Makin hari Raja
Saul makin aneh kelakuannya. Sepeperti yang diceritakan pada bagian pertama
tulisan ini, saul sering melarikan diri dari kesalahannya dan mencari kambing
hitam.
Akhir masa pemerintahan Saul
ditandai oleh beberapa pemberontakannya kepada Allah. Saul tidak sabar untuk
menunggu kedatangan Samuel untuk memimpin upacara persembahan kurban sebelum ia
memimpin peperangan melawan bangsa Filistin (1 Samuel 13), dan ia menolak perintah untuk menghabisi orang Amalek dan
seluruh ternaknya (1 Samuel 15). Akibatnya, Saul ditolak Allah, dan ia
digantikan oleh Daud.
Menurut sejarawan Yahudi-Romawi
abad ke-1 M, Flavius Yosefus (37-100 M), Saul menjadi raja atas Israel selama 18 tahun
ketika Samuel masih hidup, dan kemudian memerintah sendirian selama 22
tahun. Raja kedua sesudahnya adalah Raja Daud bin Isai.
Ia adalah putra bungsu dari 8 anak
laki-laki Isai. Ia mempunyai 2 saudara perempuan. Daud dilahirkan di Betlehem, Efrata, di wilayah Yehuda. Ia
bukan seorang tipe pria yang gagah perkasa dengan perawakan tinggi besar
seperti pendahulunya, Saul. Al Kitab (1 Samuel 16: 12) menggambarkan bahwa Daud adalah seorang yang kemerahan-merahan,
matanya indah, dan parasnya elok. Daud tipe laki-laki yang halus dan ganteng,
bukan macho. Samuel sendiri yang mendapat tugas mengurapinya saja terkecoh.
Samuel menyangka yang akan diurapi Allah itu Eliab, anak pertama Isai. Tetapi,
berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “ Janganlah pandang parasnya atau perawakan
yang tinggi, sebab aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang
dilihat Allah, manusia melihat yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
(1 Samuel: 16: 7)
Daud bukan yang diperhitungkan
manusia. Bahkan, ayahnya saja tidak memperhitungkan dia. Saat Samuel datang ke
rumah Isai untuk mengurapi salah satu anaknya, Isai tidak meminta Daud untuk
tampil di depan Samuel. Saat itu, Daud sedang menggembalakan ternaknya di
padang.
Lihat! Saya mendapatai kisah dalam
Al Kitab beberapa di antaranya bila Tuhan memanggil seseorang, orang tersebut didapati
sedang dalam posisi bekerja. Abraham ketika dipanggil-Nya sedang berada di
bengekl kerjanya. Pastinya sedang bekerja bukan melamun. Para murid Yesus saat
dipanggil-Nya juga mereka sedang bekerja sebagai nelayan ( menjala ikan,
membetulkan jala). Belum ditemukan kisah tokoh yang dipanggil Tuhan sedang
mabuk, melamun, bengong, bersantai, atau semacamnya.
Daud bukan orang yang
diperhitungkan manusia. Namun, ia diperhitungkan Tuhan. Tuahn jatuh hati padanya.
Tuhan jatuh hati pada Daud karena
melihat hatinya. Sudah pasti Daud itu mempunyai hati dan perilaku serta
tindakan yang sama. Orang benar begitulah dia.
Bahkan, ketika ia sudah diurapi Samuel pun, Daud tidak mengubah sikapnya
menjadi jumawa, sombong, angkuh, atau besar kepala. Daud masih bekerja
menggembalakan ternak keluarga. Dia tidak memamerka dirinya bahwa dia sudah
diurapi.
Rupanya saat Samuel mengurapi
Daud, ia pergi secara diam-diam tanpa sepengetahuan Raja Saul. Saya tidak
membayangkan kalau Saul tahu akan ada orang lain yang diurapi sebagai raja,
selain dirinya, akan terjadi kehebohan yang menggegerkan kedaulatan negara
tentunya. Sepertinya upacara pengurapan Daud itu hanya lingkup keluarga dan
para pinisepuh saja. Sepertinya lagi, mereka juga menjaga rahasia ini. Karena
kalau ketahuan raja yang sedang berdaulat, bisa runyam dan menjadi celaka bagi mereka.
Itu perbuatan makar.
Ada hal yang menarik dalam kisah
Raja Saul sesudah ditinggalkan Sameul (itu berarti berkat urapan Than sudah tak
ada padanya lagi), Saul menjadi makin aneh kelakuannya. KEJATUHAN Raja Saul
terjadi karena ia Lebih Mengikuti SUARA RAKYAT daripada "SUARA TUHAN"
dari Pemimpin Rohaninya, Samuel!
Suatu peristiwa yang menggambarkan
titik nadir kehidupan rohani Saul adalah ketika ia pergi menghubungi seorang medium perempuan
di En-Dor untuk bertanya kepada roh Samuel guna mengetahui apa yang
akan terjadi dalam peperangan melawan orang Filistin yang akan segera
dihadapinya (1
Samuel 28:1-25). Ini adalah keputusan Saul yang diwarnai oleh rasa putus
asanya karena Samuel telah meninggal, sementara Allah tidak menjawab dia.
Ketaatan dan iman
adalah dua bahan penting dalam membangun hubungan yang kuat dengan Tuhan.
Sayangnya, Saul tidak pernah taat sepenuhnya ataupun pernah bersandar
sepenuhnya kepada Tuhan, karena ia sombong dan menganggap ringan perintah
Tuhan. Saul menghargai alasan dan kehendaknya sendiri lebih daripada alasan dan
kehendak Tuhan. Sebagai hasilnya, ia melakukan tiga kesalahan besar, yang pada
akhirnya harus ia bayar dengan jabatan raja dan nyawanya.
Kesalahan Saul yang
pertama ialah mempersembahkan korban tanpa memedulikan perintah Tuhan untuk
menunggu Samuel selama tujuh hari. Saul memang menunggu Samuel, tetapi tujuh
hari itu belum sepenuhnya berlalu ketika prajurit-prajuritnya mulai berpencar.
Saul panik dan lebih memikirkan bagaimana menyenangkan manusia ketimbang Tuhan.
Lebih mengandalkan diri sendiri daripada Tuhan, ia mempersembahkan korban
menuruti kata hatinya. Samuel datang tidak lama kemudian dan menegur Saul. Ia
memberitahu Saul bahwa kerajaannya tidak akan tetap sebagai akibat dari
ketidaktaatannya (1Sam. 13:13-14).
Kesalahan Saul yang kedua ialah
menyuruh prajurit-prajuritnya bersumpah, dengan berkata, ”Terkutuklah orang
yang memakan sesuatu sebelum matahari terbenam dan sebelum aku membalas dendam
terhadap musuhku“ (1Sam. 14:24). Saul menetapkan penitah ini tanpa berhenti
untuk berpikir apakah Tuhan menghendaki agar pasukannya berpuasa. Tidak tahu
akan sumpah itu, Yonatan, anaknya memakan madu. Setelah itu, Saul
menduga bahwa seseorang telah membatalkan puasa itu karena Tuhan tidak
menanggapi permintaannya. Selagi mereka melempar undi, Saul membuat satu sumpah
ceroboh lagi, katanya, “Sekalipun itu disebabkan oleh Yonatan, anakku, maka ia pasti
akan mati” (1Sam.
14:39). Undian menunjukkan Yonatanlah pelakunya. Untuk menyelamatkan mukanya,
Saul berkata, “Beginilah
kiranya Allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu. Sesungguhnya,
Yonatan, engkau harus mati.” (1Sam.
14:44). Tetapi, pasukan Saul datang untuk melepaskan Yonatan dan menyelamatkan
nyawanya. Saul mengucapkan sumpah-sumpah kosong itu tanpa mengindahkan pesan
Tuhan untuk ”jangan
bersumpah palsu,“ melainkan “peganglah
sumpahmu di depan Tuhan” (Mat.
5:33-37).
Saul melakukan kesalahannya yang ketiga ketika ia tidak mematuhi perintah Tuhan: “Kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya” (1Sam. 15:3). Walaupun Tuhan memerintahkan dengan jelas agar ia memusnahkan segala yang ada, Saul menentang perintah Tuhan supaya ia dapat menyimpan barang-barang dan harta kekayaan. Sifat rakunya muncul. Dia juga melepaskan Agag, raja orang Amalek, untuk memperbesar dan bersenang-senang dalam kemuliaannya sendiri.
Saul melakukan kesalahannya yang ketiga ketika ia tidak mematuhi perintah Tuhan: “Kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya” (1Sam. 15:3). Walaupun Tuhan memerintahkan dengan jelas agar ia memusnahkan segala yang ada, Saul menentang perintah Tuhan supaya ia dapat menyimpan barang-barang dan harta kekayaan. Sifat rakunya muncul. Dia juga melepaskan Agag, raja orang Amalek, untuk memperbesar dan bersenang-senang dalam kemuliaannya sendiri.
Saul kemudian meninggal di dalam
peperangan melawan bangsa Filistin. Karena terjepit dan tidak rela jatuh ke
tangan musuhnya hidup-hidup, Saul menjatuhkan dirinya ke pedang yang dibawa
oleh pembantunya (1 Samuel 31). Itu memang tindakan
bunuh diri kalau bisa dikatakan begitu.
Akhirnya Daud naik tahta setelah pendahulunya meninggal dunia.
Akhirnya Daud naik tahta setelah pendahulunya meninggal dunia.
Ada
rasa menyesak ketika membaca akhir cerita raja pertama Israel ini. Rasanya
seperti gelo, kecewa, karena tokoh utamanya kok tidak bertobat, menyesalai
kesalahannya, mengubah dirinya menjadi lebih baik, akhirnya hidup berbahagia
untuk selamanya. Itu kan harapan saya ketika menjadi seorang bocah kecil, kalau
membaca dongeng yang penting berakhir dengan bahagia.
Namun,
saya banyak belajar dari tokoh Raja Saul ini. Ada banyak sifat Saul yang juga
saya miliki. Saya juga sering mengabaikan apa yang diminta Tuhan karena lebih
melihat pertimbangan saya sendiri. Bahkan saya tidak bertanya apa mau Tuhan. Saya
lebih memikirkan bagaimana supaya saya bisa selamat dari berbagai kesalahan
yang saya buat, bukan memeprtanggungjawabkannya. Saya juga suka berbicara tanpa berpikir
terlebih dahulu apa akibatnya bagi diri saya, keluarga saya, atau yang lain.
Sepertinya saya banyak sok tahu. Saya sering mempertimbangkan sesuatu
berdasarkan kerakusan saya. Bisa menguntungkan saya atau tidak. Saul... oh... Saul! Kau dan aku tak jauh beda.
(Ch. Enung Martina-Jelupang Maret 2015)