Untuk mengenangkan kembali DIA
yang menderita, tersalib, wafat, dan bangkit pada hari ketiga, saya menuliskan
kembali perjalanan saya bersama rombongan Santa Ursula BSD ke Tanah Suci tujuh
tahun yang lalu. Meski sudah berlalu sekian tahun, terasa masih segar dalam
ingatan.
"Dan
Yusuf (dariArimatea) pun mengambil mayat itu, mengapaninya dengan kain lenan yang
putih bersih, lalu membaringkannya di dalam kuburnya yang baru, yang digalinya di
dalam bukit batu, dan sesudah menggulingkan sebuah batu besar ke pintu kubur itu, pergilah ia."
(Matius 27:59-60)
Kami memasuki pelataran Bukit
Golgota yang sekarang sudah menjadi komplek sgereja yang sangat besar.
Seluruh bukit itu sudah menjadi gereja. Satu tempat yang dianggap paling kudus
oleh seluruh umat Kristen adalah Gereja Makam Kudus. Gereja ini berdiri di
atas puncak Golgota,
tempat Yesus disalibkan dan makam tempat Yesus dibaringkan hingga kebangkitan-Nya.
Dahulunya tempat ini merupakan bagian di luar tembok kota Yerusalem.
Gerbang
di kompleks itu besar dan tinggi. Pintunya dari kayu tebal dan bergerendel besi. Kaum
Kristen di seluruh dunia mengenal gerbang itu sebagai pintu masuk Gereja Makam Kudus di
Yerusalem. Gereja ini dibangun pada
326 Masehi atas usulan Kekaisaran Romawi Konstantinopel.
Tempat ini menjadi situs awal umat Nasrani beribadah.
Gereja di
komplek ini dibagi-bagi menjadi tujuh komunitas gereja kuno, yaitu: Gereja Katolik
Roma, Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Armenia, Gereja Koptik, dan Gereja Assyria.
Pembagian ini didasarkan pada perjanjian Status Quo oleh peraturanTurki tahun 1852. Makam suci itu dijaga selama berabad-abad oleh sebuah keluarga
Muslim. Wajeeh Nuseibeh adalah salah satu keturunan keluarga itu yang
saat itu menjadi juru kunci Gereja Makam Kudus. Ketika Khalifah Umar
menguasai Yerusalem pada tahun 638 Masehi, beliau menugaskan salah satu
prajurit Arab, nenek moyang Wajeeh, menjaga gereja itu.
Suasana di tempat ini terasa sangat syahdu dan sendu menurut perasaan saya. Namun,
ada keagungan dan kekudusan yang dirasakan.
Meskipun pengunjung berjubel, ketenangan dan kekhidmatan tetap terjaga.
Sebelum
memasuki komplek ini kami berjalan salib melalui stasi-stasi yang tersedia. Rute
jalan Salib itu dikenal dengan Via Dolorosa.
Kami
melanjutkanjalansalib kami dengan perayaan Ekaristi di
kapel Makam Suci sebagai perhentian keempat belas. Pada Ekarist ini, Romo Robby Wowor OFM, pembimbing rohani kami, berbicara tentang nilai pengorbanan
yang tulus. Dalam menjalankan tugas,
hendaknya kita melakukannya dengan baik hingga kesudahannya.
Dalam tugas ada banyak pengorbanan yang akan kita temukan,
tetapi semua itu akan membuat tugas kita menjadi sempurna.
Lelehan air
mata haru sepanjang perayaanEkaristi kami rasakan. Kami merasa syukur yang
tak terhingga atas kesempatan ini hingga kami bisa merayakan Ekaristi di Golgota.
Ketika kami keluar satu persatu dari kapel itu, tak lupa kami
menyentuh potongan pilar/tiang yang
diduga tempat menambatkan tanganYesus saat sedang dipecuti. Potongan pilar itu diletakkan dekat pintu keluar/masuk.
Karena di
beberapa perhentian seperti XI, XII, XIII
masih penuh oleh pengunjung dari berbagai bangsa, maka kami tadi langsung ke perhentian
XIV untuk merayakan Ekaristi. Seperti yang tadi diungkapkan bahwa Basilika Makam
Kudus ini terbagi menjadi beberapa bagian yang dimiliki oleh gereja-gereja yang
dianggap kuno. Di sisi lain saya merasakan agak terhenyak juga ternyata
di tanah suci saja pemisahanmasih berlaku, tetapi sisi lain lagi saya merasa bangga karena saya adalah umat Katolik
Roma yang masih mempunyai hak milik. Mengapa demikian?
