Kamis, 28 April 2016

Imaginary Friend


Sebagai pendidik, saya sering bertemu dengan berabagai macam kasus anak dengan aneka permasalahannya.  Salah satu yang ditemukan adalah berhadapan dengan anak yang supersensitif.  Suatu kali saya sedang mengajar Bina Iman di kelas gabungan dalam pertemuan akbar Bina Iman Anak di Gereja St. Ambrosius,  Vila Melati Mas, Tangsel.  Saat saya sudah selesai mengajar ada selingan dengan gerak dan lagu yang diikuti oleh anak-anak berusia batita sampai usia 12 tahun itu.  Semua anak asyik  bernyanyi dan menari mengikuti irama musik dan mengikuti gerakan dari kakak-kakak Bina Iman Remaja yang sedang memeragakan gerakannya di depan. Salah satu anak laki-laki berperawakan besar dan  tinggi duduk menyendiri di pojok sambil berurai air mata dan tersedu-sedu. Saya kaget karena dalam suasana riang gembira begini ada anak yang sangat sedih. Sungguh suasana yang berlawanan.
Saya dekati dia. Rupanya di sana ada ibunya yang sedang menenangkan dia. Namun, apa yang dilakukan sang ibu sia-sia karena si anak masih meneruskan tangisannya. Saya datang dan berllutut di depan dia. Saat kegiatan anak-anak duduk di lantai bertikar. Saya tanya seputar alasan dia menangis. Jawabannya selalu “nggak apa-apa, Tante”. Lha, saya bingung, nggak apa-apa kok menangis sampai sesenggukan begitu.
Akhirnya saya ajak dia keluar ruangan. Dia mengatakan, “Aku mau pulang, jalan kaki saja.” Saya membawa dia jalan-jalan seputar komplek gereja dan akhirnya duduk di bawah pohon mangga. Saat berjalan dia masih menangis. Saat kami duduk pun masih menangis. Dia mengatakan, “ Aku memang suka begini, tiba-tiba menangis.”
Akhirnya masih dalam keadaan tersedan-sedan, kami mengobrol. Saya tanya dia seputar rumah, sekolah, dan minat, serta hobi dia. Sebut saja anak ini Lukas. Lukas bercerita bahwa dia sudah kelas lima. Ia bersekolah di SD Kristen dekat rumahnya. Lukas punya sahabat, tetapi sahabatnya ini egois. Dia mempunyai adik perempuan yang bersekolah di TK B di sekolah yang sama. Ia mempunyai hobi menggambar disain. Ia bercita-cita menajdi seorang desainer game. Ia suka bermain game Shadow Fight.
Ada yang menarik bagi saya karena dia mengatakan ia sering bertemu dengan tokoh dari game Shadow Fight yang bernama Shadow. Lukas mengatakan Shadow akan datang bila dia memikirkannya. Ketika saya tanya seperti apa sosoknya. Dia mengatakan dia seorang remaja putri dengan rambut panjang seperti salah satu kakak yang tadi tampil di depan. Maksud Lukas salah satu anak Bina Iman Remaja yang memberi contoh gerak dan lagu. Shadow tidak ada matanya. Ia berbicara dengan Lukas dalam bahasa Indonesia. Lukas senang karena ia bisa berbicara dengan Shadow.
Saya tahu bahwa Lukas yang sensitif ini mempunyai teman imajinasi. Namun, saya jadi agak heran karena usia Lukas yang sudah cukup besar masih menghidupkan teman imajinasinya. Yang saya tahu teman imajinasi anak akan berangsur hilang tatkala anak ini tumbuh makin besar. Pada usia anak kelas lima SD biasanya teman imajinasi mereka sudah tergantikan oleh teman nyata mereka.  Namun, sedikit berbeda dengan Luaks.
Rupanya anak ini termasuk anak yang tidak mudah mendapat teman dan membatasi pertemanannya karena sensitivitasnya. karena itu ia masih memelihara teman imajinasinya karena dia masih memerlukannya untuk saat – saat tertentu yang merasa dia tidak bisa menemukan orang di sekitarnya yang bisa ia percayai.
 Imaginary friend atau teman imajinasi atau teman khayalan ini dalam batas wajar memang menjadi bagian dari perkembangan anak. Teman imajinasi ini bisa muncul dari inspirasi sosok nyata orang yang dikagumi anak di dunia nyata, tokoh idola dari film,buku, games kesayangan atau benar-benar tokoh rekayasa imajinasi anak.

Teman imajinasi ini bisa datang dan pergi kapan saja dan di mana saja, atau bisa juga muncul di tempat-tempat tertentu. Anak tampak bermain sendiri bahkan bicara sendiri seolah-olah bicara dengan temannya. Teman imajinasi ini bisa muncul ketika anak umur sekitar dua setengah tahun hingga tujuh tahun saat daya imajinasinya mulai berkembang. Karena itu saya agak heran dengan Luaks karena ia sudah berusia sekitar 11 tahun.

Mary L. Gavin, MD mengatakan bahwa masa-masa prasekolah adalah “magic years” dengan aneka permainan imajinasi yang penting bagi tahapan tumbuh kembang anak. The magic of play. Menurut Marjorie Taylor dari University of Oregon, sebanyak 37% anak memiliki teman khayalan ketika bermain imajinasi. Menurut Patrick J. McGrath, OC, PhD, FRSC sebanyak 65% anak memiliki teman imajinasi. Bahkan menurut  AAP, siap-siap saja ketika preschool anda akan mengenalkan satu teman imajinasinya. Teman imajinasi ini bisa menetap beberapa waktu hingga berbulan-bulan lalu menghilang sendiri ketika anak siap untuk move on. Menurut  dr. Azimatul Karimah, Sp.KJ  gejala ini akan mulai menghilang sekitar anak berumur 7 tahun, namun ada yang berlanjut hingga umur 9 tahun.

Kenapa anak punya teman imajinasi?
Teman imajinasi ini digambarkan sebagai sosok yang mendengarkan dan mendukung anak, menemani anak main, bisa melakukan hal yang anak tidak bisa, hadir spesial hanya untuknya dan tidak pernah menyalahkan anak. Pada kenyataannya teman khayalan ini membantu anak mengeksplorasi dunia khayalan sehingga daya imajinasi anak lebih bagus. Anak yang tidak terpapar televisi lebih sering mengalami, hal ini menunjukkan kehadiran teman khayalan memerlukan situasi saat  anak melakukan permainan tidak terstruktur. Teman imajinasi juga bisa muncul sebagai usaha anak menyembuhkan dirinya dari kejadian traumatik atau kesulitan hidup yang dia alami.

Terkadang anak juga akan meminta ibu atau orang lain untuk terlibat dalam permainan imajinasinya bersama teman imajinasi tersebut, misalnya anak minta ibu memotongkan kue untuk temannya, menyediakan tempat kosong untuk temannya, dll.

Jangan ragu mengakui keberadaan si teman khayalan. Hal itu mengasah imajinasi anak. Dan jangan khawatir, anak tidak akan kehilangan kontak dengan dunia nyata karena teman khayalan. Jika Anda bertanya seputar si sahabat dan membiarkan anak menjawab, kita memastikan bahwa sang sahabat berada di dalam kendali anak.

Namun bukan berarti kita harus membuatkan makan malam ekstra atau membiarkan anak melimpahkan kesalahan kepada teman khayalan saat dia memecahkan vas bunga. Kita  perlu tahu bahwa si sahabat hanya ada di dalam khayalan. Kita bisa “mengembalikan” anak ke dunia nyata saat diperlukan. Selebihnya, nikmati keajaiban yang dilakukan anak bersama “si sahabat setia” dan petik berbagai manfaat di bawah ini;

Teman imajinasi akan:
Memberi kesempatan anak mengembangkan kreativitas melalui berbagai jenis permainan dan mencoba banyak hal baru berdasarkan imajinasi.
Sebagai media untuk mengembangkan kemampuan bersosialisasi.
Mengembangkan emosi dan tindakan, seperti rasa takut atau marah berikut cara mengekspresikan perasaan tersebut dengan aman.
Memberi kesempatan kepada anak untuk mengatur dan mengontrol si sahabat (misalnya teman imajinasinya adalah hewan kesayangan), karena dalam keseharian balita terbiasa diatur oleh orang-orang di sekitarnya.
Memberi ruang bagi kehidupan pribadi anak.

Untuk kasus Lukas, guru dan orang tua harus banyak berkomunikasi denagn anak ini. Kemungkinan Lukas masih memerlukan teman imajinasinya karena dia tidak nyaman dengan keadaan di sekitarnya termasuk orang-orang di sekitarnya. Karena itu guru dan orang tua harus membiasakan Lukas untuk bisa mengungkapkan perasaannya. Yang lebih penting guru dan orang tua harus mau menjadi teman dan pendengar bagi anak-anak.
 (Ch. Enung Martina)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar