Kamis, 05 Maret 2015

Mental Pengemis


Mental pengemis bukan pengemis betul-betulan yang sering ditemukan di pinggir jalan atau di tempat umum yang menadahkan tangan untuk meminta belas kasihan. Namun, mental pengemis tepatnya adalah mental yang selalu resah harta, selalu merasa kurang, dan selalu khawatir dengan masa depan. Kata “resah” menjadi kunci di sini. Warna jiwa inilah yang diyakini telah menjadikan banyak orang memiliki mental pengemis. Mental ini tidak bergantung pada harta, kelas, profesi, usia, jenis kelamin,  atau jabatan. Artinya karena ini menyangkut  mental, maka  miskin dan kaya sama-sama bisa memiliki mental pengemis, jika jiwanya resah dan selalu merasa kurang. Membahagiakan anak, istri, dan keluarga,biasanya menjadi alasan yang klise untuk mental ini.
            Orang yang bermental pengemis yakin  bahwa harta duniawi yang banyak akan membuat ia lebih bahagia. Harta itu bisa menyelesaikan segala perkara. Kehormatan, prestise, masalah, dan bahkan kebahagiaan bisa diselesaikan dengan harta. Orang yang bermental pengemis jauh dari mental yang percaya akan kelimpahan. Orang yang bermental pengemis sangat anti untuk memberi. Kalau bisa,  setiap kesempatan yang dia dapat bisa mendapatkan keuntungan. Orangnya tak mau rugi. Orang seperti ini akan berpikir dua kali kalau disuruh menyumbang.  Bagi mereka memberi itu akan mengurangi jatah mereka. Dengan memberi artinya yang sudah ada menjadi berkurang. Karena itu lebih baik ia menerima karena artinya pasti akan terus bertambah.
Demikianlah mental pengemis, yang sering memicu masalah. Berarti, gemar meminta-minta itu jelas faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Bukti lain, banyak orang yang hidupnya sederhana ogah meminta-minta. Mereka lebih mempunyai harga diri untuk tidak menjadi pengemis.  Mereka sangat malu kepada Allah, mengingat karunia yang diterima lebih banyak ketimbang musibah yang sedang diterima. Karena itulah, senjata yang mereka andalkan adalah usaha tanpa kenal lelah disertai doa dan sabar.
Mental pengemis ini amat rentan menimbulkan banyak masalah. Akan lebih bermasalah lagi jika ia berkolaborasi dengan mental serakah. Maka yang terjadi kemudian, banyak orang berkelimpahan harta, dengan gaji dan fasilitas yang memadai, masih gemar meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara.
Tidak ada orang yang mau hidup susah. Namun, bila  lantas menginginkan enak tanpa mau berusaha, itu namanya tak mempunyai harga diri. Bila seorang manusia tanpa martabat disebut apakah dia? Orang dihargai karena dia mempunyai hati yang mau memberi dan mau berbagi, bukan hanya menadahkan tangan belaka.
Sebaliknya bagi orang yang mental berkelimpahan mempercayai bahwa semesta yang diciptakan Tuhan ini tak pernah kekurangan. Rejeki selalu ada. Karena itu orang yang mentalnya percaya akan kelimpahan akan sangat senang memberi. Karena dengan memberi, rejeki mengalir datang. Prinsipnya diberikan bukannya berkurang malah ia datang berlipat ganda, berkelimpahan.
Memberi bukan selalu dalam bentuk harta. Memberikan ide, gagasan, waktu, tenaga, pikiran, saran, kemampuan. Kerelaan dalam memberi menjadi kunci bagi pribadi berkelimpahan.
Beberapa kata bijak yang disitir dari beberapa Kita Suci tentang memberi antara lain:

“Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan darimu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS Al-Baqarah: 271].

Hendaklah masing-masing orang memberi sesuai dengan niat hatinya, jangan dengan sedih hati atau dengan terpaksa, karena sikap hati orang yang memberi dengan gembira disukai Allah. (2 Korintus 9:7 )

Bila orang berbuat kebajikan dengan memberi  hadiah-hadiah, suka memberi pelajaran dan nasehat-nasehat walaupun kepada orang miskin sehingga dapat menghibur hatinya, maka orang yang  demikian akan selamatlah anak cucu dan keturunanya serta akan terkenalah kebaikan budinya . (SS.172)

                                                

Jelaslah, kemiskinan bukan aib. Saatnya orang beriman mampu mengikis mental pengemis dari sanubari. Tanamkan kalimat berikut dengan mantap: biar miskin, aku pantang mengemis! Jadilah orang kaya, kaya ilmu, kaya harta, kaya amal. Berapa pun ilmu yang kita punya, berapapun harta yang kita miliki, kita harus mengamalknnya, membaginya tidak akan mengurangi jumlahnya. Ilmu dan harta adalah titipan Allah yang akan berlipat ganda jika kita membaginya dengan orang yang membutuhkannya.
 Ch Enung Martina


Tidak ada komentar:

Posting Komentar