Dimuat dalam majalah Komunika edisi 2008
Menjadi orang buta, ini adalah sebuah permainan, sebuah game yang dimainkan pada suatu acara untuk para guru dalam sebuah pelatihan psikologi pada suatu waktu yang sudah sekian tahun berlalu. Waktu itu Ibu Ratih Ibrahim dan tim memberikan permainan A Blind Man. Dalam permainan itu mata kami ditutup dengan secarik kain hitam yang panjangnya kira-kira 30 cm dengan dilipat berkali-kali sehingga tidak memungkinkan mata pemakainya untuk mengintip di baliknya.
Permainan itu dimainkan oleh dua orang. Yang seorang menjadi orang buta dan yang satu lagi menjadi penunjuk jalan. Penunjuk jalan tidak boleh menuntun. Ia hanya boleh memberikan petunjuk dengan kata-kata untuk sampai ke tempat tujuan. Sebelumnya badan Si Orang Buta diputar-putar dulu agar ia tidak mengingat arah kiri, kanan, atau utara-selatan di ruang itu. Kemudian Ibu ratih membawa Si Penunjuk Jalan melewati rute yang harus dilewati Orang Buta yang dipimpinnya. Sebelumnya rute itu sudah diberi rintangan dengan kursi, meja, papan tulis, tali rafia yang harus diterobos oleh Si Buta.
Permainan pun dimulai. Barisan Orang Buta dan barisan Penunjuk Jalan berdampingan. Penunjuk Jalan beraksi dengan kata-kata yang mengarahkan Si Buta, tanpa menyentuh badan. Si Buta siap melaksanakan instruksi dengan menggapai-gapai di udara.
“Ya, maju tiga langkah. Stop. Geser ke kiri tiga langkah. Serong kiri. Ya bagus. Ulurkan tangan, rasakan ada benda di depanmu. Pegang dulu. Ya ok. Bungkukkan badan. Ya… sedikit lagi. Melangkah dengan membungkuk. Pelan saja…. Ya…bagus.” Begitulah Si Penunjuk Jalan dengan gaya mereka berusaha membawa Si Buta ke garis finish. Rute itu sebenarnya berkeliling aula dengan melewati beberapa rintangan menerobos papan tulis, melewati kursi yang dideretkan. Dan terakhir akan naik di panggung. Kini berganti peran, Si Buta jadi Penunjuk jalan dan sebaliknya.
Yang menjadi bahan renungan saya kali itu adalah hasil refleksi para guru sesudah mengikuti permainan. Dalam beberapa refleksi sering terungkap bagaimana perasaan ketika menjadi Si Buta dan Si Penunjuk Jalan.
Menjadi orang buta itu tidak enak dan tidak nyaman. Tidak bisa melihat apa-apa. Bingung dan mengalami kehilangan orientasi arah. Namun, meskipun tak melihat apa-apa masih mendengar ada orang memberikan petunjuk arah. Akhirnya mendengarkan pemberi petunjuk dan mengikuti kata-katanya. Ya… sudah percaya saja, kan tidak mungkin penunjuk jalan akan menjerumuskan. Karena itu akhirnya bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Menjadi penuntun sepertinya juga gampang, tinggal berbicara agar Si Buta bisa berjalan. Namun, jangan salah ketika memilih kata-kata harus benar-benar tepat. Jangan sampai menjerumuskan orang yang yang dituntun. Kata-kata yang dipilih harus jitu dan tepat sasaran. Jangan sampai membingungkan yang dituntun. Ternyata menjadi Penunjuk Jalan itu tidak mudah.
Satu saat kita menghadapi posisi keduanya, menjadi orang buta atau menjadi penuntun. Pada suatu saat kita menjadi orang buta, tidak tahu harus bagaimana melangkah, arah mana yang akan diambil. Mau berjalan sembarangan, kita takut celaka, tetapi kalau kita diam saja juga salah. Rasanya semua langkah yang kita ambil tak ada yang tepat. Semua meragukan. Tidak pasti.
Lain waktu kita juga berada pada posisi menjadi Si Penunjuk. Kita harus memberikan arah kepada orang lain yang kebingungan dalam mengambil langkah yang tepat. Sebagai penunjuk jalan, kita juga tidak bisa main tunjuk saja. Jangan-jangan tidak sesuai, atau ada buntutnya di akhir nanti. Bahkan bisa membawa resiko yang lebih besar lagi bagi hidup orang lain.
Ini pengalaman ketika menjadi Si Buta dalam kehidupan. Kita tidak diam saja dan menyerah. Berusahalah mencari pegangan yang terdekat. Pertajamlah indra yang lain, yaitu pendengaran dan perabaan, serta perasaan. Mendengarkan tidak sama artinya dengan mendengar. Itu tidak mudah. Seumur hidup kita harus belajar untuk ketrampilan yang satu ini. Mendengarkan petunjuk-Nya melalui firman-Nya dalam Kitab Suci, melalui perkataan orang lain, saran yang positif dari teman, nasihat orang tua, khotbah para romo, kritik yang membangun dari rekan kerja, teguran dari atasan, dan banyak hal lain yang sangat layak didengarkan.
Perasaan dan perabaan kita pun akan diasah saat kita buta. Refleksi mungkin itu satu cara yang tepat untuk kita lakukan kala kita mengalami kebutaan dalam hidup. Bertanya pada diri sendiri, apa yang terjadi, mengapa terjadi, apa yang sebelumnya aku lakukan, adakah orang lain yang terluka karena aku, bagaimana perasaan orang lain, apa yang aku peroleh dari peristiwa itu, adakah Tuhan mau menyatakan sesuatu kepadaku, apa yang bisa aku lakukan, langkah apa yang bisa kuambil,…. Dan segudang pertanyaan yang mungkin tak bisa dijawab dalam sehari atau dua hari. Namun, kebenaran akhirnya akan menjadi pemenang pada suatu waktu yang sudah ditetapkan-Nya.
Kala kita buta jangan lupa kita meraba-raba di sekitar kita dengan berdoa minta hidayah-Nya, meminta bantuan pada orang yang tepat, dan meraih tongkat iman kita agar kita tetap bisa berdiri tegak.
Bagaimana kala saya kena giliran menjadi Penunjuk Jalan? Yang jelas menjadi penunjuk harus tahu arah. Itu penting. Menjadi penunjuk tak tahu arah kita tidak akan sanggup membawa Si Buta samapi ke tujuan. Arah itu harus dipelajari dengan benar. Bagaimana mempelajarinya? Kita diberi-Nya pedoman untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Diberi-Nya hati nurani dan akal budi. Semuanya perlu diasah dengan banyak membaca hal yang bermutu. Kitab Suci adalah pedoman utama, baru keturunannya, seperti berbagai bacaan rohani, dan bacaan profan yang sesuai.
Doa adalah satu hal yang tak bisa dilupakan oleh Si Penunjuk jalan. Hikmat akan diberikan oleh-Nya kepada orang yang memintanya. Seperti yang dilakukan Raja Salomo.
Kita semua berharap kita akan selalu siap untuk menerima giliran mendapatkan peran Si Buta atau Si Penunjuk jalan dalam hidup kita semua. Giliran itu tak bisa kita ganti atau tukar atau kita tolak karena itu bagian dari semua rencana-Nya yang indah untuk kita semua.
(Christina Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar