Bagi orang
Yahudi kuno, mengenangkan sebuah peristiwa religius lebih dari sekedar
mengingat-ingat kembali sesuatu yang terjadi berabad-abad sebelumnya.
Sebaliknya, mengingat peristiwa tersebut berarti membawa orang masuk ke dalam
realitas dan menghidupinya kembali lewat iman.
Demikian pula
ketika orang Yahudi mengenang perayaan Paskah Yahudi setiap tahun, mereka
melakukannya lebih dari sekedar mengingat peristiwa pembebasan leluhur mereka
dari mesir. Namun, lebih dari itu, dengan mengenangkannya, mereka membawa
peristiwa itu memasuki masa kini dan menghidupinya kembali. Dengan cara ini
mereka menerima berkat yang sama dari peristiwa tersebut seperti yang diterima
para leluhur mereka dulu.
Paskah Yahudi
dilakukan pada malam hari, tepat setelah munculnya bintang-bintang pertama.
Itulah sebabnya setiap orang merayakannya pada saat yang sama sebagai sebuah
keluarga. Ketika bintang-bintang pertama bermunculan 2000 tahun yang lalu,
Yesus bertindak sebagai seorang bapak, memulai rangkaian perayaan Paskah
Yahudi. Cara yang Dia lakukan cukup mencengangkan para murid yang ikut
bersama-Nya kala itu. Dia melakukan ritual itu dengan membuka jubah luar-Nya
dan membasuh kaki para rasul-Nya.
Bagi orang
Yahudi, membasuh kaki orang lain adalah tindak perendahan diri. Hanya para
budaklah yang membasuh kaki orang lain. Itulah sebabnya tindakan Yesus membekaskan suatu perasaan yang mendalam
dalam diri para rasul.
Dalam Paskah
Yahudi biasanya digunakan anggur merah untuk mengenangkan ambang pintu
bertandakan darah di Mesir pada masa Musa membebaskan orang Israel. Perjamuan
Yahudi biasa dimulai dengan pemecahan
roti terlebih dahulu. Namun, pada saat Paskah Yahudi, perjamuan dimulai dengan
makan sayur pahit. Sayuran pahit mengingatkan tahun-tahun perbudakan yang getir
di tanah Mesir. Kemudian perjamuan dilanjutkan dengan makan roti tak beragi
untuk mengingatkan keberangkatan yang tergesa-gesa keluar dari Mesir.
Mari sekarang
kita mengaitkannya dengan tokoh utama kita, Yesus. Menjelang penyaliban-Nya,
Yesus mengadakan perjamuan bersama para rasul-Nya. Perjamuan itu tak terlupakan
oleh mereka. Perjamuan tersebut merupakan cikal bakal Ekaristi yang setiap
minggu kita ikuti.Semoga perjamuan Ekarisisti tidak hanya sekedar menerima
hosti yang menjadi tradisi Gereja Katolik saja, tetapi bisa dimaknai mendalam.
Seperti halnya orang Yahudi yang mengenagkan peristiwa religius mereka dengan
keyakinan bahwa mengingat peristiwa
tersebut berarti membawa orang masuk ke dalam realitas dan menghidupinya
kembali lewat iman.
Paskah Kristen
berbeda dengan Paskah Yahudi. Paskah Kristen mengingatkan kita pada peristiwa
Kebangitan Yesus dari kematian. Kematian Yesus diuraikan oleh Mark Link, SJ
dalam bukunya Journey sebagai tanda,
undangan, dan pewahyuan. Dikatakan tanda karena kematian Kristus merupakan
tanda kedalaman kasih Yesus kepada manusia dan tanda ketaatan sekaligus
kasih kepada Bapa. Dikatakan sebagai
undangan karena kematian-Nya merupakan undangan untuk saling mengasihi seperti
yang telah dicontohkan sendiri oleh-Nya. “ Kasihilah satu sama lain seperti Aku mengasihimu.” (Yoh.
15:12). Dinyatakan sebagai pewahyuan karena kematian Kristus mewahyukan tentang
kasih yang sering dilupakan. Sekaligus juga mewahyukan bahwa cinta menuntut
penderitaan. Dari kita dituntut untuk mengikuti-Nya tanpa cerewet. “Barang
siapa mau mengikut Aku, harus menyangkal
dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti Aku.” ( Mark. 8:34)
Bagaimana dengan
kita sendiri berkaitan dengan Paskah ini? Sebagai orang Katolik memang kita
menjalani ritual yang selayaknya secara liturgis dijalani. Namun, terkadang
hanya sebatas ritual. Meskipun begitu, saya masih melihat sisi lain bahwa
baiklah itu, orang Katolik pada Pekan Suci rajin datang ke gereja untuk
mengikuti semua ritual. Itu tandanya ada niat baik. Bahkan orang yang jarang
terlihat pun datang ke gereja. Alangkah baiknya bila niat baik untuk mengikuti
rangkaian Pekan Suci itu juga dibarengi dengan sikap hati yang ditunjukkan
dengan perilaku. Lebih elok lagi bila akhirnya semua kegiatan liturgis itu
menjadi tanda perubahan dalam sikap dan tingkah laku kita keseharian. Semangat
Paskah membawa kita pada sikap hidup yang baik. Paskah membawa kita lebih
membuka hati pada Bapa untuk berelasi
dengan-Nya , merasakan kasih-Nya, dan mensyukuri kasih-Nya.
Setiap upacara
liturgi yang kita ikuti kiranya mampu membawa kita mengenangkan peristiwa
religius lebih dari sekedar mengingat-ingat kembali sesuatu yang terjadi
berabad-abad sebelumnya, tetapi membawa kita mengingat peristiwa tersebut masuk
ke dalam realitas dan menghidupinya kembali lewat iman. AMIN.
(Ch.
Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar