Segala sesuatu yang diciptakan adalah
ketidakabadian. Sebagai ciptaan yang paling mulia, manusia mempunyai aneka cara
untuk menikmati hidupnya. Ada yang menikmatinya dengan berbagi hasil korupsi.
Ada yang menikmatinya dengan hidup bersama tujuh istri. Ada yang menikmatinya
dengan merencanakan bagaimana saya bisa mengambil kesempatan untuk mencari
untung sebanyak-banyaknya. Ada pula yang menikmatinya dengan berbuat sesuka
hati saya untuk mengumbar semua nafsu kedagingan dengan melakukan semua hal
demi memenuhi kenikmatan daging saja.
Namun, di samping jenis manusia yang
disebutkan tadi, ada juga manusia yang menikmati hidup dengan memilih jalan
yang berbeda. Orang-orang ini lebih memilih jalan yang damai, jalan emas, jalan
keselamatan, jalan sukacita, jalan terang, jalan kasih, jalan nirwana, jalan
spiritual. Orang-orang seperti ini lebih melihat hidup tidak sekedar hidup yang
terjadi begitu saja. Namun melihat hidup sebagai sebuah hadiah dan anugrah
Pencipta yang patut disyukuri. Dunia memiliki orang-orang yang seperti ini.
Saya sangat yakin orang-orang ini pilihan Tuhan sebagai hadiah untuk dunia.
Mungkin saya dan Anda bertanya : sedangkan
saya masuk ke yang mana? Boleh dikatakan saya dan Anda mungkin perpaduan dari
dua jenis tadi. Kita masih memikirkan kedagingan tetapi juga masih ingat bahwa
hidup itu semua ada yang mengatur. Kita masih ingat akan Gusti Allah yang
menciptakan kita dan kita tak mungkin bisa lepas dari pada-Nya.
Saya baru mendapat pengetahuan tentang hal
bagaiamana menikmati hidup dengan cara menikmati kekinian kita. Saya katakan
ini baru pengetahuan, belum sampai pada pencerahan. Karena kalau pencerahan, itu berarti saya sudah berada di tataran para
spiritualist. Saya ini kan masih manusia biasa yang masih suka terbawa emosi
dan tanpa sadar terjerumus dalam arus yang membawa saya pada kebiasaan-kebiasaan
buruk yang menurut saya itu manusiawi. Contohnya ngerumpi: saya berpendapat itu adalah bagian dari pergaulan sosial.
Biasa dalam hidup selalu minta dimaklumi. Bukan begitu, Jeng?
Katanya (orang tua) begini ni : hidup itu harus eling lan waspada. Hidup setiap saat senantiasa dalam kesadaran,
bukan hanya lima indra, tetapi menukik masuk sampai pada kesadaran dalam
(intuisi). Katanya lagi, orang yang
hidup dalam kesadaran itu adalah orang yang hidup pada saat ini. Maksudnya
adalah orang yang menikmati saat ini. Sungguh-sungguh berada total pada saat
dia berada. Seberapa banyak orang yang penuh sadar menghayati momen kekinian (mindfulness) dan tidak tidak hidup di
hari kemarin atau mengawang ke hari esok. Kita memang hidup dalam momen kini,
tetapi apakah kita benar-benar menghayati kekinian tersebut?
Yang diharapkan bukan suatu kesadaran yang
tipis, tetapi kesadaran mendalam. Dari batin nurani, kita menelusuri seluruh pikiran, ucapan, dan
perbuatan selama bertahun-tahun kita hidup. Kita lakukan untuk melihat apakah
selama kita hidup sekian tahun itu kita menikmati saat ini saya? Belum tentu.
Saya sendiri seringnya ingat masa lalu. Atau justru melamun untuk masa yang
akan datang. Dengan melakukan kegiatan dua hal tadi, sebetulnya saya sedang
menyia-nyiakan masa kini saya. Saat yang paling tepat adalah momen kini. Diperlukan introspeksi, keterbukaan, dan
keberanian untuk berubah. Mengubah kebiasaan saya untuk dapat melekat ke masa kini, diperlukan keyakinan bahwa hal itu memang
perlu dan bermanfaat. Penting sekali pengendalian dan kemauan kuat, sebab
kesadaran sendiri kerap pergi dan datang begitu saja.
Potensi pencerahan ada pada setiap orang itu
tidak sama. Demikian pula untuk memahami tentang pentingnya dan gentingnya masa
kini, saat ini. Untuk itu perlu kesadaran penuh dengan penghayatan tetap akan
sikap, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang benar terarah pada saat ini. Dalam
kehidupan sehari-hari kita menemukan pola pikir 180 derajat: segala sesuatu
terbagi menjadi dua hitam dan putih, benar dan salah, ya atau tidak. Orang yang
mempunyai budi 360 derajat adalah orang yang melihat segala sesuatu dari
berbagai sudut pandang, melihat segala sesuatu lebih integratif, dan
komperhensif, serta menyeluruh. Menurut para guru spiritual Zen, kalau kita
hidup untuk menghayati saat ini
diperlukan pola pikir 360 derajat.
Bagaimana kalau hidup itu ternayata tidak
berjalan baik-baik saja? Yang patut disadari adalah bahwa waktu terus berjalan,
mengalir, tanpa bisa dipanggil kembali. Baik yang kita hadapi adalah hidup yang
pahit atau pun manis, yang sedang terjadi memang merupakan kenyataan yang harus
diterima, betapa pun itu perih.
Dari sudut pandang orang beriman, selain kita
memupuk kepercayaan diri dan berbuat baik untuk momen kini, sepatutnya orang merendahkan
diri dan berseru kepada Sang Pencipta. Setelah segala daya upaya, maka berserah
mendatangkan kedamaian hati. Kesulitan yang kita hadapi saat ini hadapi dengan
penuh syukur. Itulah mungkin yang dikatakan Yesus tentang janganlah engkau kuatirakan hidupmu.
Setelah merancang masa depan, tekanannya
kemudian kembali lagi ke masa kini. Orang tidak hanya puas dengan rumusan
cita-cita, melainkan hidup sehari-hari dengan pelaksanaannya. Orang boleh saja
melihat ke belakang untuk mengambil hikmah dan menatap horison masa depan untuk
mencari arah, tetapi kemudian saya harus menyadari untuk menekuni momen
sekarang yang saya miliki. Dengan pergumulan momen kini, akhirnya dapat
diketahui mana rencana yang dapat dipertahankan dan mana yang perlu diubah atau
mungkin tibatalkan.
Dengan hidup di saat ini berati memungkinkan
orang untuk memandang ke belakang dan menatap ke masa depan dengan penuh
harapan. Di situ letaknya orang bisa merefleksikan hidupnya. Hidup di saat ini
membuat orang untuk melakukan semuanya dengan baik, bahkan sangat baik. Saya
pernah mendengar perkataan: jalanilah hidupmu hari ini seolah-olah besok engkau
akan mati dan seolah-olah engkau akan hidup seribu tahun lagi. Saya melihatnya
bahwa menjalani hidup seolah-olah besok
akan mati yaitu menjalani hari ini dengan sangat baik, berusaha berbuat kebajikan, berusaha tidak
berbuat dosa, agar kalau besok saya
mati, saya masuk surga. Sikap hidup seolah-olah akan hidup seribu tahun lagi
yaitu melakukan segala sesuatu dengan penuh perhitungan, dengan teliti, dengan
sempurna. Karena kalau saya melakukannya dengan sembrono, pastinya akan berakibat bagi hidup saya yang akan
berlangsung sekian lama itu. Saya berhati-hati agar yang saya lakukan itu tidak
mendatangkan celaka kepada diri saya atau keturunan saya.
Akhirnya saya mengakhiri obrolan saya kali ini
tentang hidup pada saat ini dengan sebuah puisi klasik.
Serenity Prayer
God grant me the serenity
To accept the things I can not change,
The courage to change the things I can,
And the wisdom to know the difference.
Living one day at a time
Enjoying one moment at a time.
(
Reinhold Neibuhr: 1892-1973)
Kira-kira artinya adalah...:
Tuhan anugrahilah aku kejernihan hati
Untuk menerima hal-hal yang
tidak dapat aku ubah
Dan berilah keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat kuubah
Serta kebijaksanaan utk
mengetahui perbedaannya
Hidup pada hari ini untuk menikmati saat ini
Menikmati satu saat dalam kekinian.
( Ch. Enung Martina - awal Juni 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar