Mental pengemis bukan pengemis
betul-betulan yang sering ditemukan di pinggir jalan atau di tempat umum yang
menadahkan tangan untuk meminta belas kasihan. Namun, mental pengemis tepatnya adalah mental yang selalu
resah harta, selalu merasa kurang, dan selalu khawatir dengan masa depan. Kata “resah” menjadi kunci di sini. Warna jiwa inilah
yang diyakini telah menjadikan banyak orang memiliki mental pengemis. Mental ini tidak bergantung
pada harta, kelas, profesi, usia, jenis
kelamin, atau jabatan. Artinya karena ini menyangkut mental, maka
miskin dan kaya sama-sama bisa memiliki mental pengemis, jika jiwanya resah dan
selalu merasa kurang. Membahagiakan anak, istri, dan keluarga,biasanya menjadi alasan yang
klise untuk mental ini.
Orang
yang bermental pengemis yakin bahwa harta duniawi yang banyak akan membuat ia lebih bahagia. Harta itu bisa
menyelesaikan segala perkara. Kehormatan, prestise, masalah, dan bahkan
kebahagiaan bisa diselesaikan dengan harta. Orang yang bermental pengemis jauh
dari mental yang percaya akan kelimpahan. Orang yang bermental pengemis sangat
anti untuk memberi. Kalau bisa, setiap
kesempatan yang dia dapat bisa mendapatkan keuntungan. Orangnya tak mau rugi.
Orang seperti ini akan berpikir dua kali kalau disuruh menyumbang. Bagi mereka memberi itu akan mengurangi jatah
mereka. Dengan memberi artinya yang sudah ada menjadi berkurang. Karena itu
lebih baik ia menerima karena artinya pasti akan terus bertambah.
Demikianlah mental
pengemis, yang sering memicu masalah. Berarti, gemar meminta-minta itu jelas
faktor mental, bukan faktor miskin atau kaya. Bukti lain, banyak orang yang
hidupnya sederhana ogah meminta-minta. Mereka lebih mempunyai harga diri untuk tidak menjadi
pengemis. Mereka sangat malu kepada
Allah, mengingat karunia yang diterima lebih banyak ketimbang musibah yang
sedang diterima. Karena itulah, senjata yang mereka andalkan adalah usaha tanpa
kenal lelah disertai doa dan sabar.
Mental
pengemis ini amat rentan menimbulkan banyak masalah. Akan lebih bermasalah lagi
jika ia berkolaborasi dengan mental serakah. Maka yang terjadi kemudian, banyak
orang berkelimpahan harta, dengan gaji dan fasilitas yang memadai, masih gemar
meminta-minta, bahkan menghalalkan segala cara.
Tidak ada orang yang mau
hidup susah. Namun, bila lantas menginginkan enak tanpa mau berusaha, itu namanya tak mempunyai harga diri. Bila
seorang manusia tanpa martabat disebut apakah dia? Orang dihargai karena dia
mempunyai hati yang mau memberi dan mau berbagi, bukan hanya menadahkan tangan
belaka.
Sebaliknya bagi orang yang mental berkelimpahan
mempercayai bahwa semesta yang diciptakan Tuhan ini tak pernah kekurangan.
Rejeki selalu ada. Karena itu orang yang mentalnya percaya akan kelimpahan akan
sangat senang memberi. Karena dengan memberi, rejeki mengalir datang.
Prinsipnya diberikan bukannya berkurang malah ia datang berlipat ganda,
berkelimpahan.
Memberi bukan selalu dalam bentuk harta. Memberikan ide,
gagasan, waktu, tenaga, pikiran, saran, kemampuan. Kerelaan dalam memberi
menjadi kunci bagi pribadi berkelimpahan.
Beberapa kata bijak yang disitir dari beberapa Kita Suci
tentang memberi antara lain:
“Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu baik sekali.
Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan darimu
sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
[QS Al-Baqarah: 271].
Hendaklah
masing-masing orang memberi sesuai dengan niat hatinya, jangan dengan sedih
hati atau dengan terpaksa, karena sikap hati orang yang memberi dengan gembira
disukai Allah. (2 Korintus 9:7 )
Bila
orang berbuat kebajikan dengan memberi hadiah-hadiah, suka memberi
pelajaran dan nasehat-nasehat walaupun kepada orang miskin sehingga dapat
menghibur hatinya, maka orang yang demikian akan selamatlah anak cucu dan
keturunanya serta akan terkenalah kebaikan budinya . (SS.172)
Jelaslah, kemiskinan bukan aib. Saatnya orang beriman
mampu mengikis mental pengemis dari sanubari. Tanamkan kalimat berikut dengan
mantap: biar miskin, aku pantang mengemis! Jadilah orang kaya, kaya ilmu, kaya harta, kaya amal. Berapa pun ilmu yang kita punya, berapapun harta yang kita miliki,
kita harus mengamalknnya, membaginya tidak akan mengurangi jumlahnya. Ilmu dan
harta adalah titipan Allah yang akan berlipat ganda jika kita membaginya dengan
orang yang membutuhkannya.
Ch Enung Martina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar