Kamis, 10 Juli 2014

ANTARA YANG MAYA DAN NYATA

Ada ungkapan kuno yang menyatakan bahwa ketika murid siap menerima pelajaran, maka sang guru akan muncul. Hal ini menyatakan kepada kita bila seseorang sudah siap mengambil langkah untuk melakukan sesuatu yang benar, maka segala sesuatu di sekitar kita akan mendukung. Akhirnya kita mengetahui bahwa kita semua berperan aktif dalam menciptakan segala hal yang baik dalam hidup kita.

            Kita semua bertanggung jawab atas keadaan di sekitar kita. Bila kita menginginkan perubahan di luar diri kita (eksternal), itu berarti kita harus bersedia melakukan perubahan di tingkat internal (dalam diri kita).

            Nampaknya ada kerinduan di antara kita (khususnya saya) untuk kembali ke ruang dan waktu yang lebih sederhana. Kita terlalu lelah dengan hingar bingar dunia. Awal-awal saya masih suka berselancar di dunia maya, mencari ini itu dan menjalin relasi di jejaring sosial. Namun, lama kelamaan saya lelah dan bosan. Saya melihat begitu banyak energi dan waktu berharga saya hanya untuk menelusuri yang tak begitu penting untuk ditelusur. Saya sibuk dengan teman saya di ujung dunia sana,  sementara orang-orang di sekitar saya yang justru hadir di dunia nyata malah  saya abaikan. Ini bukan berarti bahwa dunia maya (baca: internet) itu tidak berguna bagi saya. Internet berguna bagi saya, apalagi saya seorang pendidik yang tentu tak boleh ketinggalan  dengan anak didik saya yang jauh lebih melek internet daripada saya. Saya harus tahu mereka berkiprah di dunia maya. Justru internetlah yang sering menampilkan sisi lain dari pribadi seorang anak didik yang berbeda dengan pribadinya ketika berada di kelas. Saya menjadi tahu bahwa seorang anak didik yang alim di kelas, ternyata bisa menjadi ‘sadis’ di dunia maya.

            Bagi saya (seorang pendidik dan juga ibu dari anak remaja), internet merupakan tempat untuk saya melihat sejauh mana mereka bermain di dunia yang tak terbatas dan juga tak nyata itu. Saya berharap dengan saya mengetahui dunia itu, saya bisa mencegah mereka terjerat jauh di dunia itu. Internet juga menjadi media untuk saya mencari materi penunjang dan pengayaan  bahan pelajaran yang saya ampu di kelas.

            Namun, di samping itu, saya merasa prihatin atas berbagai peristiwa buruk yang terjadi dengan media internet. Peristiwa buruk itu memang bukan kesalahan internet, tetapi manusia sebagai penggunanya. Internet itu media. Ia benda mati. Itu berarti  netral. Dampak yang ditimbulkan oleh media tergantung penggunanya.

            Kisah yang akan saya bagikan adalah pengalaman buruk saya berkaitan dengan media internet. Peristiwa ini terjadi 3,5 tahun yang lalu. Seperti yang Saudari-Saudara ketahui, saya ini tidak mempunyai akun facebook. Aalasnnya klise, saya ini guru. Akan ribet kala saya mempunyai akun jejaring sosial, saya tak mempunyai privacy lagi dan juga mengurangi kenetralan saya. Namun, karena dua anak remaja saya yang kala itu mereka berselancar dengan facebook, saya pun harus tahu kiprah mereka di dunia tersebut. Jadilah saya dan suami sepakat untuk mempunyai akun facebook atas nama suami. Dengan demikian saya bisa memakai akun suami untuk melihat kiprah meraka di dunia maya.

            Pada suatu hari saya melihat ada sebuah foto kerabat yang dikirim seseorang dengan komentar kurang baik tentang suami saya. Di bawah komentar orang tersebut beramai-ramai pula temannya, saudaranya (yang juga saudara suami saya) menanggapi komentar tentang pribadi suami saya. Orang-orang dan juga saudara-saudara yang memberi komentar tersebut sebetulnya tak tahu permasalahan yang sebenarnya. Namun, karena yang lain berkomentar, maka ikut sertalah berkomentar. Saat membaca komentar-komentar tersebut, panas hatilah saya. Hampir saja saya mengomentari ganti. Untung saja otak saya dingin, meskipun hati saya panas.

Waktu berlalu. Memang benar kata orang-orang tua, bahwa waktulah yang akan membuktikan segalanya, termasuk mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya komentar miring tentang suami saya dari saudaranya sendiri dan juga orang-orang yang menanggapinya pada kala itu, ternyata terbukti salah. Tentu saja tak ada orang yang memberi komentar untuk meralat komentar mereka pada selang sekian tahun yang lalu itu. Yang menjadi pelajaran bagi saya adalah: berhati-hatilah mengeluarkan kata-kata, memberi komentar ini dan itu, kalau kita tak mengerti betul duduk persoalannya. Sayamembayangkan bila kala itu saya ikut memberi komentar negatif dengan tujuan membela suami saya, persaudaraan yang sudah retak akan semakin menganga dan bahkan putus. Saya sungguh bersyukur untuk bisa menahan diri. Daripada mengumbar kata-kata negatif (yang mencerminkan diri kita yang negatif), lebih baik diam saja. Atau lebih bagus lagi bila memberikan kata-kata positif yang membawa inspirasi dan juga semangat bagi orang lain.

            Saya menerima pelajaran dari guru kehidupan yaitu pengalaman. Bahwa internet itu adalah media yang harus dengan arif kita gunakan. Saya ternyata juga murid yang baik yang menerima pelajaran dari pengalaman buruk.Orang-orang mengatakan mengambil hikmahnya. Menurut Steven Covey dalam 7 Habits-nya orang sering  terjatuh pada kuadran empat dalam tabel kepentingan dan kemendesakan.  Maksudnya kuadran empat adalah orang sering terjatuh pada situasi yang mengutamakan hal yang tidak mendesak dan tidak penting. Salah satunya adalah contoh di atas memberi komentar di jejaring sosial yang tidak mengerti dengan baik tentang duduk perkaranya.  Pengalaman buruk saya berkaitan dengan internet tak seburuk pengalaman yang lain. Ada banyak peristiwa yang kita dengar dan kita baca tentang berbagai peristiwa itu. Namun, tak haruslah kita mengalami peristiwa buruk itu, cukuplah sudah kita belajar dari pengalaman orang lain.

Christina Enung Martina


#####

Tidak ada komentar:

Posting Komentar