Karena berbarengan dengan penziarahan kami, ada beberapa rombongan dari Indonesia,
ternyata beberapa saudara kita dari gereja nonkatolik,
mereka tidak bisa leluasa mengadakan ibadat seperti kita merayakan Ekaristi.
Akhirnya kami mendapat giliran juga memasuki stasi tempat Yesus disalibkan.
Dengan menapaki tangga yang cukup curam, kami perlahan memasuki tempat kudus ini. Kami
semua berbaris mengantri, sabar menunggu giliran untuk bisa mencium situs yang
disucikan ini. Semua mendapat giliran menciumnya.
Saya letakkan ransel yang terpasang di
punggung terlebih dahulu agar tidak mengganggu saat saya melakukan ritual ini. Saya berlutut mencium tempat itu dengan sepenuh hati.
Lidah terasa kelu. Ada banyak hal yang
ingin saya ucapkan dan ungkapkan
di bawah kaki-Nya yang kudus. Hanya air mata yang terus merebak dan merembes di
kedua mata, jatuh perlahan.
TuhanTerima kasih, sembah sujudku untuk-Mu Sang Penyelamat Dunia. Segera saya bangkit karena antrian di belakang begitu panjang.
Semua yang mengantri perasaannya juga tak jauh dengan saya. Saya duduk agak jauh dari situ
untuk kembali meneruskan doa yang belum semua terucap.
Kemudian, kami
turun menuju batu tempat Yesus dimandikan. Kami menyentuhnya. Saya usapkan saputangan pada batu
yang selalu basah dengan minyak wangi itu. Kami
mengantri lagi untuk menuju makam Yesus tempat Yesus dibaringkan sampai hari kebangkitan-Nya.
Hak milik makam ini ada pada Gereja Ortodoks. Makam ini terletak di kaki bukit Kalvari.
Menurut Kitab Suci, makam ini dibuat oleh Yusuf dari Arimathea. Sesudah menurunkan mayat itu, ia (Yusuf Arimathea) mengafani-Nya
denagn kain lenan, lalu membaringkan-Nya di dalam kubur yang digali di
dalam bukit batu, di mana belum pernah dibaringkan mayat (Luk. 23:53).
Akhirnya tiba juga giliran saya masuk ke dalamnya.
Makam itu terdiri dari dua bilik. Bilik pertama digunakan untuk para
peziarah dan bilik ke dua digunakan untuk tempat jenazah dibaringkan. Ketika kami
masuk bilik pertama pintu masuk lebih tinggi dibandingkan pada bilik kedua.
Peziarah harus mengantri lagi di bilik pertama. Tiga orang peziarah berada di
dalam bilik kedua. Seorang pastor Ortodoks saat itu menjadi pengatur lalulintas di
dalam bilik.
Tiba giliran saya dengan dua
orang teman yang lain masuk ke dalam bilik kedua. Kami
maju dengan menundukkan kepala karena pintunya pendek. Di
dalam bilik kedua ada semacam batu padas yang dibuat lempeng tempat jenazah dibaringkan.
Kini batu itu ditutup dengan kaca. Kami berlutut dan mencium bagian atasnya. Tak satu pun
dari kami mampu untuk menahan rasa haru yang mendalam saat bibir kami menyentuhnya.
Kami masih ingin menyampaikan banyak hal yang bergejolak dalam hati kami, tetapi yang terucap hanya satu kata: terima kasih. Sementara itu pastor penjaga sudah memberikan tanda bahwa
kami harus keluar. Dengan perasaan yang berat kami meninggalkan bilik kedua.
Ketika keluar bilik kedua, kami harus mundur agar tidak terantuk pada lawang gua.
Perasaan yang
mengharu-biru masih terbawa saat keluar dari dalam bilik. Air mata masih meleleh. Ketika
kami ke luar bilik pertama,
antrian masih panjang dan sudah disambung lagi dengan antrian dari gereja lain, dari India
sepertinya. Saya putuskan untuk bersandar pada pilar besar yang ada di sekitar situ
untuk melanjutkan doa. Sementara itu antrian panjang masih terus ke luar dan masuk membawa
para peziarah yang menggenapi dan memuaskan perasaan rindunya kepada
Sang Penebus.
Renungan di Golgota
Terkadang aku bertanya
Mengapa aku selalu menjadi korban?
Mengapa aku selalu harus mengalah?
Mengapa aku harus bersabar?
Di tempat ini, Dia berkata:
Karena Aku ingin kamu
menjadi pemenang
Bukan menjadi korban
Untuk berkembang
Bukan untuk direndahkan
Untuk dimuliakan
Bukan dihinakan
Untuk bisa mengatasi berbagai rintangan
Sehingga sepanjang hidupmu bermakna dan bahagia.
( Ch. Enung Martina, Jelupang, Paskah 2014)