dia dengan tangan besi. Aku kok tidak sependapat ya. Mentang-mentang aku guru di sekolahan Katolik harus mendidik anak seperti seorang suster zaman kolonial dulu.
Aku berpendapat anak ini lebih baik diajak omong, Tanya jawab, diskusi, diminta pendapatnya, atau seperti biasalah yang selama ini aku lakukan pada Metta dan Aga. O, ya Aga senang ada Renee karena dia punya teman. Hobi mereka sama main gitar dan main game serta baca komik on line One Peace. Memang bocah… tetep aja bocah.
Kami berharap kami bisa menjadi orang tua asuh yang baik bagi anak ini. Kami bisa menjadi keluarga yang bisa memberikan vitamin C dan K untuk hidup dia. Mohon doa dari teman-teman, sahabat, dan juga murid-muridku yang suka mampir ke blog ini.
Doa yang kami mohon dengan segera adalah agar Renee bisa diterima di SMP Starada Vila Melati dan urusan surat pindahnya lancar. Kan sekolahnya dekat dari rumah, tinggal naik sepeda. Anaknya sudah semangat pengen segera masuk sekolah. Tapi suratnya belum keluar menunggu brudernya yang pergi ke Belanda. Baru pulang tanggal 15 Oktober 09. Ya… ampun kok masih lama ya?
(Teh Nung yang sedang belajar menjadi ibu asuh yang baik)
Namun, rupanya Tuhan mempunyai caranya yang ajaib untuk menghibur kami sekeluarga. Pada saat kesepian dan kekosongan melanda rumah kami yang mungil, tiba-tiba Tuhan memberikan berkatnya pada saat yang tepat. Bagi keluarga kami itu berkat. Bagi keluarga adik iparku, mungkin itu kutuk atau masalah. Apa pasal?
Adik ipar mempunyai anak asuh yang dibiayai tiap bulannya. Anak asuh ini tinggal di sebuah panti asuhan yang dikelola para bruder (biarawan katolik) di Lenteng Agung. Rupanya anak asuh ini dicap nakal dan tukang bikin onar. Sekarang anak ini sudah kelas 8 SMP, seharusnya kelas 9, tetapi tahun kemarin tinggal kelas. Singkat cerita anak ini diusir, halusnya disuruh pergi dari panti dan dipercayakan pada keluarga yang membiayai untuk diasuh.
Karena adik iparku masih mempunyai dua anak yang masih perlu mendapatkan pendampingan ( duduk di SMA, SD, dan TK), maka agak keberatan menerima anak ini. Mereka berpikir mau dikirim ke panti asuhan lain yang ada di Yogya. Nah, kami pikir kalau anak ini dipindah dari panti satu ke panti yang lain, jalan ceritanya pasti akan tidak seru. Ya… karena aku guru dan tahu sedikit psikologi anak, maka alangkah lebih eloknya kalau anak ini justru diberikan vitamin yang belum pernah dia dapatkan selama ini. Vitamin itu adalah vitamin C dan K dibaca: CINTA KELUARGA.
Akhirnya, sekarang kami mempunyai pendatang di rumah kami yang mungil ini. Kami jadi berempat lagi, eh berlima dengan Copi, si anjing yang setia. Sementara satu anggota keluarga anakku yang sipit itu, sekarang berada nun jauh di Khaosiung. Jeneng opo toh kuwi? Kayaknya Metta cocok di sana karena penampilan dia yang putih dan bermata sipit.
Nama anggota keluarga kami yang baru adalah Renee (rene, e yang pertama diucapkan seperti pada kata erang dan e yang paling akhir dibacanya e seperti membaca pada kata eling). Nama itu mengingatkan pada salah satu sepupu Bob (suamiku) yang ada di Belanda dan sekarang sudah pass a way.
Renee penampilannya kurus, hitam, tangannya kecil, kakinya kecil, juga keseluruhan badan kecil, muka tirus, dan agak tinggi. Dia seorang anak yang kidal. Sungguh dia adalah salah satu contoh konkrit produk oarang OTAK KANAN! Ciri-ciri yang aku pelajari tentang tipe dengan otak kanan semuanya persis ada pada dia. Ini manusia langka. Kebanyakan dari kita terlalu otak kiri. Bagiku ini sesuatu yang baik dan ajaib adanya.
Dia selalu dicap nakal, tak bisa diatur, bandel, dll. Aku kok berpikir berbeda ya. Entahlah mungkin aku ini orang yang suka beda sendiri. Tapi untung bojoku pikirannya sama denganku. Maklum ada banyak persamaan aku kira antara sifat Renee dengan sifat Bob kecil. Selama ini daftar ul;ahnya sudah diberikan pada kami. Kami diberi pesan sponsor untuk mendidik dia dengan tangan besi. Aku kok tidak sependapat ya. Mentang-mentang aku guru di sekolahan Katolik harus mendidik anak seperti seorang suster zaman kolonial dulu.
Aku berpendapat anak ini lebih baik diajak omong, Tanya jawab, diskusi, diminta pendapatnya, atau seperti biasalah yang selama ini aku lakukan pada Metta dan Aga. O, ya Aga senang ada Renee karena dia punya teman. Hobi mereka sama main gitar dan main game serta baca komik on line One Peace. Memang bocah… tetep aja bocah.
Kami berharap kami bisa menjadi orang tua asuh yang baik bagi anak ini. Kami bisa menjadi keluarga yang bisa memberikan vitamin C dan K untuk hidup dia. Mohon doa dari teman-teman, sahabat, dan juga murid-muridku yang suka mampir ke blog ini.
Doa yang kami mohon dengan segera adalah agar Renee bisa diterima di SMP Starada Vila Melati dan urusan surat pindahnya lancar. Kan sekolahnya dekat dari rumah, tinggal naik sepeda. Anaknya sudah semangat pengen segera masuk sekolah. Tapi suratnya belum keluar menunggu brudernya yang pergi ke Belanda. Baru pulang tanggal 15 Oktober 09. Ya… ampun kok masih lama ya?
(Teh Nung yang sedang belajar menjadi ibu asuh yang baik)
Labels:
berkat,
cinta keluarga,
saat yang tepat,
Strada Vila Melati
Langganan:
Postingan (Atom)