Sebagai seorang guru, saya merasa begitu tergugah
dengan novel ini. Novel ini berkisah tentang seorang anak remaja tanggung
bernama alif Fikri yang karena suruhan ibunya ia terdampar di sebuah pesantren
bernama Pondok madani. Namun, yang tadinya sebuah keterpaksaan, rupanya
pendidikan pesantren ini yang menyebabkan dia menjadi memiliki begitu banyak hal berharga dalam
hidupnya. Pengalamannya dalam rutinitas
pendidikan pesantren yang ketat justru yang mempertemukan dengan jalan hidupnya
dan jati dirinya.
Yang menjadi daya tarik dari kisah ini bagi saya
adalah tentang pendidikan penuh keiklasan. Guru iklas berbagi bagi siswanya,
siswa iklas berbagi untuk temannya, senior iklas berbagi untuk adik kelasnya,
demikian pula pimpinan tertinggi pesantren itu iklas menjalankan perannya
dengan penuh cinta dan komitmen yang tinggi tanpa pilih kasih, dan semua warga
pesantren itu iklas menjalani semua hal untuk kemajuan bersama pesantren
mereka. Sungguh suatu keiklasan yang putih. Keiklasan yang dilandaskan pada
alasan bahwa hakikatnya manusia memang
bersaudara sebagai mahluk ciptaan-Nya di alam semesta ini.
Saya juga tergugah dan sekaligus terinspirasi
dengan sistem pendidikan yang mengutamakan ketrampilan hidup. Terutama yang menarik
dalam sistem pendidikan mereka adalah bagaimana ketrampilan berbahasa asing
(Inggris dan Arab) diterapkan dalam sistem dan program pendidikan di pondok.
Untuk menguasai kedua bahasa tersebut, para siswa dituntut untuk terus
menggunakannya, baik secara lisan atau tulisan melalui kegiatan berbahasa
sehari-hari matau melalui kegiatan pembelajaran di kelas. Berkat didikan,
latihan, disiplin, dan usaha yang super
keras, akhirnya ketrampilan tersebut bisa dikuasai dengan baik.
Tidak hanya ketrampilan berbahasa saja yang
diperoleh dalam sistem pendidikan itu, tetapi jauh yang lebih penting adalah pelajaran hidup. Nilai daya juang,
religiusitas, kedisiplinan, persahabatan, dan persaudaraan, terasa sangat
kental dalam kisah ini. Berbagai peristiwa harian yang rutin yang konsisten
dilakukan menjadikan para siswa menjadi pribadi yang utuh. Meskipun motivasi
masuk Pondok Madani beragam (ada yang memang pilihan hati, suruhan orang tua,
terpaksa karena keadaan, akhirnya mereka akhirnya menemukan jalan hidup dan jati diri mereka
yang penuh makna. Mereka menemukan inti kehidupan yaitu: iklas, kerja keras,
doa, dan tawakal.
Ungkapan dalam bahasa Arab man jada wa jada menjadi mantra ajaib yang mampu membangkitkan
semangat mereka pada saat mereka terpuruk.
Dari sini kita melihat bahwa rancangan seseorang
belum tentu sejalan dengan rancangan Ilahi. Namun, yang jelas rancangan Ilahi
ada di atas segalanya. Rancangan itu sudah pasti merupakan rancangan
keselamatan dan damai sejahtera. Itulah yang dialami oleh Alif Fikri, tokoh
utama novel ini.
Salut untuk para Sahibul Menara dan juag para
pendidik Pondok Madani yang selalu mendidik dengan penuh iklas. Jempol untuk
penulis yang mampu menginspirasi pembacanya, Ahmad Fuadi.
(Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar