(menang dalam lomba cerpen tingkat dewasa sebagai juara favorit tahun 2013 yang diselenggarakan PT Rohto Lab. Indonesia )
Kau tahu bahwa
aku suka pelangi. Begitu sempurna
lengkungnya. Begitu indah warnanya. Bila aku memandang pelangi, jiwaku
berkelana bersama para bidadari cantik yang gemulai bebas bercengkrama. Pelangi
membawa jiwa murni para bidadari. Pelangi berbicara tentang kuasa semesta yang
tak pernah memandang siapa. Pelangi
berbisik tentang kasih Ilahi yang dititipkan pada bias matahari di ujung
titik-titik air. Bahkan Nabi Nuh pun
percaya bahwa pelangi adalah janji Ilahi yang tak mungkin diingkari.
Pelangi
dan Nuh
Nuh, lelaki
yang berani tampil beda pada masanya. Aku kira, aku jatuh cinta pada lelaki
ini. Karena pelangi, aku jatuh cinta
padanya. Dia tahu bahwa pelangi itu adalah sebuah janji. Dia tahu bahwa
bianglala itu adalah cinta. Ia tahu bahwa pelangi adalah batas imajinasi dan
isi hati. Ia sangat tahu bahwa pelangi adalah sinar Ilahi. Ia sangat tahu. Biar
air menenggelamkan dunia dan
menghanyutkan segala, tapi janji Dia padanya tak akan terlupa. Nuh, lelaki
perkasa. Penakluk air bah. Percaya bahwa diujung butiran kristal-kristal air
itu bila berpadu dengan pendaran cahaya surya akan ada titik titik cahaya yang melukis janji
abadi. Dia sangat tahu. Aku juga tahu bahwa janji abadi itu ada pada pendar
cahaya pelangi. Nuh dan aku adalah dua mahluk yang mencintai pelangi.
Bagaimana
dengan Para Bidadari?
Para bidadari
itu pergi ke bumi meniti pelangi. Begitu kata ayahku. Mereka ingin mandi
menyejukkan diri sambil mengamati panorama bumi. Pelangi adalah tangga cahaya
yang membawa mereka naik dan turun dari khayangan dan dunia. Pelangi adalah
sarana yang menghubungkan khayangan dengan mayapada. Menghubungkan antara ilusi
dan mimpi-mimpi. Menghantarkan angan-angan dan kenyataan. Antara fiksi dan
realitas.
Aku sangat
ingin berjumpa bidadari. Mungkin mereka bisa bercerita tentang mengapa pelangi
bisa berwarna aneka. Barangkali mereka bisa bercerita bagaimana cahaya pelangi
bisa berpendar. Atau aku juga bisa bertanya tentang lengkungan pelangi yang
sangat sempurna. Ada aneka hal yang aku bisa tanyakan tentang pelangi pada
mereka.
Bidadari
mahluk gaib yang lahir dari imajinasi. Membawa inspirasi untuk sekian banyak
fiksi. Menggugah banyak pujangga untuk mencipta aneka karya yang berkisah
tentang dirinya. Membuat para penyair mencipta puisi indah tentang kecantikan
perempuan bagai bidadari. Menjadikan para komponis menggubah lagu merdu. Namun
bagiku bidadari tak akan terpisah dari
pelangi. Keduanya mempesona.
Imajinasi
Pelangi
Kau tahu ada
banyak kisah tentang pelangi. Satu kisah ini menggugahku karena di dalamnya ada
cinta yang dalam meski harus berkorban.
Konon katanya matahari hanya mau bersinar saat
musim kemarau saja. Pada musim hujan, ia selalu bersembunyi. Tak ada yang tahu
di mana letak matahari oleh karena awan-awan kelabu mendung menaungi permukaan
bumi sepanjang musim. Hujan datang hampir setiap hari. Karena itulah, tanaman pokok dan tanaman lainnya rusak oleh
banjir atau terendam. Sebaliknya,
di musim kemarau, hujan hampir tak kunjung tiba. Hanya terik matahari yang
panas meranggas sepanjang musim. Alam sangat tak bersahabat.
Matahari
takut dengan hujan. Layaknya api yang berkobar pasti akan padam oleh limbahan
air. Karena itulah ia bersembunyi di balik awan dan hanya mau muncul bersinar
bila tak ada setitik hujan pun. Dan semua mahluk
hidup setuju lebih baik begini daripada
matahari padam selamanya.
Namun,
seorang bocah tangguh dan pemberani bernama Pi, tak mempercayai cerita itu. Ia
yakin matahari takkan padam oleh hujan. Karena itulah nanti saat besar, ia
bertekad akan terbang ke matahari dan membujuknya agar bersinar di musim hujan. Bertahun-tahun kemudian, Pi tumbuh
menjadi pemuda gagah dan tak mengenal takut. Ia bertekad
membujuk matahari agar tetap bersinar di musim hujan. Para tetua-tetua mengimingi-imingi
Pi agar mengurungkan niatnya dengan
berbagai macam cara, termasuk menawarkan gadis-gadis, rumah, dan harta yang
lain. Namun Pi tak terbujuk. Tekadnya
bagaikan batu karang.
Suatu
hari di musim hujan, ia mulai perjalanannya dengan mendaki gunung tertinggi.
Setelah itu, ia meminta pertolongan seekor elang raksasa untuk menerbangkannya
ke matahari. Sang elang setuju dan segera mereka melesat menembus awan-awan
kelabu. Pi mencari-cari matahari di antara
awan-awan mendung. Namun setiap kali ia melihatnya, sang matahari selalu menghilang
di balik awan. Pi dan sang elang berkejar-kejaran dengan matahari beberapa lama
sebelum akhirnya sang elang lelah dan tak sanggup lagi. Namun Pi tak menyerah.
Saat matahari kembali muncul, ia melompat dari elang dan menghujam ke arah matahari. Mereka bergelut di angkasa
beberapa lama, hingga akhirnya mereka berada di bawah awan-awan mendung. Tubuh
Pi terbakar seluruhnya, tetapi sebelum lenyap, ia tersenyum memandang matahari
yang akhirnya sadar bahwa ia takkan padam didera hujan. Bahkan, sinarnya mulai memancarkan warna-warna lain yang
belum pernah dilihat
sebelumnya. Ada biru, merah, hijau, kuning, jingga, nila,
dan ungu. Manusia-manusia di bawah terkejut
begitu melihat pancaran sinar matahari yang berwarna-warni memenuhi langit yang
tak lagi hanya kelabu. Mereka semua seakan-akan terhipnotis, tak berkedip. Belum pernah
sesuatu yang seindah ini terpampang di depan
mata mereka. Menyaksikan keindahan itu dan melihat pengorbanan Pi
banyak orang menitikkan air mata karena terharu.
Sejak
itu, matahari tak lagi merasa takut terhadap hujan. Walaupun tak setiap hari,
matahari sekali-kali menampakkan dirinya di kala hujan. Bila ia
muncul menerobos hujan maka
pancaran sinar warna-warni selalu terbentuk dan menghiasi angkasa. Para tetua menamai sinar warna-warni
itu sesuai nama sang pemuda pemberani tersebut, Pi. Namun sang elang raksasa
protes, toh ia ikut membantu mewujudkan cahaya-cahaya indah itu walau hanya setengah jalan. Setelah
ramai berdebat dan berdiskusi diantara mereka, akhirnya mereka setujui
menamakannya dengan Pelangi dari Pi dan Elang.
Merindu Pelangi
Begitulah legenda pelangi. Begitulah aku,
begitu jatuh cinta pada pelangi. Namun sudah begitu lama pelangi tak
lagi datang mengunjungiku. Sepertinya dia sedang asyik dengan dirinya dan kecantikannya.
Atau dia terlalu lena bersolek untuk tampil di hari lain. Atau dia merajuk
karena aku terlalu sibuk untuk memandang dan mengaguminya. Aku tak tahu karena
tak ada berita yang menjadi tanda
keabsenannya.
Kini aku
sungguh merindukannya. Merindukan pelangi mampir menyapaku. Hari-hariku yang
penat memerlukan sapaan ramah dari para bidadari jelita. Hatiku yang kering memimpikan bisikan
pelangi. Relung kalbuku merindu senyum
tulusnya. Bagiku pancaran aneka warna bianglala itu memberi energi separuh
nyawa untuk menyambung hidup menapak
jalan.
Sudah lama
kutelusuri langit untuk mencarinya. Bila rintik gerimis datang ke bumi, aku
segera berlari menghampiri. Kala senja kemerahan menyapa, aku segera melihat
siapa tahu bianglala datang bertandang. Namun, pelangi tak tampak tiba. Para bidadari
enggan menyapa dan lengkungan warna nan indah tak juga nampak. Akhirnya aku
memutuskan untuk sabar menantinya datang.
Hingga
suatau hari......
Siang itu langit mendung. Gelap gulita
menyelimutinya. Sedari
kemarin udara begitu gerahnya bak memanggang semua mahluk. Suhu yang kian hari kian merayap naik, menampakkan betapa
bumi kian melemah. Begitulah apa yang digambarkan para ahli
ekologi tentang dampak pemanasan global,
benar adanya. Rambut-rambut bumi
yang menjadi pelindungnya kian hari kian gundul. Keserakahan mengeksplorasi di seluruh jengkal bumi mampu
membawa kegoncangan pada semesta.
Kelembaban
udara siang itu, mampu mengacaukan
manusia. Tingkah polah pun terganggu. Badan cepat lelah membuat orang menjadi-jadi dalam resah. Lihatlah bagaimana para kuli bangunan yang seharusnya bekerja untuk merampungkan galian fondasi ,
mereka lebih suka
berteduh di bawah pohon tanjung
pelindung jalan.Semua orang merindukan hujan. Tetesannya mampu menyejukkan
badan. Menentramkan hati. Tapi, aku tetap merindukan pelangi.
Pelangi-pelangi
alangkah indahmu...
Sedari tadi Abhimanyu, bocah lelaki yang berusia 2 tahun 7 bulan itu, rewel. Ini salah, itu salah. Aku, ibunya tak
lagi mampu mengatasinya. Bocah ego sentris ini memerintahkan ibunya terlibat dalam dunia
permainan dan dunia khayalannya. Ia
berubah peran menjadi Caillou, bocah
gundul dari Spanyol. Tak lama
kemudian sudah mengubah dirinya menjadi si Timmy, domba kecil
dalam kisah Timmy Time. Berikutnya dia menyatakan bahwa ia
Pangeran Abhimanyu. Sementara
itu peran pembantu siap melaksanakan titah Paduka. Disuruh merangkak, berjongkok, menari, bernyanyi, dan aneka hal
menyesuaikan dengan peran utama dan kisah yang sedang ia mainkan.
Namun, lama-lama terasa lelah juga. Akhirnya diputuskan dengan setengah
dibujuk dan setengahnya lagi dipaksa: membawa ke kamar mandi. Memandikannya,
mengganti bajunya, dan akhirnya memasukkannya ke kamar tidur. Apakah perkara
selesai? Tidak Saudara! Dalam kamar dia masih mengeluarkan jurus macam-macam.
Mulai bernyanyi dan bercerita dengan mulut mungilnya dan berkisah tentang
tokoh-tokohnya. Perpaduan antara tokoh nyata, tokoh kartun, dan khayalannya. Luar biasa!
Meskipun aku tahu menyalakan AC itu
adalah pengkhianatan tehadap lingkungan yang pastinya akan menambah parahnya global warming, satu-satunya cara untuk
membuat Si Pangeran Kecil itu nyaman adalah dengan menyalakan AC. Benar saja,
dengan udara yang silir-silir, bocah itu giras-nya
mulai berkurang. Mulailah dia lendotan sambil mengedot di botol susunya. Mulai
minta diceritakan cerita kesukaannya :
Si Cimot Mencari Ibunya , kisah
tentang anak kura-kura. Cerita
itu sedikit kisah aslinya banyak kisah sulapan dari ibu Pangeran Kecil yang
sudah mulai kreatif
membuat anaknya diam manis.
Akhirnya, sebotol susu dengan ukuran 240
cc habis terminum, Si Cimot sudah ketemu ibunya, dan udara dari AC yang semilir, berhasil membuat bocah itu
tertidur pulas! Yang pasti aku pun ikut terdampar di samping Pangeran Kecil ini
menikmati silirnya udara, sementara di luar panas terik menyengat.
Bias-bias
warna dari cahaya matahari dan butiran air itu memenuhi ingatanku. Aku,
Pangeran Abhimanyu, Caillou, dan Timmy semua bermain di antara lengkungan busur
cahaya ini. Ledakan keindahan mengelilingi kami. Kami bergembira dalam rona
warna. Terlena dalam gelepar sinar. Lelah menghantarkan kami di ujung
serat-serat sintettik kasur busa. Bocah
kecil dan ibunya terlelap bersama para tokoh dari negri antah berantah.
Abhimanyu dan Pelangi
Kami terbangun kala senja tiba. Udara
sudah betul-betul dingin. Rupanya hujan turun selama kami terkapar di siang
itu. Kami benar-benar terbangun ketika ada yang memanggil dari luar pagar.
“ Abhimanyu! Ada pelangi!”
Aku segera menyisir rambutku. Kusibak tirai dan mengintip dari
baliknya.
O, rupanya Amelia,
gadis kecil anak tetangga yang memanggil. Kami keluar. Benar, ada pelangi persis
terlihat jelas di tanah lapang yang lahannya sedang dibangun. Pelangi itu utuh. Berbentuk busur. Melengkung,
warnanya jelas, mejikuhibiniu: merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu.
Sempurna. Ini pelangi yang utuh. Lihatlah, bahkan lengkungan itu membayang
menjadi dua. Namun yang satu tak seterang yang pertama. Semua anak keluar. Ada
yang ambil HP dan kamera untuk
mengabadikannya. Semua berceloteh mengomentari pelangi senja itu.
“ Bagus
betul! ”
“
Indah banget! ”
“ Gile…
bagus bener! ”
Abhimanyu kecil berkata: ” Telima kacih
Tuhan! ”
Aku terbengong dan terdiam. Sudah lebih
dari tiga tahun ini aku tak melihat pelangi. Bukan berarti pelangi itu tak
datang. Namun, ketika ia datang aku kebetulan tak bertemu dengannya. Kini ia hadir di hadapanku. Kini ia tersenyum
memandangku. Ledakan warna itu hadir sekarang. Bias-bias warnanya bagaikan
serat-serat benag berwarna yang ditenun untuk membuat sebuah selendang.
Dan aku
berurai air mata memandangnya. Ia membisikkan kata lirih di hatiku: “ Aku tetap
mengingatmu. Ada salam dari para bidadari. Jangan kuatir segalanya baik-baik
saja.”
Dongeng
masa kanak-kanak dulu tentang tangga
yang membawa bidadari turun dari kayangan untuk mampir mandi kembali hidup. Kisah Al Kitab tentang janji Tuhan. Kisah tentang Nuh, seorang laki-laki yang padanya aku jatuh cinta. Pelangi
merupakan tanda kasih Tuhan
pada manusia, dan sekaligus janji –Nya
bahwa
Dia tak akan lagi menghukum dunia dengan air bah seperti pada masa Nuh. Begitu terngiang cerita guru sekolah mingguku. Senja
ini aku sungguh terhibur dengan hadirnya pelangi. Pelangi yang sempurna. Utuh
di hadapanku.
Aku
masuk rumah karena pelangi itu semakin memudar dengan datangnya sang malam yang
siap menggantikan tugas sang siang. Dengan berlatarkan langit nan jingga karena
lembayung menggantikan pelangi, aku masuk bergandengan tangan dengan Pangeran
Kecilku. Jari-jarinya yang halus dan montok terasa hangat di tanganku. Kehangatan genggamannya dan keindahan pelangi
masih terus terasa samapai ke hati. Pelangi senja membawa semangat dan harapan. Pelangi bak sebuah janji akan cinta yang tak pernah berkesudahan.
-
Senja di akhir Maret 2013-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar