Ada ungkapan kuno yang
menyatakan bahwa ketika murid siap menerima pelajaran, maka sang guru akan
muncul. Hal ini menyatakan kepada kita bila seseorang sudah siap mengambil
langkah untuk melakukan sesuatu yang benar, maka segala sesuatu di sekitar kita
akan mendukung. Akhirnya kita mengetahui bahwa kita semua berperan aktif dalam
menciptakan segala hal yang baik dalam hidup kita.
Kita
semua bertanggung jawab atas keadaan di sekitar kita. Bila kita menginginkan
perubahan di luar diri kita (eksternal), itu berarti kita harus bersedia
melakukan perubahan di tingkat internal (dalam diri kita).
Nampaknya
ada kerinduan di antara kita (khususnya saya) untuk kembali ke ruang dan waktu
yang lebih sederhana. Kita terlalu lelah dengan hingar bingar dunia. Awal-awal
saya masih suka berselancar di dunia maya, mencari ini itu dan menjalin relasi
di jejaring sosial. Namun, lama kelamaan saya lelah dan bosan. Saya melihat
begitu banyak energi dan waktu berharga saya hanya untuk menelusuri yang tak
begitu penting untuk ditelusur. Saya sibuk dengan teman saya di ujung dunia sana,
sementara orang-orang di sekitar saya
yang justru hadir di dunia nyata malah saya abaikan. Ini bukan berarti bahwa dunia
maya (baca: internet) itu tidak berguna bagi saya. Internet berguna bagi saya,
apalagi saya seorang pendidik yang tentu tak boleh ketinggalan dengan anak didik saya yang jauh lebih melek
internet daripada saya. Saya harus tahu mereka berkiprah di dunia maya. Justru
internetlah yang sering menampilkan sisi lain dari pribadi seorang anak didik
yang berbeda dengan pribadinya ketika berada di kelas. Saya menjadi tahu bahwa
seorang anak didik yang alim di kelas, ternyata bisa menjadi ‘sadis’ di dunia
maya.
Bagi
saya (seorang pendidik dan juga ibu dari anak remaja), internet merupakan
tempat untuk saya melihat sejauh mana mereka bermain di dunia yang tak terbatas
dan juga tak nyata itu. Saya berharap dengan saya mengetahui dunia itu, saya
bisa mencegah mereka terjerat jauh di dunia itu. Internet juga menjadi media
untuk saya mencari materi penunjang dan pengayaan bahan pelajaran yang saya ampu di kelas.
Namun,
di samping itu, saya merasa prihatin atas berbagai peristiwa buruk yang terjadi
dengan media internet. Peristiwa buruk itu memang bukan kesalahan internet,
tetapi manusia sebagai penggunanya. Internet itu media. Ia benda mati. Itu berarti netral. Dampak yang ditimbulkan oleh media
tergantung penggunanya.
Kisah
yang akan saya bagikan adalah pengalaman buruk saya berkaitan dengan media
internet. Peristiwa ini terjadi 3,5 tahun yang lalu. Seperti yang Saudari-Saudara
ketahui, saya ini tidak mempunyai akun facebook. Aalasnnya klise, saya ini
guru. Akan ribet kala saya mempunyai akun jejaring sosial, saya tak mempunyai
privacy lagi dan juga mengurangi kenetralan saya. Namun, karena dua anak remaja
saya yang kala itu mereka berselancar dengan facebook, saya pun harus tahu
kiprah mereka di dunia tersebut. Jadilah saya dan suami sepakat untuk mempunyai
akun facebook atas nama suami. Dengan demikian saya bisa memakai akun suami
untuk melihat kiprah meraka di dunia maya.
Pada
suatu hari saya melihat ada sebuah foto kerabat yang dikirim seseorang dengan
komentar kurang baik tentang suami saya. Di bawah komentar orang tersebut
beramai-ramai pula temannya, saudaranya (yang juga saudara suami saya)
menanggapi komentar tentang pribadi suami saya. Orang-orang dan juga saudara-saudara
yang memberi komentar tersebut sebetulnya tak tahu permasalahan yang
sebenarnya. Namun, karena yang lain berkomentar, maka ikut sertalah
berkomentar. Saat membaca komentar-komentar tersebut, panas hatilah saya.
Hampir saja saya mengomentari ganti. Untung saja otak saya dingin, meskipun
hati saya panas.
Waktu berlalu. Memang benar
kata orang-orang tua, bahwa waktulah yang akan membuktikan segalanya, termasuk
mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya komentar miring tentang suami
saya dari saudaranya sendiri dan juga orang-orang yang menanggapinya pada kala
itu, ternyata terbukti salah. Tentu saja tak ada orang yang memberi komentar
untuk meralat komentar mereka pada selang sekian tahun yang lalu itu. Yang
menjadi pelajaran bagi saya adalah: berhati-hatilah mengeluarkan kata-kata,
memberi komentar ini dan itu, kalau kita tak mengerti betul duduk persoalannya.
Sayamembayangkan bila kala itu saya ikut memberi komentar negatif dengan tujuan
membela suami saya, persaudaraan yang sudah retak akan semakin menganga dan
bahkan putus. Saya sungguh bersyukur untuk bisa menahan diri. Daripada
mengumbar kata-kata negatif (yang mencerminkan diri kita yang negatif), lebih
baik diam saja. Atau lebih bagus lagi bila memberikan kata-kata positif yang
membawa inspirasi dan juga semangat bagi orang lain.
Saya
menerima pelajaran dari guru kehidupan yaitu pengalaman. Bahwa internet itu
adalah media yang harus dengan arif kita gunakan. Saya ternyata juga murid yang
baik yang menerima pelajaran dari pengalaman buruk.Orang-orang mengatakan
mengambil hikmahnya. Menurut Steven Covey dalam 7 Habits-nya orang sering terjatuh pada kuadran empat dalam tabel
kepentingan dan kemendesakan. Maksudnya
kuadran empat adalah orang sering terjatuh pada situasi yang mengutamakan hal
yang tidak mendesak dan tidak penting. Salah satunya adalah contoh di atas
memberi komentar di jejaring sosial yang tidak mengerti dengan baik tentang
duduk perkaranya. Pengalaman buruk saya
berkaitan dengan internet tak seburuk pengalaman yang lain. Ada banyak peristiwa
yang kita dengar dan kita baca tentang berbagai peristiwa itu. Namun, tak
haruslah kita mengalami peristiwa buruk itu, cukuplah sudah kita belajar dari
pengalaman orang lain.
Christina Enung Martina
#####
Tidak ada komentar:
Posting Komentar