Ada sebuah
kutipan dari karya Louis Naskins yang ditulis di atas makam Raja Gregorius VI
berbunyi:
“ Berikan sebuah lampu kepadaku agar
aku dengan aman dapat memasuki dunia ketidaktahuan.”
Dan dia pun menjawab:
“ Pergilah memasuki dunia kegelapan
dan letakkan tanganmu dalam genggaman Tuhan. Hal itu akan lebih baik daripada
lampu dan lebih aman daripada jalan yang jelas.”
Dalam hidup, kita pernah mengalami situasi
ruwet, mendung, kelabu, bahkan gelap. Hal itu menyebabkan suasana hati menjadi
tawar , tak bergairah. Ketika hati kita tawar, semuanya
terasa tidak pas dan tidak pasti. Hal yang biasanya kita lakukan pun berlalu
begitu saja tanpa dimaknai. Banyak penyebabya yang membuat situasi hati
demikian. Bisa saja karena terpengaruh oleh omongan orang, bisa juga karena
mendapat musibah/masalah, atau karena tak kesampaian apa yang diharapkan, bisa
juga karena frustasi dengan kenyataan hidup. Namun, apa pun yang dialami tak
akan berpengaruh bila kita memutuskan untuk tidak terpengaruh.
Saya sendiri adalah tipe orang yang mudah
terpengaruh situasi. Darah saya langsung menggelegak bila menghadapi situasi
tertentu. Karena itu, keadaan hati saya selalu naik turun. Apalagi dulu tatkala
saya muda, saya cenderung meledak-ledak. Namun, ketika usia sudah menjelang uzur
seperti sekarang, ledakan itu makin mengecil dan frekwensinya makin berkurang.
Mungkin energi saya pun mulai surut. Selain itu, saya pun memutuskan untuk
tidak terpengaruh dengan situasi buruk di sekeliling. Meskipun saya tahu itu
tidak mudah tentunya. Jujur saja, terkadang saya masih terpengaruh juga. Saya
sadar, bahwa saya terpengaruh atau tidak adalah atas keputusan saya sendiri.
Saya mempunyai kebebasan untuk memutuskannya.
Saya berpendapat kesesakan atau masalah itu
akan selalu ada sepanjang usia kita. Namun, sikap hati kita yang akan menjadi
kunci, apakah kesesakan itu mempengaruhi saya dan menawarkan hati saya. Saya
berpendapat meski saya mengeluh panjang pendek kepada siapa saja yang saya
jumpai, kesesakan itu tetap tak beranjak dari diri saya. Bahkan, bisa semakin
berat karena saya mendramatisirnya. Akhirnya langkah yang saya ambil, daripada mribeni orang dengan keluhan saya, saya
lebih baik diam sambil mencari jalan keluarnya. Bila perlu dibicarakan dengan
orang tertentu. Saya akan memilih orang
yang saya bisa ajak bisa berbagi dan bisa saya percaya. Kalau ternyata masih
tidak menolong juga, ya... sudah saya menjalaninya saja. Toh akhirnya ketika
roda waktu berputar, kesesakan itu akhirnya berlalu juga.
Menurut saya, keluhan malah menjadi polusi
bagi lingkungan sekitarnya karena menjadi polusi bagi lingkungan karena membawa
emosi negatif. Akan tetapi, rupanya menurut yang saya alami, tidak hanya
keluhan saja yang membawa emosi negatif, ‘pameran’ keberhasilan pun ternyata
bisa membawa emosi negatif juga. Saya pernah mendengar orang memamerkan
keberhasilannya dengan membawa nama Tuhan. Sebetulnya tujuan orang itu mungkin
mau memberi kesaksian tenntang kemurahan Tuhan dalam hidupnya. Namun,
lama-kelamaan kesaksian bergulir bukan kebesaran Tuhan, malah berpusat pada
dirinya dan keberhasilannya.
Contoh kejadian: “Tahu nggak sih, aku
bersyukur banget lho sama Tuhan. Ternyata Tuhan itu baik banget. Aku bisa beli
rumah dekat gereja. Jadi aku nggak usah jauh-jauh jalan ke gereja.” Kali lain lagi ada kesaksian lain: “ aku
bersyukur banget lo, aku bisa membeli...., suamiku bisa ....”
Sepertinya ungkapan di atas memang ungkapan
syukur, tetapi bila kita perhatikan ujung-ujungnya mengagungkan diri sendiri:
Aku bisa beli...., suamiku bisa.... Subjeknya aku, bukan Tuhan. Dalam kasus di atas orang tersebut bisa saja
meletakkan Tuhan sebagai pelengkap atau hanya keterangan alat untuk memenuhi
semua yang dia harapkan.
Awalnya saya merasa sebal juga tiap kali
disuruh mendengarkan kesaksian yang berakhir dengan pameran itu. Kalau pameran
yang membawa nama Tuhan itu didengar oleh orang yang sedang mempunyai masalah,
kesusahan, atau lemah iman, bisa jadi tanggapannya menjadi lain. Orang tersebut
bisa beranggapan Tuhan itu kok pilih
kasih. (O, ya... maafkan saya Tuhan, terkadang
saya masih berpikir Tuhan itu tak adil untuk kasus tertentu).
Kalau tanggapan saya sendiri dengan kesaksian
pameran itu sedikit berbeda. Tuhan itu luar biasa! Orang ini bisa membeli rumah
dekat gereja, tetapi justru Tuhan membangun rumah-Nya dekat rumah saya. Ayo
mana yang ajaib dan luar biasa? (Sebetulnya kalau dilihat dari kacamata iman keduanya
luar biasa, tetapi biar lebih dramatislah, saya pilih yang Tuhan membangun
rumah-Nya dekat rumah saya.) Memang betul bagi saya yang tidak bisa membeli
rumah dekat gereja, pembangunan Gereja Santo Ambrosius, Vila Melati, itu
sungguh luar biasa. Bayangkan saja pergi ke gereja itu, saya tinggal berjalan
10 menit. Bagi orang lain, mungkin biasa saja. Bagi saya, itu sangat luar
biasa!
Sedikit saja seseorang berada di atas angin,
orang itu biasanya mulai dengan ingin menunjukkan diri,Manusia memang sering
terjatuh pada kesombongan dan keegoisan. Kata para teolog, kesombongan itu
merupakan salah satu akar dosa. Seperti contoh di atas, kita memuji nama-Nya, tetapi
untuk menonjolkan keberhasilan yang saya raih, bukan bersaksi tentang ke- Maha
Muraha-an Tuhan. Berbicara tentang kesombongan kita sering terjatuh pada yang
sering disebut kesombongan rohani. Tanpa
kita sadari, kita mengatakan bahwa berkat doa saya seseorang sembuh, berkat doa
saya keluarga saya berhasil, berkat doa saya komunitas saya maju. Semua tertuju
kepada saya, bukan kepada Tuhan.
Namun sisi
lain, pada saat dalam keadaan kesesakan, saya mengeluh panjang pendek
sehingga membuat orang yang ada di sekitar saya tercemar keluhan saya. Beban
hidup yang paling berat sepertinya milik saya. Lantas terpikirkan: Bisakah saya
menahan keluhan tertahan sampai kerongkongan saja? Saya merasa saya perlu
mengeluarkan unek-unek saya. Belum lega kalau belum keluar. Mengganjal di hati
malah jadi penyakit nanti. Demi kesehatan jiwa saya harus membebaskan uneg-uneg
saya ini!
Boleh saja mengeluarkan uneg-uneg dan itu
memang harus. Namun, semua ada tempatnya yang tepat. Carilah orang yang tepat,
yang bisa dipercaya. Bukan semua orang disekitar menjadi sasaran keluhan.
Dengan mencari orang dan waktu yang sesuai akhirnya saya bisa berbicara dengan
leluasa dan nyaman. Dengan demikian mengeluh saya menjadi lebih bermartabat.
Dari semua peristiwa: suka-duka dan yang dikeluhkan-yang dipamerkan, semuanya
bisa membawa kemajuan pada kemajuan spiritual saya. Segala peristiwa dalam
hidup bisa membawa pada relasi saya dengan Sang Pencipta. Hal itu bisa terjadi
bila saya memaknainya dengan rasa syukur. Jangan salah, peristiwa keberhasilan
pun bisa menjauhkan kita dari Allah. Justru kebalikannya, ada peristiwa
kejatuhan dalam hidup seseorang membawa kembali orang itu kepada Allah.
Dengan demikian apa yang dikatakan penyair di atas: “ Pergilah memasuki dunia kegelapan dan
letakkan tanganmu dalam genggaman Tuhan. Hal itu akan lebih baik daripada lampu
dan lebih aman daripada jalan yang jelas.”
Demikianlah dinyatakan kepada kita bahwa bila
kita 100% percaya, tanpa cerewet, tanpa bertanya, dan tanpa mengeluh, akan rancanagan-Nya, niscaya damai
sejahtera dan suka cita akan bersama kita sepanjang hidup kita. Amin. (Ch. Enung Martina)