Sebagai pendidik, saya sering bertemu dengan berabagai macam kasus anak
dengan aneka permasalahannya. Salah satu
yang ditemukan adalah berhadapan dengan anak yang supersensitif. Suatu kali saya sedang mengajar Bina Iman di
kelas gabungan dalam pertemuan akbar Bina Iman Anak di Gereja St. Ambrosius, Vila Melati Mas, Tangsel. Saat saya sudah selesai mengajar ada selingan
dengan gerak dan lagu yang diikuti oleh anak-anak berusia batita sampai usia 12
tahun itu. Semua anak asyik bernyanyi dan menari mengikuti irama musik dan
mengikuti gerakan dari kakak-kakak Bina Iman Remaja yang sedang memeragakan gerakannya
di depan. Salah satu anak laki-laki berperawakan besar dan tinggi duduk menyendiri di pojok sambil
berurai air mata dan tersedu-sedu. Saya kaget karena dalam suasana riang
gembira begini ada anak yang sangat sedih. Sungguh suasana yang berlawanan.
Saya dekati dia. Rupanya di sana ada ibunya yang sedang menenangkan dia.
Namun, apa yang dilakukan sang ibu sia-sia karena si anak masih meneruskan
tangisannya. Saya datang dan berllutut di depan dia. Saat kegiatan anak-anak
duduk di lantai bertikar. Saya tanya seputar alasan dia menangis. Jawabannya
selalu “nggak apa-apa, Tante”. Lha, saya bingung, nggak apa-apa kok menangis
sampai sesenggukan begitu.
Akhirnya saya ajak dia keluar ruangan. Dia mengatakan, “Aku mau pulang,
jalan kaki saja.” Saya membawa dia jalan-jalan seputar komplek gereja dan
akhirnya duduk di bawah pohon mangga. Saat berjalan dia masih menangis. Saat
kami duduk pun masih menangis. Dia mengatakan, “ Aku memang suka begini,
tiba-tiba menangis.”
Akhirnya masih dalam keadaan tersedan-sedan, kami mengobrol. Saya tanya
dia seputar rumah, sekolah, dan minat, serta hobi dia. Sebut saja anak ini
Lukas. Lukas bercerita bahwa dia sudah kelas lima. Ia bersekolah di SD Kristen dekat
rumahnya. Lukas punya sahabat, tetapi sahabatnya ini egois. Dia mempunyai adik
perempuan yang bersekolah di TK B di sekolah yang sama. Ia mempunyai hobi
menggambar disain. Ia bercita-cita menajdi seorang desainer game. Ia suka
bermain game Shadow Fight.
Ada yang menarik bagi saya karena dia mengatakan ia sering bertemu dengan
tokoh dari game Shadow Fight yang
bernama Shadow. Lukas mengatakan Shadow akan datang bila dia memikirkannya.
Ketika saya tanya seperti apa sosoknya. Dia mengatakan dia seorang remaja putri
dengan rambut panjang seperti salah satu kakak yang tadi tampil di depan.
Maksud Lukas salah satu anak Bina Iman Remaja yang memberi contoh gerak dan
lagu. Shadow tidak ada matanya. Ia berbicara dengan Lukas dalam bahasa
Indonesia. Lukas senang karena ia bisa berbicara dengan Shadow.
Saya tahu bahwa Lukas yang sensitif ini mempunyai teman imajinasi. Namun,
saya jadi agak heran karena usia Lukas yang sudah cukup besar masih
menghidupkan teman imajinasinya. Yang saya tahu teman imajinasi anak akan
berangsur hilang tatkala anak ini tumbuh makin besar. Pada usia anak kelas lima
SD biasanya teman imajinasi mereka sudah tergantikan oleh teman nyata
mereka. Namun, sedikit berbeda dengan
Luaks.
Rupanya anak ini termasuk anak yang tidak mudah mendapat teman dan
membatasi pertemanannya karena sensitivitasnya. karena itu ia masih memelihara
teman imajinasinya karena dia masih memerlukannya untuk saat – saat tertentu
yang merasa dia tidak bisa menemukan orang di sekitarnya yang bisa ia percayai.
Imaginary friend atau teman
imajinasi atau teman khayalan ini dalam batas wajar memang menjadi bagian dari
perkembangan anak. Teman imajinasi ini bisa muncul dari inspirasi sosok
nyata orang yang dikagumi anak di dunia nyata, tokoh idola dari film,buku,
games kesayangan atau benar-benar tokoh rekayasa imajinasi anak.
Teman imajinasi ini bisa
datang dan pergi kapan saja dan di mana saja, atau bisa juga muncul di
tempat-tempat tertentu. Anak tampak bermain sendiri bahkan bicara sendiri
seolah-olah bicara dengan temannya. Teman imajinasi ini bisa muncul ketika anak
umur sekitar dua setengah tahun hingga tujuh tahun saat daya imajinasinya mulai
berkembang. Karena itu saya agak heran dengan Luaks karena ia sudah berusia
sekitar 11 tahun.
Mary L. Gavin, MD mengatakan bahwa masa-masa
prasekolah adalah “magic years”
dengan aneka permainan imajinasi yang penting bagi tahapan tumbuh kembang anak.
The magic of play. Menurut Marjorie
Taylor dari University of Oregon,
sebanyak 37% anak memiliki teman khayalan ketika bermain imajinasi. Menurut Patrick J. McGrath, OC, PhD, FRSC sebanyak 65% anak
memiliki teman imajinasi. Bahkan menurut AAP, siap-siap saja ketika preschool anda akan mengenalkan satu teman imajinasinya. Teman
imajinasi ini bisa menetap beberapa waktu hingga berbulan-bulan lalu menghilang
sendiri ketika anak siap untuk move on. Menurut
dr. Azimatul Karimah, Sp.KJ gejala ini akan mulai
menghilang sekitar anak berumur 7 tahun, namun ada yang berlanjut hingga umur 9
tahun.
Kenapa
anak punya teman imajinasi?
Teman imajinasi ini
digambarkan sebagai sosok yang mendengarkan dan mendukung anak, menemani anak
main, bisa melakukan hal yang anak tidak bisa, hadir spesial hanya untuknya dan
tidak pernah menyalahkan anak. Pada kenyataannya teman khayalan ini membantu anak
mengeksplorasi dunia khayalan sehingga daya imajinasi anak lebih bagus. Anak
yang tidak terpapar televisi lebih sering mengalami, hal ini menunjukkan
kehadiran teman khayalan memerlukan situasi saat anak melakukan permainan tidak terstruktur.
Teman imajinasi juga bisa muncul sebagai usaha anak menyembuhkan dirinya dari
kejadian traumatik atau kesulitan hidup yang dia alami.
Terkadang anak juga akan
meminta ibu atau orang lain untuk terlibat dalam permainan imajinasinya bersama
teman imajinasi tersebut, misalnya anak minta ibu memotongkan kue untuk
temannya, menyediakan tempat kosong untuk temannya, dll.
Jangan ragu mengakui
keberadaan si teman khayalan. Hal itu mengasah imajinasi anak. Dan jangan
khawatir, anak tidak akan kehilangan kontak dengan dunia nyata karena teman
khayalan. Jika Anda bertanya seputar si sahabat dan membiarkan anak menjawab, kita
memastikan bahwa sang sahabat berada di dalam kendali anak.
Namun bukan berarti kita
harus membuatkan makan malam ekstra atau membiarkan anak melimpahkan kesalahan
kepada teman khayalan saat dia memecahkan vas bunga. Kita perlu tahu bahwa si sahabat hanya ada di dalam
khayalan. Kita bisa “mengembalikan” anak ke dunia nyata saat diperlukan.
Selebihnya, nikmati keajaiban yang dilakukan anak bersama “si sahabat setia”
dan petik berbagai manfaat di bawah ini;
Teman imajinasi akan:
Memberi kesempatan anak
mengembangkan kreativitas melalui berbagai jenis permainan dan mencoba banyak
hal baru berdasarkan imajinasi.
Sebagai media untuk
mengembangkan kemampuan bersosialisasi.
Mengembangkan emosi dan
tindakan, seperti rasa takut atau marah berikut cara mengekspresikan perasaan
tersebut dengan aman.
Memberi kesempatan kepada
anak untuk mengatur dan mengontrol si sahabat (misalnya teman imajinasinya
adalah hewan kesayangan), karena dalam keseharian balita terbiasa diatur oleh
orang-orang di sekitarnya.
Memberi ruang bagi kehidupan
pribadi anak.
Untuk kasus Lukas, guru dan
orang tua harus banyak berkomunikasi denagn anak ini. Kemungkinan Lukas masih
memerlukan teman imajinasinya karena dia tidak nyaman dengan keadaan di
sekitarnya termasuk orang-orang di sekitarnya. Karena itu guru dan orang tua
harus membiasakan Lukas untuk bisa mengungkapkan perasaannya. Yang lebih
penting guru dan orang tua harus mau menjadi teman dan pendengar bagi anak-anak.
(Ch. Enung Martina)